Beranda / Romansa / LALI / Morat-Marit

Share

Morat-Marit

Penulis: Senja Maharani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-15 11:53:49

Emak tampak merenung. Di pandanginya padi yang ada di pelataran rumah. Harun paham betul apa yang ada di pikiran emaknya. Namun sepatah kata pun tak mampu di keluarkan. Ia pendam mentah-mentah semua yang ada di benaknya. Panen musim ini tak seperti biasanya. Berkurang lima karung lebih. Namun, meski begitu tetap bersyukur.

Janji melamar Asih sewaktu panen membayang seketika. Wajahnya yang ayu, matanya yang teduh, dan senyum manis yang ditambah dengan lesung pipit menambah khas kekasihnya itu.

“Run, udah makan?” Wanita dengan gelungan membuyarkan lamunannya. Harun menatap emaknya dengan seksama. Wanita yang ditatap mengerti perasaan dan apa yang di pikirkan anak laki-lakinya itu. Hanya anggukan dan jawaban enggih yang di berikan. Tanpa basa-basi, ia lalu beranjak dari duduknya dan meninggalkan emaknya. Punggung Harun semakin menjauh. Hal yang wajar, ikatan anak dan emak memanglah begitu kental. Meski senyum manis apapun yang Harun berikan, tidaklah sanggup menutupi was-was di wajah anak sulungnya.

Ia baringkan tubuhnya di amben. Amben tua tempat Harun merebahkan tubuhnya menjadi saksi, sesering apa Harun membayangkan wajah gadis desa kesayangannya ketika rindu membludak di hatinya. Cah ayu, sedang apa kamu? Harun mendengus. Rindunya membuncah tak terkira. Ia tak mampu lagi menahan segala rasa.

 “Le, gak ikut bapak dii sawah?” lagi, suara emak membangunkan lamunanku. Mataku yang mulai terpejam melek seketika.

Bapak sudah berangkat, Mak?” Harun segera tegeragap. Bayangan Asih membayang. Tak ada lagi alasan bermalas-malasan. Asih menunggu pembuktiannya. Ia bangkit, lalu menarik kaos yang tersampir di kursi yang ada di kamarnya.

“Udah. Bapak berangkat dulu tadi. Kelihatannya kamu capek, jadi gak di bangnkan sama bapak.” Emak menjelaskan sembari meninggalkan kamar Harun.

Ia segera bangun dan menuju dimana alat perangnya ia simpan. Lalu pergi meninggalkan rumah joglo dengan sepeda onto yang tak ada selebornya. “Asih, bersabarlah. Akan aku buktikan keseriusanku pada emakmu. Aku akan menuruti permintaan emakmu” semangatnya menggelora. Di kayuhnya sepeda itu dengan sekuat tenaga. Jalan setapak tak lagi ia rasakan. Wajah Asih seolah nampak di ujung sana sedang menunggu kedatangannya, di bengawan Solo. Tempat ia mengais rejeki halal untuk segera menghalalkan Asih.

Ia tiba di sawah lebih cepat dari biasanya. Disana nampak ramai. Beberapa orang sibuk mengumpulkan bulir-bulir padi. Ada yang motong damen atau biasa yang disebut ani-ani. Tiba-tiba, Harun melangah dengan ragu. “Jika hasil panennya tak sesuai harapan, apakah ia bisa datang menepati janjinya terhadap emak Asih?” pikiran itu mengganggu semangatnya. Wajah gantengnya menampakkan kecemasan. Namun, wajah perempuan paruh baya yang melintas segera membakar lagi semangatnya. Dialah mak In, perempuan yang tadi menunggu padi yang di jemur di halaman rumah sembari menumbuk padi agar terpisahkan dari batangnya.

Perempuan yang selalu di bayangakan akan memanggil Asih sebagai anak mantu. Perempuan yang selalu menasehatinya bahwa perempuan tidak hanya kanca wingking. sosok pelengkap.

                                                                                                          

***

Lampu berwarna kuning temaram, menemaninya menyandarkan kepala yang terus di hantui bayang-bayang wajah Asih. Di tatapnya lama-lamat atap yang mulai banyak kukus gantung. Pandangan itu tajam, namun kosong. Pikirannya melayang entah kemana. Ada Asih, ada emaknya, juga masa depan yang tak jelas juga janjinya kepada Mak Ram bahwa ia akan sukses dan segera melamar anak gadisnya.

Kukus gantung itu mobat-mabit di terpa angin. Di belakang kamar Harun, tepat pohon mangga besar. Dari sanalah angin semilir menembus dinding-dinding rumah yang bolong.

Segera di raihnya buku yang tersimpan rapi di bawah kasur. Di sana ada setumpuk surta-surat dari Asih. Matanya mulai melirik sana-sini. Nampak jelas ada sesuatu yang ia pikirkan. Sebuah kalimat pembuka yang akan ia torehkan di kertas putih. Pena di tangannya menunjuk-nunjuk hidung mancung milik Harun. Sesekali di gigitnya, atau di garuknya rambut yang tak gatal.

Sugeng siang, cah ayu....                                                                                            

Apa kabar? Semoga sehat terus ya sama emak. Bagaimana hari-harimu? Baik kah? Aku di sini baik-baik saja, Cah Ayu. Tapi satu yang membuatku tak baik, aku selalu merindukanmu. Wajahmu yang ayu dan senymmu yang manis benar-benar mengganggu hari-hariku. Tapi aku suka, Asih. Oh iya, apakah harimu sama sepertiku? Selalu teringat denganku atau bahkan kamu sudah melupakan aku? semoga kamu tetap berpegang teguh dengan janjimu, selalu bersabar menungguku.

Asih, maksudku menulis surat ini selain mengatakan rinduku yang terus menggebu ingin segera bertemu, tapi juga ingin bercerita bagaimana pendapatan hasil panen tahun ini. Semoga kamu tetap menguatkan hatimu setelah kuceritakan padamu.

Asih, cah ayu. Hasil panen tahun ini berkurang. Sepertinya, kakangmu ini belum bisa nepati janjinya. Maaf ya, Cah Ayu. Tapi percayalah, kakangmu akan tetep berusaha dengan rejeki yang baik menurut Tuhan. Semoga diberi kelancaran ya, Cah Ayu.

Asih, Cah Ayu. Renjaniku. Seumpama kakangmu ini kerja ke luar kota apa kamu mau menungguku pulang? Berusaha mencari tambahan agar bisa cepat menepati janjiku. Siapa tahu rejekinya kakangmu ini ada di luar kota. Tapi seumpama Asih tidak bersedia, kakangmu juga gak memakasa. Selain itu, kakangmu ini juga belum minta ijin emak. Kamu dan emak, dua bidadariku. Renjaniku.

Nduk, Cah Ayu. Sementara ini, cerita ini yang bisa di ceritakan. Hati-hati, jaga diri dan jaga hati buat kakangmu ini ya.

Dari kakangmu, Harun ....

Surat itu di pandanginya sambil mesam-mesem. Seolah menyalurkan perasaan rindunya yang begitu besar ke dalam surat sebelum di lipat lalu di bungkus. Di kecupnya surat yang di tangannya. Lalu di simpannya di balik bantal yang kainnya sudah mulai lusuh, semoga ia bisa bertemu Asih meski dalam mimpi. Perlahan, matanya mulai terpejam. Khayalan tentang ia dan Asih bertemu di kota Anglingdharma mulai menenangkan pikiran dan membawanya ke alam bawah sadar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LALI   Sepeninggal Asih

    Harun menjalani hari-harinya dengan perasaan yang aneh. Ia merasa ada yang kurang dari hidupnya. Perasaan bersalah tehadap Asih teru saja menghantuinya. Hingga suatu malam ia bermimpi bertemu dengan Asih.“Ah, mungkin kamu merindukan dia, Run,” Dewa menanggapi dengan santai.“Bisa jadi, sih, Wa. Tapi keliatannya hari lalu aku nggak mikirin dia, deh, Wa,” Harun menyanggah pendapat Harun.“Atau mungkin dia minta di doain, Wa?” Dewa memberi jawaban yang mampu membuat Harun berpikir dengan serius kali ini.Harun mengangguk sebagai tanda setuju dengan jawaban Dewa, lalu menyeruput kopinya Dewa yang terletak tidak jauh dari Harun.“Kebiasaan, deh, Run,” Dewa melihat Harun yang terbiasa menyerobot kopinya. Harun hanya merenges lalu ia mengajak Dewa ke warung Mak Yem.“Ngapain ke Mak Yem?” Dewa melirik Harun dengan tatapan penuh curiga.“Kamu nggak laper apa?” sekarang gi

  • LALI   Kabar Dari Rumah

    Setelah beberapa kali ia menerima surat dari Asih dan Mak Ram secara terus menerus, Harun akhirnya memutuskan untuk pindah rumah kontrakan, Dewa pun ikut serta bersama Harun.Harun baru saja menempelkan pantatnya pada kursi yang berada di teras rumah. Dewa lalu datang membawa surat berbungkus amplop cokelat. Harun melirik sekejap surat ituyang kemudian tersenyum, “Makasih ya, Wa.”Dewa mengangguk kemudian duduk di sebelahnya dan menyeruput kopi yang ada di tangan kanannya.“Jadi yang tahu alamat ini Cuma emak?” Dewa mulai percakapan.Harun hanya mengangguk, ia sedang sibuk mengeja setiap kata yang ada dalam tulisan surta itu. namun, tiba-tiba Harun mengertutkan keningnya, ekspresinya juga berubah tidak seceria beberapa menit yang lalu.“Kenapa?” tanya Dewa penasaran.Harun masih terdiam, pandangannya masih fokus pada surat yang ada di tangannya. Dewa memperhatikan perubahan ekspresi Harun sedari tadi. Sele

  • LALI   Bara Dalam Hati

    Perlahan matahari mulai turun, Harun menyusuri lorong stasiun dengan tatapan para penumpang. Tubuhnya telah lelah dan juga hatinya. Selepas ia memberikan laporan di kantor Harun segera meninggalkan keramaian tempat umum itu.Harun segera memesan becak yang tengah mangkal di tempat biasa badannya teramat lelah untuk berjalan dari stasiun sampai ke kostnya dengan berjalan kaki. Laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun yang tengah mengayuh becaknya terlihat sesekali mengusap keringat dengan handuk kecil yang melingkar di pundaknya.Selang sepuluh menit becak itu berhenti pada sebuah bangunan rumah yang bergaya modern. Di sanalah ia tengah mengontrak sebuah rumah bersama Dewa. Dewa sedang duduk santai di teras masih dengan baju kerjanya.Setelah mengcapkan salam Harun langsung masuk ke rumah dan menuju kamar yang tengah terbuka lebar. Dewa membiarkan Harun sendiri untuk sementara waktu. Iajuga butuh istirahat setelah terjadi insiden pekerjanya yang kecelakaa

  • LALI   Cerita Mak Ram

    Pagi-pagi sekali Harun telah bersiap lengkap dengan baju dinasnya. Asih memperhatikan Harun dari jauh. Betapa beruntungnya ia jika hubungannya akan baik-baik saja dengan Harun. Asih menepis semua bayang-bayang tentang Harun.Harun mengenakan jaketnya yang berwarna hijau lumut, jaket itu menutup seluruh bajunya yang putih. Ia lalu menyalami kedua orang tuanya, Sekar dan Asih. harun tidak mengatakan apapun untk Asih.Tetangganya yang berprofesi sebagai tukang ojek telah menunggunya di depan rumah. Setelah Harun siap ia kemudian menghilang dari pandangan bersama tukang ojek.Asih berdiri terdiam dan mematung di tempatnya. Ia tidak bisa menafsirkan prihal perasaannya. Emak merangkul pundaknya dan membimbingnya masuk ke dalam rumah.Sekar yang semula masih ngantuk memutuskan untuk kembali tidur. Asih dan Emak lanjut menuju dapur. Mereka harus menyiapkan sarapan sebelum bapak dan Sekar ke tempat tujuannya masing-masing.“Nduk, kamu n

  • LALI   Awan HItam

    Mak Ram datang dengan membawa beberapa tas besar yang terisi penuh. Wajahnya terlihat lelah, ia segera mencari Asih berniat untuk menghilangkan penatannya.Mak Ram mendapati Asih yang tersungkur dalam amben. Suara tangisan terdengar jelas dari sana. Mak Ram segera mendekat dan memeluk anaknya. Namun Asih dengan tegas menolak bahkan menjauhkan tubuhnya dari Mak Ram.“Ada apa, Nduk?” Mak Ram betanya kebingungan.“Harusnya Asih yang bertanya ke Emak, ada apa?” Asih menjawab dengan air mata yang tidak berhenti berlinang.Mak Ram semakin bingung, ia mencoba meraih angan Asih, tapi Asih menepis lagi.“Ada apa?” Mak Ram mencoba bertanya pada Asih sekali lagi.“Ini surat dari siapa, Mak?” Asih memperlihatkan surat yang diberikan Emaknya beberapa waktu yang lalu.Mak Ram bingung, sepertinya Asih telah mengetahui semuanya, pikirnya.“Itu kan jelas dari Harun, Nduk?” Mak Ram beru

  • LALI   Keputusan Harun

    Pagi-pagi sekali Harun telah sampai di pelataran rumah ketika orang-orang hendak berangkat ke sawah. Setelah ia membayar becak Harun langsung masuk ke rumah, rupanya keluarganya tengah sarapan nasi jagung goreng bersama-bersama.“Kang Harun,” Sekar berteriak kegirangan.Emak dan bapaknya yang semula fokus sama sepiring nasi kini mengalihkan perhatiannya. Senyumnya mengembang melihat Si Sulung. Harun segera mengulurkan tangan untuk mencium tangan bapak dan emaknya.“Kok tumben wes bali maneh?” Emak bertanya curiga.“Kangen rumah, Mak,” Harun menjawab dengan senyuman setelah emak mencium kening anaknya.Nasi jagung goreng adalah makanan kesukaan Harun, matanya tidak bisa lepas dari nasi goreng yang tengah terhidang di meja. Harun kemudian segera mengambil piring yang ada di dapur dan ikut sarapan bersama.Bapak telah usai makan terlebih dulu, ia bergegeas hendak pergi ke sawah. Itu terlihat dari baj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status