"Halo, Mas. Ada apa lagi?"
"Ra, apa kamu yang bawa surat rumah dan perusahaan?" tanyanya cemas. "Tentu aja, itukan semua memang milikku. Aku tak sudi Nilam menikmati hasil kerja keras Papaku," jawabku ketus. "Kumohon, Ra. Kamu kembali ya! Sampai kapanpun aku tidak akan menceraikanmu," melas Mas Adam di ujung telepon sana. "Aku tidak mau, Mas. Hatiku sudah terlanjur sakit, kamu tidak memikirkan perasaanku saat menikahi Nilam. Padahal kita baru dua tahun Mas, itu masih sebentar. Tapi kamu dan ibumu sudah nggak sabar," keluhku menumpahkan semua kekesalan. "Mas juga terpaksa, Ra! Ibu terus aja mendesak, Mas nggak bisa berbuat apa-apa." "Jangan jadikan ibu sebagai alasanmu, Mas! Kamu bisa aja menolak, tapi kamu sendiri yang memang ingin menikah lagi 'kan!" kataku meradang. "Apalagi yang kamu nikahi adalah sahabatku sendiri, aku tak bisa menoleransi lagi." kataku sembari mematikan telepon, lalu merebahkan tubuh ke kasur. Huh, aku harus bersikap tegas pada Mas Adam. Jika dia bersikap seenaknya, aku juga bisa. Untung saja sewaktu pergi dari rumah itu, surat berharga ini sempat kubawa. Mulai besok aku akan masuk kerja, ya aku tak bisa lagi membiarkan perusahaan dikuasai Mas Adam. Bagaimanapun, perusahaan itu adalah milik almarhum Papaku. Sebelum meninggal, Papa sudah mewariskan perusahaan itu untuk dikelola Mas Adam. Namun, perusahaan itu tetap atas namaku sesuai permintaan Papa. Ah, lega ternyata ada benarnya Papa berpikir untukku. Papa berbuat itu juga bukan tanpa alasan, karena aku anak satu-satunya. Jadi, Papa ingin aku punya kuasa jika terjadi sesuatu pada rumah tanggaku. Orang-orang tidak mengetahui bahwa perusahaan itu bukan milik Mas Adam. Aku yang meminta agar Mas Adam tidak memberitahu pada siapapun termasuk ibunya. Karena aku ingin menjaga image suamiku di mata orang. Namun, Mas Adam ternyata tidak setia. Karena desakan ingin punya anak telah melupakan komitmen yang kami bangun bersama. Jadi, jangan salahkan aku jika membuat Mas Adam kembali seperti dulu. Aku menghela nafas, teringat masa lalu. Saat itu aku yang sedang menjabat sebagai Manager di perusahaan Papa, melihat pemuda yang sedang magang. Terlihat pemuda itu sungguh cakap menjalankan tugasnya. Dia juga pemuda yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Karena itulah hatiku kepincut padanya. Mencoba untuk berkenalan dan akhirnya kami dekat. Papa yang awalnya tidak setuju hubungan kami, terpaksa merestui. "Pa, please! Rara mohon, izinkanlah hubungan kami ya!" pintaku melas saat itu. Papa menghela nafas, lalu memegang tanganku dan menatapku dalam. "Ra, apa kamu yakin dia bisa membahagiakanmu? Kamu anak satu-satunya bagi Papa, ingin kamu hidup layak dan bahagia. Tapi bukan dengan dia." "Rara, yakin Pa. Mas Adam orang yang baik, dia berbakti pada ibunya, pasti juga akan menyayangiku," jawabku meyakinkan Papa. "Ya, sudahlah kalo memang kamu yakin Papa beri dia waktu setahun. Kalo kinerjanya bagus di sini, Papa akan menyetujui hubungan kalian," ucap Papa menyerah. "Nah, gitu dong. Rara sangat sayang pada Papa," ujarku memeluknya. Aku hidup berdua dengan Papa, karena Mama sudah meninggal dua tahun yang lalu. Saat kutanya mengapa Papa tak menikah lagi, jawabannya sungguh membuatku terharu. "Papa sangat mencintai mama kamu, Ra. Papa belum mendapat ganti sebaik dan secantik dirinya. Papa juga merasa umur Papa tidak panjang lagi, jadi Papa ingin bersatu dengan Mama kamu lagi di surga." Aku meneteskan air mata mendengar isi hati Papa, begitu dalam Papa mencintai Mama hingga beliau tidak berminat mengganti Mama buatku. Ah, aku juga ingin mempunyai suami kelak seperti Papa, kuharap Mas Adam bisa sepertinya. ****Sayup-sayup kudengar alunan adzan berkumandang merdu, ternyata aku ketiduran. Melirik jam dinding, ternyata sudah pukul 05.00 wib. Waktunya shalat Subuh.
Bergegas beringsut dan bangkit menuju kamar mandi. Pagi-pagi terasa segar wajah tersentuh air, juga menghilangkan kantuk. Seperti biasa saat subuh aku selalu mandi, agar saat shalat tubuh dan pikiran fresh. Selesai menjalankan ibadah lima waktu, aku segera turun ke lantai bawah. Terlihat Bi Ira sedang sibuk membuat sarapan. Bi Ira, art yang sudah bekerja semenjak almarhumah Mama masih hidup. Ya, kini aku berada di rumah orang tuaku dulu. Selama menikah aku memang tinggal di rumah Mas Adam. Rumah yang dulu sederhana, disulap Mas Adam jadi megah, itupun dengan bantuan Papa. Walaupun tak semegah rumah Papa, tapi cukup membuat bangga dan nyaman. Terlebih ibu Mas Adam, sejak rumah menjadi mewah sikapnya berubah dan mulai suka menyombongkan diri pada siapapun. Dipikirnya bahwa semua itu hasil kerja keras Adam, karena telah bekerja di perusahaan. Saat melihatku turun, Bi Ira tersenyum. "Oh, Non Rara udah bangun rupanya. Apa mau sarapan sekarang?" tanya art itu padaku. "Sebentar lagi, Bi! Saya mau berolahraga dulu," jawabku sembari memakai sepatu. Aku keluar rumah dan berlari kecil di sekitar kompleks perumahan. Banyak juga yang berolahraga di pagi hari, beberapa tetangga yang melihatku merasa kaget. Karena aku jarang sekali pulang sejak menikah, aku tersenyum pada mereka. Lagi asyik berlari kecil dan tidak fokus, tiba-tiba.... Braakk!"Aawww!" pekikku kaget dan terjatuh. Saat mengibas kakiku yang kotor terlihat tangan terulur ke bawah. Ketika mendongak kepala ke atas, seraut wajah tampan tersenyum padaku. "Randy?""Apa kabar, Ra?" tanya Randy sembari membantuku berdiri.
"Alhamdulillah, baik. Tumben sepagi ini ketemu kamu di sini?" "Seharusnya aku yang tanya seperti itu, sudah lama kamu di sini, Ra?" Randy masih menatapku dalam. Aku memalingkan wajah, karena tak suka ditatap seperti itu. Tatapan yang sama saat dulu dia mengharap aku mau menerima cintanya. "Tidak, baru semalam aku pulang. Yuk kita duduk di bangku itu," ajakku sambil menuju ke bangku di taman. Randy mengikuti dari samping, senyum terus menghiasi bibirnya. Sepertinya dia sangat senang bertemu denganku. "Kamu, kok sendiri Ra. Suamimu mana?" tanyanya begitu kami sudah duduk. Aku menggeleng, antara ragu ingin menceritakan semuanya. Namun, aku cuma diam dan menatap kosong ke depan. "Ra, kenapa diam? Apakah ada masalah dengan suamimu?" "Nggak apa-apa kok, cuma aku kangen dengan almarhum Papa. Jadi beberapa hari ini aku tinggal di sini," jawabku berbohong. Lagi-lagi Randy menatapku dalam, menelisik kebenaran dari ucapanku. Untuk menutupi kebohongan, terpaksa aku mengalihkan pembicaraan. "Kenapa terus menatapku? Apa kamu tidak bosan?" senyumku mengembang. "Memandangmu, walau selalu. Tak akan pernah beri jemu di hatiku," kata Randy sambil bernyanyi dan menggoyangkan badannya. "Apaan sih, kenapa malah nyanyi dangdut," kekehku menahan geli. "Nah, gitu dong. Kamu cantik bila tertawa, Ra. Sekarang kamu sudah bisa senang 'kan, kamu jelek kalo cemberut," goda Randy usil. Randy, orangnya memang suka melucu. Cepat akrab pada siapapun, dia juga baik dan suka menolong. Akan tetapi, perasaanku hanya menganggapnya sebagai teman. Randy adalah anak dari teman Papa. Dulu kami berkenalan saat di kantor mengadakan acara, aku dikenalkan oleh Papa. Randy datang bersama ayahnya waktu itu, yang juga bekerjasama dengan perusahaan Papa. Sebelum aku mengenal Mas Adam, aku sudah dekat dengan Randy. Namun, aku hanya anggap sebatas teman tidak lebih. Pernah juga Randy mengutarakan isi hatinya, tapi aku menolak secara halus. Dia begitu gigih dan tak pernah putus asa cintanya aku tolak.Suatu hari Randy pernah berjanji padaku. "Ra, sampai kapanpun aku akan menunggu kamu menerima diriku. Walaupun yang kamu nikahi nanti bukan aku, tapi aku percaya suatu saat kamu akan jadi milikku," kata Randy dulu.
Suatu hari dia pernah berjanji padaku. "Ra, sampai kapanpun aku akan menunggu kamu menerima diriku. Walaupun yang kamu nikahi nanti bukan aku, tapi aku percaya suatu saat kamu akan jadi milikku," kata Randy dulu. Aku bergidik mendengar ucapannya, Randy seperti meletakkan harapan yang besar padaku. Aku juga tak habis pikir dengan kenekatannya. "Randy, jika kamu menyukai wanita lain menikahlah dengannya. Jangan tunggu aku, kamu juga berhak bahagia," ucapku saat akan menikah dengan Mas Adam. Randy menjumpai diriku dan bertanya langsung, benarkah aku akan menikah? Aku mengangguk, terlihat guratan kecewa di wajahnya, aku tidak sampai hati tapi juga tak mungkin menuruti keinginannya. Aku mencintai Mas Adam, pria sederhana yang berhasil memikat hatiku. Aku juga menaruh harapan pada Mas Adam agar bisa membahagiakanku, karena Papa juga tidak mudah memberi restunya pada kami. Aku menghela nafas mengingat kembali masa lalu, kini aku menerima hukumannya. Papa, maafkanlah anakmu yang dulu ti
Lalu aku memanggil Pak Budi lagi. Dengan masih takut Pak Budi menghampiriku. "Ada apa, Bu? Mohon jangan pecat saya!" pintanya melas. "Baik, asal kamu menurut pada saya. Setelah membersihkan kantor, tolong beritahu semua dewan dan staf untuk berkumpul di ruangan rapat. Saya mau mengadakan rapat mendadak," ujarku dengan tegas yang dibalas anggukannya. Akhirnya lega, sambil menunggu meja bersih aku duduk di sofa kantor. Tidak lama kemudian, Mas Adam masuk ke kantor dengan napas terengah-engah. Pasti dia sudah mendapat kabar dari staf di lantai bawah dan buru-buru naik ke atas. Ekspresinya begitu terkejut begitu melihat meja tempat biasa dia kerja sudah bersih dan barangnya sudah ditumpuk di kardus. Lalu menatapku dengan mata mendelik. "Ra, ini nggak mungkin 'kan? Kenapa kamu melakukan semua ini, apa maksudmu?" tanya Mas Adam mendekatiku. "Aku tak perlu menjawab Mas, aku kira kamu pasti tau maksudku. Ini semua konsekuensinya bila kamu menyakitiku," kataku masih sibuk menatap ponsel.
"Aku bisa memaafkan semua kesalahanmu, tapi tidak dengan pengkhianatan. Apa kamu itu bodoh atau nggak tau diri, Mas. Selama ini Papa dan aku sudah banyak berkorban untuk keluargamu. Rumah Mas dibangun Papa menjadi megah, bahkan perusahaan ini pun dipercayakan Papa padamu. Namun, ini semua balasan yang kamu beri untukku? Dengan menikahi sahabatku sendiri dengan dalih ingin punya anak, kamu tega merampas kebahagiaanku." Akhirnya kata-kataku meledak di depannya. Biar Mas Adam tau, tidak bisa berbuat seenaknya. Agar dia ingat siapa dulu jati dirinya yang dari miskin menjadi kaya. "Tapi Mas terpaksa, Ra! Ibu mengancam akan pergi kalo Mas nggak mau menikahi Nilam, saat itu kenapa kamu menyetujui Mas menikah kalo akhirnya menyesal," sergah Mas Adam mulai emosi. "Aku hanya ingin menguji kamu, Mas. Ingin melihat sampai di mana kesetiaanmu padaku. Tapi, yang aku lihat justru kamu yang menyerah dan ingin menikah," ucapku membela diri. "Sudahlah, sekarang aku tak ingin mendengarkan apa-apa l
Mas Adam mematuhi perintah dan segera mengeluarkan sampah. Aku coba ikut memeriksa, lalu saat menggasak sampah aku mengambil kond*m tadi. Kuacungkan ke atas tepat di depan wajah Mas Adam."Ini apa, Mas?" kataku mendelik. Terlihat wajah Mas Adam pucat pasi. "Anu, Ra. Mas nggak tau itu ada di sana, mungkin punya orang lain yang sengaja terbuang ke situ," jawab Mas Adam gugup. "Kamu nggak bohong, Mas?" tanyaku dengan mimik kesal, masih saja dia mengelak. "Nggak, Mas nggak bohong, Ra!" Mas Adam mulai berkeringat. "Bagaimana mungkin punya orang, ini 'kan dulu kantormu Mas. Atau mungkin ini memang punya kamu, iya 'kan?" kataku setengah membentak. Mas Adam tidak menjawab, dia hanya menundukkan wajahnya. Mungkin malu kedoknya dulu ketahuan olehku. "Berdiri, Mas! Aku mau menunjukkan sesuatu, mungkin yang ini nggak bisa buat kamu berbohong lagi," kataku sambil beranjak ke meja dan membuka laptop. Sekilas kulihat Mas Adam bangkit dengan grogi dan berjalan pelan ke arahku. Setelah kubuka r
Sesampainya di SPA langganan kami, Tania memasukkan mobil ke area parkir. Akhir pekan lumayan ramai juga, mungkin banyak yang sedang berlibur atau kerja setengah hari. Setelah memarkirkan mobilnya, Aku dan Tania segera keluar dan masuk ke dalam gedung. Kami disambut baik oleh karyawan spa, mereka sudah hafal pada kami karena termasuk langganan dengan kartu VIP. Baru saja mendaftar dan akan masuk ke ruangan dalam, terdengar cekikan tawa wanita di belakang kami. Mungkin juga baru datang, aku yang sudah tau dari suaranya segera menoleh, ternyata memang dia. Saat mataku dan matanya beradu pandang, dia merasa terkejut. Mungkin tidak menyangka akan bertemu di spa. Aku juga kecewa ketemu di saat yang tak tepat. "Eh, Rara. Tumben ketemu di sini, ngapain kamu? Mau cari kerjaan ya, ckckck ... Kasihan sekali kamu," sindir Nilam sembari tertawa dengan temannya. Ya dia Nilam, wanita yang sudah merebut Mas Adam dari tanganku. Aku geram melihatnya, seolah tanpa rasa bersalah, kini dia malah men
Sesampainya di perusahaan, saat akan masuk ke kantor langkahku dicegah Pak Budi. "Tunggu, Bu!" "Ada apa, Pak Budi?" tanyaku heran. "Di dalam masih ada Pak Adam dan Nilam, Bu. Mereka sudah lama di dalam, belum keluar-keluar," jawab Pak Budi gugup. "Bukankah saya udah pesan, kalo mereka berbuat mesum lagi Pak Budi bisa melarang," sahutku ketus. "Saya udah melarang, Bu! Tapi nggak diindahkan Pak Adam." "Oke, saya yang akan menyuruhnya keluar!" kataku sambil membuka ponsel. Ponselku tersambung ke CCTV kantor, hingga terlihat jelas apa yang mereka lakukan di kantor. Aku terperangah, mereka benar-benar keterlaluan, gumamku geram. Secepatnya kugedor pintu kantor. "Adam, keluar kamu dari kantorku. Keluar !" teriakku. Tidak lama terdengar suara pintu terbuka. Terlihat Adam yang berpenampilan kusut karena buru-buru, setelah dia keluar aku melayangkan tamparan di pipinya. Plak !! "Dasar laki-laki nggak tau diuntung! Masih aja berbuat mesum di kantor ini, pergi kamu dari sini dan jangan
Sampai di rumah, kuhempaskan tubuhku di sofa. Hari ini rasanya lelah sekali, setelah ribut di spa masih juga ribut di kantor. Namun, aku bisa puas karena bisa mengusir Adam dari perusahaan. Awalnya dia yang memohon padaku tapi dia juga yang membuka kepura-puraannya sendiri. Adam memang laki-laki tak tau diri, menyesal aku dulu tak mendengarkan Papa. Adam juga tidak mudah dihadapi, dia tidak mau begitu saja menceraikan diriku. Ditambah sekarang Nilam sudah menghasutnya, pasti mereka hanya akan memanfaatkan kekayaanku. Aku harus bergerak cepat sebelum mereka menyerang. Memijat kepalaku yang terasa pusing, aku di kejutkan suara ponsel. Terlihat di layar Tania memanggil, dengan malas aku segera mengangkatnya. "Halo!" "Halo, Ra. Kamu di mana?" tanya Tania. "Baru aja sampai rumah," jawabku. "Ra, apa Randy sudah menelepon? Dia ingin mengajak ____ " "Naik gunung 'kan!" potongku cepat. "Kamu udah tau, Ra. Lalu gimana, kamu mau 'kan?" tanya Tania berharap. "Aku belum tau, Nia. Akhir-a
Esoknya, cuaca yang cerah cocok untuk melakukan travel ke puncak. Aku yang baru siap sarapan dan memakai sepatu, terdengar suara klakson mobil di luar rumah. Melongok dari jendela, aku sudah tau pasti Tania. Anak itu memang sangat setia kawan. Setelah pamitan pada Bi Ira, keluar rumah menjinjing tas dan tenda. Tania segera turun dari mobil dan membantuku mengangkat perlengkapan camping. Melihat mobil cuma ada Tania aku heran. "Suamimu nggak ikut, Nia?" "Ikut, dia bersama Randy menunggu kita. Aku menjemputmu dulu, baru kita berangkat bersama," jelas Tania. Aku hanya manggut-manggut, setelah itu mobil melaju ke arah rumah Tania. Di situ kami berkumpul, baru kemudian bareng. Tak lama kami sampai di rumah Tania, lalu memasukkan mobil ke dalam garasi. "Kita berangkat naik mobil, Randy aja," kata Tania begitu tau aku hendak bertanya. Aku tau, mobil Randy besar pasti bisa menampung banyak barang. Mobil merek Pajero sport, milik Randy terparkir di luar pagar. Randy segera membantu begit