Matahari muncul dengan tenang di ufuk timur, menyinari kawasan reklamasi pesisir selatan yang selama berminggu-minggu terakhir menjadi medan pertempuran Zain dan timnya. Dengan helm putih di kepala dan map tebal di tangan, Zain menatap garis horizon yang kini tidak lagi menyisakan ketegangan seperti sebelumnya. Proyek reklamasi itu—yang dulu hampir dibatalkan akibat sabotase internal dan tekanan dari pihak luar—akhirnya berdiri di titik terang.
Zain berjalan menyusuri tepi proyek dengan langkah mantap, ditemani Niko, asistennya yang setia. “Mas Zain, surat konfirmasi dari kementerian lingkungan hidup sudah masuk pagi ini. Mereka setuju kita lanjut fase dua.”Zain menarik napas lega. Akhirnya—”“Dan oknum dari anggota dewan yang selama ini menyuplai data palsu ke media sudah ditindak. Tim hukum kita bekerja cepat.”Zain mengangguk. Dia tahu siapa oknum itu—seseorang yang dulu pernah dekat dengan keluarganya. Dunia bisnis memang keras. Tapi kali iniLangit siang tampak biasa saja, tapi dada Zura terasa penuh. Terlalu penuh.Kursi roda yang diduduki didorong perlahan oleh Bibi Sarti, perempuan paruh baya yang sudah merawatnya sejak kecil. Perempuan itu juga yang pertama kali menangis keras saat tahu Zura—dilarikan ke rumah sakit karena alergi udang. Dan hari ini, dia pula yang setia menunggu hingga dokter mengizinkan pulang.Zura menatap koridor rumah sakit dengan wajah tenang, tapi matanya tak bisa menyembunyikan sedikit kekecewaan. Bukan karena fisiknya yang masih lemah, atau karena rasa gatal di tenggorokannya belum sepenuhnya hilang.Tapi karena seseorang yang dia tunggu tak juga datang.“Mas Zain masih rapat, Non,” ujar Bibi lirih, seperti bisa membaca isi kepalanya. “Tadi asistennya nelpon, bilang belum bisa ke sini sampai sore.”Zura mengangguk pelan. “Nggak apa-apa, Bi. Mungkin memang harus begini.”Bibi Sarti menghentikan langkahnya. Menunduk, lalu meraih tangan Zura
Teriakan Aisha menggema di seluruh sudut rumah megah keluarga Appa Gio. Vas bunga porselen melayang dan pecah di lantai marmer, menyusul bingkai foto keluarga yang dijatuhkan dengan sengaja."Aku ini anak kalian juga! Kenapa kalian semua selalu membelanya!" pekiknya sambil menunjuk wajah Amma Gista dan Appa Gio dengan mata merah menyala.Amma Gista hanya berdiri terpaku, tubuhnya gemetar. Sementara Appa Gio berusaha tetap tenang, meski terlihat jelas urat-urat di pelipisnya menegang.“Sudah cukup, Aisha,” ucap Appa Gio dengan suara dingin.“Cukup? Hanya karena dia hampir mati setelah makan udang, aku langsung dianggap penjahat? Kenapa nggak ada yang tanya kenapa aku bisa seperti ini?” Aisha terus meluapkan amarahnya, kini air mata mulai jatuh, tapi bukan dari penyesalan, melainkan dari rasa ditinggalkan.“Kamu tahu dia alergi! Dan kamu tetap memasukkan itu ke makanannya!” suara Amma Gista akhirnya pecah. “Itu bukan kesalahan kecil, Aisha.
Zain duduk di tepi ranjang rumah sakit, tangannya sibuk mengupas apel dengan pisau kecil. Gerakannya hati-hati, seolah-olah buah itu bisa terluka kalau dia terlalu kasar. Di kursi dekat jendela, Zura bersandar dengan selimut menutupi tubuhnya hingga dada. Wajahnya masih sedikit pucat, tapi rona merah tipis mulai kembali ke pipinya. Matanya menatap Zain dengan campuran geli dan bingung."Zain, tahu nggak, ini pertama kalinya ada orang mengupas apel buatku di rumah sakit," katanya pelan.Zain menoleh, tersenyum kecil. “Nggak ada yang cukup berani buat ngelakuin ini sebelumnya ya?”Zura menyipitkan mata. “Lebih tepatnya, nggak ada yang sebegitu dramatisnya.”Zain tertawa, lalu menyodorkan irisan apel ke piring kecil di meja. “Yang penting sekarang kamu makan. Gimana rasanya?”Zura mencicipi satu potong. “Manis. Tapi agak tebal kulitnya masih.”“Namanya juga belajar,” gumam Zain. “Besok-besok aku coba kupas mangga.”Zura nya
Suasana ruang keluarga di rumah keluarga Juhar biasanya hangat dan tenang. Tapi malam ini, udara terasa berat. Zain duduk di hadapan kedua orang tuanya, rahangnya mengeras, nada bicaranya tenang tapi dingin. Di tangannya, ada kertas laporan medis singkat dari rumah sakit yang mencantumkan hasil pemeriksaan alergi Zura.“Makanan itu mengandung udang,” katanya, menatap langsung ke arah Bu Narumi. “Dan yang membawanya adalah Aisha.”Mami Narumi terdiam. Di sampingnya, Papi Barra langsung mendengus pelan, wajahnya mengeras. “Papi sudah curiga sejak awal. Gadis itu terlalu halus topengnya, tapi tajam cara mainnya.”Zain mengangguk, wajahnya tegas. “Ini bukan pertama kali dia mencoba mengacaukan hidup seseorang yang dekat denganku.”Narumi memejamkan mata. “Zain—Maafkan Mami,” katanya lirih. “Mami yang dulu terlalu percaya. Mami kira, menjodohkan kamu dengan Aisha bisa memperbaiki hubungan bisnis, juga menyembuhkan lukamu setelah pengkhianatan Maretta.”
Angin membawa aroma pasir dan semen dari proyek bangunan tinggi di pusat kota. Di ruang kerja bergaya minimalis milik firma desain interior ternama tempat Zura bekerja, kesibukan tampak biasa saja. Komputer menyala, blueprint berserakan, dan suara ketukan keyboard bersahutan. Hingga tiba-tiba—“Kak Zura!” suara nyaring itu datang bersama aroma tajam parfum mahal yang menusuk hidung.Zura menoleh dengan dahi berkerut, “Aisha?”Gadis berambut panjang bergelombang itu masuk ke ruangannya sambil membawa tas makan besar warna putih mutiara. Senyumnya manis, matanya berbinar. Tapi entah kenapa, kehadirannya membuat napas Zura terasa berat.“Aku bawain makan siang buat Kakak! Aku masak sendiri, lho!” ujar Aisha sambil duduk di sofa tanpa diundang.Zura tersenyum kecil. “Terima kasih—tapi kamu nggak perlu repot-repot.”“Ah, aku pengen banget ngobrol lagi sama Kakak. Setelah ulang tahun kemarin—aku ngerasa kehilangan Kakak banget,” ucapny
Matahari muncul dengan tenang di ufuk timur, menyinari kawasan reklamasi pesisir selatan yang selama berminggu-minggu terakhir menjadi medan pertempuran Zain dan timnya. Dengan helm putih di kepala dan map tebal di tangan, Zain menatap garis horizon yang kini tidak lagi menyisakan ketegangan seperti sebelumnya. Proyek reklamasi itu—yang dulu hampir dibatalkan akibat sabotase internal dan tekanan dari pihak luar—akhirnya berdiri di titik terang.Zain berjalan menyusuri tepi proyek dengan langkah mantap, ditemani Niko, asistennya yang setia. “Mas Zain, surat konfirmasi dari kementerian lingkungan hidup sudah masuk pagi ini. Mereka setuju kita lanjut fase dua.”Zain menarik napas lega. Akhirnya—”“Dan oknum dari anggota dewan yang selama ini menyuplai data palsu ke media sudah ditindak. Tim hukum kita bekerja cepat.”Zain mengangguk. Dia tahu siapa oknum itu—seseorang yang dulu pernah dekat dengan keluarganya. Dunia bisnis memang keras. Tapi kali ini
Udara di sekitar lokasi proyek reklamasi terasa panas dan lembap. Angin laut sesekali membawa aroma asin yang menusuk, tapi tak sebanding dengan detak gugup yang bersemayam di dada Zain. Dia berdiri tak jauh dari kontainer tempat ruang sementara tim desain interior bekerja. Kemejanya tergulung hingga siku, rambutnya sedikit berantakan ditiup angin, tapi matanya tak lepas dari sosok perempuan yang tengah berdiri membelakangi matahari—Zura.Bukan Aletta. Bukan Zura. Tapi keduanya. Dan hari ini, Zain ingin mengenalnya kembali.Dia melangkah mendekat, menyapa dengan suara ringan, “Kamu tahu nggak, orang-orang bilang desain kamu yang terbaru terlalu indah untuk bangunan proyek reklamasi.”Zura menoleh. “Oh ya?” Senyumnya muncul samar. “Aku kira kamu sudah jarang memuji.”Zain meneguk ludah. “Mungkin karena sebelumnya aku terlalu sibuk menyangkal rasa kagumku.”Zura tertawa kecil. “Apa kamu lagi berusaha merayu aku, Zain?”Dia senang Z
Zain berdiri di depan rumah kecil dengan cat krem yang terlihat sangat cantik dan nyaman. Lampu teras menyala temaram, menyinari sepeda motor Vespa yang terparkir rapi di sisi kanan. Dia memandangi rumah itu beberapa detik sebelum akhirnya mengetuk pagar perlahan.Tok. Tok.Tak ada jawaban.Dia menarik napas, lalu meraih ponselnya.Zain: "Aku di depan rumah kamu. Boleh ngobrol sebentar?"Beberapa detik, baru terdengar derit pintu dibuka. Sosok Zura muncul, masih dengan kaus lengan panjang warna abu dan rambut diikat asal. Matanya tampak sembap meski dia berusaha tersenyum.“Ada angin apa, Zain?” tanyanya ringan.Zain menyeringai kecil. “Angin penasaran. Katanya ada yang butuh teman ngobrol.”Zura menghela napas pelan. “Aku nggak cerita ke siapa-siapa.”“Niko denger dari anak-anak kantor. Dan kamu tahu Niko, dia itu radar hidup.”Zura terkekeh tipis. “Masuk, deh.”Mereka duduk di bangku
Malam selepas pesta ulang tahun itu berubah menjadi badai di dalam kamar Aisha. Gaun yang semula begitu indah kini berserakan di lantai, tertindih kotak-kotak kado yang dibanting tanpa ampun. Vas bunga pecah, bingkai foto jatuh, dan cermin besar retak membelah bayangan Aisha yang menangis sambil menjerit."Dia datang, dan semua orang langsung berpihak padanya!" teriak Aisha dengan suara bergetar, melemparkan boneka lama yang dulu Zura berikan saat mereka kecil. "Kenapa semua orang selalu menganggap dia sempurna?!"Amma Gista berdiri di ambang pintu, wajahnya tenang tapi matanya menyimpan letih yang tak terucap. Sementara Appa Gio bersandar di dinding lorong, memejamkan mata seolah mencoba menahan sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar lelah."Biarkan saja, Pa," bisik Amma akhirnya. “Dia perlu mengeluarkan semua yang ditahan selama ini.”"Dia butuh pertolongan," ujar Appa Gio pelan, "tapi kita sudah mencoba segalanya. Psikolog, terapi, bahkan b