Share

Kutinggalkan Suami yang Mendua
Kutinggalkan Suami yang Mendua
Penulis: Rini Annisa

Memilih pergi

"Saya terima nikahnya Nilam Sari binti Gondo dengan mahar emas seberat sepuluh gram dibayar tunai!" 

"Bagaimana, sah?" tanya penghulu pada wali dan para saksi serta tamu undangan. 

"Sah!" timpal hadirin lalu mengucapkan hamdalah. "Alhamdulillah!" 

Terdengar ramai suara orang mengucapkan resminya pasangan itu menjadi suami istri. Sebagian dari mereka bersorak gembira karena lancarnya ijab qobul itu. Namun, tidak halnya dengan diriku. Aku terpekur sendiri di dalam kamar, hatiku merintih menahan sakit. 

Walaupun aku merestui tapi tetap saja ada semburat kesedihan hadir di pelupuk mataku. Aku menangis, meratapi kebodohan dan nasibku yang dimadu.  

Pasangan yang melangsungkan pernikahan itu adalah Mas Adam dengan sahabatku sendiri. Aku yang tak ingin percaya, tapi dipaksa untuk melihat kenyataan. Menyesal tentu saja dan yang aku rasakan kini sangat sakit tapi tidak berdarah. 

Nilam, wanita yang sudah kuanggap sahabat selama puluhan tahun tega menikamku dari belakang. Semua berawal dari seringnya aku curhat tentang masalah rumah tangga kepadanya. 

Tentang aku yang belum punya keturunan dan tentang Mas Adam yang sudah mulai bosan. Aku hanya ingin mendapat solusi dan menghilangkan kepenatan hatiku. Satu-satunya tempat yang selalu kucari saat aku butuh teman curhat adalah Nilam. 

Siapa yang menyangka bila diam-diam Nilam merebut Mas Adam dariku. Aku yang sudah menaruh kepercayaan padanya, tapi kini aku sudah tak ingin lagi melihatnya, benci sungguh benci. 

"Ra, kenapa di dalam saja? Apa kamu nggak mau ngucapin selamat pada suamimu," kata ibu mertuaku tiba-tiba masuk ke kamar. 

Cepat kuhapus sisa air mata, tak ingin terlihat cengeng di depan ibu. Aku menoleh kemudian bangkit akan keluar. 

"Ingat, Ra jangan pasang wajah masam. Kamu harus ikhlas, semua demi rumah tangga kalian juga," ucap ibu mewanti-wanti. 

Aku cuma mengangguk pelan, dengan senyum yang dipaksakan keluar dari kamar. Terlihat Mas Adam dan Nilam menyalami para tamu, kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Seketika hatiku terenyuh, teringat masa dulu saat menikah. 

Ibu yang berjalan di belakang segera menarik tanganku, agar mendekat. Mas Adam yang melihatku berjalan ke arahnya tersenyum, kulirik Nilam yang juga tau dengan kedatanganku kemudian merangkul mesra Mas Adam. Ingin membuatku cemburu dan itu berhasil. 

Kuulurkan tangan pada Mas Adam, tetapi Nilam yang segera menyambut uluran tanganku. "Selamat ya Mas dan Nilam atas pernikahan kalian, semoga kalian ...."

Tenggorokanku tercekat tak bisa meneruskan ucapan dan berlari ke kamar. Air mata tumpah ruah, lalu membenamkan wajahku ke dalam bantal, terisak. Aku tak ingin para tamu mendengar tangisanku. 

"Ra, nggak usah nangis! Terima saja nasibmu, siapa suruh kamu nggak hamil. Lelaki manapun pasti sudah bosan melihat istri yang tak kunjung memberinya keturunan," sentak ibu kasar. 

Rupanya ibu terus mengikuti sampai ke kamar. Aku terduduk lesu dan mengelap air mataku. 

"Tapi kami baru dua tahun, Bu! Jalan kami masih panjang, kami masih bisa berusaha dan berobat," kataku membela diri. 

"Selama dua tahun kalian berobat, mana hasilnya coba? Yang ada hanya membuang-buang uang dan waktu.  Adam terus jadi bahan tertawaan orang," jawab ibu ketus. 

Aku terdiam, memang selama dua tahun ini kami berobat. Tapi semua juga bukan salahku, dokter bilang kami sama-sama sehat dan tidak bermasalah. Mungkin belum waktunya saja Allah memberikan keturunan buat kami.  

"Sudah, nggak usah cengeng lagi. Adam sudah menikah jadi akurlah dengan Nilam. Kalo kamu nggak terima, kamu bisa pergi dari sini!" ancam ibu yang membuatku terkejut. 

Ibu segera keluar kamar, di luar masih ramai tamu memberi ucapan selamat. Aku hanya bisa memandangi tamu dari balik jendela kamar. 

Samar-samar aku mendengar ada tamu yang bergosip. "Lihat itu, si Adam nikah lagi. Kasihan Rara ya, padahal baru dua tahun sudah dimadu." 

"Ngapain kasihan, salah sendiri kenapa nggak hamil juga. Semua laki-laki pasti pengen punya anak, apalagi Bu Ratna itu sudah tak sabar menggendong cucu katanya."

"Tapi nggak gitu juga kali, siapa tau memang belum diberi keturunan. Kita lihat saja nanti, siapa yang duluan hamil," timpal ibu-ibu yang lain makin seru. 

Hatiku perih menjadi bahan pembicaraan orang, mereka membuat kami seperti bertanding. Alih-alih mendoakan serta kasihan, mereka malah menanti siapa yang duluan hamil diantara aku dan Nilam. 

Aku mengusap sisa air mata, tidak ada gunanya terus menangis. Aku harus pikirkan rencana, tak bisa terus seperti ini. Tiba-tiba mataku tertuju pada  koper di atas lemari dengan mendorong kursi kecil dan menaikinya segera menurunkan wadah tempat pakaian itu. 

Gegas membuka lemari dan memasukkan semua bajuku ke koper, berikut surat penting lainnya. Tentunya atas namaku, aku tak ingin surat berharga itu jatuh ke tangan Nilam. Dia tidak berhak sedikitpun atas harta yang telah kudapatkan selama ini. 

Saat tamu mulai sepi, aku segera keluar kamar. Mas Adam, Nilam serta ibu terkejut melihatku keluar menyeret koper. 

"Ra, mau kemana kamu. Masuk!" perintah ibu mendelik. 

Aku tak menggubris ibu dan terus berjalan, menghampiri Mas Adam. Setelah dekat, aku berkata lirih padanya. 

"Mas, aku pamit. Semoga kalian bahagia," ucapku tersenyum. 

"Ra, mau pergi kemana? Kamu masih sah menjadi istriku," sahut Mas Adam. 

"Biarkan dia pergi Mas, kini kamu hanya milikku seorang," cegah Nilam mencekal tangan Mas Adam. 

"Aku tunggu surat perceraian dari kamu secepatnya, Mas!" kataku lantang sedikit teriak karena sudah berjalan agak jauh dari pelaminan. 

Para tamu banyak yang terbengong melihatku, mereka tak menyangka aku pergi saat Mas Adam tengah berbahagia dengan istri keduanya.  Namun, aku puas tak perlu lagi mendengar gosip orang. Tak perlu lagi merasa sakit berbagi suami. 

Apalagi semua aset telah aman dan kubawa pergi. Pasti setelah siap acara nikahan Mas Adam kelimpungan, dia tidak sadar bahwa semua harta serta rumah dan perusahaan yang diembannya adalah milikku. Warisan peninggalan almarhum Papa yang diamanatkan padaku. 

Mas Adam hanyalah lelaki yang menumpang hidup padaku. Dulu aku begitu percaya padanya tapi hari ini aku sudah melihat jelas balasan darinya. Hanya karena aku tidak kunjung hamil dia tega menduakanku bahkan tidak tanggung-tanggung yang dinikahi adalah sahabatku sendiri. 

Setelah aku pergi dari rumah yang sudah banyak  kenangan bersama Mas Adam itu, tidak berapa lama sayup-sayup seperti mendengar teriakannya dari jauh. "Rara ...." 

"Mampus kamu, Mas!" tawaku lepas. 

Sementara aku terkekeh di rumah mewah Papaku, membayangkan Mas Adam kalang kabut mencari surat berharga yang kubawa. Rasakan kamu Mas, menikah tanpa berpikir ulang. 

Kamu pikir Nilam akan terus menempel kalo kamu tak punya apapun. Semua itu adalah sandiwara Nilam saja, untuk menikmati fasilitas kemewahan Mas Adam. 

Aku memang curhat pada Nilam tentang keturunan dan Mas Adam. Tapi Nilam tak pernah tau bahwa semua fasilitas mewah itu adalah milikku. 

Pengkhianatan Nilam juga telah memberi aku pelajaran, bahwa sahabat sendiripun bisa menjadi pelakor, menjadi perusak rumah tangga. Untung saja Allah berbaik hati padaku, membuka kedok Nilam. 

Drrrttt ... drrrttt .... 

Ponselku berdering, terlihat di layar Mas Adam memanggil. Segera kuangkat karena ingin tau reaksinya. 

"Halo, Mas. Ada apa lagi?" 

"Ra, apa kamu yang bawa surat rumah dan perusahaan?" tanyanya cemas. 

    

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Harumi Aina
Bagus, tinggalkan aja laki seperti itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status