Share

PART 02

       Memang, sejak ia putus dengan Niken Hapsari, Zoelva tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun. Hatinya sudah terlanjur kecewa, atau lebih tepatnya trauma psikis dengan yang namanya cinta. Harapan dan cintanya yang pernah ia curahkan dengan tulus, malah dicampakkan begitu saja oleh Niken, gadis yang sangat ia cinta dan sanjung.

       Tak pernah lagi menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun, artinya memang setelah itu ia menjalin hubungan semacam sekedar iseng saja. Entah sudah berapa banyak wanita yang telah jatuh dalam pelukannya (namun lebih tepatnya, ia jatuh ke pelukan wanita) namun tanpa satu pun terhadap wanita-wanita itu ia libatkan hatinya, perasaan cintanya. Nyaris seluruhnya hanya melibatkan tuntutan biologisnya semata.

       Ya, hanya mengikuti tuntutan biologisnya semata. Niken Hapsari bukan saja telah membawa pergi separuh jiwanya dan nyaris seluruh ruang batinnya, namun juga telah meninggalkan pelajaran penting untuknya, yaitu: pelajaran dan kemahiran dalam bercinta. Memang dalam urusan bercinta (ranjang), gadis itu lebih berpengalaman dan lebih mahir dari dirinya yang sebelumnya hanyalah seorang pemuda yang masih awam dalam urusan yang demikian. Bahkan sekedar mencium pipi seorang wanita pun baru sekali ia melakukannya, yaitu terhadap pacar waktu SMA di hari ulang tahun pacarnya itu. Pacar tatkala masih dalam level cinta monyet. Tapi dengan Niken Hapsari, ia benar-benar ditarik untuk naik ke level cinta gorila, hehehe. Dan hasil pelajaran dari sang mantannya itu menjadikan Zoelva sebagai ‘pendekar cinta’ sejati. Tapi tatkala sang ‘mentor’-nya itu berhianat dan meninggalkannya, maka ia jadi seorang ‘pendekar’  yang merana, yang otomatis tak lagi menikmati sebuah ‘pertarungan’. Hatinya memang bisa beku dan mengenal rasa kecewa, tetapi kan biologisnya tidak pernah mengenal kondisi-kondisi seperti itu. Dan ia masih tetap sebagai seorang pemuda, brondong, yang sangat normal!

Hanya saja, setelah putus dan ditinggalkan oleh Niken Hapsari, kesukaan Zoelva lebih cenderung pada wanita-wanita yang usianya lebih tua dari usianya. Umumnya yang sudah berusia di atas tiga puluhan tahun. Tentu saja wanita-wanita yang ia maui adalah wanita-wanita yang berkelas, cantik, dan dukungan bodi yang ia nilai memiliki daya pesona seksual, menurutnya. Artinya ia tidak asal menyukai wanita yang suka mencari perhatian atau menggodanya. Karena memang ia sangat jarang untuk menggoda wanita. Justru wanitanya yang menggodanya. Mungkin benar juga ya, menurut sebuah status F* seseorang yang tak perlu disebutkan namanya, bahwa godaan terbesar seorang laki-laki tampan itu adalah wanita dengan landasan nafsunya.

       Wanita yang dikencaninya itu pasti dia panggil: “Mpok”, “Mbak”, “Teteh”, “Kakak”, “Tante”, “Bunda”, atau panggilan serupa bagi wanita yang jauh lebih tua daripada usianya sendiri.  Sebagian dari  wanita itu ia kenal melalui sosmed, dan sebagian lainnya lewat pergaulannya yang luas di dunia nyata.  Zooelva tak mempersoalkan status wanita-wanita itu. Karena menurutnya, kalau namanya  zina ya tetaplah zina, mau dengan gadis, janda, atau pun istri orang. Berzina kok milih-milih?

        Di mata para karyawannya, Zoelva, adalah seorang bos yang baik, ganteng, berwibawa, dan tampak alim, karena disebabkan ia sangat rapi menyimpan sisi buruknya. Ia sangat jaim (jaga imej). Padahal sesungguhnya ia adalah seorang penyuka wanita sejati, dan bukan sang pecinta wanita. Kasarnya: ia adalah seorang pendosa, pezina!

      Petualangan nyleneh-nya dia sendiri mengakuinya, seperti kepada seorang rekan bisnisnya, suatu hari, yang bernama Pak Suhendi, namun diakrabinya dengan panggilan Bro Suhendi. Tetapi oleh Bro Suhendi  hanya menanggapinya dengan santai saja, “Di era teknologi informasi kini, hal semacam itu tak perlu diceritakan lagi, Brother. Sebab saya pun kadang melakukan hal seperti itu. Salah satu dosa terbesar di akhir zaman!”

       “Iya, saya juga menyadari itu,” sahut Zoelva. “Tetapi setiap habis mengencani wanita, saya selalu merasakan dosa itu nyata.  Namun perbuatan yang sama tetap saja saya lakukan, lakukan, dan lakukan. Dan ajaibnya lagi, setelah saya dihianati dan putus dengan pacar saya waktu kuliah di Jogja dulu, saya tidak lagi merasa sreg pada yang namanya gadis, dan lebih cenderung pada wanita-wanita yang usianya lebih tua dari saya. Emak-emak yang nyaris mengalami masa menopause pun saya embat. Ckckckck. Apakah saya ini tidak normal lagi, ya?”

      Pak Suhendi tertawa ringan.  “Bro Zoel tentu masih sangat normal, menurut saya. Ya, mungkin memang hanya akibat dari semacam rasa dendam saja, setelah cinta Bro Zoel dihianati dan putus dengan mantan gadisnya Bro itu. Rasa dendam Bro itu, saya rasa,  dapat diobati dengan mudah dengan sebuah obat.”

       “Apa itu...?”

       “Menikah!” ucap Pak Suhendi. “Dengan Bro Zoel menikah, insha Allah semua problem itu akan hilang dengan sendirinya, termasuk akan melupakan gadis yang pernah membuat luka di hati Bro Zoel itu. Atau jika Bro Zoel ingin berkonsultasi kepada seorang psikiater.”

       Zoelva berpikir agak lama, sebelum bertanya, “Apakah Bro ada rekomen untuk seorang psikiater yang bagus?”

      “Ada! Dia seorang psikiter yang jenius dengan analisis yang mumpuni. Teman satu kampus saya dulu. Setelah itu ia melanjutkan spesialisasinya di Oxford University, Inggris.”

      “Wanita atau laki-laki?”

      “Wanita, seusia saya, sekitar 35 tahun. Suaminya seorang arsitek juga konsultan di bidang itu.”

      “Hm, baiklah. Saya coba. Tolong Bro kirim alamat praktiknya lewat nomor WA saya.”

      “Tak masalah.”

       Rekomendasi dari Pak Suhendi itu baru dapat terpenuhi beberapa hari kemudian. Tempat praktek psikiater itu berada di wilayah Rawamangun, Jaktim. Zoelva datang ke situ pada sore hari. Saat ia tiba, ia melihat hanya ada seorang wanita yang duduki menunggu di kursi tunggu yang terletak di luar dari ruang praktek psikiaternya. 

        Setelah mendaftarkan diri pada seorang asisten dokternya, Zoelva menunggu di bangku yang berhadapan dengan wanita yang dia lihat tadi. Kepada wanita itu ia tak lupa mengangguk sekali dan tersenyum. “Maaf, Ibu mau konsultasi atau mengantar...?”

       “Saya mau konsultasi, Dek. Adek juga mau konsultasi?”

       “Iya, Bu, hehehe.”

      Wanita itu tersenyum.

      Subhanallah, manis nian senyum itu. Laksana bulan tujuh hari, kata orang dulu.  Usianya wanita itu mungkin sudah melewati kepala tiga. Tapi kecantikan dari masa mudanya belum hilang dari wajahnya yang dibingkai oleh jilbab syar’i berwarna hijau toska yang dikenakannya.  Dari face-nya, kemungkinan ia blasteran arab, India, atau Pakistan. Untuk menggambarkan kecantikan wanita itu, mungkin Zoelva harus meminjam kalimat pujiannya orang zaman dulu: dahi bak punggung ketam, bibir tebal simetris bak sepasang permata rubi, alis seperti semut hitam berbaris, dagu seolah sarang madu, pipi bak pauh dilayang (buah mangga dibelah tipis), dan sepasang mata bening yang selalu tersenyum.  Ya Allah, betapa sempurna ciptaanMu. Pasti dia sangat disayang oleh suaminya, pikir Zoelva.

       Kecantikan wanita di depannya benar-benar mampu melenyapkan jenuh di hati Zoelva saat menunggu. Selalu punya kesempatan baginya untuk melirih wanita itu, walau seolah sambil lalu. Saat ketika wanita itu melihat dan tersenyum kepadanya, ia pun balas tersenyum sambil mengangguk pelan. “Ibu sudah lama menunggunya?”

       Ibu muda itu menengok jam di pergelangan tangan kirinya, “Lumayan Dek, sudah tiga puluh menit lebih.”

       “Mungkin sebentar lagi yang konsultasi keluar.”

       “Iya Dek...”

       Benar juga, tak lama kemudian seorang laki-laki keluar dari pintu kaca tebal dari ruang praktek. Lalu disusul oleh munculnya sang asisten dokter di pintu yang terkuak. “Nyonya Latifah...? Silakan Bu...”

       “Saya masuk dulu, ya Dek,” ujar wanita yang ternyata bernama Latifah itu kepada Zoelva.

      “Oh iya, silakan, Bu...”

      Subhanallah, namanya secantik orangnya, batin Zoelva. Latifah!

      Sekitar dua puluh menit Zoelva menunggu, Latifah muncul dari pintu kaca yang terkuak, lalu disusul oleh munculnya wajah sang asisten dokter. “Saudara Zoelva Paranaka...? Silakan...!”

      “Mari Dek, saya duluan, ya?” sapa Bu Latifah dengan suaranya yang lemah lembut sembari melemparkan senyum kepada Zoelva.

      “Ya, mari, Bu,” sahut Zoelva, pun dengan suara pelan sembari membalas senyum.

      Setelah mengantarkan Latifah dengan pandangannya, ia pun masuk ke dalam ruang praktek sang psikiaternya.  Seperti yang diceritakan oleh Pak Suhendi, psikiater itu usiannya sudah melewati kepala tiga. Orangnya cantik dan tampak terlihat muda dari usianya. Lebih pas jika ia berusia sekitar 28 atau 29 tahun.

      “Silakan, Pak Zoelva. Ada yang bisa saya bantu?” sambut dr. Ellisa, SpKJ (nama psikiater itu seperti yang tertulis di papan namanya di depan ruang prakteknya), sembari mempersilakannya duduk.

       “Terima kasih, Dok.”  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status