Share

Ambil alih perusahaan

Suatu hari dia pernah berjanji padaku. "Ra, sampai kapanpun aku akan menunggu kamu menerima diriku. Walaupun yang kamu nikahi nanti bukan aku, tapi aku percaya suatu saat kamu akan jadi milikku," kata Randy dulu. 

Aku bergidik mendengar ucapannya, Randy seperti meletakkan harapan yang besar padaku. Aku juga tak habis pikir dengan kenekatannya. 

"Randy, jika kamu menyukai wanita lain menikahlah dengannya. Jangan tunggu aku, kamu juga berhak bahagia," ucapku saat akan menikah dengan Mas Adam. 

Randy menjumpai diriku dan bertanya langsung, benarkah aku akan menikah? Aku mengangguk, terlihat guratan kecewa di wajahnya, aku tidak sampai hati tapi juga tak mungkin menuruti  keinginannya. 

Aku mencintai Mas Adam, pria sederhana yang berhasil memikat hatiku. Aku juga menaruh harapan pada Mas Adam agar bisa membahagiakanku, karena Papa juga tidak mudah memberi restunya pada kami. 

Aku menghela nafas mengingat kembali masa lalu, kini aku menerima hukumannya. Papa, maafkanlah anakmu yang dulu tidak mendengarkan perkataanmu, rumah tanggaku dengan Mas Adam sudah berakhir, batinku sedih. 

Aku menunduk, tak terasa bulir air keluar dari mataku. "Ra, ada apa kok kamu menangis?" tanya Randy terkejut. 

Aku lupa sedang bersama Randy, cepat mengelap air mataku. "Nggak apa-apa kok, Randy. Hanya teringat Papaku." 

"Ra, kalo kamu ada masalah ceritakan padaku. Aku sudah berjanji pada Papamu, akan menjaga dirimu. Papamu tau kalo aku mencintaimu, Ra," ucap Randy yang membuatku kaget. 

Aku menoleh ke arahnya dan menatap kedua netranya. "Benarkah itu Randy, Papaku tau semua tentang kita?" tanyaku ingin tau. 

Randy mengangguk, "Iya, Ra. Sebelum Papamu meninggal, pernah berpesan agar jika suatu saat terjadi sesuatu pada dirimu, aku akan menjaga dan melindungimu. Papamu belum sepenuhnya percaya pada Adam." 

"Kenapa baru sekarang kamu cerita, Randy?"  

"Karena aku tidak ingin merusak kebahagiaanmu, Ra. Saat kamu menikah dulu, dari jauh aku terus memandangimu. Hatiku remuk tapi aku juga nggak ingin menghalangi, kamu berhak bahagia bersama orang yang kamu cintai," desis Randy kecewa. 

"Maafkan aku Randy, sepertinya aku sudah mengecewakan almarhum Papa. Aku dan Mas Adam akan berpisah," ujarku terisak. 

Randy melongo kaget dan memberanikan diri memegang tanganku. "Kenapa, Ra. Apa yang telah terjadi?" 

Dengan wajah yang pilu, aku mencoba mendongak ke wajahnya. "Mas Adam telah menikah lagi, karena aku tak kunjung hamil. Dia tega menduakan aku, padahal kami baru dua tahun berumah tangga. Aku tidak kuat dan memilih pergi," tangisku akhirnya lepas. 

"Kurang ajar Adam. Berani sekali dia menyakitimu, aku akan membalasnya Ra!" kata Randy geram seraya mengepalkan tangannya. 

Aku menggeleng, mencegahnya untuk berbuat jauh. "Randy, jangan! Aku minta kamu jangan ikut campur. Biar aku yang akan memberinya pelajaran." 

"Tapi dengan apa, Ra? Kamu sendiri tidak akan sanggup," Randy mencemaskan diriku. 

"Apakah kamu lupa, bahwa perusahaan dan harta Papa masih atas namaku. Adam tidak punya sedikitpun hak di dalamnya," kataku mencoba meyakinkan Randy. 

Randy mengangguk kemudian tersenyum, dia senang mungkin harapannya akan memilikiku sudah di depan mata. "Aku akan bantu kamu, Ra. Percayalah, kamu tidak sendiri. Ada aku yang akan menemanimu." 

"Terima kasih, Randy. Jika tidak ada kamu, entah pada siapa aku akan mengadukan segala kesusahanku," ucapku tak sengaja menggenggam tangannya, namun aku segera menarik saat menyadari bahwa aku masih bersuami. 

"Maaf, tidak sengaja Randy," aku menunduk malu. 

"Nggak apa-apa kok, Ra. Aku malah senang kamu terus bisa menggenggam tanganku," bisiknya mesra di telingaku. 

"Sudah, ah. Nggak enak dilihat orang, ntar jadi fitnah. Ingat Randy, aku belum resmi bercerai dari Mas Adam," kataku judes. 

"Iya, Ra. Maaf, kita pulang yuk sudah siang. Aku mesti berangkat ke kantor lagi," ajak Randy seraya berdiri. 

"Aku juga akan ke kantor hari ini, ingin mengadakan rapat dan memberitahu seluruh staf kantor bahwa aku akan menjabat lagi menggantikan Mas Adam," ucapku semangat. 

"Mau berangkat bareng, nggak?" tawarnya. 

"Nggak dulu, nanti aja setelah surat perceraian itu resmi, kamu baru bisa mengajak aku kemanapun," ujarku menolak. 

Randy dan aku kemudian berpisah karena arah rumah kami berbeda. Begitu aku masuk ke dalam rumah, sarapan sudah siap terhidang di meja. Aku pun segera ke kamar mandi dan memakai baju kantor serta berdandan. Lalu turun ke lantai bawah bersiap untuk sarapan. 

"Bik Ira, saya pergi ke kantor dulu. Kalo ada apa-apa, telepon aja," kataku sembari pamitan dan memasuki mobil peninggalan almarhum Papa. 

"Iya, Non Rara. Hati-hati di jalan," balasnya sambil menutup pintu rumah. 

***** 

Mobil kuarahkan ke area parkir begitu memasuki gedung perkantoran. Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di kantor ini lagi. Dulu saat baru menikah setiap dua bulan sekali mengecek keadaan kantor tapi semenjak Mas Adam mengambil alih, sudah setahun aku tidak datang. Aku percayakan urusan kantor pada Mas Adam, tapi aku juga sering bertanya pada asisten Mas Adam. Jadi aku tetap tau perkembangannya.  

Aku langsung masuk ke pintu utama yang di sambut staf dengan keheranan. Apalagi melihat penampilanku yang tidak biasanya, ya aku memang sengaja berdandan ala kantoran. 

"Selamat pagi, Bu!" sapa staf karyawan begitu aku masuk. 

"Pagi juga," balasku tersenyum ramah. 

Lalu aku menuju ke resepsionis dan bertanya jadwal hari ini. Seperti biasa, semua lancar saja lalu aku memberi rekomendasi agar siang nanti semua staf berkumpul ke suatu ruangan. 

Mereka mengangguk walau rasa heran dan penasaran memenuhi benak, itu kulihat dari raut wajah mereka. Sengaja aku tidak menanggapinya. Lalu berjalan ke kantorku yang dulu dan sekarang di tempati Mas Adam. 

Asisten Mas Adam yang bernama Budi terlihat tergopoh-gopoh begitu melihatku datang. Aku juga tidak memberitahu siapapun tentang kedatanganku yang mendadak. 

"Bu, tumben hari ini datang? Apa ibu ada perlu dengan Pak Adam, beliau belum datang," katanya melapor. 

"Bagus jika dia belum datang, saya minta Pak Budi segera membereskan barang-barang Adam semua. Karena mulai hari ini saya yang akan mengambil alih," kataku memberi perintah pada pak Budi. 

Pak Budi hanya bisa melongo tak percaya, dari wajahnya terlihat tanda tanya. Namun, dia tak berani untuk memprotes. 

"Apa sebaiknya tidak menunggu Pak Adam dulu, Bu. Saya takut beliau marah!" gusar Pak Budi. 

"Apa kamu mau saya pecat? Sekarang juga kerjakan," setengah membentak aku memarahi pak Budi. 

Aku hampir saja kalap kalo tidak bisa mengontrol emosi. Mereka masih tidak tau bahwa perusahaan ini milik almarhum Papaku dan juga atas namaku. Mas Adam pasti telah mengklaim semua orang bahwa perusahaan ini miliknya. Aku tak bisa membiarkan ini terjadi. 

Lalu aku memanggil Pak Budi lagi. Dengan masih takut Pak Budi menghampiriku. "Ada apa, Bu? Mohon jangan pecat saya!" pintanya memelas. 

"Baik, asal kamu menurut pada saya. Setelah membersihkan kantor, tolong beritahu semua dewan dan staf untuk berkumpul di ruangan rapat. Saya mau mengadakan rapat mendadak," ujarku dengan tegas. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Harumi Aina
Pecat aja, Rara
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status