Tidak ada lagi nada protes dari seberang sana, Adam pasti sudah memutuskan sambungan. Mungkin saja dia shock setelah aku mengatakan akan melapor ke polisi terkait hutang yang dipinjamnya dengan menggadaikan perusahaan. Ah, masa' bodoh dengan keadaannya sekarang. Yang penting aku bisa menyelamatkan warisan dari almarhum papa. Usai menelepon, kuhembuskan sedikit napas lega. "Gimana, Ra?" tanya Tania. Aku baru ingat kalo Tania dan Randy masih di rumahku. Randy mendekat lalu duduk di sampingku dan menggenggam tanganku. "Jangan takut, kamu nggak sendiri. Ada Mas dan Tania yang akan membantumu." Senyuman dari Randy berhasil menenangkanku. Saat terpuruk seperti ini aku memang butuh sandaran. Untung saja aku punya sahabat yang pengertian seperti Tania dan Randy yang selalu ada buatku. **** Beberapa hari pasca pengusiran Adam, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Entah tinggal di mana mereka aku juga tidak mau tau. Sementara itu suasana berjalan lancar di perusahaan. Walaupun keadaan ten
Kasus itu terus bergulir ke meja hukum, pengacara Bimo menuntut perusahaanku untuk ganti rugi. Aku pun berkonsultasi pada Michael, pengacara yang ditunjuk Randy untuk membantuku. "Begini, sebenarnya Adam yang bertanggung jawab tapi karena saat itu Adam masih menjabat dan mengatasnamakan perusahaan. Mau nggak mau kamu juga harus ganti rugi, Ra!" Micahel menasehatiku menurut hukum yang berlaku. Untuk beberapa detik aku menimbang perkataan pengacaraku yang ada benarnya. Randy dan Tania memberi dukungan agar aku kuat. "Ra, ikhlaskan aja. Kamu juga tau, mana mungkin Adam bisa mengganti uang itu dengan keadaannya sekarang," saran Tania. Michael menunggu keputusanku, uang satu milyar itu tidak sedikit. Apalagi selama ini Adam banyak mengkorupsi uang perusahaan hingga yang tersisa di bank hanya sedikit. Randy yang tau aku galau pun menggenggam tanganku. "Kenapa, bicaralah!" "Aku mau mengganti tapi uang itu udah banyak dikorupsi Adam. Nggak cukup, Randy," jawabku sedih. "Pakai uangku, R
"Saya terima nikahnya Nilam Sari binti Gondo dengan mahar emas seberat sepuluh gram dibayar tunai!" "Bagaimana, sah?" tanya penghulu pada wali dan para saksi serta tamu undangan. "Sah!" timpal hadirin lalu mengucapkan hamdalah. "Alhamdulillah!" Terdengar ramai suara orang mengucapkan resminya pasangan itu menjadi suami istri. Sebagian dari mereka bersorak gembira karena lancarnya ijab qobul itu. Namun, tidak halnya dengan diriku. Aku terpekur sendiri di dalam kamar, hatiku merintih menahan sakit. Walaupun aku merestui tapi tetap saja ada semburat kesedihan hadir di pelupuk mataku. Aku menangis, meratapi kebodohan dan nasibku yang dimadu. Pasangan yang melangsungkan pernikahan itu adalah Mas Adam dengan sahabatku sendiri. Aku yang tak ingin percaya, tapi dipaksa untuk melihat kenyataan. Menyesal tentu saja dan yang aku rasakan kini sangat sakit tapi tidak berdarah. Nilam, wanita yang sudah kuanggap sahabat selama puluhan tahun tega menikamku dari belakang. Semua berawal dari ser
"Halo, Mas. Ada apa lagi?" "Ra, apa kamu yang bawa surat rumah dan perusahaan?" tanyanya cemas. "Tentu aja, itukan semua memang milikku. Aku tak sudi Nilam menikmati hasil kerja keras Papaku," jawabku ketus. "Kumohon, Ra. Kamu kembali ya! Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu," melas Mas Adam di ujung telepon sana. "Aku tidak mau, Mas. Hatiku sudah terlanjur sakit, kamu tidak memikirkan perasaanku saat menikahi Nilam. Padahal kita baru dua tahun Mas, itu masih sebentar. Tapi kamu dan ibumu sudah nggak sabar," keluhku menumpahkan semua kekesalan. "Mas juga terpaksa, Ra! Ibu terus aja mendesak, Mas nggak bisa berbuat apa-apa." "Jangan jadikan ibu sebagai alasanmu, Mas! Kamu bisa aja menolak, tapi kamu sendiri yang memang ingin menikah lagi 'kan!" kataku meradang. "Apalagi yang kamu nikahi adalah sahabatku sendiri, aku tak bisa menoleransi lagi." kataku sembari mematikan telepon, lalu merebahkan tubuh ke kasur. Huh, aku harus bersikap tegas pada Mas Adam. Jika dia bersikap
Suatu hari dia pernah berjanji padaku. "Ra, sampai kapanpun aku akan menunggu kamu menerima diriku. Walaupun yang kamu nikahi nanti bukan aku, tapi aku percaya suatu saat kamu akan jadi milikku," kata Randy dulu. Aku bergidik mendengar ucapannya, Randy seperti meletakkan harapan yang besar padaku. Aku juga tak habis pikir dengan kenekatannya. "Randy, jika kamu menyukai wanita lain menikahlah dengannya. Jangan tunggu aku, kamu juga berhak bahagia," ucapku saat akan menikah dengan Mas Adam. Randy menjumpai diriku dan bertanya langsung, benarkah aku akan menikah? Aku mengangguk, terlihat guratan kecewa di wajahnya, aku tidak sampai hati tapi juga tak mungkin menuruti keinginannya. Aku mencintai Mas Adam, pria sederhana yang berhasil memikat hatiku. Aku juga menaruh harapan pada Mas Adam agar bisa membahagiakanku, karena Papa juga tidak mudah memberi restunya pada kami. Aku menghela nafas mengingat kembali masa lalu, kini aku menerima hukumannya. Papa, maafkanlah anakmu yang dulu ti
Lalu aku memanggil Pak Budi lagi. Dengan masih takut Pak Budi menghampiriku. "Ada apa, Bu? Mohon jangan pecat saya!" pintanya melas. "Baik, asal kamu menurut pada saya. Setelah membersihkan kantor, tolong beritahu semua dewan dan staf untuk berkumpul di ruangan rapat. Saya mau mengadakan rapat mendadak," ujarku dengan tegas yang dibalas anggukannya. Akhirnya lega, sambil menunggu meja bersih aku duduk di sofa kantor. Tidak lama kemudian, Mas Adam masuk ke kantor dengan napas terengah-engah. Pasti dia sudah mendapat kabar dari staf di lantai bawah dan buru-buru naik ke atas. Ekspresinya begitu terkejut begitu melihat meja tempat biasa dia kerja sudah bersih dan barangnya sudah ditumpuk di kardus. Lalu menatapku dengan mata mendelik. "Ra, ini nggak mungkin 'kan? Kenapa kamu melakukan semua ini, apa maksudmu?" tanya Mas Adam mendekatiku. "Aku tak perlu menjawab Mas, aku kira kamu pasti tau maksudku. Ini semua konsekuensinya bila kamu menyakitiku," kataku masih sibuk menatap ponsel.
"Aku bisa memaafkan semua kesalahanmu, tapi tidak dengan pengkhianatan. Apa kamu itu bodoh atau nggak tau diri, Mas. Selama ini Papa dan aku sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Rumah Mas dibangun Papa menjadi megah, bahkan perusahaan ini pun dipercayakan Papa padamu. Namun, ini semua balasan yang kamu beri untukku? Dengan menikahi sahabatku sendiri dengan dalih ingin punya anak, kamu tega merampas kebahagiaanku." Akhirnya kata-kataku meledak di depannya. Biar Mas Adam tau, tidak bisa berbuat seenaknya. Agar dia ingat siapa dulu jati dirinya yang dari miskin menjadi kaya. "Tapi Mas terpaksa, Ra! Ibu mengancam akan pergi kalo Mas nggak mau menikahi Nilam, saat itu kenapa kamu menyetujui Mas menikah kalo akhirnya menyesal," sergah Mas Adam mulai emosi. "Aku hanya ingin menguji kamu, Mas. Ingin melihat sampai di mana kesetiaanmu padaku. Tapi, yang aku lihat justru kamu yang menyerah dan ingin menikah," ucapku membela diri. "Sudahlah, sekarang aku tak ingin mendengarkan apa-apa l
Mas Adam mematuhi perintah dan segera mengeluarkan sampah. Aku coba ikut memeriksa, lalu saat menggasak sampah aku mengambil kond*m tadi. Kuacungkan ke atas tepat di depan wajah Mas Adam."Ini apa, Mas?" kataku mendelik. Terlihat wajah Mas Adam pucat pasi. "Anu, Ra. Mas nggak tau itu ada di sana, mungkin punya orang lain yang sengaja terbuang ke situ," jawab Mas Adam gugup. "Kamu nggak bohong, Mas?" tanyaku dengan mimik kesal, masih saja dia mengelak. "Nggak, Mas nggak bohong, Ra!" Mas Adam mulai berkeringat. "Bagaimana mungkin punya orang, ini 'kan dulu kantormu Mas. Atau mungkin ini memang punya kamu, iya 'kan?" kataku setengah membentak. Mas Adam tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya. Mungkin malu kedoknya dulu ketahuan olehku. "Berdiri, Mas! Aku mau menunjukkan sesuatu, mungkin yang ini nggak bisa buat kamu berbohong lagi," kataku sambil beranjak ke meja dan membuka laptop. Sekilas kulihat Mas Adam bangkit dengan grogi dan berjalan pelan ke arahku. Setelah kubuka r