Share

L'Automne du Coeur/XI

Enam bulan berlalu sejak kedatangan ku ke Negara ini. Cuaca sudah mulai hangat, musim Semi pun sudah mencapai puncaknya. Hampir segala hal, anehnya berjalan dengan baik dan damai kalau tidak ingin kubilang terlalu dijaga, di sekitarku. Aku mulai diberikan ruang untuk diriku sendiri di rumah, dan Corrine, Brigitte, Granny Louisa dan juga Richard (saat dia tidak sedang menyebalkan, karena mood swingnya lebih parah dari cewek PMS) bergantian menemaniku mengusir sepi. Nampaknya aku mulai agak betah disini, walaupun aku agak berat mengakuinya.

Tapi tidak semua hal baik berlangsung semester ini di kampus. Oh, aku masih menyukai kampusku seperti saat pertama kali melihatnya. Masih bersemangat mengerjakan semua essay dan tugas dan juga sepenuh hati mengikuti kelasku semester ini. Tapi bukan itu. Bukan tentang kegiatan kampus, tapi tentang kehidupan kampusku. Satu semester nyaris berlalu begitu saja dan aku masih menjadi penyendiri di kampus. Iya, aku tidak punya teman. Hal itu tidak berubah sejak dari Indonesia. Kemampuan bersosialisasiku tetap nol besar.

Kebanyakan waktuku kuhabiskan dengan menggambar, membaca dan bermain desain menggunakan Ipad Pen yang baru - baru ini kuperoleh. Daddy yang memberikanku. Aku bisa menggunakannya untuk membuka social media dan juga berkirim pesan. Lumayan. Setelah memiliki alat komunikasi, keinginan untuk menghubungi Sita, sahabatku di Indonesia. Tapi keberanianku selalu pupus tak bersisa sehingga berkali - kali pula kuurungkan niat itu.

Hari ini, sambil menunggu Richard, aku duduk di salah satu gazebo dan sibuk menggambar dengan Ipad Penku. Beberapa anak lalu lalang acuh di depan ku sibuk dengan urusan mereka masing – masing. Akupun juga acuh, walaupun ada beberapa anak yang aku tau mengambil course* yang sama denganku. Saat itulah seseorang duduk di sebelahku. Aku mencoba mengabaikannya karena mungkin dia hanya ikut duduk disana karena toh ini tempat umum. Tapi kurasakan dia menatapku intens.

“Ya?” Tanyaku sambil mengangkat alis

Dia tersenyum ramah, rambut ikalnya sebahu diurai dan ditahan dengan bandana kawat merah, sesuai dengan sweater tipis merah dan jeans biru ketatnya. “Kulihat kau selalu sendiri, aku jadi penasaran.”

“Ah…” Ya, aku harus menjawab apa?”

“Kau tidak tertarik berteman?” Tanyanya setelah beberapa saat

“Tidak juga. Lebih tepatnya tidak ada yang tertarik berteman denganku”. Jawabku masih sibuk dengan gambarku

“Kamu jurusan seni design?” Aku menggumam mengiyakan. “Kalau aku Textile.” Katanya riang. Aku menatapnya heran. ”Ah, kenalkan, aku Sonia.” Dia mengangsurkan lengannya padaku. “Kamu Mireille kan?”

“Mira. Panggil Mira saja”. Jawabku saat dia terheran. “Aku duluan, sudah di jemput.” Pamitku saat melihat mobil Richard memasuki gerbang.

Dia melambaikan tangan masih sambil tersenyum riang.

Apakah tandanya aku sudah berteman? Belum? Hm… Kenapa rasanya ada yang tidak pas ya?

*** 

“Dapat teman baru?” Sapa Richard begitu aku memasuki mobil.

Aku hanya mengedikkan bahu pelan. Entahlah, bisa iya, bisa tidak. Pikiranku masih di seputar Sita. Apa yang sebaiknya kukatakan padanya saat aku berhasil menghubunginya?

“Hari ini kita kedatangan tamu. Hanya mengingatkan agar anda tidak rebut saat memasuki rumah nanti, Mademoiselle.”

“Richard, please.” Kusandarkan kepalaku di jok mobil sambil memandang keluar jendela. “Harus berapa kali aku mengingatkan? Jangan membantahku, aku sedang tidak mood untuk berdebat denganmu.”

“Kompak sekali kita hari ini, aku juga tidak mood untuk bertengkar, Mira.”

“C’est mieux.  Bagus sekali! Siapa?”

“Hmm?” 

Hubungan kami akhir - akhir ini lebih seperti gencatan senjata. Saat dia kesal padaku, dia akan diam, dan saat aku sebal padanya, aku memilih pergi. Itu lebih efektif dan tidak menguras tenaga bagi kami berdua. Well, bagiku terutama. Karena akhir - akhir ini kurasakan kondisi tubuhku kembali menurun, jadi lebih baik aku menggunakan tenagaku yang tak seberapa ini untuk mengurusi hal - hal yang benar - benar berharga. Dan tidak seorang pun tau, ngomong - ngomong, tentang kondisiku ini.

“Tamunya, Richard. Tamu di rumah.”

Duke Villich dan Ibunya,” Jeda. “Dua hari lagi peringatan kematian Arlaine dan Madame Goureille.”

Aku tercenung mendengarnya. Peringatan kematian. Dua hari lagi. Dan tidak ada yang ‘sempat’ memberitahuku akan hal itu. Kekecewaan merambat naik menggenggam hatiku. Yah, aku toh outsider disini. Mungkin aku memang tidak diundang. Baiklah. Batinku mencoba bijak.

“Mira?” Aku menggumam menjawab panggilannya. “Semua oke?”

“Ya. Jam berapa besok acaranya dimulai? Akan kupastikan aku tenang di dalam kamar dan tidak mengganggu.” Ucapku sedikit agak defensive dari yang kumaksudkan.

“Hei, kau adiknya. Kau harus datang tentu saja.” Richard mencoba mencairkan suasana.

“Tidak. Aku tidak diundang. Akan canggung bagi semua orang jika aku berada disana. Anak yang lain, dari istri yang lain, hadir pada acara peringatan kematian keluarga inti. Lagipula aku tidak mengenal mereka, tidak akan ada bedanya ada aku ataupun tidak.”

“Sampai kapan kau akan membenci mereka?”

“Aku tidak mem….”

“Ya. Jelas sekali terlihat. Kau bahkan tidak ingin mencoba sedikitpun memahami situasi mereka. Kau tidak hanya keras kepala, tapi juga picik dan egois!” Desisnya marah. 

Kalimatnya mau tak mau memancing emosiku. “Aku egois? Tidak memahami siutuasi mereka? Aku berkompromi sejak aku setuju untuk datang kesini. Selalu aku yang mengalah dan mengikuti alur disini!! Aku bahkan tidak tau kenapa harus ada disini, menjalani semua kehidupan ini! Aku tidak memintanya! Tapi adakah yang mengerti? Adakah yang repot - repot menjelaskannya untukku? Tidak! Dan disinilah kau, mengoceh tentang picik dan egois!”

Sempat kulihat buku jarinya memutih mencengkeram erat roda kemudi. Kami terdiam melanjutkan perjalanan ke rumah. Aku sibuk menata emosiku yang sempat terburai karena pancingannya. Dia pikir dia siapa? Dia tidak tau ceritaku, tidak tau perjuanganku, tidak tau apa yang harus kulalui! Dan tiba - tiba saja dia bilang aku picik dan egois! Hah!

Sesaat sebelum mobil berhenti, aku melanjutkan, “Kau tidak mengenalku, dan kau mengenal Arlaine sepanjang hidupmu. Kau tidak menyukaiku tapi kau menyayangi Arlaine sepanjang hidupmu. Kau memujanya dan kau memandang rendah diriku. Pikirkan sendiri apakah itu adil, bagiku? Dan pantaskah jika aku disebut egois dan picik disini?”

Aku membanting pintu mobil dan berderap menuju pintu utama. Amarah masih berkobar dalam diriku. Rasanya ingin berlari dan cepat-cepat mendekam di kamar. Di tempat amanku selama disini. Aku tertawa ironis saat menyadari, bahkan kamar yang kuanggap aman itu pun, bekas kamar seseorang. Ayahku dulunya adalah ayah seseorang, menghilang lama sebelum akhirnya mau mengakui ku kembali sebagai darah dagingnya. Mama pergi meninggalkanku, Eyang tidak menginginkanku lagi. Keluarga disini adalah keluarga bekas seseorang. Semuanya adalah bekas seseorang.

Aku berhenti untuk mengatur nafas sebelum membuka pintu depan, karena kurasakan sesak di dada semakin tak tertahan. Setelah beberapa kali menghela nafas, aku mendorong pintu hingga terbuka dan memasuki ruangan. Di selasar, samar-samar kudengar suara Daddy sedang berbincang dengan beberapa orang. Pintunya terbuka, sehingga mau tak mau aku harus berhenti untu melongok dan menyapa. Bukan untuk menuruti Richard agar tidak membuat ulah, karena aku ingin membuktikan aku bukan orang udik yang tidak punya tata krama.

“Daddy,”

“Cherie,” Daddy berdiri dan memelukku. Dua orang disana, Duke Villich dan seorang wanita yang kuasumsikan sebagai ibunya terdiam mengamati kami. “Ini Mira, anakku.” Daddy mengumumkan sambil masih merangkulku.

Aku menunduk untuk menyapa. Tak sedikitpun mereka bergeming menerima sapaanku. “Aku akan beristirahat di kamar. Silakan lanjutkan obrolannya. Permisi, Dad.”

“Kenapa kau merawatnya? Kau sudah setuju untuk tidak berhubungan lagi dengan perempuan itu.” Suara dingin menusuk itu membuatku mempercepat langkah. Apapun jawaban Daddy, bagus atau jelek, aku tidak ingin mendengarnya. Belum. Belum….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status