Home / Rumah Tangga / Kusingkap Topeng Busuk Suamiku / Bab 5 Suamiku Ternyata Buaya Darat

Share

Bab 5 Suamiku Ternyata Buaya Darat

Author: Viki_aulia
last update Last Updated: 2024-05-06 07:46:25

Baiklah, aku akan mencari tahu kebenarannya sekarang juga, apakah benar suamiku tukang main perempuan seperti yang dituturkan Dian.

Ya Allah, entahlah bagaimana hatiku jika ini benar. Tapi, kalau Dian berbohong, berani sekali dia mempermainkan nasib rumah tanggaku, rasanya nggak mungkin Dian setega itu padaku. Ah, sudahlah, lebih baik aku membuktikan langsung dengan menanyai para karyawanku itu.

"Lagi pada sibuk, ya?" tanyaku setenang mungkin, meski dalam hatiku tak karuan.

"Iya, nih Bu Bos, kita sibuk banget, dari tadi pesenan masuk terus," jawab Anita, salah satu karyawan packing.

"Pesanan membludak, Bu Bos," kata Dara sang admin yang bekerja di depan komputer.

"Stock pada abis, nih Bos," giliran Raya tukang catat stock bersuara.

"Alhamdulillah, tapi saya mau ngomong sebentar, tolong tinggalin kesibukan kalian dulu, ya!" pintaku pada mereka.

Semuanya nampak saling pandang, bertanya-tanya kira-kira ada apa?.

"Semuanya ada di sini, kan? Hari ini ada yang ijin, nggak?" tanyaku lagi sebelum mulai bicara.

"Berangkat semua kok, Bu," jawab beberapa orang serempak.

Aku memindai satu persatu, kuhitung genap sepuluh orang, termasuk Dian yang duduk bersandar di rak, berarti memang masuk semua.

"Oke, mungkin kalian bertanya-tanya, apa yang mau saya bicarakan? Kelihatannya serius sekali. Memang ini sangat serius, menyangkut masa depan keluarga saya, saya harap kalian dapat menolong saya! Tolong jawab jujur!"

Tambah penasaran saja mereka mendengar bicaraku yang sangat ambigu, baiklah aku akan bertanya secara blak-blakan sekalian, "Apakah di antara kalian ada yang pernah diajak suami saya bermain serong? "

Wajah-wajah terperanjat nampak sekali di depanku, kemudian saling pandang dan akhirnya menunduk. Pasti mereka semua paham 'kan dengan maksud pertanyaanku?

"Kalian ngomong aja, saya tidak akan marah!" bujukku penuh penekanan, rasa was-was menyelusup saat kunanti jawaban mereka.

"Nggak pernah, Bu," celetuk Aini mengawali teman-temannya menjawab.

"Kamu Anita?" tanyaku pada gadis yang paling duduk di depan.

Yang ditanya menggeleng, jawabnya sambil menunduk, "nggak pernah, Bu."

"Dara?" Aku berganti tanya pada gadis lainnya.

"Nggak, Bu," jawab Dara lirih, kepalanya juga menunduk.

"Sarah?"

"Nggak, Bu. " Lagi-lagi gadis yang kutanya tidak berani menatapku.

Kutanyai mereka satu persatu, dan jawaban semuanya sama. Ada sedikit lega di sudut hatiku, masih berharap kalau mereka semua jujur dan Mas Toro benar bukan lelaki brengsek pemain wanita. Namun, melihat mereka yang menjawab dengan menunduk, aku merasa ada yang mereka sembunyikan, ah sepertinya harapanku setipis tisu.

"Beneran nih, nggak ada yang dirayu suami saya?" tanyaku penuh penekanan.

Mereka hanya menunduk, tidak ada yang berani menatapku. Kutatap Dian yang nampak gelagapan, sepertinya dia merasa tersudut.

"Udah deh, guys, kalian jujur aja, Bu Bos juga udah tahu, kok!" teriak Dian tiba-tiba bangkit berdiri.

"Duduk, kamu, Di!" gertakku padanya.

"Tapi mereka semua itu bohong, Bu!" protes Dian kesal, kalau di depan karyawan dia memang memanggilku 'Bu' meski nanti jika berdua saja dia akan kembali memanggilku 'Mbak'.

"Benarkah apa yang dikatakan Dian, kalau kalian semua itu berbohong?" tanyaku kembali pada para perempuan itu.

"Saya nggak bohong, Bu," ujar Aini sambil mengangkat tangannya.

Kulihat sikapnya berani sekali, wajahnya juga nampak tenang dan datar saja. Sepertinya dia jujur.

"Wajarlah Bu, Aini kan masih baru, Pak Bos belum terlalu mengenalnya, coba itu Dara suruh jujur!" serobot Dian.

Masuk akal juga kata Dian, kulirik Dara yang masih menunduk aja sedari tadi. Apalagi Dara itu paling cantik di antara mereka semua.

" Dara," panggilku.

" I—ya, Bu," jawabnya takut-takut.

"Tolong kamu jujur sama saya, saya mohon dengan rendah hati, tolong katakan yang sebenarnya, Dara. Saya mohon!" pintaku memelas, apa pula yang membuat mereka tidak berani jujur padaku?

Saat Dara tak kunjung memberi jawaban, tiba-tiba Dian merebut ponsel teman yang ada di dekatnya, mengutak-atik sebentar, lalu berjalan mendekatiku.

"Kalau Bu Hasna nggak percaya, nih lihat sendiri!"

Kuraih ponsel yang ada disodorkan Dian. Nampak chat WA panjang terpampang, setelah kuteliti ternyata pengirimnya nomer suamiku. Isi chat itu sungguh meruntuhkan duniaku, dengan kata-kata dan janji manis suamiku merayu wanita lain. Terbukti sudah apa yang Dian katakan, ternyata suamiku beneran biaya darat.

"Apakah kalian semua juga menerima chat seperti ini?" tanyaku kemudian dengan suara bergetar.

"Iya, Bu," aku mereka serempak.

Astaghfirullah, berapa kira-kira wanita yang telah dirayu suamiku? Masih di sini aja sudah ada sepuluh orang, aku yakin di luar pasti lebih banyak wanita yang dirayunya.

"Kenapa tidak ada satupun dari kalian yang melapor pada saya?" Aku bertanya sambil menatap tajam wajah-wajah mereka yang ketakutan.

Semuanya diam, tidak ada yang berani menjawah. Suasana hening sesaat.

"Adakah yang tergiur dengan ajakan suami saya ini?" tanyaku lagi memecah kebisuan.

Semuanya menggeleng, dan ada yang menjawab lirih, " nggak, Bu."

"Kenapa? Bukankah tawaran suami saya sangat menggiurkan? Kalian bisa menggunakan ATM-nya dengan sesuka hati, yang pasti isinya nggak mungkin hanya sejuta dua juta, kalian bahkan tidak perlu capek-capek kerja sama saya, cukup jadi simpanan suami saya saja sudah bisa hidup enak," cecarku melampiaskan sesak di dada.

"Tapi itu nggak berkah, Bu," jawab Airin, lanjutnya lagi, "lagian masak kami tega sama Bu Hasna, Ibu sudah baik banget ngasih kerjaan kami yang nggak punya ijazah ini, juga sering membantu kalau kami kesusahan, kami bukan kacang lupa kulitnya, Bu."

Setetes air mata jatuh membasahi pipi, entah karena luka di hati ini atau karena terharu mendengar jawaban Airin yang juga sambil meneteskan air mata.

Kuusap pelan pipiku dengan ujung kerudung yang kupakai, "Syukurlah kalau kalian menganggap saya begitu, saya berterima kasih."

"Maaf Bu Hasna, tapi ...." kata Airin menggantung.

"Kenapa, Rin?"

"Ada satu dari kami yang mau menerima tawaran Pak Bos itu."

Pernyataan Airin yang terakhir berhasil membuat semua yang ada di ruangan itu saling memandang satu sama lain, bertanya-tanya siapa yang dimaksud gadis berjilbab merah itu.

"Dia siap, Rin?" tanyaku yang juga sangat penasaran dengan orang yang telah tega menghianatiku itu.

"Dian ...."

Hah? Ternyata Dian ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kusingkap Topeng Busuk Suamiku   Happy Ending

    Bab 41"Aku ... aku ...," Ana tergagap, tiba-tiba dia memegang tanganku dan memohon, "Tante, tolongin aku, Tante! Aku terpaksa melakukan ini, tapi aku takut."Wajah Ana hampir menangis. "Memangnya kamu ngapain, An?" tanyaku penasaran dan kasihan. "Aku butuh uang, Tante, Mama sakit—"Cerita Ana harus terpotong karena seorang lelaki paruh baya datang menghampiri, "Ayo ke atas, Dek! Om udah selesai check in, nih!"Ana nampak ketakutan menatap lelaki yang mengajaknya pergi itu. "Maaf, Anda ini siapa, ya? Apa maksud Anda mengajak gadis ini check in? Anda mau melakukan asusila pada anak di bawah umur?" Aku maju mencoba melindungi Ana. "Saya sudah membayar gadis ini untuk semalam penuh, jadi terserah mau saya apain!" Lelaki itu menarik Ana dengan kasar.Ana diseret lelaki itu sambil menatapku berharap aku akan menolongnya, aku maju akan mengejar, tapi Mas Dwingga menahanku, melarangku untuk ikut campur. "Tapi, Mas...," protesku yang tak tega melihat wajah sembab Ana. "Biar Mas yang m

  • Kusingkap Topeng Busuk Suamiku   Bab 40 apakah itu karma?

    Bab 40"Ini, lihat sendiri saja!" Aku menyodorkan sebuah alat yang nampak dua garis biru. "Kamu hamil?" tanyanya kegirangan. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, "Iya, Mas, ini buah cinta kita.""Terima kasih ya, Sayang. Mulai sekarang aku akan tambah rajin cari uang demi masa depan buah cinta kita ini!" Mas Dwingga mencium perutku berkali-kali sampai aku geli sendiri, lalu dia lari ngibrit ke kamar mandi. Aku mengeleng-gelengkan kepalaku melihat tingkah lakunya. Bisa aja si crazy rich itu, mau nggak kerja selama setahun pun hartanya nggak akan habis sampai tujuh turunan. Setelah menikah, aku dan anak-anak diboyong tinggal di istana Mas Dwingga, sebagai istri solihah tentu saja aku manut apa kata suami, tak lupa Bapak juga ikut tinggal di sini bersama kami. Mak Inah dan Santi tetap tinggal di rumah lama dan ditugaskan untuk merawarnya, sedang Siyam pulang kampung dan tidak kembali lagi karena telah menikah dengan kekasihnya di sana. Sekarang rumahku hanya digunakan untuk berjua

  • Kusingkap Topeng Busuk Suamiku   Bab 39 Dilamar Crazy rich

    Bab 39 "O ya, Hasna, saya mau ngomong sesuatu penting sama kamu.""Ya udah, ngomong aja!""Besok malam, apa kamu punya waktu luang?" "Ada, mau ngapain emang?""Besok, pukul tujuh malam saya jemput kamu sama Bapak kamu, aku datang kamu harus sudah siap!" perintahnya tanpa menerima penolakan. Aku hanya bisa mengiyakan dan menyimpan rasa penasaran pada omongan penting yang akan Mas Dwingga katakan, kenapa harus menunggu besok malam? Kenapa harus ngomong di luar? Kenapa nggak di rumah aja? Kenapa Bapak juga diajak? Memangnya mau ngomong apa, sih? Seharian Mas Dwingga menyiksaku dalam rasa penasaran. Hingga akhirnya, pukul tujuh malam yang dinanti telah tiba. Aku dan Bapak telah bersiap sesuai instruksi Mas Dwingga, begitu dia datang kami langsung masuk mobil, tentu saja Rio kuajak juga, kasihan kalau hanya ditinggal dengan para ART. Aku, Bapak, dan Rio naik mobil yang disopiri Mas Dwingga sendiri, sedang mobilku yang kemarin dikasih bos celana itu masih teronggok manis di halaman dep

  • Kusingkap Topeng Busuk Suamiku   Bab 38 Sultan Baik Hati Pencuri Hati

    Bab 38 Aku masuk ke dalam untuk menyembunyikan rona merah di pipi, juga mentralkan detak jantung yang tiba-tiba berdetak kencang. Baru juga digombali begituan, hatiku sudah jungkir balik tak karuan, apalagi kalau sudah sampai disahkan, eh. Daripada pikiranku berkelana ke mana-mana, mending aku membuat es sirup untuk para karyawanku, pasti mereka kelelahan setelah riwa-riwi mengangkuti lusinan celana ke dalam, apalagi cuaca panas gini, minum es sirup pasti segar. Aku membawa es sirup ke depan, kulihat tinggal Dian yang masih tertinggal membawa barang terakhir. "Sudah selesai, Di?" tanyaku pada Dian. "Ini yang terakhir, Mbak," jawabnya memperlihatkan barang yang dibawanya. "Habis ini ke sini lagi, ya, minum es sirup dulu! Ajak yang lain ke sini juga, o ya, jangan lupa suruh ambil gelas sendiri-sendiri di dapur, soalnya Mbak cuma bawa dua gelas aja ini" pesanku banyak-banyak. Dian mengiyakan sebelum menghilang ke dalam, tak lama kemudian keluar lagi bersama anak-anak l

  • Kusingkap Topeng Busuk Suamiku   Bab 37 Kehidupanku vs kehidupannya sekarang

    Bab 37"Udah, si, Mah, pulang aja, yuk!" ajak Dita melihat sambutan Wulan yang tidak ramah sama sekali. "Nanggung, Nak, udah sampai sini," bisikku menolak. Aku mengajak anak-anakku mendekati Wulan, "Nggak nyuruh kami masuk, gitu? Kami tamu, loh!"Wulan mencebik, "Kalian itu tamu tak diundang!"Aku benar-benar sakit hati, kenapa Wulan memperlakukan kami seperti ini? Aku tahu aku hanyalah mantan istri Mas Toro, tapi Dita dan Rio tetaplah darah dagingnya, tidak ada istilah mantan anak. Apa dia lupa saat dia masih menjadi mantan istri Mas Toro, aku memperlakukan Ana seperti anakku sendiri, bukan cuma masalah materi, aku juga menyayangi Ana setulus hati. "Udah, Ma, ayo pulang, Ma! Mama nggak denger tadi Tante Wulan bilang apa? Kita ke sini bukan mau mengemis, Ma!" Dita menarik tanganku mengajak segera pergi. Namun, saat kami akan pergi sebuah mobil memasuki halaman. Mas Toro turun setelah memarkirkan mobilnya. "Mau apa kalian ke sini?" tanya Mas Toro saat melihatku dan anak-anak. "Ma

  • Kusingkap Topeng Busuk Suamiku   Bab 36 Mengusir Benalu

    Bab 36Dwingga menghembuskan napas kasar. "Lala kenapa, Kek?" tanya sebuah suara yang membuat kami semua menoleh. "Lala!" seruku saat melihat gadis itu berdiri di di pintu rumahku. "Tante Zeni tinggal di sini karena Kakek takut dia bakal gangguin Lala?" tanya Lala lagi lebih perinci. Semua mata menatap Bapak, menanti orang tuaku itu bersuara. Bapak menghela napas berat sebelum menjawab, "Iya, La, Kakek takut kalau tantemu itu akan mengganggu kamu kalau dilarang tinggal di sini. Kamu pasti merindukan ibu kandungmu 'kan? Tante Zeni bilang akan memanfaatkan wajahnya yang sama persis dengan wajah ibumu untuk mempengaruhi kamu, Kakek takut kamu akan beneran terpengaruh.""Tapi Lala sudah besar, Kek. Lala tahu kalau Mama udah tiada, meski jujur Lala sangat merindukan Mama, tapi Lala nggak mau posisi Mama digantikan Tante Zeni, Lala tahu kok kelakuan Tante Zeni kayak apa, dia sering godain dan merayu Papa buat dijadikan istrinya, tapi Lala nggak setuju kalau punya Mama seperti Tante Zen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status