Share

Raka Akmana

Kyra memang orang yang mudah akrab dengan orang baru, dan ia juga pandai mencairkan suasana. Meski sepanjang perjalanan mereka Raka tidak banyak bicara, namun Kyra merasa suasana di antara mereka tidaklah canggung. Bahkan, menurutnya, Raka cukup asing diajak bicara. Ada banyak topik yang sama-sama mereka suka, karena itulah suasananya cukup baik.

Raka mengantarnya sampai di depan unitnya, bahkan menunggunya sampai masuk ke dalam unit. Kyra masih dapat melihat Raka dari lubang intip di pintu untuk beberapa saat sebelum lelaki kikuk itu pergi. Baru kali ini ada lelaki yang begitu bersikap baik dengan tulus padanya. Selama ini, Kyra hanya bertemu laki-laki yang mendekatinya karena fisik dan sifatnya untuk menjadikannya target pacar. Pertemuan dengan Raka tidak akan ia lupakan. Mungkin, baru kali ini Kyra merasa nyaman bersama seorang laki-laki.

Kyra menjatuhkan tubuhnya di sofa dan berbaring di sana dengan kedua kaki diangkat ke atas lengan sofa. Ia pusing sampai kepalanya seperti berdenyut-denyut seperti debaran jantungnya yang keras dan sedikit menyakitkan, disertai rasa sesak akibat organ di dada kirinya yang tak sempurna itu. Kalau tidak ada Raka, ia pasti akan pingsan di tengah jalan di antara preman-preman yang ia kalahkan, lalu ditemukan seseorang, dan ia akan berakhir di rumah sakit. Ia tak mau.

Drrt. Drrt.

Ponselnya bergetar-getar di saku jaketnya. Dengan tetap berposisi berbaring, Kyra merogoh sakunya dan mengambil ponsel di dalam sana. Ternyata itu sebuah panggilan dari dokternya, Merliana Saputri. Sebelum menjawabnya, Kyra mencoba mengingat-ingat. Jangan sampai ia membuat Rangga kesal karena ia melupakan sesuatu. Ia tak suka diceramahi.

"Ya, halo, Dok?" sapa Kyra dengan nada riangnya.

"Cepet, buka pintu." Dan, telepon itu pun diputus sepihak begitu saja oleh perempuan yang sudah berkepala tiga itu.

Bhak. Bhak. Bhak.

Bukannya mengetuk atau memencet bel, dokter penanggung-jawabnya itu malah memukul pintu berbahan kayu unit apartemennya. Kyra bangkit perlahan-lahan, lalu berjalan agak sempoyongan menuju pintu. Pandangannya menggelap untuk sesaat sampai ia harus berhenti berjalan sejenak sambil berpegangan pada dinding. Dokternya itu sungguh tidak seperti dokter.

"Buru-buru amat, sih, Dok. Pusing, tau," keluh Kyra dengan sinis sambil membuka pintu unitnya lebar-lebar agar dokter penanggung jawabnya itu dapat masuk. "Uhuk! Uhuk! Aw..." Saat kondisinya menurun, batuk yang ia alami bukan hanya karena sesak, tapi juga karena tekanan jantungnya yang bengkak itu. Dan, batuk itu kerap memberinya rasa sakit yang mampu membuatnya lemas.

"Duh, untung gue dateng." Merlin - begitu dokter itu biasa dipanggil - langsung merangkul Kyra dan membantunya berjalan menuju sofa, lalu membaringkannya perlahan. "Gue lihat lo dateng sama cowok. Siapa?"

Kyra masih mencoba menenangkan diri, tapi dokternya seperti tak peduli itu. Kyra tak langsung menjawab. "Raka Akmana, senior beda jurusan," jawab Kyra dengan tanpa nada riangnya. Bahkan, suara itu lebih terdengar lirih. "Tadi, aku digangguin preman pas jalan pulang. Dia bantuin. Tapi, pertarungannya nggak bisa dihindarin," jelas Kyra singkat sambil menahan ketidaknyamanannya.

Merlin menghela nafas kasar. "Untung ada yang bantuin. Kalau nggak, lo udah berakhir di rumah sakit," tukas Merlin agak sinis. "Padahal, gue dateng buat sekedar mampir. Gue habis ada seminar di deket sini. Eh, lo malah tepar gini. Malem ini gue nginep sini aja, besok ke Jakarta bareng gue buat kontrol," ujarnya.

"Hm."

Hubungan Kyra dengan Merlin sudah lebih dari dokter dan pasien. Mereka lebih seperti sahabat dengan perbedaan umur hampir 20 tahun. Tapi, bagi Kyra, Merlin sudah seperti sosok kakak. Sebagai anak tunggal, tentu saja Kyra senang memiliki dokter yang bisa ia jadikan tempat membuang keluh kesah dan pendengar yang baik. Tentu saja, hal itu tidak bisa Kyra lakukan setiap saat. Ia tahu kesibukan Merlin seperti apa.

"Udah makan belum?" tanya Merlin.

"Belum. Beliin makanan, dong, yang ringan-ringan. Mual," kata Kyra lirih.

"Zupa soup, ya?"

"Boleh," jawab Kyra.

"Terus, terus," kata Merlin dengan antusias.

Kyra membuka matanya dan menatap Merlin yang menatapnya dengan tatapan berbinar-binar. "Terus ke mana? Ntar nabrak," tukas Kyra sinis. Ia tak paham arah pembicaraan Merlin.

"Itu, soal senior lo," kata Merlin.

Kyra menghela nafas berat. Dokternya itu memang selalu penasaran tentang hubungannya. Menyinggung satu nama lelaki saja bisa dituntut menjelaskan sepanjang lima gerbong kereta api. "Mending dokter cepet-cepet nikah, deh," tukas Kyra.

"Yeuu! Kok, jadi gue? Gue, 'kan, nanya soal Raka Akmana itu. Lagian, gue belum mau nikah. Baru juga dua tahun gue selesai spesialis," tanggap Merlin. "Lo nggak boleh sendirian gini, Kyr. Kalau lo punya pacar, seenggaknya ada yang ngerawat lo dikit pas lo nge-drop gini. Lo nggak pernah mau punya sahabat, sih. 'Kan, lo yang repot sendiri."

"Aku biasa sendiri, dan selama ini baik-baik aja," tanggap Kyra dengan dingin.

"Yeu! Jangan gitu. Gue nggak mau ditelepon sama dokter di sini gara-gara lo collapse dan sempet henti jantung. Jantung gue juga rasanya mau berhenti," kata Merlin. "Udah, cepet. Gue kepo sama Raka Akmana."

Kyra menghela nafasnya berat, lagi. "Dia Jurusan Sistem dan Teknologi Informasi tahun akhir. Katanya, dia Dewa Kegelapan. Rumor yang beredar, dia suram, pendiam, dan nggak bisa berteman. Tapi, kalau udah pernah ngobrol sama dia, orangnya cuma kikuk dan pemalu aja. Tipe yang nggak bisa ngomong sama orang," jelas Kyra. Lalu, ia terdiam sambil meringis tanpa suara. "Ambilin minum, dong. Sumpah, ini sakit." Tangannya tak lepas dari dada, meremat baju di sana.

"Iye, iye." Merlin pun beranjak pergi ke dapur.

Rasa sakit yang ia rasakan teralihkan sedikit akibat wajah Raka. Bukan masalah ketampanan, tapi karena wajah itu lebih terasa dingin meski sifatnya kikuk, seakan ia menyembunyikan sifat aslinya. Memang, kekikukkan yang Raka tunjukkan seperti natural saja, meski tak cocok dengan mata yang terasa dingin di balik bayangan keningnya setiap kali ia menunduk malu.

"Nih." Merlin menyodorkan gelas berisi air hangat ke samping wajah Kyra.

Kyra membuka matanya perlahan, lalu ia meraih sedotan di sana dan meminum air itu menggunakan sedotan. Merlin tahu ia tak akan sanggup untuk duduk. "Thanks."

"Tapi, dia bisa berantem?"

Kyra mengangguk. "Walaupun kikuk gitu, ternyata dia jago dan tenaganya besar. Padahal, badannya kelihatan kerempeng gitu. Tapi, mungkin karena dia pakai baju hitam longgar, jadi kelihatan kayak nggak berisi," jawab Kyra.

"Lo suka dia?"

"Hah?!" seru Kyra mendengar pertanyaan spontan dari Merlin. "Gimana bisa suka sama orang yang baru ketemu satu kali? Aku bukan Dokter yang bisa dengan gampangnya naksir cowok ganteng sana-sini," tukas Kyra menyindir.

"Santai, dong. Gue cuma nanya," tanggap Merlin.

Bohong jika Kyra tidak tertarkk dengan Raka. Raka yang kikuk itu tampak apa adanya, dan dia tidak bersikap baik yang dibuat-buat seperti orang-orang - terutama lelaki - yang selama ini ia temui karena memandang fisiknya. Tapi, tentu saja, Kyra tak akan dengan mudahnya jatuh hati pada seorang lelaki. Baginya, hubungan seperti berpacaran adalah hal yang merepotkan. Ikatan sahabat saja terdengar berat dan menyulitkan, apalagi pacaran. Lagipula, saat ini ia harus fokus dulu pada kesehatannya.

"Tidur, deh. Nanti gue bangunin kalau makanannya udah dateng," kata Merlin.

"Hm."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status