Lalu aku memanggil Pak Budi lagi. Dengan masih takut Pak Budi menghampiriku. "Ada apa, Bu? Mohon jangan pecat saya!" pintanya melas.
"Baik, asal kamu menurut pada saya. Setelah membersihkan kantor, tolong beritahu semua dewan dan staf untuk berkumpul di ruangan rapat. Saya mau mengadakan rapat mendadak," ujarku dengan tegas yang dibalas anggukannya. Akhirnya lega, sambil menunggu meja bersih aku duduk di sofa kantor. Tidak lama kemudian, Mas Adam masuk ke kantor dengan napas terengah-engah. Pasti dia sudah mendapat kabar dari staf di lantai bawah dan buru-buru naik ke atas. Ekspresinya begitu terkejut begitu melihat meja tempat biasa dia kerja sudah bersih dan barangnya sudah ditumpuk di kardus. Lalu menatapku dengan mata mendelik. "Ra, ini nggak mungkin 'kan? Kenapa kamu melakukan semua ini, apa maksudmu?" tanya Mas Adam mendekatiku. "Aku tak perlu menjawab Mas, aku kira kamu pasti tau maksudku. Ini semua konsekuensinya bila kamu menyakitiku," kataku masih sibuk menatap ponsel. "Kamu tidak bisa begitu dong, Ra. Tiba-tiba mengusirku, itu semua data dan proyek mesti minta tanda tangan persetujuan dariku," protes Mas Adam masih saja menyombongkan diri. Aku tertawa melihat sikapnya yang sok. "Jangan kamu kira aku nggak tau Mas. Apa kamu lupa, sebelum menikah denganmu jabatanku adalah direktur. Semua kolega yang bekerjasama di perusahaan ini aku mengenalnya. Bahkan aku lebih mengenal mereka daripada kamu, Mas," jawabku sinis. Mas Adam terduduk lesu di sofa, aku segera menjauhinya. Sekarang aku merasa jijik dekat dengan Mas Adam, walaupun status kami masih sah sebagai suami istri tapi aku sudah tidak ada rasa lagi padanya. "Sudah terima aja nasibmu, Mas. Seperti yang kalian lakukan padaku. Bahkan saat pernikahanmu, ibu juga berkata sama padaku. Kamu pikir hatiku tidak sakit, hah?" aku membentaknya. Mas Adam hanya diam mendengarkan, mungkin dia tak menyangka aku bisa sejahat ini. Perempuan manapun bila disakiti dia pasti akan berubah, seperti membangunkan singa yang tertidur. "Ra, Mas mohon kembalilah ke rumah. Mas masih mencintaimu dan tak ingin berpisah darimu," Mas Adam mulai mengeluarkan jurus rayunya. Aku menatapnya tajam, Mas Adam masih tak mengerti juga atau dia hanya berpura-pura. "Sudahlah, Mas. Nggak usah merayu, aku tak mau lagi kembali. Sekarang aku hanya ingin Mas segera menalakku," ucapku tegas. "Ra, sampai kapanpun Mas nggak akan menceraikanmu. Mas sudah janji pada almarhum Papamu," desis Mas Adam pelan. "Jangan bawa-bawa Papaku dalam hal ini, Mas. Kamu sendiri yang nggak ingat perjuangan kita saat ingin mengambilku dari Papa. Hingga Papa menyetujui kita menikah, tapi sekarang kamu bukan aja mengkhianatiku tapi juga mengkhianati Papa," kataku dengan nada tinggi. Saat sedang berdebat, terdengar pintu kantor di ketuk. "Masuk!" seruku dari dalam. "Maaf, Bu. Rapat akan segera dimulai, semua orang sudah menunggu," lapor Pak Budi, lalu saat pandangannya tertuju pada Mas Adam, Pak Budi menunduk takut. "Oke, saya akan segera ke sana. Ayo, Mas ikut aku. Kita akan selesaikan sekarang juga." Aku mengajak Mas Adam, tapi dia tetap tak bergeming dari duduknya. Aku meninggalkannya sendiri, mungkin dia butuh waktu berfikir. Biarkan saja, siapa suruh dia berbuat seenaknya tapi lupa daratan. Tiba di ruangan rapat, semua mata tertuju ke arahku. Banyak dari mereka yang berbisik dan merasa penasaran. Mereka berdiri menantiku memberi perintah. Aku menuju ke kursi utama dan duduk dan menatap mereka satu persatu kemudian menyuruh mereka semua duduk. "Silahkan duduk semua, maaf hari ini saya mengadakan rapat mendadak." Aku menanti Mas Adam karena dia tokoh utama di rapat ini. Dengan langkah gontai Mas Adam masuk, lalu duduk di kursi kosong sebelah kananku. Semua hadirin di ruangan itu melihat bos mereka dengan tanda tanya. "Pertama, saya mengucapkan terima kasih atas kehadirannya. Pada rapat ini saya mengumumkan bahwa saya akan mengambil alih perusahaan ini dan Pak Adam saya pecat dari jabatannya," kataku yang mengagetkan semua orang termasuk asisten Mas Adam. "Tapi kenapa, Bu? Pak Adam selama ini telah menjalani dengan baik perusahaan," protes seorang dewan. Itu pasti kaki tangan Mas Adam, karena semenjak Mas Adam yang memimpin, banyak staf lama yang dia pecat. Aku memandang tajam padanya. "Karena pak Adam tidak mematuhi aturan lama perusahaan ini. Perusahaan ini dibangun almarhum Papa saya yang berkomitmen setia terhadap pasangannya. Pak Adam telah mengkhianati rumah tangganya dengan menikah lagi," sengaja kutekankan agar yang lain tidak mengikuti jejaknya. Mas Adam melirikku agar aku tidak membongkar masalah rumah tangga pada seluruh anak buah. Dia menundukkan wajahnya karena malu. "Saya tau, sejak perusahaan dipimpin Adam banyak staf lama yang dipecat. Jadi, jika kalian masih patuh pada Adam silahkan mengundurkan diri dari sekarang," kataku tegas sambil menanti jawaban mereka. Terdengar suara kasak kusuk di belakang, pasti mereka banyak yang khawatir dan sebagian melirik Mas Adam. Namun, Mas Adam tak bisa memutuskan. "Bagaimana? Saya tunggu surat pengunduran kalian yang tidak mematuhi peraturan sampai sore ini." "Maaf, Bu. Saya mau tanya, adakah hak ibu memecat Pak Adam? Sedangkan jabatan tertinggi adalah beliau," tanya seorang dewan mengacungkan tangan. "Bagus, kamu bertanya yang memang akan saya beritahu. Saya memang mau kalian semua tau bahwa perusahaan ini adalah milik almarhum Papa saya. Sekarang perusahaan ini atas nama saya, jadi Adam tidak ada hak sedikitpun di dalamnya," kataku sambil mengangkat berkas surat bermaterai ke atas. "Jadi, selain Adam saya pecat dari jabatan. Juga dipecat sebagai suami saya, mulai sekarang perusahaan ini tidak terkait lagi dengan Adam. Rapat kita tutup," ucapku mengakhiri rapat. Semua dewan dan staf membubarkan diri, tinggal aku dengan Mas Adam yang masih duduk. Ada rasa kasihan terbesit tapi segera ku tepis karena aku ingin Mas Adam tau bahwa semua yang dia lakukan adalah karma untuk dirinya sendiri. ***** "Mas, sekarang sudah tidak ada lagi urusanmu di sini. Pergilah!" kataku beranjak berdiri. "Tunggu, Ra! Walaupun Mas dipecat, tapi mohon biarkan Mas tetap bekerja di sini," katanya mendongak menatapku. "Kamu mau kerja apa di sini, Mas? Satpam atau cleaning servis?" jawabku sinis. "Apa aja nggak masalah, Mas nggak mau ibu dan Nilam tau kalo Mas sudah dipecat," keluhnya. "Itu sih bukan urusanku, Mas. Kamu bisa bekerja di tempat lain," kataku dongkol. "Untuk sementara, Ra. Mas nggak ingin Nilam meninggalkan Mas seperti kamu mendadak pergi!" Mas Adam merengek. Baru kali inilah kulihat dia merengek, hanya demi Nilam. Selama ini dia tak pernah berbuat seperti itu, bahkan saat kami menikah akulah yang terus merengek pada Papa. Namun, inilah balasan Mas Adam atas pengorbananku selama ini. Aku membencinya sekarang, teramat benci malah. Aku sungguh wanita bodoh dulu, hanya karena cinta tidak bisa membedakan pria yang benar-benar bisa membahagiakan diriku. Aku merasa bersalah pada Papa, pasti beliau di sana akan sedih bila melihat rumah tangga anaknya hancur. "Ra!" panggil Mas Adam membuyarkan lamunanku. "Apa?" kataku ketus. "Kamu sudah berubah sekarang, tidak lembut lagi seperti dulu." Kulihat manik-manik matanya mulai mengembun. "Kamu yang buat aku seperti ini, Mas! Apakah kamu masih tidak sadar, atau kamu terus berpura-pura aja," kutatap tajam padanya. "Aku bisa memaafkan semua kesalahanmu, tapi tidak dengan pengkhianatan. Apa kamu itu bodoh atau nggak tau diri, Mas. Selama ini Papa dan aku sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Rumah Mas dibangun Papa menjadi megah, bahkan perusahaan ini pun dipercayakan Papa padamu. Namun, ini semua balasan yang kamu beri untukku? Dengan menikahi sahabatku sendiri dengan dalih ingin punya anak, kamu tega merampas kebahagiaanku." Akhirnya kata-kataku meledak di depannya."Aku bisa memaafkan semua kesalahanmu, tapi tidak dengan pengkhianatan. Apa kamu itu bodoh atau nggak tau diri, Mas. Selama ini Papa dan aku sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Rumah Mas dibangun Papa menjadi megah, bahkan perusahaan ini pun dipercayakan Papa padamu. Namun, ini semua balasan yang kamu beri untukku? Dengan menikahi sahabatku sendiri dengan dalih ingin punya anak, kamu tega merampas kebahagiaanku." Akhirnya kata-kataku meledak di depannya. Biar Mas Adam tau, tidak bisa berbuat seenaknya. Agar dia ingat siapa dulu jati dirinya yang dari miskin menjadi kaya. "Tapi Mas terpaksa, Ra! Ibu mengancam akan pergi kalo Mas nggak mau menikahi Nilam, saat itu kenapa kamu menyetujui Mas menikah kalo akhirnya menyesal," sergah Mas Adam mulai emosi. "Aku hanya ingin menguji kamu, Mas. Ingin melihat sampai di mana kesetiaanmu padaku. Tapi, yang aku lihat justru kamu yang menyerah dan ingin menikah," ucapku membela diri. "Sudahlah, sekarang aku tak ingin mendengarkan apa-apa l
Mas Adam mematuhi perintah dan segera mengeluarkan sampah. Aku coba ikut memeriksa, lalu saat menggasak sampah aku mengambil kond*m tadi. Kuacungkan ke atas tepat di depan wajah Mas Adam."Ini apa, Mas?" kataku mendelik. Terlihat wajah Mas Adam pucat pasi. "Anu, Ra. Mas nggak tau itu ada di sana, mungkin punya orang lain yang sengaja terbuang ke situ," jawab Mas Adam gugup. "Kamu nggak bohong, Mas?" tanyaku dengan mimik kesal, masih saja dia mengelak. "Nggak, Mas nggak bohong, Ra!" Mas Adam mulai berkeringat. "Bagaimana mungkin punya orang, ini 'kan dulu kantormu Mas. Atau mungkin ini memang punya kamu, iya 'kan?" kataku setengah membentak. Mas Adam tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya. Mungkin malu kedoknya dulu ketahuan olehku. "Berdiri, Mas! Aku mau menunjukkan sesuatu, mungkin yang ini nggak bisa buat kamu berbohong lagi," kataku sambil beranjak ke meja dan membuka laptop. Sekilas kulihat Mas Adam bangkit dengan grogi dan berjalan pelan ke arahku. Setelah kubuka r
Sesampainya di SPA langganan kami, Tania memasukkan mobil ke area parkir. Akhir pekan lumayan ramai juga, mungkin banyak yang sedang berlibur atau kerja setengah hari. Setelah memarkirkan mobilnya, Aku dan Tania segera keluar dan masuk ke dalam gedung. Kami disambut baik oleh karyawan spa, mereka sudah hafal pada kami karena termasuk langganan dengan kartu VIP. Baru saja mendaftar dan akan masuk ke ruangan dalam, terdengar cekikan tawa wanita di belakang kami. Mungkin juga baru datang, aku yang sudah tau dari suaranya segera menoleh, ternyata memang dia. Saat mataku dan matanya beradu pandang, dia merasa terkejut. Mungkin tidak menyangka akan bertemu di spa. Aku juga kecewa ketemu di saat yang tak tepat. "Eh, Rara. Tumben ketemu di sini, ngapain kamu? Mau cari kerjaan ya, ckckck ... Kasihan sekali kamu," sindir Nilam sembari tertawa dengan temannya. Ya dia Nilam, wanita yang sudah merebut Mas Adam dari tanganku. Aku geram melihatnya, seolah tanpa rasa bersalah, kini dia malah men
Sesampainya di perusahaan, saat akan masuk ke kantor langkahku dicegah Pak Budi. "Tunggu, Bu!" "Ada apa, Pak Budi?" tanyaku heran. "Di dalam masih ada Pak Adam dan Nilam, Bu. Mereka sudah lama di dalam, belum keluar-keluar," jawab Pak Budi gugup. "Bukankah saya udah pesan, kalo mereka berbuat mesum lagi Pak Budi bisa melarang," sahutku ketus. "Saya udah melarang, Bu! Tapi nggak diindahkan Pak Adam." "Oke, saya yang akan menyuruhnya keluar!" kataku sambil membuka ponsel. Ponselku tersambung ke CCTV kantor, hingga terlihat jelas apa yang mereka lakukan di kantor. Aku terperangah, mereka benar-benar keterlaluan, gumamku geram. Secepatnya kugedor pintu kantor. "Adam, keluar kamu dari kantorku. Keluar !" teriakku. Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Terlihat Adam yang berpenampilan kusut karena buru-buru, setelah dia keluar aku melayangkan tamparan di pipinya. Plak !! "Dasar laki-laki nggak tau diuntung! Masih aja berbuat mesum di kantor ini, pergi kamu dari sini dan jangan
Sampai di rumah, kuhempaskan tubuhku di sofa. Hari ini rasanya lelah sekali, setelah ribut di spa masih juga ribut di kantor. Namun, aku bisa puas karena bisa mengusir Adam dari perusahaan. Awalnya dia yang memohon padaku tapi dia juga yang membuka kepura-puraannya sendiri. Adam memang laki-laki tak tau diri, menyesal aku dulu tak mendengarkan Papa. Adam juga tidak mudah dihadapi, dia tidak mau begitu saja menceraikan diriku. Ditambah sekarang Nilam sudah menghasutnya, pasti mereka hanya akan memanfaatkan kekayaanku. Aku harus bergerak cepat sebelum mereka menyerang. Memijat kepalaku yang terasa pusing, aku di kejutkan suara ponsel. Terlihat di layar Tania memanggil, dengan malas aku segera mengangkatnya. "Halo!" "Halo, Ra. Kamu di mana?" tanya Tania. "Baru aja sampai rumah," jawabku. "Ra, apa Randy sudah menelepon? Dia ingin mengajak ____ " "Naik gunung 'kan!" potongku cepat. "Kamu udah tau, Ra. Lalu gimana, kamu mau 'kan?" tanya Tania berharap. "Aku belum tau, Nia. Akhir-a
Esoknya, cuaca yang cerah cocok untuk melakukan travel ke puncak. Aku yang baru siap sarapan dan memakai sepatu, terdengar suara klakson mobil di luar rumah. Melongok dari jendela, aku sudah tau pasti Tania. Anak itu memang sangat setia kawan. Setelah pamitan pada Bi Ira, keluar rumah menjinjing tas dan tenda. Tania segera turun dari mobil dan membantuku mengangkat perlengkapan camping. Melihat mobil cuma ada Tania aku heran. "Suamimu nggak ikut, Nia?" "Ikut, dia bersama Randy menunggu kita. Aku menjemputmu dulu, baru kita berangkat bersama," jelas Tania. Aku hanya manggut-manggut, setelah itu mobil melaju ke arah rumah Tania. Di situ kami berkumpul, baru kemudian bareng. Tak lama kami sampai di rumah Tania, lalu memasukkan mobil ke dalam garasi. "Kita berangkat naik mobil, Randy aja," kata Tania begitu tau aku hendak bertanya. Aku tau, mobil Randy besar pasti bisa menampung banyak barang. Mobil merek Pajero sport, milik Randy terparkir di luar pagar. Randy segera membantu begit
Randy dan suami Tania segera memasang tenda, aku dan Tania mencari ranting pohon untuk bahan bakar memasak. Saat menjelajahi hutan mencari kayu, aku terpisah dari Tania. Aku pun gugup, mana lagi sendiri. Kucoba mengingat jalan tapi tetap saja balik ke tempat semula. Aku mulai ketakutan dan saat lagi kebingungan kakiku terpeleset dan jatuh. Untunglah aku meraih akar pohon hingga tak terjatuh ke bawah. "Tolong .... Tolong aku!" teriakku. Aku tetap bertahan berpegangan pada akar pohon, sambil berteriak minta tolong. Namun, karena kecapekan dan banyak gerak akar pohon itu tak kuat menahan berat badanku. Krak !! Akhirnya akar pohon patah, aku terjatuh berguling-guling ke bawah dan saat menyampai dasar kakiku terkilir. "Aww," jeritku menahan sakit. "Tolong ... Tania, Randy ... Di mana kalian?" Aku menangis sambil melihat sekeliling. Aku coba mengambil ponselku di saku celana, syukurlah masih ada. Saat kuhidupkan sialnya tak ada sinyal hingga aku tak bisa menghubungi Tania. "Ya, Tuh
Esoknya saat membuka mata, hari sudah terang dan aku sudah berada di tenda. Melirik ke sana kemari, tapi cuma aku yang berada di tenda. Mencoba bangun untuk duduk, tapi terasa kakiku berat. Rupanya sudah dililit perban, pasti mereka yang mengobatinya. Tetiba aku ingat tadi malam saat jatuh, saat Randy menolongku dan menggendongku naik. Dan ya, kuingat juga ucapan sebelum tertidur itu. Astaga! Benarkah aku ucapkan itu di telinga Randy. Apa dia mendengar? Duh, malunya mau ditaruh di mana mukaku, aku bergumam sendiri. "Ra ... Kamu udah bangun!" panggil Tania tiba-tiba masuk tenda dan membuatku terkejut. "Sudah, kamu dari mana Nia?" "Di luar, masak buat sarapan kita semua," jawab Tania senyum-senyum. Yaelah, nih anak kenapa senyum-senyum. Apa senang melihatku kena musibah, seharusnya sedih malah senang, tak setia kawan nih memang. "Kenapa kamu senyum-senyum, teman celaka malah senang!" tanyaku heran. "Tentu saja aku sedih saat tadi malam nggak bisa menemukan kamu, kami suda