Lalu Zoelva menceritakan semua keluhannya seperti yang diceritakannya kepada Pak Suhendi tempo hari. “Apakah secara psikis saya menderita kelainan, Dok?”
“Menurut analisa saya, Pak, eh Mas saja mungkin, ya? Menurut analisa saya, Mas Zoelva tidak mengalami kelainan seperti itu. Hanya orientasi seksual saja, dan oriantasi seksual adalah kecendurang psikis secara alami, selama itu orientasinya heteroseksual yang umum atau yang disebut seksual dengan lawan jenis. Hanya saja mungkin, kecenderungan itu sebagai dampak dari kekecewaan masa lalunya Mas Zoelva terhadap mantan kekasihnya yang seorang gadis.”
Zoelva mengangguk-angguk pelan. “Begitu ya, Dok. Berarti fobi saya tidak benar ya Dok.”
“Benar sekali, Mas Zoelva. Oh ya, maaf, apakah Mas Zoelva pernah mengadakan hubungan (sembari mengisyaratkan tanda petik dengan dua jari telunjuknya) dengan seorang gadis setelah putus dengan pacarnya?”
“Tidak, Dok, karena saya tidak lagi merasa sreg dengan seorang gadis.”
Dokter Ellysa mengangguk-angguk. “Maaf, usia Mas Zoelva sudah berapa?”
“Usia saya sudah memasuki 27 beberapa bulan yang lalu, Dok.”
“Sudah bekerja? Atau punya usaha?”
“Alhamdulillah, sudah Dok.”
“Secara usia, mental, dan ekonomi Mas Zoelva sudah matang dan mapan untuk menikah. Saya anjurkan Mas Zoelva untuk menikah. Atau sudah ada rencana untuk itu?”
“Rencana ada, Dok, tetapi calonnya yang belum ada, hehehe.”
Dokter Ellisa tersenyum mesem. “Carilah. Menurut saya, Mas Zoelva bisa dengan mudah untuk mendapatkan calon jodoh jika Mas Zoelva punya niat. Maksud saya begini, problem Mas Zoelva ini bisa hilang dengan sendirinya jika sudah berkeluarga.”
“Berarti apa yang dikatakan oleh Bro Hendi benar juga,” gumamnya seolah-olah pada dirinya sendiri.
“Maaf...?”
“Oh, tidak apa-apa, Dok,” sahut Zoelva agak terbata-bata. “Baik, Dok, saya akan mempertimbangkan anjuran Bu Dokter.”
“Baiklah, Mas Zoelva. Kalau Mas Zoelva suatu saat ingin berkonsultasi online, hubungi saja saya kapan saja,” ucap Dokter Ellysa seraya menyerahkan kartu namanya kepada Zoelva.
“Oh, baik, Dok, terima kasih.”
“Sama-sama, Mas Zoelva.”
Dari tempat praktek dr. Ellysa, Zoelva rencananya akan langsung pulang ke kediamannya di daerah Sawah Besar, Jakpus. Saat mobil melaju pelan di Jl. Mayjen Sutoyo akibat kondisi jalan yang lumayan macet, ia melihat Bu Latifah berdiri di trotoar di antara para pejalan kaki lainnya. Mungkin dia sedang menunggu taksi atau jemputan. Ia langsung menepikan mobil BMW-nya, tepat di depan wanita itu berdiri.
“Maaf, Ibu Latifah sedang menunggu jemputan atau taksi?” tanya Zoelva sopan.
“Eh, Dek yang di dokter tadi ya?” ucap wanita itu, sedikit kaget.
“Iya, Bu...”
“Iya nih, Dek. Lagi nunggu taksi. Tapi dari tadi taksinya sudah berpenumpang.”
“Bu Latifah tinggal di daerah mana?”
“Di Matraman, Dek...”
“Oh berarti kita searah, Bu. Saya di daerah Cempaka Putih. Mari Bu, ikut saya saja. Khawatir Ibu lama baru dapat taksinya, ini sudah hampir magrib.”
Tak ada keraguan di wajah Bu Latifah. Tentu, dari penampilannya saja, pria muda yang menawarinya kebaikan itu mencerminkan orang yang berkelas dan berwibawa. Walaupun ia belum mengenal namanya, tapi dia sempat mengobrol di ruang tunggu praktek dokter tadi. “Apa tidak merepotkan adik?” tanyanya.
“Oh, tentu sama sekali tidak, Bu. Mari...”
Zoelva turun dari mobilnya untuk membukakan pintu depan mobilnya untuk wanita, yang menurut pikirannya memiliki kecantikan bak seorang bidadari itu. Tapi tak perlu diusut, kapan dia pernah melihat bidadari, ntar panjang lagi perdebatannya. Hahaee.
“Maaf, Bu Latifah asli orang sini juga?” tanya Zoelva ketika mobilnya ia lajukan kembali.
“Oh tidak Dek...”
“Oh iya, nama saya Zoelva, Bu. Zoelva Paranaka. Kalau nama ibu saya masih ingat, pas tadi asisten dokter menyebut nama Ibu, hehehe. Maaf...”
Bu Latifah menyembunyikan tawa kecilnya dengan ujung hijab lebarnya. “Oh Dek Zoelva. Maaf ya, saya panggil Dek saja, karena saya yakin usia saya lebih tua dari saya.”
“Iya, silakan, Bu Latifah, hehehe,” sahut Zoelva sembari sesaat melirik ke Bu Latifah di sampingnya. “Usia saya beberapa bulan yang lalu baru masuk 27 tahun, Bu.”
“Oh masih muda. Saya sudah 35 tahun, Dek Zoelva. Sudah tua, kan?”
“Ah, belum Bu. Masih muda, terutama jika dilihat dari wajah Bu. Maaf, malah tadi saya kira-kira usia Bu Latifah sekitar 30 tahun,” ujar Zoelva tanpa bermaksud memuji, karena kenyataannya seperti itu.
“Ah, bisa saja Dek Zoelva. Ibu sudah lumayan tua kok. Eh iya, tadi Dik Zoelva tanya apa...?”
“Tadi saya tanya, Bu Latifah asli orang sini?” Lampu merah menahan laju mobilnya.
“Oh tidak, saya dari Demak, Dik Zoelva. Di jakarta ini saya hanya lagi jalan-jalan saja, terus saya berkonsultasi di dokter tadi, mumpung sedang di Jakarta.”
“Oh, begitu. Dari Kota Wali rupanya? Tapi...Bu Latifah mirip-mirip blasteran Arab, mungkin?”
“Hehehe, benar Dek Zoel. Tepatnya blasteran Jawa-Pakistan. Pakisatan dari jalur ayah saya. Dek Zoelva sudah pernah ke Demak?”
“Sudah beberapa kali, Bu.”
“Ke Demak dalam rangka wisata religi atau dalam rangka kunjungan kerja?”
“Hm, bisa dikata dua-duanya Bu, hehehe. Terus ke Jakarta Bu Latifah sama siapa?”
“Dengan saudara saya, cewek.”
“Oh, begitu.”
Setelah itu tak ada lagi yang pembicaraan. Zoelva tak ingin terus bertanya, takut dibilang kepo. Bibirnya terasa mengering. Seumur-umur, dia belum pernah merasakan bibirnya mengering seperti ini. Sang bidadari di sampingnya benar-benar mampu membuat pikiran hingga bibirnya mengering, ckckck.
Lampu merah berganti hijau.
Tiba-tiba Bu Latifah bertanya, “Maaf, Dek Zoelva punya nomor WA atau akaun F******k?”
“Oh, ada, Bu. Nomor saya...081xxxxxxxxx. Dan nama akun F* saya sama seperti nama asli saya, Zoelva Paranaka,” jawab Zoelva tanpa menoleh pada lawan bicaranya karena saat itu ia sibuk melihat jalan di depan yang makin macet saja.
Bu Latifah mencatat dan men-save nomor yang disebutkan oleh Zoelva itu di hapenya. Setelah itu ia masuk ke akun F******k-nya, dan menelusur nama yang disebutkan oleh pemuda di sampingnya. Dapat. Hmm, ternyata dia seorang ekskutif muda? “Ini ya Dek, akunnya?” Ia memperlihatkan layar hapenya.
Zoelva menoleh. “Iya Bu, benar sekali.”
“Saya add ya? Nama akun saya Latifah Khairani, nama asli saya.”
“Oh baik Bu Latifah, nanti sampai rumah saya akan konfirmasi. Terima kasih, Bu.” Zoelva tersenyum semanis mungkin.
“Sama-sama, Dek Zoelva. Ini sudah sampai, Dik. Berhenti saja setelah di halte itu.”
“Oh iya, Bu.”
Ketika akan keluar dari mobil, wanita itu mengucapkan terima kasih dan dijawab oleh Zoelva dengan ucapan, “Sama-sama, Bu Latifah.”
Namun saat sudah di bawah, Bu Latifah menengok ke dalam mobil melalui jendela depan dengan sedikit membungkukkan tubuhnya, “Ngobrolnya ntar kita lanjutkan lewat hape ya Dek Zoelva?”
“Oh, dengan senang hati Bu. Mari Bu Latifah...”
“Ya, mari, hati-hati ya...?”
Zoelva hanya mengangguk sekali dan tersenyum lalu menjalankan kembali mobilnya.
Lama Zoelva duduk merenung sembari menutup kedua matanya dengan kedua tangannya, sebelum mengucapkan lagi selamat tinggal kepada Latifah dengan menjamah kayu nisannya. Saat keluar dari komplek makam, dan hendak menuju kendaraannya, Zoelva sempat melihat sosok seorang wanita yang berpakaian baju muslimah berwana hitam hingga ke hijabnya. Jaraknya sekitar dua puluhan meter. Firasat Zoelva mengatakan, bahwa wanita itu memperhatikannya sejak tadi. Saat ia menoleh ke arahnya, dengan cepat wanita itu memalingkan wajah ke arah lain.Mungkin hanya peziarah juga, pikir Zoelva pula, kemudian melanjutkan langkah ke kendaraannya. Tujuan Zoelva selanjutnya adalah menuju Pantai Morosari Sayung. Ia ingin bernostalgia di tempat itu. Di pantai berhutanmangroveyang dulu pernah ia kunjungi bersama
Hingga sampai pada suatu hari--seminggu setelah kamividcallterakhir--, saat ia menengok kembali linimasa akunFacebook-nya Sang Bidadari, di situ terpampang sederetan ucapan dari teman-temanFacebook-nya. Ucapan yang tak mungkin ia bisa mempercayainya. Sampai-sampai ia mengira, bahwa ia sedang mengalami sebuah mimpi yang paling buruk. Namun, ketika ia menggigit bibirnya kuat-kuat, ia merasakan sakitnya yang sangat.Oh, saya tidak sedang bermimpi,jerit Zoelva dalam hati. Deretan ucapan belasungkawa di linimasa itu benar nyata adanya. Itu tak mungkin mereka sedang bercanda. Yeah, Latifah, sudah tiada! Sang bidadari itu telah kembali ke ‘khayangan’. Ia telah melupakan segala dukanya. Tak terasa air mata Zoelva mengalir keluar, tanpa mampu ia tahan. Ada hunjaman kep
Dua hari kemudian mereka pulang ke Jambi. Ia disambut oleh keluarga besarnya seperti orang yang baru turun haji di zaman dulu. Sentuhan tangan mereka menjadi obat pemulih sendiri baginya. Zaenab juga datang dari Seulak, dan menginap di rumah orang tuanya Zoelva. Ia ikut merawatnya menurut pengetahuannya. Karena ia bukan dokter umum, melainkan dokter gigi. Dan alhamdulillah, berkat sentuhan semuanya, dalam waktu beberapa minggu saja kondisi Zoelva sudah berangsur-angsur pulih. Allah telah mengembalikan semua kenikmatan indrawinya yang sempat dicabutNya. Terimakasih ya Rabb, ya Allah. Bahkan ia sudah mulai kuat untuk menyalurkan hobi lamanya, yaitu memancing. Sungai-sungai yang ketika ia masih SMP dan SMA dulu, ia jajaki kembali. Dan...ohya, kerinduan Zoelva kepada Latifah pun bisa terobati. Saat ia kembalion-lineatau mem-vidcall
Zoelva pun membalas pertanyaan Latifah dengan argumen yang masuk akal, "Mbak, ada berbagai cara yang bisa ditempuh oleh seorang laki-laki untuk mendapatkan cintanya seorang wanita pujaan hatinya, termasuk bila perlu adalah dengan cara membohonginya secara halus, mungkin. Tetapi kami menggunakan jurus berbohong hanya agar kalian mau menerima cinta kami, dan itu pun sebagai jalan terakhir. Tapi itu sama sekali bukan ingin berniat jahat. Justru demi cinta!” Tak ada tanggapan dari sang bidadari di seberang. Zoelva pun melanjutkan: “Mbak Ifah kan masih ingat dengan kisah legendaJaka Tarubyang pernah kita bahas di awal-awal kita ber-video call? Tentu Mbak Ifah pun sudah akrab dengan legenda masyhur dari Tanah Jawa itu.JakaTarubadalah seorang pemuda yang sangat baik dan memiliki cinta yang sejati. Namun
“Oh, gara-gara itu masalahnya?” balas Zoelva. Dia cemburu rupanya? Zoelva jadi tertawa dalam hati oleh sikap sang bidadari. Tertawa dan mungkin sedikit bangga dan tersanjung karena dicemburui oleh wanita secantik itu. Tapi kemudian dia lanjut menulis, "Lantas masalahnya apa, Mbak? Kenapa Mbak Ifah mesti cemburu? Bukankah hubungan antara kita hanya sebatas sahabat?" "Saya bukan cemburu, hanya kesal saja karenaAkhimembohongi saya. KatanyaAkhinggakpunya WIL di dunia maya. Nyatanya…?" "Bukan cemburu?" kejar Zoelva, "Kalau bukan cemburu lantas artinya apa?" "Saya marah saja. KarenaAkhiternyata berbohong pada saya," tulisnya. &
Sepasang suami istri menyambut mereka. Kata Zaenab, mereka adalah Pangah Mat Yasid dan Bingah Hawsah. Mereka duduk berbincang-bincang di luar bangunan sejenis gazebo yang khusus untuk menerima tamu. Mungkin memang sudah direncanakan sebelumnya, tak lama mereka sampai, suami istri itu menjamu mereka makan dengan berbagai lauk pauk dari bahan daging yang olah secara istimewa. Ada yang dipanggang dan ada yang dimasak kuah. “Bang Zoel makan kambingkah?” tanya Zaenab. “Nggak, Dik Zaenab, kalau dagingnya makan?” Jawaban Zoelva itu tak urung membuat sang dokter muda itu langsung menutup mulutnya dengan tisu. “Saya itu jenis omnivora kok, Dik. Asal halal saja,”