Teras rumah mungil itu masih diselimuti hawa sore yang mulai menghangat. Angin mengayun lembut tirai tipis yang menggantung di balik jendela ruang tamu. Aroma tanah basah menyeruak setelah gerimis singkat, membawa sedikit kedamaian setelah percakapan penuh tensi di ruang tamu tadi.
Zain mendorong kursi roda Zura dengan hati-hati, memastikan setiap langkah rodanya tidak menyakiti atau membuatnya tidak nyaman.“Mau duduk di luar sebentar?” tanyanya lirih.Zura hanya mengangguk pelan.Mereka berhenti di sudut teras yang menghadap taman kecil, tempat bunga melati dan mawar yang pernah Zura tanam bersama Bibi Sarti tumbuh lebat. Zain duduk di kursi rotan di sampingnya, tak langsung bicara. Dia menunggu Zura siap. Tapi diamnya Zura bukan tanda ketidaksiapan—melainkan luka yang belum selesai didefinisikan.“Aku tahu kamu nggak butuh pembelaanku,” Zain membuka percakapan, suaranya rendah, dalam. “Tapi aku tetap minta maaf.”Zura mengalihPagi ini, matahari belum tinggi. Udara masih sejuk, menyisakan embun yang menggantung di ujung dedaunan. Dari balik jendela kamarnya, Zura hanya memandang langit yang perlahan berganti warna. Biasanya, pagi seperti ini dia habiskan dengan duduk termenung, tapi hari ini berbeda.Zain berdiri di ambang pintu kamarnya, membawa sesuatu yang bahkan lebih hangat dari secangkir teh—senyuman dan keyakinan."Yuk, keluar sebentar," ajaknya pelan.Zura menoleh, menatap pria itu dengan keraguan yang tak bisa disembunyikan. “Keluar rumah?”Zain Mengangguk. “Hanya keliling komplek. Kita beli bubur ayam yang biasa mangkat di depan komplek. Nggak jauh, janji.”Zura menggigit bibir bawahnya. Dia menunduk menatap kursi rodanya, seakan benda itu adalah batas tak kasat mata yang memisahkan dirinya dari dunia luar.“Aku belum siap,” gumamnya.Zain menghampiri, jongkok di hadapannya. “Aku tahu. Tapi kamu nggak sendiri. Aku di sini, temenin ka
Zura menunduk, jemarinya memainkan pita dari buket mawar putih yang tadi Zain berikan. Mereka duduk berdua di balkon kamar, langit sore yang mulai menggelap perlahan memberikan cahaya hangat oranye keemasan, seolah ikut mendengar percakapan hati mereka.Zain menatap Zura dengan sabar. Tak mengatakan apa-apa sejak gadis itu mulai terlihat gelisah.“Aku pernah bilang—” bisik Zura akhirnya, masih tidak berani menatap mata pria di hadapannya. “Saat aku kehilangan ingatan, semua terasa kosong—aneh.”Zain hanya mengangguk pelan.“Tapi, bahkan dalam kekosongan itu perasaanku ke kamu tetap ada, Zain. Aku nggak ngerti, tapi aku selalu merasa tenang kalau kamu di dekatku. Selalu ngerasa hangat. Kayak ada yang ingin aku jaga, walaupun aku nggak tahu apa.”Zain menahan napasnya. Hatinya seolah diremas lembut oleh kata-kata Zura.“Aku mencintaimu, Zain,” lanjut Zura, kali ini berani mengangkat wajah, meski air matanya mulai menetes perlahan. “Bahkan saat aku belum tahu siapa kamu.”Zain terdiam, m
Setelah memastikan seluruh dokumen kasus korupsi sudah diserahkan pada tim hukum dan divisi internal audit, Zain akhirnya menghela napas lega. Beban besar yang beberapa minggu terakhir menyesaki kepalanya kini mulai luruh.Siang ini, dia keluar dari kantor lebih awal. Tapi bukan untuk istirahat.Tujuannya jelas.Untuk pulang—menemui Zura.Sebelum menuju kediaman orang tuanya, Zain mampir ke sebuah toko bunga langganan di tengah kota. Di sana, dia memilih buket mawar putih yang mekar sempurna. Bukan tanpa alasan—Zura pernah bilang, mawar putih adalah lambang kesetiaan dan kedamaian. Dua hal yang kini Zain ingin berikan seutuhnya untuk gadis itu.Setelah itu, dia mampir ke toko perhiasan. Di etalase kaca, matanya langsung tertarik pada satu cincin berlian bermata biru muda yang sederhana tapi elegan. Warnanya persis seperti langit sore yang tenang. Tanpa ragu, dia membeli cincin itu dan meminta kotak beludru biru tua sebagai pembungkusnya.Di perjalanan, jantung Zain berdegup lebih kenc
Kaca jendela kantor lantai teratas menampilkan panorama malam Jakarta yang mulai diselimuti lampu-lampu kota. Zain berdiri di depan jendela, jas dilepas dan lengan kemeja dilipat hingga siku. Wajahnya serius, sorot matanya penuh kehati-hatian.Di belakangnya, Niko sibuk dengan laptop terbuka, mengetik cepat dan membuka beberapa folder yang baru saja dipulihkan dari flashdisk rusak yang ditemukan di rumah lama Om Andrian.“Kamu yakin ini bakal cukup?” tanya Zain tanpa menoleh, suaranya dalam dan pelan.Niko mendesah. “Bukti dari Zura udah kuat banget. Tapi, seperti kata Pak Bara, kita butuh satu bukti yang nggak bisa dibantah, meski sama pengacara termahal sekalipun.”Zain berbalik, menatap layar di hadapan Niko. “Dan kamu yakin ada di sini?”Niko mengangguk. “Flashdisk ini ditemukan di balik laci kerja Om Andrian. Disembunyikan rapat. Isinya laporan keuangan palsu, rekaman percakapan sama salah satu kontraktor, dan tunggu sebentar—” jemari Niko mengetik lebih cepat. “Nah! Ini dia!”Za
Suara sendok dan garpu beradu pelan di meja makan keluarga Juhar malam ini. Aroma sop buntut mengepul hangat di udara, namun tak satupun dari mereka menikmati hidangan dengan tenang.Papi Barra menatap Zura dan Zivanya yang duduk berseberangan. “Orang yang membakar rumahmu sudah ditangkap, Zura,” ucapnya, tenang namun berat.Zura menghentikan gerakan sendoknya. Matanya langsung menatap pria yang mengklaim dirinya sebagai Papi mertuanya.“Bram memang terlibat,” lanjut Papi Barra. “Tapi dia tidak sendirian. Andrian otak dari semua kejahatan yang dilakukannya. Dia sempat melarikan diri, tapi berhasil ditangkap di luar kota.”Zivanya memejamkan mata. “Gila—jadi benar-benar dia?! Tega sekali menyakiti keponakannya sendiri.”Zura menelan ludah perlahan. Ada kelegaan di dadanya, tapi bukan berarti hatinya tuntas. Masih ada yang mengganjal. Dia menegakkan punggung, menatap Papi Barra lurus.“Aku punya bukti—” ucapnya. “Tentang korupsi yang dilakukan Om Andrian dan Tante Evelin di perusahaan.
Zura menunduk sambil memainkan ujung selimut kecil di pangkuannya. Meski sudah tertawa bersama Zivanya tadi, pikirannya masih menggantung soal foto itu.“Aku masih mikir, Vi. Siapa yang hapus postingan itu?”Zivanya mengangguk. “Iya. Soalnya aku yakin admin medsos Juhar Grup nggak sebodoh itu upload tanpa koordinasi. Aneh aja bagiku.”Belum sempat Zura menjawab, ponselnya bergetar. Nama Zain muncul di layar. Panggilan video.Zura spontan duduk lebih tegak. “Kak Zain—”Zivanya langsung mendekat. “Cepet angkat, Kak! Aku juga mau ngomel!”Zura tertawa pelan lalu menggeser layar. “Halo, Zain.”Wajah Zain muncul di layar. Sedikit lelah, rambutnya agak berantakan, tapi tetap memancarkan aura menenangkan. Dia sedang duduk di mobil, sepertinya baru keluar dari lokasi proyek.“Zura,” ucap Zain lembut. “Kamu kelihatan capek, kenapa?”Zura membuka mulut tapi langsung dipotong Zivanya yang nyelonong ke layar. “Kak