Share

Kyrana Azaria

Daripada disebut Dewi Matahari, perempuan itu lebih pantas disebut sebagai Dewi Perang Athena. Ia memang cantik, tubuhnya indah meski tidak begitu tinggi seperti seumurannya dan termasuk dalam kategori sangat kurus untuk tingginya. Melihat Dewi Matahari itu mampu melawan preman-preman itu hampir sendirian, hanya itu yang bisa Raka pikirkan.

Saat Raka sibuk tercengang melihat betapa indahnya melihat Dewi Matahari bertarung di kegelapan, Raka menyadari seorang preman hendak menyerang Dewi Matahari dengan sebuah tongkat yang entah datang dari mana. Tubuh Raka spontan mendekati arena pertarungan itu, bermaksud untuk membantu Dewi Matahari, bukan menolong. Ia tahu bahwa Dewi Matahari tidak membutuhkan bantuan dirinya.

Buagh!!

Setelah menahan tongkat yang diayunkan itu yang hampir menghancurkan kepala Dewi Matahari, Raka menghantamkan tinjunya tepat di tengah wajah preman itu. Ia bahkan dapat merasakan tinjunya telah meretakkan tulang hidung preman itu. Ia lupa mengurangi tenaganya karena serangan preman bertongkat itu terlalu tiba-tiba.

"Ah, makasih," ungkap Dewi Matahari dengan tenang.

Raka menolehkan kepalanya ke belakang, dan ia tercengang karena empat preman lainnya sudah terkapar di atas aspal sambil berguling atau mengerang kesakitan. Ia benar-benar telah melakukan hal yang sia-sia karena ikut campur. Tapi, jika dipikir-pikir lagi, kalau ia tidak membantu, maka kampus akan geger karena kabar Dewi Matahari terluka akibat preman-preman ini.

"Hm." Hanya itu tanggapan yang dapat Raka berikan.

"Kak Raka, 'kan, ya?" tanya Dewi Matahari dengan nada yang riang. Raka tercengang kembali, karena Dewi Matahari yang ada di hadapannya saat ini mendadak berubah drastis menjadi Dewi Matahari yang selama ini ia dengar rumornya.

"I-Iya," jawabnya tergagap. Raka tidak pandai berbicara dengan perempuan.

"Kakak, kok, ada di sini? Maaf, ya, Kakak sampai bantuin, tadi," ungkap Dewi Matahari sambil memungut tas ranselnya yang entah sejak kapan sudah berada di atas aspal.

"Oh, um... nggak masalah," tanggap Raka, lagi-lagi ia gagal memberikan respon yang normal. "Ke-Kenapa kamu sendirian? A-Apa sebaiknya aku antar kamu pulang?" tanyanya dengan suara lirih. Ia bahkan tidak berani menatap Dewi Matahari. Bukan hanya karena senyum Dewi Matahari yang terlalu menyilaukan, tapi ia memang laki-laki yang payah jika berhadapan dengan perempuan.

Dewi Matahari menatapnya agak lama. Ia tahu dan sadar itu, meski ia tidak melihat langsung ke arah wajahnya. "Boleh, deh," jawab Dewi Matahari itu dengan nada yang riang. Raka yang tak menyangka tawarannya diterima pun spontan menatap wajah Dewi Matahari itu. "Kebetulan, aku lagi nggak enak badan, Kak. Apalagi, habis berantem tadi, aku makin ngerasa sesek dan pusing."

"H-Hah?!" seru Raka spontan. "Ka-Kalau gitu, kita duduk dulu di situ. Istirahat dulu." Raka yang tak pernah bersentuhan dengan perempuan pun langsung mencengkeram pergelangan tangan Dewi Matahari dan menariknya. Ia cemas, tentu saja. Ia akan lebih panik jika sampai Dewi Matahari pingsan di depannya, sementara ia tidak bisa apa-apa.

Tak melawan, Dewi Matahari ternyata menurutinya pergi ke trotoar. Raka membantunya duduk di tepi trotoar yang lebih tinggi dari jalan aspal, lalu ia mengeluarkan botol minumnya dan langsung memberikannya pada Dewi Matahari. Ia bahkan tak menyangka Dewi Matahari akan menerima air minum yang ia berikan dan meminum langsung dari bibir botol. Mendadak, Raka berdebar-debar, karena ia tak menyangka akan ada adegan ciuman bibir tak langsung seperti ini.

"Ah, seger!" seru Dewi Matahari usai menghabiskan seluruh air minum yang tersisa sepertiga di dalam botol itu. "Maaf, ya, Kak, jadi ngerepotin lagi."

Raka tak percaya melihat Dewi Matahari masih bisa tersenyum lebar dengan wajahnya yang super pucat itu. "A-Apa mau ke rumah sakit? Kayaknya, kamu cukup kesakitan. Wajah kamu sampai sepucet itu," katanya.

"Oh, nggak perlu. Aku anemia, Kak. Gerakan-gerakan cepet kayak tadi emang suka bikin sesek dan pusing. Istirahat sebentar, nanti juga baikan," jawab Dewi Matahari dengan riang. "Oh, iya. Aku Kyrana Azaria dari jurusan DKV, panggil Kyra aja. Aku tahun ketiga. Kakak dari jurusan Sistem dan Teknologi Informasi, 'kan, ya?"

Raka mengangguk. "A-Apa kita pernah ketemu?"

Dewi Matahari bernama Kyra itu menggeleng. "Nggak, sih, seingetku. Tapi, aku tahu tentang Kakak. Kakak cukup terkenal sampai ke FSRD, loh."

"H-Hah?"

Kyra tersenyum lebar. "Katanya, Kakak itu paling suram, vibes-nya negatif, jutek, dingin, dan nggak pernah ngobrol sama siapa-siapa," katanya dengan sangat ringan. Tentu hal itu membuat Raka seperti dijatuhi banyak bebatuan kali besar. Ia sakit hati, tapi ucapan Kyra tak sepenuhnya salah. "Tapi, ternyata itu salah. Buktinya, Kakak mau nolong aku, bahkan Kakak sampai sekhawatir ini. Ternyata, rumor itu hanya rumor aja." Dan setelah menjatuhkan dirinya, Raka merasa dirinya diangkat kembali.

"Ma-Makasih."

"Tapi, Kakak orangnya emang kikuk dan pemalu gini, ya?" tanyanya.

Lagi, Raka merasa tertohok oleh kebenaran yang disebutkan Kyra dengan sangat ringan. "I-Iya." Ia pun menunduk malu sambil membuang muka, sementara tangannya menggarung tengkuk yang tak gatal dengan canggung.

"Hahaha!" Raka tercengang, lagi. Rasanya, ia selalu dibuat terkejut oleh kepribadian Kyra. Saat pertama melihat, sosok Kyra sangat keren dengan ekspresi dingin dan aura yang kuat. Lalu, berubah menjadi perempuan yang periang dan tenang. Kyra begitu berwarna dengan ragam ekspresinya. "Kakak menarik, ya."

Perempuan ini berbeda, begitu pikirnya. Ia tahu bagaimana rumor tengang dirinya beredar. Perempuan ini juga mengetahuinya dengan cukup baik, tapi yang membuat perempuan ini berbeda adalah sikap yang ia tunjukkan padanya. Orang-orang cenderung menjauhinya dan tidak mau berurusan dengannya. Jika harus berurusan, mereka hanya bersikap seadanya dan begitu dingin. Padahal, ia tidak pernah melakukan hal yang merugikan orang-orang. Ia hanya orang yang tak pandai bersosialisasi. Tapi, Kyra menyikapiya dengan biasa, seakan ia orang 'normal'.

"Kakak rumahnya di mana? Jauh, nggak? Maaf, ya. Aku istirahatnya agak lama, padahal udah mau malem gini," ungkap Kyra.

Raka menggeleng sambil menggaruk tengkuk dengan kikuk. "A-Aku tinggal di apartemen nggak jauh dari sini," jawabnya. "Ta-Tapi, kamu gimana? Rumahmu jauh nggak? Kalau jauh, biar aku pesen taksi untuk anter kamu."

"Hm... Kayaknya, cuma ada satu apartemen yang deket dari sini, deh. Apartemen Hedia, bukan?"

Raka mengangguk.

"Wah, syukurlah!" seru Kyra. "Aku juga tinggal di sana, Kak. Aku di Gedung Alpha lantai 15. Kakak di mana?"

"Ge-Gedung Alpha lantai 18," jawabnya.

Kyra mengangguk dengan senyum yang lebar, sangat lebar. "Good," gumamnya. "Yaudah. Yuk, pulang, Kak?" Ia berdiri perlahan-lahan, dan dengan santainya menggunakan pundak Raka sebagai tumpuan. Raka yang terkejut tak bisa melawan, hanya bisa tercengang. "Preman-preman itu biarin aja, lah, ya? Nggak penting juga."

Raka tentu tak memikirkan nasib preman-preman itu. Ia malah khawatir oada Kyra. "Kamu udah kuat jalan? Apa nggak mau pesen ojek aja?"

Kyra menggeleng. "Nggak, ah. Lagian, ada Kakak juga. Kalau ada apa-apa, aku serahin ke Kakak. Aku percaya Kakak." Ia menatap Raka dan menyengir lebar. Senyum lebar yang terlihat sedikit mengkhawatirkan, karena dia tampak masih pucat. Tapi, Raka kagum Kyra masih dapat tersenyum.

Meski ia merasa seperti dikerjai oleh juniornya, Raka tidak berkomentar apa-apa. Jika memang terjadi sesuatu pada Kyra, ia pasti akan membantu dan menolongnya, meski ia tak tahu apa yang bisa ia lakukan. Tapi, melihat dan mendengar bagaimana Kyra bisa bersikap padanya dan mempercayainya, Raka merasa seperti harus melakukan yang terbaik untuk Dewi Matahari itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status