Lima tahun kemudian.
----- "Halo ibuk, ada apa telfon?" Tanya Nadia kepada ibu dengan suara lirih. "Ayahmu nduk, ayahmu....hiks hiks hiks." Bukannya menjawab dengan jelas, ibu malah menangis keras-keras. Membuat Nadia panik seketika. "Ayah kenapa buk.....?" "Ayah dilarikan kerumah sakit, kena serangan jantung. " Seketika tubuh Nadia lemas, membuat ia tak mampu memegangi handphonenya yang masih menyala. Hingga benda pipih hitam itu terjatuh ke lantai menimbulkan bunyi yang keras dan mengagetkan teman-teman Nadia yang saat ini sedang menikmati makan siang mereka di sebuah restoran. "Nadia lo kenapa?" "Nadia Lo baik-baik aja kan?" Suara-suara teman-teman Nadia itu saling bersahutan. Menimbulkan keributan di lokasi mereka menyantap makan siang. Namun Nadia masih terpaku. Telinganya berdenging nyaring. Otaknya pun seolah kehilangan fungsi untuk sesaat hingga tak mampu merespon pertanyaan teman-temannya. "Gue harus balik ke Solo segera, Ayah gue masuk rumah sakit." Buliran-buliran air mata keluar membasahi pipi Nadia setelah kalimatnya selesai. ----- Kurang lebih dua jam perjalanan yang harus Nadia tempuh dari Jogja ke Solo. Beberapa teman menawarkan diri untuk menemani Nadia karena mereka khawatir dengan keadaan Nadia yang masih syok dan malah harus menyetir sendirian ke Solo. Namun Nadia tolak dengan halus. Nadia hanya ingin sendiri. Entah mengapa setalah menjalani hidup sebagai anak rantau selama lima tahun ini membuat Nadia menjadi pribadi yang mandiri dan tangguh. Nadia langsung menuju Rumah sakit dimana Ayahnya dirawat saat ini. Menurut Telfon kak Nayla terakhir, Ayah masih di IGD meskipun kondisinya sudah stabil. Hal itu terjadi karena semua bangsal penuh, hingga harus menunggu entah berapa lama. Setelah rampung memarkirkan mobilnya di area parkiran rumah sakit tersebut, tanpa berfikir panjang Nadia melangkah menuju IGD dimana ayahnya berada. "Kak Nayla." Sapa Nadia kepada kakaknya yang duduk sendirian di kursi rumah sakit di depan ruang IGD. "Nad." Kak Nayla tak mampu berkata-kata. Ia langsung menghambur memeluk Nadia. Dan tangis merekapun pecah. Setelah keduanya lebih tenang dan sudah berhenti menangis, kak Nayla mulai menceritakan, bagaiman kronologis kejadian sampai ayah dilarikan ke rumah sakit. "Ayah tu udah ada riwayat hipertensi sama kolesterol kan Nad, lha kemarin itu ada hajatan di deket rumah. Ayah gak ngontrol makannya. Kemungkinan juga kurang istirahat. Jadia ya gini. " Nadia menyimak dengan seksama apa yang di katakan kak Nayla. Ada sedikit perasaan lega, karena pemicu sakitnya ayah disebabkan oleh makanan dan kurangnya istirahat, bukan karena pikiran berat atau permasalahan yang sedang ayah hadapi. Atau, bukan karena memikirkan dirinya yang selama lima tahun ini jarang sekali pulang kerumah. "Kok malah bengong Nad, yuk masuk ketemu sama ayah." Nadia tersentak dari lamunannya. "Di dalem ada ibu. Cuma satu orang Nad yang boleh nemenin. Jadi ibu sama aku gantian." Kak Nayla menarik tangan Nadia, membimbingnya masuk kedalam ruang IGD yang dingin itu. Nadia menghambur, memeluk ayahnya yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Nadia menangis sejadi-jadinya menyaksikan ditubuh ayahnya terpasang bebagai alat. Ibu yang berada di samping ayah mendekat menghampiri Nadia dan ikut menangis disana. ----- Sudah tiga hari ayah dirawat di rumah sakit. Sudah tiga hari pula Nadia menginap. Ia bergantian dengan ibu dan kak Nayla untuk menunggu ayah yang kian membaik saat ini. Kak Nayla juga harus bekerja. Sedang ibu saat ini pulang kerumah untuk mengambil beberapa bersih. "Kamu cuti berapa hari Nad?" pertanyaan sang ayah membuat Nadia menghentikan fokusnya yang sedang menonton TV. "Nadia ngajuin seminggu yah. Kenapa?" Jawab Nadia yang berjalan mendekat ke ranjang ayahnya. "Gak papa Nad. Ayah cuma bersyukur bisa melihatmu lebih lama dari biasanya." Mendengar ucapan ayahnya, Nadia seperti tertampar. Memang benar, selama lima tahun ini Nadia jarang sekali pulang ke rumah. Apabila pulang pun gak pernah lebih dari 2 hari. Hal itu sengaja Nadia lakukan karena perasaan bersalah yang masih menghantuinya. "Maaf ayah." Nadia menciumi punggung tangan kiri ayah yang tak tertancap jarum infus itu beberapa kali. Setelahnya mereka hanya saling pandang. "Tok tok tok" "Selamat Pagi." Ketukan pintu dan salam dari perawat membuat Nadia dan ayah menoleh ke sumber suara. "Pagi mbk." jawab Nadia. "Sekarang jadwal rekam jantung ya pak. Mari pindah ke kursi roda, saya antar." Perawat perempuan itu begitu cekatan, membantu ayah Nadia untuk duduk diatas kursi roda. Nadia hanya memperhatikan dan kemudian mengekor di belakang perawat itu yang sudah melangkah sambil mendorong kursi roda yang telah diduduki ayah Nadia. Pemeriksaan rekam jantung selesai. Ayah Nadia pun dibawa kembali kebangsal. Menurut dokter, berdasarkan hasil rekam jantung, kondisi jantung ayah semakin membaik. Namun tetap harus menjaga pola makan, istirahat yang cukup, dan tidak boleh ada pemicu yang bisa membuat jantung bekerja terlalu keras. "Prasetyo...." Saat berjalan di koridor rumah sakit ada yang memanggil nama Ayah, hingga membuat perjalanan kami terhenti. "Firman...." Sapa Ayah kepada seorang pria paruh baya. yang kemungkinan berumur tak jauh beda dari Ayah. "Kamu kenapa? Sakit apa Pras?" Tanya orang itu penuh dengan rasa penasaran dan kekhawatiran. "Ceritanya nanti Fir, kau ikut ke bangsalku gimana?" "Okey." Akhirnya kita berjalan kembali menuju lift yang akan membawa kita kelantai 5 dimana ayah dirawat. Sampai di bangsal Nadia seolah terasingkan. Ayah dan temannya semasa kuliah yang sudah lebih dari 25 tahun tak pernah bertemu itu begitu asyik mengobrol sendiri tanpa melibatkan Nadia di dalamnya. "Nadia, mau gak jadi menantu om Firman?" Pertanyaan itu seketika mengejutkan Nadia yang tengah fokus menonton Drakor di layar handphonenya. "Aa...apa om?" Nadia tergagap, matanya masih membulat karena pertanyaan yang tiba-tiba itu. "Mau ya jadi mantunya om. Tunggu bentar, Om Firman telfon dia biar kesini. Biar ketemu sama kamu langsung. Dia nunggu di parkiran tadi." Nadia tak menjawab. Dia melihat kearah ayahnya yang sedang tersenyum. Dan sedetik kemudian ayahnya menganggukkan kepala pelan. Memberi kode pada Nadia untuk setuju dengan apa yang dikatakan temannya itu."Brakkkk...." Bunyi pintu yang ditutup tiba-tiba oleh Nadia itu terdengar cukup nyaring. Hampir saja membuat Ega melonjak karena kaget. "Nad...kok ditutup pintunya?" Tanya Ega yang dibuat penasaran oleh sikap Nadia. Bisa-bisanya ia ditinggal begitu saja. "Maaf Ega, kamu diluar sebentar ya." Pinta Nadia dari balik pintu yang terdengar samar oleh telinga Ega. Kemudian Nadia bersandar pada pintu. Kedua tangannya memegangi dadanya. Seolah ia memegangi jantungnya yang berdebar terlalu cepat agar tak keluar dari tubuhnya. "Kenapa Nad. Ada masalah? Kamu gak sakit kan? Kamu marah sama aku? Atau..." Ega melontarkan tanya bertubi-tubi. Ia teramat khawatir bila terjadi sesuatu yang tak mengenakkan pada Nadia. "Aku baik-baik aja Ga. Cuma.... Aku butuh waktu sebentar." Pinta Nadia kembali. "Okey. Aku tunggu." Ega mencoba bersabar. Meskipun hati dan pikirannya tak karuan saat ini. Namun ada rasa lega telah mengungkapkan perasaanya kepada Nadia. Namun lega saja tak cukup untuk Ega. Saa
Samar-samar terdengar suara adzan berkumandang. Membangunkan Nadia yang terlelap dari tidurnya. Keinginan Nadia untuk tidur lebih lama nyatanya tak bisa terwujud. Padahal ia hanya ingin sejenak melupakan masalahnya dengan berisitirahat. Sejenak mengistirahatkan hati dan pikirannya dari berbagai macam spekulasi yang ia buat sendiri atas kelanjutan hubungannya dengan Ega nanti. Namun hal itu pun tak bisa, sungguh kasihan Nadia. Semalaman ia tak lelap tidur. Pikirannya dihantui rasa harap-harap cemas. Harapannya pun telah pupus, karena sejak semalam sampai pagi ini tak ada kabar satu pun dari Ega yang muncul dari layar handphone Nadia. Mungkin sudah beribu kali Nadia mengecek benda pipih berwarna hitam itu. Hal yang sama berulang kali ia lakukan tanpa hasil sampai pagi ini. "Ega...apa kamu benar-benar menyerah?" Nadia berbicara pada dirinya sendiri dengan suara lirih dan serak. Sampai detik ini, Nadia hanya menunggu Ega menghubunginya. Tanpa mau memaksa keegoisanya untuk berinisiat
Perjalanan yang Ega dan Nadia rencanakan hancur sudah. Mereka kira dengan melakukan perjalanan itu bisa membuat mereka lebih mengenal satu dan yang lain. Namun kenyataanya terbalik. Perjalanan yang seharusnya menyenangkan berakhir dengan tangis kepiluan. Ega dan Nadia telah merencanakan untuk menghabiskan waktu bersama seharian ini. Namun nyatanya, saat hari masih terang mereka terpaksa harus berpisah demi meredam emosi masing-masing. Ega tak ingin bila kebersamaan mereka hanya akan membuat mereka semakin tak nyaman. Maka dari itu, Ega memutuskan untuk segera meninggalkan Nadia didepan kosnya begitu saja. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan Nadia?" Mata Nadia menatap ke langit-langit kamarnya yang berwarna putih itu dengan tubuh yang telentang diatas kasurnya. Sedang angannya menerawang mengingat kembali kejadian beberapa saat yang lalu. Saat Ega meluapkan keresahan hati kepadanya. "Kenapa rasanya...." Nadia menutup matanya. Ada bimbang di dalam hatinya yang teramat besar. Nam
Genggaman itu seharusnya bisa menguatkan keduanya. Memberikan energi baru untuk Nadia maupun Egi yang nyatanya sama-sama lelah telah sekian lama memendam luka atas keegoisan masa muda. Mereka telah saling membuka diri. Saling menyelami pribadi yang dulu tak sempat mereka pahami. Mereka telah saling memaafkan, atas kenangan pahit yang menggerus masa dan asa. Mereka telah mencoba untuk saling menerima, dengan seluruh kurang dan lebihnya. Namun memang tak semudah itu memulai kisah baru dengan orang yang terpaut masa lalu bukan. Karena hati yang dulu pernah koyak, tak akan bisa lagi sama meski sudut lain didalam relungnya menginginkan untuk bersama. Karena bayang-bayang masa lalu akan terus melekat pada mereka dan sulit untuk ditanggalkan dengan mudahnya. ----- Tangan yang beberapa saat yang lalu sempat terpaut erat kini telah terlepas. Bukan Ega atau Nadia, namun keduanya secara bersamaan melepas tautan itu. Seolah mereka sepakat tak memaksa diri untuk saling memahami. Nadi
"Egaaa.... udah deh senyum-senyumnya. Ngeselin." Nadia merajuk sambil berulang kali memukul lengan Ega. Ia teramat kesal dengan Ega yang tak mendengar perintahnya. "Iya-iya...Udah ini." Ega mengulum bibirnya susah payah untuk menghentikan senyumnya. Namun hal itu malah semakin membuat Nadia kesal. "Udah apanya. Masih itu." Nadia masih tak terima. Ia melipat kedua tangannya di dada dan melayangkan tatapan tajam kepada Ega yang masih menyetir. "Seneng kamu ya dapet dukungan penuh." Lanjut Nadia. "Seneng dong dapet dukungan penuh dari calon papa mertua. Jadi makin lancar kan jalanku untuk dapetin kamu." Ucap Ega sangat percaya diri yang dibalas tatapan tajam oleh Nadia. Namun Ega tak menghiraukan itu. "Udah yuk turun. Kita udah sampai ini. Aku udah lama banget pingin kesini sama kamu Nad." Mobil berhenti disebuah lahan parkir luas pinggir pantai yang telah berjejer mobil-mobil para pengunjung lain. Disana juga terdapat deretan kios-kios kecil yang menjual aneka ragam olahan h
Mobil benar-benar melaju cukup pelan. Selain karena kemacetan kota Jogja, namun juga karena Ega sengaja melakukan itu. Dia sangat menikmati perjalanan ini, begitupun Nadia. Seolah perjalanan ini adalah rencana tamasya yang telah lama ingin mereka wujudkan. Hingga tampak raut-raut wajah kebahagiaan yang terpancar dari Ega maupun Nadia. Mereka saling bercerita tentang banyak hal disepanjang perjalanan. Tanpa ragu ataupun malu. Sepertinya Ega dan Nadia telah sama-sama membuka diri untuk saling mengenal dan saling mengerti sebelum benar-benar berkomitmen untuk bersama lagi. "Trus.....nasib ilmu arsitekturmu gimana? Gak kepake dong. Sayang banget." Tanya Nadia penuh dengan rasa penasaran. Bukan tanpa alasan Nadia menanyakan hal itu. Karena selama Ega membagi cerita tentang dirinya, tak pernah sekalipun menyinggung tentang keinginannya dulu semasa kuliah untuk menjadi seorang arsitek handal. "Masih kepake kok Nad. Kadang aku bantu temen kalau mereka ada proyek dan pas aku lagi gak