"Lang, berita sudah viral walaupun banyak juga yang tidak percaya, karena yang menyebarkan namanya tidak jelas," kata Clara tertawa saat kami di ruang kerjaku.
"Tidak masalah yang kita mau reaksi Dharma"
"Jadi apa rencana kita selanjutnya?" Dia bertanya lagi.
Tiba-tiba pintu ruang kerjaku terbuka dan kami terkejut melihat siapa yang datang. Walau pun aku sudah menduganya.
"Kalian punya kopi?" Boots masuk dengan tenang dan langsung duduk, lalu meletakkan amplop cokelat besar dan tebal di hadapanku.
"Kopi segera datang," jawab Clara antusias dan langsung memesan pada anak buahku.
"Jadi semua ini rencanamu?" tanyaku tajam.
Dia mengangkat bahunya. "Semua bukti kejahatan Dharma dan anaknya ada di situ." dia menatapku sambil menunjuk amplop.
"Dan kau ..." Dia melirik Clara. "Jangan mempublikasikan ini sebelum
Dharma langsung menatap Boots angkuh menutupi keterkejutannya. "Jadi kau ingin balas dendam padaku?" Dharma tertawa mencemooh. "Ibumu hanya anak haram tak berarti, dia dan ibunya sama-sama murahan, dia pantas diperkosa. Dan aku sangat menikmatinya saat melakukan itu." Pria itu menyeringai bak iblis.Boots tersenyum. "Sepertinya tidak akan ada acara haru biru di antara kita ... Ayah." Boots menekan kata ayah dengan nada jijik.Dharma kembali tertawa sampai wajahnya terangkat keatas. Lalu memandang Boots rendah. "Kau pikir aku sudi mengakuimu sebagai anak?" Dia meludah.Boots mengangkat bahunya. "Kalau begitu, aku akan jadi anak durhaka sepertinya." Boots pura-pura sedih."Apa maksudmu?"Boots tersenyum. "Bukti kejahatanmu dan putramu sudah di tanganku selama ini, dan sudah kuserahkan pada Langit, anak Alfredo. Jadi walaupun kau membunuhku malam ini, kau akan tetap hancur
Joachim Bameswara menoleh ke arah pintu ruang tahanannya saat seorang penjaga penjara mengetuk pintu. "Ada tamu untuk, Bapak," kata si sipir penjara. Joachim Bameswara, seorang mantan Menteri Pertahanan yang juga seorang Jendral dari militer Angkatan Darat republik Indonesia itu mengangkat wajahnya tinggi, ingin menunjukkan dia masih harus disegani.Tentu saja sipir penjaga itu takut padanya. Dia bangkit dari tempat tidurnya yang empuk, dan mematikan televisi yang sedang dia tonton. Sudah bukan rahasia lagi kalau di negara ini, tahanan dari pejabat pemerintahan mendapat pelayanan eksklusif. Kamar tahanan yang nyaman, lengkap dengan kamar mandi dan televisi, bahkan fasilitas mewah lainnya. Membuat para tikus-tikus penjahat berdasi itu tidak akan pernah kapok dengan kejahatan mereka. Fasilitas itu juga yang di dapatkan oleh Joachim Bameswara dan Keluarga Adhiyaksa yang saat ini juga sedang di tahan.
Langit Berita kematian Dharma dan Panji Adhiyaksa semakin menggegerkan negeri ini, bahkan sampai ke luar negeri. Pistol yang ditemukan di tangan keduanya, menunjukkan seolah-olah mereka berdua bunuh diri. Spekulasi pun bermunculan. Mungkin karena malu, mereka memilih bunuh diri. Tapi tidak sedikit juga yang berasumsi kalau mereka sengaja di bunuh. Tentu saja berita bunuh diri itu bohong. Dharma bukan orang yang mudah putus asa sehingga harus membunuh dirinya sendiri dan mengajak putranya melakukan hal bodoh itu. Sudah jelas mereka di bunuh. Pihak kepolisian dikecam. Bagaimana mungkin kedua ayah anak itu lolos membawa senjata ke dalam tahanan. Atau bagaimana mereka mendapatkan senjata itu? Kalau mereka dibunuh, siapa yang melakukannya? Namun masyarakat kebanyakan tidak peduli pada kematian para Adhiyaksa itu. Kalau pun mereka hidup, tidak ada yang bisa menjamin mereka akan mendapat hukuman yang setimpal kejahatan mereka melihat bagaimana kondisi keadilan di negeri ini. Tidak ada
Langit Hari ini aku sangat lelah, akhirnya terungkap siapa dalang dibalik semua kejadian yang menimpa Camelia Soetedja, istri Abraham Soetedja. Esok lusa aku akan berangkat ke Rusia, dan aku belum tahu berapa lama tinggal di sana. Hidupku memang tidak punya kepastian. Ponselku tiba-tiba berdering, nama Ayah angkatku tertera di layar. "Ya Pi?" "Kau sekarang di mana?" "Baru sampai rumah Pi." "Kau tidak rindu pada papi? Sejak kau di Jakarta tidak pernah datang menemui papi." "Papi kan sedang tour?" Aku tertawa. "Papi sekarang sudah di Jakarta dan besok malam kau harus datang di acara ulang tahun papi. Kau juga sudah lama tidak datang ke rumah." "Iya Papi." "Kapan kau pergi dari Jakarta? Atau kau sudah ingin menetap di sini?" "Lusa aku berangkat ke Moskow." "Kau tunda dulu, dan lusa kau harus menemani papi memancing, jangan menolak!" Aku menarik nafas. "Iya P
Saat aku tiba di rumah keluarga Tahitu, di sana aku melihat sudah banyak mobil terparkir di halaman depan rumah kami yang luas. Aku turun dari mobil bersama dengan sahabatku Clara. Tadinya aku ingin datang sendiri, tapi entah mengapa aku merasa perlu membawa seseorang sebagai tameng. Awalnya Clara tidak mau kuajak, setelah dengan berbagai bujukan dan aku berjanji akan membuatnya pergi berkencan dengan sahabatku, Jack Bameswara, dia pun langsung bersedia. Malam ini ayahku akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Sejauh aku mengenal seorang Ray Tahitu, dia bukan orang yang sentimentil seperti merayakan ulang tahun. Aku sedikit heran dengan adanya acara ini. "Mas Langit, apa kabar? Sudah lama Mas tidak kemari." Pak Hendra, dia adalah security yang sudah lama bekerja pada keluarga Tahitu, menyapaku dengan gembira. "Kabar saya baik Pak Hendra. Bapak sendiri bagaimana?" Aku merangkul bahu pak Hendra yang sudah tua, dan sepertinya dia tetap be
Saat aku tiba di rumah keluarga Tahitu, di sana aku melihat sudah banyak mobil terparkir di halaman depan rumah kami yang luas. Aku turun dari mobil bersama dengan sahabatku Clara. Tadinya aku ingin datang sendiri, tapi entah mengapa aku merasa perlu membawa seseorang sebagai tameng. Awalnya Clara tidak mau kuajak, setelah dengan berbagai bujukan dan aku berjanji akan membuatnya pergi berkencan dengan sahabatku, Jack Bameswara, dia pun langsung bersedia. Malam ini ayahku akan merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun. Sejauh aku mengenal seorang Ray Tahitu, dia bukan orang yang sentimentil seperti merayakan ulang tahun. Aku sedikit heran dengan adanya acara ini. "Mas Langit, apa kabar? Sudah lama Mas tidak kemari." pak Hendra, dia adalah security yang sudah lama bekerja pada keluarga Tahitu, menyapaku dengan gembira. "Kabar saya baik Pak Hendra. Bapak sendiri bagaimana?" aku merangkul bahu pak Hendra yang sudah tua, dan seperti
RizkaAku meninggalkan Langit yang baru saja menciumku. Tubuhku masih bergetar efek dari ciuman kami yang panas. Setelah tiga tahun, ternyata aku masih belum bisa lepas dari pengaruhnya. Tubuhku masih mendambakan sentuhannya, hatiku berkhianat karena ikut mendamba, tapi untungnya pikiranku masih bisa menguasai hasrat dan kerinduanku pada Langit. Aku mengambil minuman yang dibawa seorang pelayan yang lewat di hadapanku, aku butuh minuman saat ini. "Bunga apinya tadi bagus ya?" Tiba-tiba kakakku, Ronan, berdiri di sampingku. Aku yang sedang minum terbatuk karena terkejut. "A-apa, Kak?""Bunga apinya bagus." Dia tersenyum menatapku sambil memainkan gelas di tangannya."Bunga api?" Aku bingung tak mengerti."Iya bunga api. Di langit." Sekarang dia terkekeh. Bunga api? Astaga adalah saat aku berciuman dengan Langit! Ingin rasanya aku ditelan bumi sekarang, pasti kakakku curiga den
RizkaPonselku berdering, saat aku tiba di rumah.“Halo?“"Rizka, Kakak akan menjemputmu nanti malam jam tujuh."Panggilan kami terputus tanpa menunggu jawabanku.Sebelumnya, tadi siang Langit menghubungiku dan memberitahu kalau Opa meminta kami berdua datang ke rumahnya.Kakak? kakak apa yang mencium adiknya penuh nafsu?Aku tidak tahu apa yang ingin Opa bicarakan pada kami, dan kenapa harus bersama Langit?Aku melihat jam menunjukkan pukul enam. Aku langsung mandi dan bersiap-siap.Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku memakai riasan tipis. Ponselku berdering, aku mengangkatnya."Kakak, di depan rumah, kau keluar sekarang.""Oke."Laki-laki ini, selalu menganggap dirinya berkuasa, memerintahku seperti anak kecil.Aku menatap diriku di cermin m