Share

Texas

Penulis: Senja Maharani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-15 11:52:55

Bayangan Harun menerawang jauh. Di tangkapnya bayang-bayang ketika ia pertama kali bertemu Asih. Gadis itu malu-malu. Senyum indah dan kedipan matanya yang begitu lentik yang menyeret Harun mengajaknya kenalan.

Ia mendekat perlahan. Gadis yang kini berjarak beberapa meter di depannya menampakkan pipinya yang merah merona. Jantung Harun berdetak di atas ambang normal. Namun ia juga bersiap ketika gadis manis itu justru menjauh meninggalkan dia, masih untung jika ia tak di damprat oleh gadis manis itu.

Nuwun sewu, Mbak, angsal nderek lungguh mriki?” suara berat itu bergetar, namun sebisa mungkin Harun menyembunyikan.

Gadis berkaos merah muda dengan lengan panjang itu menoleh. Senyum manis tersungging di bibirnya. Tak ada jawaban, hanya anggukan yang mampu ia berikan sebagai jawaban. Degup jantungnya pun tak kalah dengan Harun. Berdetak lebih kencang dari biasanya.

Harun duduk di sebalah kanan gadis manis yang kala itu menyebutkan namanya ketika Harun mempertanyakan. Di sebuah bangku yang terbuat dari bambu yang di rangkai berjajar mereka duduk di bawah pohon pinggir jalan.

Berbincang banyak hal. Hingga tak terasa waktu telah memakan begitu lama. Asih segera berpamitan, juga Harun, harus segera pulang. Hari minggu mereka berjanji untuk bertemu kembali di tempat yang sama dan di jam yang sama sebelum mereka berpisah.

Asih mengayuh sepedanya bersama teman-teman. Matanya beradu pandang dengan Harun. Di ikuti Harun dan gerombolan di belakangnya.  Begitu nampak bahagia di raut wajah Asih dan Harun. Mereka berpisah di persimpangan jalan. Harun masih lurus untuk menuju rumahnya yang lebih jauh dari rumah Asih. Sedang Asih harus berbelok ke timur menuju rumahnya.

Ya, ketika itu, ketika Asih masih menempati rumah di kecamatan tetangga di mana Harun tinggal, Padangan. Sehingga mereka tak perlu jauh-jauh ketika ingin bertemu, tak seperti saat ini. Perceraian kedua orang tua Asih lah yang memaksa mereka harus berjauhan. Asih harus ikut emak kembali ke daerah asalnya. Di sebuah kecamatan berjarak puluhan kilometer dari rumahnya. Rumah Harun teletak di ujung barat sedang daerah dimana mak Ram berasal berada di ujung timur kota Ledre. Namun perasaan mereka tidaklah berubah, bahkan semakin membuncah. Menahan rindu yang semakin menyesakkan dada. Seperti malam ini. Rindu yang memuncak namun tak mendapatkan ujung sesuai harap. Harun mendengus kasar. Napasnya ia keluarkan dengan kasar.  

***

Di tempat yang berbeda. Asih juga nampak cengar-cengir di kursi panjang depan rumah. Angin membelai dengan mesra. Sesekali menarikan anak rambut yang keluar dari ikatan. Matanya yang sedikit sipit memancarkan sinar kebahagian. Di lihatnya daun bambu yang berguguran. Sama sekali tak indah menurutnya. Namun yang ia tahu, daun itu sebenarnya juga tidak ingin gugur. Tapi bisa menerima keputusan sang Maha segala, itulah yang menjadikannya menjadi sesuatu yang berarti. Gugurnya tak sia-sia. Bahkan bisa bermanfaat untuk manusia. Menjadi pupuk kompos.

Asih kembali tersenyum. Ia begitu percaya, kesabarannya tidak akan sia-sia. Hubungannya dengan Harun akan di ridai oleh Tuhan. Ia bahkan tak pernah lelah mendoakan hubungan mereka. Siang dan malam.

Mak Ram menatapnya kasihan. Anak gadisnya menjadi suka melamun sejak di tinggal Harun keluar kota. Wajah ayunya tak seceria dulu. Meski ia menampakkan seolah baik-baik saja.

“Mak?” Asih kaget di buatnya. Mak Ram gelapan. Mak Ram segera melempar senyum untuk menutupi.

Wes adus, Nduk?” Mak Ram mengalihkan pembicaraan. Asih menggeleng sembari tersenyum yang di pasang semanis mungkin. Hari sudah mulai petang, namun ia justru melupakan mandi karena keasyikan melamun.

Apa kabar, Kang? Kau baik-baik saja?

Hatinya ternyata menolak berhenti mengingat Harun. Sembari berjalan, ia terus saja melamunkan Harun. Mudah-mudahan kita bisa segera bertemu lagi ya, Kang. Asih menghembuskan napasnya sebelum memasuki kamar mandi yang hanya terbuat dari terpal yang warnanya sudah mulai memudar dan ada yang sobek di beberapa bagian.

Mak Ram masih tak beranjak dari tempat semula. Kini, wanita empat puluh tahun itu duduk di tempat yang semula Asih duduki. Di kursi panjang yang ada di teras rumah. Maafkan makmu, Nak. Mak Ram mengiba dalam hati. Ingin sekali ia menjelaskan alasannya hari itu menolak Harun. Ingin sekali menjelaskan bahwa pernikahan terlalu dini sangatlah tidak baik. Rawan sekali perceraian. Mak hanya tidak ingin hidupmu seperti mak, Nak. Air mata itu meniti. Diraihnya sepeucuk jilbab yang menjuntai ke depan. Di lapnya air mata itu.

“Mak, kenapa?” Asih mendapati emak sesenggukan sembari mengelap air mata yang mulai berembun. Yang ditanya tak menjawab, hanya tersenyum. Mengisyaratkan bahwa ia baik-baik saja.

“Nduk, kalau memang Harun itu jodohmu besok pasti akan dipertemukan kmebali begitu juga sebaliknya.” Emak merengkuh anak gadisnya. Mengelus rambutnya yang hitam dan panjang. Asih bergelayutan manja di pangkuannya. Mak Ram mengeluarkan napasnya yang terasa berat.

“Si Genduk dulu ketemu Harun dimana?” Mak Ram memulai perbincangan. Asih tersenyum. Matanya berbinar, menunjukkan betapa bahagianya anak itu.

“Di Wonocolo, Mak. Waktu tasih teng ndalem Padangan.” Asih tak mampu menatap wajah emaknya. Wajahnya benar-benar memerah. Rona bahagia terpampang jelas disana.  Tangan yang mulai nampak banyak kerutan disana-sini masih mengelusnya manja. Wanita itu begitu mengerti perasaan anak gadisnya. Perasaan yang cukup dalam untuk pemuda desa yang bernama Harun. Tak salah memang, pemuda itu begitu sopan, dan baik. 

Mak Ram ingat bagaiamana kisah Prabu Arjunasasra demi bisa meminang Dewi Citrawati. Sumantri, patih Sang Prabu berperang beberapa hari demi mengalahkan Prabu Darmawasesa dari negeri Widarba. Ia juga mengabulkan permintaan Dewi Citrawati, menyediakan putri domas sebanyak 800 dan memindahkan taman Sriwedari dengan bantuan adiknya, Sukasrana.

Bayangan kerja keras Harun agar bisa segera meminang Asih tiba-tiba tebersit. Laki-laki itu mirip sekali dengan Arjunasasra, juga seperti Dasamuka, yang rela melakukan apa saja demi orang tercinta.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LALI   Sepeninggal Asih

    Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi

  • LALI   Kabar Dari Rumah

    Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele

  • LALI   Bara Dalam Hati

    Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa

  • LALI   Cerita Mak Ram

    Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n

  • LALI   Awan HItam

    Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru

  • LALI   Keputusan Harun

    Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status