Share

Texas

Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.

Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.

Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.

Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.

Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan namanya ketika Harun mempertanyakan. Di sebuah bangku yang terbuat dari bambu yang di rangkai berjajar mereka duduk di bawah pohon pinggir jalan.

Berbincang banyak hal. Hingga tak terasa waktu telah memakan begitu lama. Asih segera berpamitan, juga Harun, harus segera pulang. Hari minggu mereka berjanji untuk bertemu kembali di tempat yang sama dan di jam yang sama sebelum mereka berpisah.

Asih mengayuh sepedanya bersama teman-teman. Matanya beradu pandang dengan Harun. Di ikuti Harun dan gerombolan di belakangnya.  Begitu nampak bahagia di raut wajah Asih dan Harun. Mereka berpisah di persimpangan jalan. Harun masih lurus untuk menuju rumahnya yang lebih jauh dari rumah Asih. Sedang Asih harus berbelok ke timur menuju rumahnya.

Ya, ketika itu, ketika Asih masih menempati rumah di kecamatan tetangga di mana Harun tinggal, Padangan. Sehingga mereka tak perlu jauh-jauh ketika ingin bertemu, tak seperti saat ini. Perceraian kedua orang tua Asih lah yang memaksa mereka harus berjauhan. Asih harus ikut emak kembali ke daerah asalnya. Di sebuah kecamatan berjarak puluhan kilometer dari rumahnya. Rumah Harun teletak di ujung barat sedang daerah dimana mak Ram berasal berada di ujung timur kota Ledre. Namun perasaan mereka tidaklah berubah, bahkan semakin membuncah. Menahan rindu yang semakin menyesakkan dada. Seperti malam ini. Rindu yang memuncak namun tak mendapatkan ujung sesuai harap. Harun mendengus kasar. Napasnya ia keluarkan dengan kasar.  

***

Di tempat yang berbeda. Asih juga nampak cengar-cengir di kursi panjang depan rumah. Angin membelai dengan mesra. Sesekali menarikan anak rambut yang keluar dari ikatan. Matanya yang sedikit sipit memancarkan sinar kebahagian. Di lihatnya daun bambu yang berguguran. Sama sekali tak indah menurutnya. Namun yang ia tahu, daun itu sebenarnya juga tidak ingin gugur. Tapi bisa menerima keputusan sang Maha segala, itulah yang menjadikannya menjadi sesuatu yang berarti. Gugurnya tak sia-sia. Bahkan bisa bermanfaat untuk manusia. Menjadi pupuk kompos.

Asih kembali tersenyum. Ia begitu percaya, kesabarannya tidak akan sia-sia. Hubungannya dengan Harun akan di ridai oleh Tuhan. Ia bahkan tak pernah lelah mendoakan hubungan mereka. Siang dan malam.

Mak Ram menatapnya kasihan. Anak gadisnya menjadi suka melamun sejak di tinggal Harun keluar kota. Wajah ayunya tak seceria dulu. Meski ia menampakkan seolah baik-baik saja.

“Mak?” Asih kaget di buatnya. Mak Ram gelapan. Mak Ram segera melempar senyum untuk menutupi.

Wes adus, Nduk?” Mak Ram mengalihkan pembicaraan. Asih menggeleng sembari tersenyum yang di pasang semanis mungkin. Hari sudah mulai petang, namun ia justru melupakan mandi karena keasyikan melamun.

Apa kabar, Kang? Kau baik-baik saja?

Hatinya ternyata menolak berhenti mengingat Harun. Sembari berjalan, ia terus saja melamunkan Harun. Mudah-mudahan kita bisa segera bertemu lagi ya, Kang. Asih menghembuskan napasnya sebelum memasuki kamar mandi yang hanya terbuat dari terpal yang warnanya sudah mulai memudar dan ada yang sobek di beberapa bagian.

Mak Ram masih tak beranjak dari tempat semula. Kini, wanita empat puluh tahun itu duduk di tempat yang semula Asih duduki. Di kursi panjang yang ada di teras rumah. Maafkan makmu, Nak. Mak Ram mengiba dalam hati. Ingin sekali ia menjelaskan alasannya hari itu menolak Harun. Ingin sekali menjelaskan bahwa pernikahan terlalu dini sangatlah tidak baik. Rawan sekali perceraian. Mak hanya tidak ingin hidupmu seperti mak, Nak. Air mata itu meniti. Diraihnya sepeucuk jilbab yang menjuntai ke depan. Di lapnya air mata itu.

“Mak, kenapa?” Asih mendapati emak sesenggukan sembari mengelap air mata yang mulai berembun. Yang ditanya tak menjawab, hanya tersenyum. Mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

“Nduk, kalau memang Harun itu jodohmu besok pasti akan dipertemukan kmebali begitu juga sebaliknya.” Emak merengkuh anak gadisnya. Mengelus rambutnya yang hitam dan panjang. Asih bergelayutan manja di pangkuannya. Mak Ram mengeluarkan napasnya yang terasa berat.

“Si Genduk dulu ketemu Harun dimana?” Mak Ram memulai perbincangan. Asih tersenyum. Matanya berbinar, menunjukkan betapa bahagianya anak itu.

“Di Wonocolo, Mak. Waktu tasih teng ndalem Padangan.” Asih tak mampu menatap wajah emaknya. Wajahnya benar-benar memerah. Rona bahagia terpampang jelas disana.  Tangan yang mulai nampak banyak kerutan disana-sini masih mengelusnya manja. Wanita itu begitu mengerti perasaan anak gadisnya. Perasaan yang cukup dalam untuk pemuda desa yang bernama Harun. Tak salah memang, pemuda itu begitu sopan, dan baik. 

Mak Ram ingat bagaiamana kisah Prabu Arjunasasra demi bisa meminang Dewi Citrawati. Sumantri, patih Sang Prabu berperang beberapa hari demi mengalahkan Prabu Darmawasesa dari negeri Widarba. Ia juga mengabulkan permintaan Dewi Citrawati, menyediakan putri domas sebanyak 800 dan memindahkan taman Sriwedari dengan bantuan adiknya, Sukasrana.

Bayangan kerja keras Harun agar bisa segera meminang Asih tiba-tiba tebersit. Laki-laki itu mirip sekali dengan Arjunasasra, juga seperti Dasamuka, yang rela melakukan apa saja demi orang tercinta.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status