Pagi di proyek Bekasi terasa panas meski matahari baru naik sepenggalah. Zain turun dari mobil dengan langkah cepat, sepatu boots-nya langsung disambut tanah berdebu dan aroma semen. Dia langsung mencari kepala tukang.
“Pak Rano mana?” tanyanya pada salah satu pekerja. “Di belakang, Pak, lagi cek plesteran,” jawab pria itu dengan suara tergesa. Zain melangkah cepat, menyibak papan-papan triplek dan menyapa para tukang yang bekerja setengah mengantuk. Begitu menemukan Pak Rano, Zain tak langsung marah, tapi nada suaranya tegas. “Kenapa progres lambat? Klien sudah mengeluh. Minggu ini harus ada lompatan signifikan atau kita kehilangan proyek.” Pak Rano, pria setengah baya dengan wajah lelah, menghela napas. “Pak, tukang kita kurang. Yang biasanya ngerjain bagian atas, malah cuti mendadak. Belum lagi bahan baru datang kemarin sore. Nunggu itu bikin kerja mandek dua hari.” Zain mengangguk. “Oke, saya akan kirim tambahan tukang dari proyek lain. Tapi tolong jaga tempo kerja. Jangan nunggu saya turun dulu baru semua bergerak.” “Siap, Pak.” Zain mengawasi sekeliling. Dia naik ke lantai dua proyek rumah dua lantai itu, melihat adukan semen yang belum dirapikan, besi tulangan yang belum tersambung sempurna, dan pekerja yang tampak enggan bergerak cepat. Dia mencatat semua. Dua jam penuh dia habiskan untuk inspeksi, memberi pengarahan, bahkan ikut memindahkan papan untuk memberi contoh. Menjelang siang, dia merasa sedikit lega. Proyek itu bisa diselamatkan. Tapi sebelum sempat menghela napas panjang, handphone-nya kembali bergetar. Kali ini dari Niko. “Mas, kita punya masalah. Client dari proyek Kebayoran batal kerja sama. Alasan mereka—katanya reputasi kita belum cukup stabil. Tapi kayaknya ada pihak lain yang nyebarin kabar buruk soal perusahaan kita.” Zain berhenti di tengah panasnya siang. Peluh belum sempat dia lap dari kening, masalah baru sudah mengetuk lagi. “Siapa yang bisa sebarkan kabar itu?” tanyanya langsung lewat telepon. “Belum tahu. Tapi yang jelas, kita butuh reputasi besar buat bersaing di tengah pemain lama. Klien yang ini lebih pilih main aman.” Zain menahan emosi. Dia tahu permainan ini. Dunia konstruksi itu kejam. Tanpa jaringan dan nama besar, orang seperti dia cuma dianggap pendatang musiman. “Minta waktu ketemu kliennya. Aku mau jelasin langsung.” “Udah aku coba, Mas. Tapi mereka bilang ‘sudah diputuskan’. Nggak mau audiensi.” Zain terdiam. Proyek Kebayoran bukan yang terbesar, tapi dia sudah hitung betul: keuntungan dari proyek itu bisa dipakai untuk bayar vendor dan menyambung napas perusahaan tiga bulan ke depan. Dia bersandar di dinding beton lantai dua proyek Bekasi, menatap ke langit yang mendung. Dulu, waktu di Juhar, semua ini mudah. Cukup sebut nama keluarga, maka proyek datang seperti hujan di musim pancaroba. Tapi sekarang, tanpa embel-embel ‘Juhar’ di belakang namanya, dunia memperlakukannya seperti bukan siapa-siapa. Zain menunduk. Jemarinya mengepal. “Kalau ini bentuk ujian, aku akan lewati,” gumamnya pelan. Teleponnya kembali berdering. Kali ini dari Papi. Zain menatap layar itu lama, sebelum akhirnya mengangkat. “Zain,” suara berat Papi terdengar dingin, tegas, dan penuh tekanan. “Kamu tahu berapa proyek Juhar yang sekarang jadi rebutan? Tapi kamu malah sibuk mainan di proyek recehan yang tiap hari bikin kamu ngos-ngosan.” “Papi, aku nggak mainan. Aku membangun sesuatu. Dari nol.” “Dan hasilnya?” sahut Papi. “Baru hari ini kamu gagal satu lagi. Kamu kira Papi nggak tahu?” Zain terdiam. Papi selalu tahu. Dunia bisnis sempit. Nama ‘Zain’ tanpa embel-embel keluarga, tetap jadi buah bibir. “Kembalilah ke Juhar,” lanjut Papi. “Atau kamu akan terus seperti ini. Jatuh bangun sendiri. Dipermalukan. Direndahkan.” Zain mengepalkan tangan. Dia tahu Papi bukan cuma menyuruh—ini ancaman. Tapi Zain juga tahu, kalau dia menyerah sekarang, maka semua luka dan perjuangan dua tahun terakhir akan sia-sia. “Aku belum selesai, Pi,” jawab Zain akhirnya. “Aku belum kalah.” Ya, Zain akan membuktikannya.Ruang rapat tampak dingin, meski suhu ruangan pas. Bukan karena AC, tapi karena suasananya yang tegang. Beberapa staf dan manajer proyek duduk tegak, sebagian menghindari tatapan Zain yang berdiri di ujung meja.“Terima kasih sudah hadir,” suara Zain terdengar tenang tapi berlapis baja. “Kita langsung ke pokok masalah: proyek Altavira Tower. Audit internal menemukan sejumlah kejanggalan laporan keuangan dan progres kerja.”Semua menoleh ke layar. Zain menekan remote, menampilkan grafik perbandingan antara dana yang keluar dan kemajuan di lapangan. Ada gap besar—terlalu besar.“Saya ulangi pertanyaannya yang sudah saya kirim sejak kemarin,” lanjutnya. “Siapa yang menyetujui pembelian material tiga kali lipat harga pasaran?”Sunyi.Wajah Zain tak berubah. “Pak Roni?”Manajer lapangan, Pak Roni, menelan ludah. “Itu vendor pilihan divisi logistik, Pak Zain. Kami cuma eksekusi.”“Kalau begitu, kepala logistik mana?”
Kedai Kopi Tua di Sudut KotaPukul 18.45 WIBAroma kopi arabika dan kayu manis menyambut Zain ketika dia membuka pintu. Suasana kedai kecil itu hangat dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk proyek dan tekanan keluarga. Di salah satu sudut dekat jendela, duduk seorang perempuan dengan rambut dikuncir rendah, menunduk menatap laptopnya.Zura.Zain berjalan mendekat, mengetuk meja pelan. “Sudah pesan?”Zura mengangkat kepala dan tersenyum kecil. “Sudah. Aku pesankan es kopi hitam buat kamu.”Zain duduk di seberangnya, meletakkan map kerja di kursi sebelah. “Kamu mulai hafal, ya?”“Kamu terlalu gampang ditebak, Zain.”Zain tertawa lirih. “Gitu ya?”Zura menutup laptopnya. “Tapi aku heran, kamu ngajak ketemu bukan di kantor atau site project. Aneh.”“Aku cuma—pengen ngobrol. Bukan sebagai project manager dan desain interior. Tapi sebagai Zain dan Zura.”Zura diam sejenak. Lalu mengangguk. “Baiklah. T
Altavira Tower – Proyek Juhar Group Langit Jakarta belum sepenuhnya cerah ketika Zain tiba di lokasi proyek Altavira Tower. Angin pagi membawa aroma semen basah dan suara bising alat berat yang sudah mulai bekerja. Helm proyek telah terpasang di kepalanya, rompi kuning mencolok membalut tubuh tegapnya. Niko, sang asisten, menyusul dengan map dokumen di tangan. “Mas Zain, ini dokumen deviasi anggaran bulan lalu. Ada dua vendor yang belum kasih laporan lengkap.” Zain menerima map itu tanpa berkata apa-apa, matanya menelusuri setiap sisi proyek megah yang pernah digadang-gadang sebagai “permata masa depan Juhar Group.” Tapi dibalik kemegahannya, ada rasa ganjil yang terus mengusik. “Yang aneh,” lanjut Niko, “Vendor interior sempat ganti subkontraktor tanpa pemberitahuan. Dan progres pekerjaan di lantai 12–15 sangat lambat dibanding lantai lainnya.” Zain mengangguk. “Aku mau lihat langsung ke atas. Siapkan safety harness, kita naik ke la
Di ruang rapat lantai dua gedung Juhar Group, Zain berdiri menghadap papan presentasi digital yang memuat jadwal proyek “Altavira Tower”, salah satu proyek prestisius perusahaan yang selama enam bulan terakhir justru berubah menjadi beban besar. Anggaran membengkak, kontraktor mundur, dan progres hanya berjalan tiga puluh persen. "Site engineer-nya mundur tiga minggu lalu. Project manager-nya malah cuti mendadak dan belum kembali," lapor Niko yang duduk di ujung meja, membuka catatan di tabletnya. “Dan—ada indikasi beberapa vendor fiktif yang disisipkan sejak awal tender.” Zain menarik napas pelan. “Berarti ada permainan kotor di dalam,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Semua kepala di ruangan diam. Beberapa menunduk, yang lain pura-pura sibuk melihat berkas. Zain mengalihkan pandangan. “Bu Retno, saya minta data lengkap semua transaksi keluar masuk untuk proyek Altavira sejak awal penandatanganan. Hari ini.” Wanita setengah
Debu tipis menari bersama angin siang di tengah lokasi proyek pembangunan gedung perkantoran di kawasan pusat kota. Suara dentuman palu, mesin bor, dan suara keras pekerja saling bersahutan membentuk harmoni khas dunia konstruksi. Zain berdiri di dekat papan denah proyek sambil menekuk lengan. Kemeja putihnya sudah ternoda sedikit debu, tapi tak mengurangi wibawa yang terpancar dari sikap tenangnya. Dia sedang berbincang dengan salah satu site manager ketika matanya terpaku pada sosok wanita di kejauhan. Gadis itu mengenakan helm putih dan rompi safety berwarna oranye terang. Rambutnya yang diikat rapi dan langkahnya yang penuh percaya diri begitu akrab. Dan ketika sosok itu menoleh— “Zura?” ucap Zain, nyaris tanpa sadar. Zura menoleh dan matanya sedikit membulat. “Zain? Kamu ngapain di sini?” “Aku yang harusnya tanya begitu,” jawab Zain sambil menghampiri. “Kamu ngapain di tengah-tengah proyek kayak gini?” Zura terse
Ruang rapat besar Juhar Group kembali terisi oleh ketegangan. Para petinggi duduk dalam barisan formal, namun wajah-wajah mereka tampak lebih cemas daripada biasanya. Koran-koran pagi membicarakan krisis arus kas di tubuh Juhar. Saham turun sedikit, tapi cukup untuk membuat kompetitor bersorak dalam diam. Zain berdiri di depan layar proyektor. Kali ini tanpa suara tinggi Papi Barra. Tanpa tekanan apapun—kecuali dari dalam dirinya sendiri. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu kepercayaan pada perusahaan ini sedikit terguncang,” suara Zain terdengar tenang. “Tapi ini bukan pertama kalinya kita menghadapi tantangan.” Dia melangkah pelan, menyisir pandangan ke seluruh ruangan. “Saya sudah meninjau ulang laporan dari divisi engineering, keuangan, dan legal. Dan satu hal yang paling mencolok adalah lemahnya komunikasi antar departemen selama enam bulan terakhir. Masalah kita bukan hanya soal dana, tapi soal koordinasi.” Tangan Zain menek
Zain berdiri di depan gerai kopi tua di sudut Jalan Cempaka, tangannya sibuk menutupi layar ponsel dari tetesan hujan gerimis. Hari ini benar-benar kacau. Setelah berhasil menyelamatkan wajah Juhar Group, pagi ini dia harus menelan pil pahit—perusahaan kecilnya hampir bangkrut. Investor utama mundur. Klien potensial juga menunda semua proyek. Pukulan bertubi-tubi membuatnya nyaris kehabisan napas.Dia mengangkat wajah. Aroma kopi, roti bakar, dan hujan seolah menariknya masuk ke dalam kedai yang tampak sepi itu. Sebuah pelarian kecil sebelum dia memutuskan langkah besar berikutnya.Dan di sanalah dia.Zura.Duduk di pojok ruangan, mengenakan sweater abu-abu, tangan kanannya memegang buku catatan yang penuh coretan tinta. Kepalanya sedikit tertunduk, rambutnya dikuncir asal-asalan. Tapi wajahnya damai, seperti biasa. Dunia boleh gaduh, tapi Zura seperti tidak pernah terbawa gelombang.Zain ragu beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri.“Kamu pengikut cuaca hujan juga, ya?”Zura meno
Suasana pagi ini seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Zain. Kemarin, ia tak berhasil menemukan Zura.Belum lagi, ponselnya berdering berkali-kali sejak fajar, bersamaan dengan satu notifikasi berita berhasil membuatnya kehilangan selera makan: “Proyek reklamasi Juhar Group di pesisir Selatan ditolak! Nilai kerugian diperkirakan mencapai triliunan.” Tanpa pikir panjang, dia mengambil jas dan kunci mobil, lalu meluncur menuju kantor pusat Juhar Group. Tangannya mengepal di kemudi, kepalanya penuh asumsi. “Kenapa Papi nggak bilang? Kenapa baru tahu dari media?” Sampai di gedung Juhar, dia tak peduli pada resepsionis yang mencoba menahannya. “Maaf, Pak Zain, direksi sedang rapat tertutup!” “Tertutup kepala kamu,” gumam Zain. Dia melangkah cepat. Setiap langkahnya penuh desakan emosi. Tangannya mendorong pintu ruang rapat besar, membuat semua kepala di ruangan sontak menoleh. Papi Barra ada di sana, duduk di tengah deretan direksi. Wajahnya lelah, matanya merah. Tapi sorot mata
Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran. Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Be