Share

Pacaran

Tok. Tok. Tok.

Kyra membuka pintu unit apartemennya. Ia yang sebelumnya sedang sibuk di dapur untuk membuat sarapan sampai terburu-buru dan tak sempat melihat ke lubang intip di pintu. "Ya?" Ia tercengang begitu melihat siapa yang berdiri di depannya. "Kak Raka?!" serunya.

Raka telah kembali pada penampilan berantakannya, seperti saat Kyra bertemu dengannya pertama kali. Kyra sebenarnya tidak peduli dengan penampilan Raka, tapi ia tetap tak menyangka bahwa Raka bisa menjadi dua orang yang berbeda dengan kepribadian yang berbeda juga tergantung dengan penampilannya. Saat ini, Raka telah kembali menjadi Dewa Kegelapan yang suram dan vibes yang terasa negatif.

"Ka-Kakak ngapain?" tanya Kyra terbata saking terkejutnya. Meski sudah tiga hari berlalu semenjak mereka dipertemukan untuk diperkenalkan, tapi Kyra tetap belum terbiasa dengan keberadaan Raka di dekatnya. "Ini masih jam 6 pagi, loh."

"Laper. Ayo, beli sarapan," ajaknya.

"Eh?" Kyra tercengang tak percaya. Memang, mereka sudah sepakat untuk mulai memperkenalkan status mereka sebagai pacar dan calon tunangan, tapi Kyra tak menyangka Raka benar-benar melakukan hal seperti ini. "Gi-Gimana kalau makan di tempatku aja? Aku lagi masak."

Raka sedikit mendongak, dan saat itu Kyra dapat melihat mata Raka yang tertutup sebagian poni itu tampak berbinar-binar. "Permisi." Dia pun melewati Kyra untuk masuk begitu saja, seperti tidak ada rasa sungkan sama sekali. Kyra sampai bingung, ia tak lagi merasakan sifat kikuk Raka yang ia tahu di pertemuan pertama mereka.

Kyra tak protes, karena ia tak masalah seperti ini. Ia juga sudah membuat kesepakatan dengan Raka, jadi ia harus mulai terbiasa.

Setelah menutup pintu, Kyra pun kembali ke dapur. Raka sudah duduk di kursi tinggi yang menghadap meja makan. Tak mungkin membiarkan Raka kelaparan, Kyra memberikannya segelas jus apel segar untuk raka. Baru kali ini Kyra menyajikan makanan untuk seseorang. Selama ini, ia hidup serba dilayani. Bahkan, sejak ia tinggal mandiri di sini, ia hanya melayani diri sendiri. Ia tak pernah mengundang teman ke apartemennya.

"Masak apa?" tanya Raka saat Kyra masih sibuk di depan kompor dengan berdiri memunggunginya.

"Cuma omelet makaroni," jawab Kyra. "Kamu ada alergi, nggak, Kak? Aku harus tahu, 'kan, ya, apa yang Kakak suka, apa yang bikin Kakak alergi, dan lainnya. Nanti, aku kasih tahu juga punyaku." Ia menyempatkan diri untuk membalikkan badan demi melihat perubahan ekspresi Raka seperti apa terkait pertanyaannya.

Raka menatapnya lama, tapi Kyra tak mengerti maksud dari tatapan itu. Poni yang menutupi sebagian wajah Raka membuat Kyra lebih sulit memahami ekspresi Raka. "Nggak suka alpukat, pare, dan daun pepaya. Suka pedes dan yang manis-manis. Alergi nanas," sebutnya. "Kamu?"

Kyra melanjutkan lagi kegiatannya. "Aku nggak bisa makan yang mengandung garam tinggi dan micin, kafein, berlemak kayak gorengan, makanan terlalu pedas, dan makanan terlalu manis. Aku suka manis, tapi aku nggak bisa banyak," sebut Kyra. "Kalau alergi, sih, sejauh ini nggak ada," tambahnya.

Tak ada tanggapan dari Raka. Hal itu membuat suasana terasa lebih hening.

Kyra tak terusik hal itu. Ia masih sibuk dengan masakan sederhananya. Setelah selesai memasak dan menyajikannya, Kyra membalikkan badan dan membawa makanan itu ke meja. Ia dan Raka duduk berhadapan, menikmati sarapan sederhana itu dengan ditemani segelas jus apel.

"Kak Raka harus sarapan pakai nasi, nggak?"

Raka menggeleng. "Jarang sarapan. Paling roti," jawabnya datar. "Apa menu sarapan kamu selalu kayak gini?"

Kyra tertawa mendengar pertanyaan Raka. "Nggak, lah. Se-mood-nya aja," jawab Kyra. "Kak Raka kalau laper, dateng aja. Nanti aku masakin. Gini-gini, aku cukup percaya diri sama kemampuan masakku."

Raka mengangguk. "Dengan senang hati."

Tawa Kyra pecah. Ia tak menyangka Raka akan menanggapi ajakannya itu dengan kalimat tak tahh malu, sama sekali tak ada rasa sungkannya. Tapi, Kyra tidak berkomentar apa-apa, hanya tertawa.

"Kamu hari ini kulian jam berapa?"

"Jam 9. Kakak?" tanya Kyra.

"Jam 10," jawab Raka. "Kita berangkat kampus bareng mulai hari ini. Kirimin aku jadwal kuliah kamu, dan aku bakal kirim punyaku. Kalau bisa, pulang bareng sekalian. Aku mau kita mulai saling mengenal pelan-pelan."

Kyra mengangguk sambil menyunggingkan senyum. "Dengan senang hati."

***

Raka menghentikan mobilnya di depan gedung FSRD yang tak jauh dari gerbang masuk ITB. Kyra keluar dari mobil itu, lalu melambaikan tangan pada Raka yang membuka jendela dan membalas lambaian tangannya. Memang berat bagi Raka, tapi ia harus terbiasa dengan hubungan ini. Ia harus bisa terlihat secara natural tentang hubungan mereka.

Selagi ia melajukan mobilnya perlahan, ia melihat Kyra dikerumuni banyak perempuan seakan itu memang circle pertemanan Kyra. Tapi, semakin diamati, Raka semakin merasa aneh. Meski Kyra di sana menjadi pusat perhatian, tapi entah kenapa, Raka melihat dan merasakan seakan Kyra sedang sendirian, seakan Kyra memasang tembok tinggi untuk membatask hubungannya teman-temannya.

Raka memarkirkan mobilnya di dekat gedung STEI. Ia keluar dari mobil seperti biasa. Tapi, tiba-tiba saja ada yang berlari ke arahnya sambil meneriaki namanya. Tentu Raka tahu siapa, sudah biasa. Tapi, tetap, Raka tak suka menarik perhatian.

"Raka!" sebut Vino dengan tegas. Ia langsung mencengkeramkan kedua tangannya di pundak Raka. "Sumpah demi warung Bu Tejo! Lo serius soal pertunangan lo sama Dewi Mataha-hmp!" Vino berhenti bicara karena Raka langsung membungkam mulut sahabatnya yang sering tak terkontrol itu.

"Tsk! Nggak usah ngegas bisa, 'kan?" tukas Raka kesal. Raka melepaskan mulut Vino, lalu ia menutup pintu mobilnya dan menguncinya. "Itu beneran, tapi gue nggak mau itu kesebar dulu. Sampai hari H, status kami pacaran, biar nggak aneh. Gue nggak mau dia dalam masalah, jadi semua harus hati-hati."

"Masalah?" Vino menatapnya bingung. "Ada apa?"

Sebenarnya, Raka juga tidak tahu pasti, namun ia yakin bahwa Kyra berada dalam posisi yang paling dirugikan dalam segi apapun. "Anak itu nggak kayak yang kita kira," jawab Raka serius. "Keceriaan, senyum, dan kepribadian yang kita kenal, semua itu cuma untuk nutupin kerusakannya. Pertunangan gue sama dia, itu nggak ada untungnya buat dia. Dia ngelakuin ini karena terpaksa. Salah dikit, dia bisa dirugikan."

"Lo tahu dari mana?"

"Dia yang bilang," jawab Raka. "Gue harus selidikin soal orang tuanya."

Vino mencengkeram lengan Raka kuat-kuat dan menghentikan langkah mereka. Vino menatap Raka dengan tatapan menahan amarah. "Lo mau bilang, kalau dia disiksa sama orang tuanya?"

Raka tahu alasan sahabatnya itu tampak marah. Sahabatnya itu pernah memiliki pengalaman serupa. Kembarannya, Vano, meninggal dunia karena depresi oleh tuntutan orang tua mereka. Meski kejadian sebelum mereka saling kenal, tapi Vino pernah menceritakannya pada Raka. "Iya," jawab Raka. "Dia bilang, dia nggak mau jadi boneka orang tuanya. Jadi, dia buat perjanjian sama gue. Dia bakal kasih perusahaan orang tuanya, dan gue harus bisa kasih kebebasan buat dia. Dia bilang, dia bakal pergi. Dan, dia punya pikiran untuk bunuh diri. Karena itu, gue harus hati-hati. Gue minta tolong sama lo juga, bantuin gue. Gue mau dia bebas dan bener-bener bahagia."

Vino tercengang. "Baru kali ini gue lihat lo begitu tertarik sama cewek. Lo keren juga, n*ir." Ia tertawa terbahak-bahak.

"Tsk! Sial." Raka tak bisa membantah kenyataan itu. Nyatanya, ucapan Vino benar.

Setelah pembicaraan mereka malam itu, Raka benar-benar memikirkan banyak hal. Semua ucapan Kyra malam itu ia pikirkan kembali, dan ia mendapatkan kesimpulan bahwa Kyra adalah korban penganiayaan Pratama dan Nirmala. Memang ia tak punya bukti. Karena itulah, ia akan menyelidiki lebih lanjut tentang Pratama dan Nirmala. Dia sudah bertekad untuk menyelamatkan Kyra. Dalam perjodohan ini, dia akan memberikan apa yang Kyra inginkan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status