Share

Merah Menggoda

Author: Aquaviva
last update Huling Na-update: 2025-09-13 00:58:10

Suasana pagi terasa redup, cahaya matahari baru saja menerobos tirai tipis di kamar sempit itu. Pintu tiba-tiba terbuka, suara langkah terdengar.

“Arumi!” suara seorang wanita memanggil.

Arumi yang sedang meringkuk di kasur kaget, menoleh dengan mata sembab. “Kak Lili?” suaranya parau.

Lili masuk, membawa segelas air putih dan sepotong roti dalam piring kecil. Senyum lembutnya berusaha menenangkan. Ia duduk di tepi ranjang. “Makanlah! Aku tahu kamu nggak dapat jatah makan malam tadi. Kalau kamu terus puasa begini, kamu bisa sakit.”

Arumi menatap roti itu dengan mata berbinar, lalu buru-buru meraihnya. “Makasih kak… ternyata masih ada malaikat baik di tempat kayak gini.” Tanpa banyak pikir, ia langsung menyantap roti itu lahap, seperti orang kelaparan.

Lili tertawa pelan melihat tingkahnya. “Kamu ini lucu banget, makan kayak anak kecil. Padahal kamu itu cantik, masih muda. Sayang kalau kamu nggak mau terima job, Rumi. Percaya deh, kamu bisa dapat banyak dolar.”

Arumi mendadak berhenti mengunyah, menatap Lili dengan dingin. “Kalau maksudnya kamu cuma mau bujuk aku, mending ambil lagi roti ini dan pergi!” Ia mendorong piring itu ke arah Lili.

“Eh, jangan gitu,” Lili cepat menahan tangannya. “Aku serius, Rumi. Kamu itu keras kepala banget. Kamu udah dibayar, jadi kamu harus kerja. Kalau nggak… kamu tahu sendiri resikonya.”

Arumi menelan ludah, wajahnya pucat. “Resiko apa, kak?”

“Kalau kamu tetap keras kepala, kamu bisa kehilangan satu kaki kamu.”

Arumi langsung gemetar. “Nggak kak, aku… aku nggak mau. Aku nggak mau!” ucapnya terbata, ketakutan jelas di wajahnya.

Lili menepuk bahunya, nada suaranya melembut. “Ya udah, kalau nggak mau, nurut aja sama Bunga. Dia keras, tapi kalau kamu bisa pinter cari dolar, kamu bisa jadi kesayangan disini. Percaya deh.”

Setelah berkata begitu, Lili bangkit dan meninggalkan kamar.

Arumi terdiam lama, air matanya menetes. “Kalau perlu… aku bikin diriku buruk rupa. Biar nggak ada tamu yang mau panggil aku.” Ia menatap cermin kecil di meja rias, menggenggam wajahnya sendiri.

Siang hari.

Koridor club terasa sunyi. Saat jam makan siang, setiap LC mendapat jatah. Tapi untuk Arumi, kali ini Bunga sendiri yang datang membawa nampan berisi nasi kotak.

Bunga membuka pintu kamar, wajahnya dingin. Namun, matanya langsung melebar melihat pemandangan di dalam. Arumi berdiri di depan cermin, tangannya menggenggam gunting. Rambut panjang hitamnya sudah hampir terpotong setengah.

“Arumi!” teriak Bunga marah, langsung merebut gunting dari tangan Arumi.

“Aku… aku cuma nggak mau keliatan cantik. Aku mau keliatan jelek biar nggak ada yang—”

PLAK! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Arumi. Suara tamparan itu bergema di kamar kecil.

Bunga mendekat, matanya penuh amarah. “Dasar bodoh! Kamu pikir gampang kabur dari dunia ini?!”

Arumi memegang pipinya yang panas, matanya berkaca-kaca. “Aku nggak mau, kak… aku nggak mau jadi kayak kalian.”

Bunga menatapnya dengan tatapan penuh benci, lalu menendang pintu dan pergi meninggalkan kamar tanpa memberi jatah makan siang.

Arumi jatuh terduduk, memeluk dirinya sendiri. “Gagal sudah… guntingnya udah diambil.” Tangisnya pecah lagi. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu termenung, teringat kenangan indah di sekolah. Suara tawa teman-temannya, derap kaki saat belajar bareng, cita-citanya menjadi dokter. Semua itu terasa seperti mimpi yang jauh.

Beberapa jam kemudian, pintu kamar kembali terbuka. Sosok Lili muncul dengan wajah cemas. “Kenapa kamu malah melawan Bunga? Kamu tahu apa yang barusan kamu lakukan?”

Arumi menggeleng, suaranya bergetar. “Aku cuma pengen bebas, kak. Aku nggak kuat.”

Lili menghela napas panjang, duduk di samping Arumi. “Rumi… kalau kamu terus begini, kamu bisa mati beneran. Jangan pernah bikin Bunga marah lagi. Dia bisa lebih kejam daripada yang kamu kira.”

Arumi menunduk, air matanya mengalir. “Aku takut, kak. Aku cuma pengen balik sekolah. Aku pengen jadi dokter.”

Lili mengusap kepalanya, nada suaranya lembut. “Aku ngerti. Aku dulu juga sama kayak kamu, punya mimpi. Tapi disini, mimpi itu udah nggak ada artinya. Kamu harus bertahan. Percaya deh, bertahan dulu aja.”

Arumi terdiam lama, akhirnya mengangguk kecil. “Aku… aku akan coba dengerin kamu.”

Malam tiba. Lampu neon kembali menyala terang, dentuman musik dari lantai bawah terdengar sampai kamar Arumi. Ia berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri. Bibirnya sudah dipoles lipstik merah merona, pipinya diberi blush tipis. Rambutnya dibiarkan terurai indah, meski matanya masih sembab.

Dress merah maroon dengan belahan dada terbuka menempel di tubuhnya. Arumi menatap refleksinya dengan perasaan hancur. “Aku… aku kayak wanita pelakor yang kejam. Lihat bibirku, lihat rambutku…” gumamnya lirih, hampir menangis lagi.

Lili muncul di belakangnya, tersenyum kecil. “Kamu udah siap? Malam ini kamu cantik banget, Rumi.”

Arumi menarik napas dalam, menghela dengan berat. “Hufff… iya, kak. Aku coba…”

“Kalau gitu, ayo. Kita keluar,” kata Lili sambil meraih tangannya.

Arumi menutup matanya sejenak, mencoba memberanikan diri. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia memutuskan tidak lagi melawan.

Lili menggandeng tangannya. “Ingat ya, jangan bikin masalah. Senyum aja, jangan banyak ngomong kalau nggak perlu.”

Arumi berbisik lirih, “Kak… aku takut banget. Gimana kalau aku gagal lagi?”

“Tenang. Aku ada disamping kamu. Cukup ikutin alurnya. Senyum, angguk, dan nurut,” jawab Lili menenangkan.

“Kalau aku… kalau aku ketahuan nggak bisa acting?” suara Arumi bergetar.

“Semua pertama kali pasti kaku. Nanti juga biasa. Kamu kuat kok.”

Arumi menatap Lili, matanya basah. “Kak… aku nggak mau jadi ketagihan kayak kamu bilang kemarin. Aku takut banget kebawa.”

Lili terdiam, lalu tersenyum pahit. “Jangan pikir jauh dulu. Sekarang, yang penting kamu selamatin diri kamu dari marahnya Bunga. Oke?”

Arumi mengangguk pelan, meski hatinya tetap penuh ketakutan.

Sesampainya di ruang utama, lampu berwarna-warni langsung menyilaukan mata Arumi. Musik keras, tawa, bau asap rokok, semuanya membuatnya merasa mual. Namun, ia mencoba tetap berdiri tegak.

“Cantik-cantik ya yang baru ini,” bisik salah satu pria ke temannya, melirik Arumi.

Arumi menunduk, pipinya memanas. Ia meremas tangan Lili erat-erat.

“Tenang,” Lili berbisik cepat. “Jangan panik. Ingat yang aku bilang.”

Arumi menarik napas panjang, lalu mengangkat wajahnya sedikit. Senyum tipis ia paksa keluar, meski dalam hati ia menangis. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia benar-benar melangkah ke dunia yang tak pernah ia inginkan.

Mereka lalu masuk ke dalam club. Arumi terlihat begitu sangat gugup, sesekali ia menutupi bagian dadanya yang terbuka itu.

“Aku harus tetap tenang, ikuti alurnya. Mana tau Aku bisa kabur dari sini.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • LC PERAWAN MILIK CEO   5 Tahun Kemudian

    Malam itu, langit di atas kota tampak penuh cahaya neon. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, tapi di balik gemerlap itu, ada sisi gelap yang masih sama—tempat yang dulu jadi mimpi buruk Arumi.Arumi berjalan pelan di koridor sempit club itu, rambutnya dikuncir seadanya, bibirnya pucat. Lima tahun telah berlalu sejak malam ketika Lili meninggal di pelukannya. Lima tahun sejak tubuhnya dipaksa kembali ke tempat yang ingin dia tinggalkan selamanya.Kini, dia cuma bayangan dari dirinya yang dulu. Hatinya kosong, langkahnya berat, dan setiap malam, dia cuma berharap satu hal: semoga suatu hari bisa bebas.Flashback lima tahun lalu...Ketika mobil pengantin Dayandra meninggalkannya di depan rumah mewah itu, Arumi berlari mengejarnya, tapi langkahnya goyah, napasnya sesak.Belum sempat ia sadar, suara langkah kaki cepat terdengar dari belakang.“Arumi!” teriak seseorang.Dia menoleh, dan matanya membesar. Anak buah Bunga—dua orang pria berjas hitam—berlari mendekat.“Tidak… tidak! Lepaskan a

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Pernikahan Dayandra

    Langit masih gelap keunguan saat Arumi bangun dari bangku batu tempat dia tertidur semalaman. Angin pagi menusuk kulitnya, dingin sampai ke tulang. Matanya sembab, rambutnya berantakan, tapi tatapannya teguh—ada satu tujuan di pikirannya: Dayandra.Dia memanggil bajaj yang lewat, dan dengan suara serak, berkata pelan,“Ke rumah sakit, Mas.”Sepanjang perjalanan, Arumi menggenggam ujung jaket lusuhnya erat-erat. Di pikirannya cuma ada wajah Dayandra—lelaki yang pernah melindunginya mati-matian dari Bunga dan Corla, yang bilang dia gak peduli dengan masa lalu Arumi. Lelaki yang sekarang mungkin masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.Tapi begitu sampai di rumah sakit, kabar yang dia terima justru bikin jantungnya berhenti sesaat.“Pasien atas nama Dayandra?” tanya Arumi dengan napas bergetar.Suster di meja resepsionis membuka data pasien di komputer. “Oh, Pak Dayandra sudah keluar dari ICU setengah lalu. Sekarang sudah pulih total, bahkan sudah tidak dirawat di sini lagi.”

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Kak Lili!! Hikss!!!

    1 Bulan Kemudian.Sudah sebulan berlalu sejak malam itu—sebulan sejak Lili dan Arumi berjanji buat cari jalan keluar dari neraka bernama club itu.Setiap hari rasanya seperti berlari di dalam lingkaran setan. Musik yang sama, tawa palsu yang sama, dan tatapan para pengawas yang selalu curiga setiap kali Lili dan Arumi bisik-bisik.Tapi Lili gak pernah berhenti berusaha.Setiap malam, dia pura-pura ramah sama pengawal pintu belakang, pura-pura manis ke bartender supaya bisa dapetin info tentang jadwal Bunga dan anak buahnya. Semua ia lakuin demi satu hal: kabur.Namun, Bunga bukan orang bodoh. Sejak terakhir kali ia curiga, penjagaan makin ketat. Dua bodyguard baru ditambah di pintu keluar, kamera pengawas dipasang di setiap lorong, dan semua LC harus lapor kalau mau keluar ruangan.Arumi makin tertekan. Kadang ia cuma duduk di kamar sempitnya, menatap dinding kosong sambil nangis tanpa suara.“Aku capek, Kak,” ucapnya lirih suatu malam. “Setiap kali aku coba percaya kita bisa keluar,

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Om Om Buncit

    Lampu-lampu neon berkedip di langit-langit ruangan itu, berganti warna dari merah ke ungu, lalu biru, seolah gak pernah berhenti mengingatkan betapa dunia di dalam tempat itu gak pernah benar-benar tidur. Musik EDM berdentum keras dari panggung utama, dan bau alkohol bercampur parfum murah memenuhi udara.Arumi duduk di pojok ruangan, pakai dress hitam pendek yang bahkan gak ia pilih sendiri. Tatapannya kosong, wajahnya tampak letih, dan tangan mungilnya menggenggam segelas air putih yang udah lama gak ia sentuh.Sudah seminggu. Seminggu sejak Corla menyerahkan dirinya pada Bunga.Seminggu sejak dunia gelap yang dulu ia tinggalkan kembali menelannya tanpa ampun.Tapi kalau bukan karena Lili—mungkin Arumi udah hancur sepenuhnya.Lili datang di malam pertama Arumi dibawa balik ke club. Perempuan itu jauh lebih tua, tapi masih punya pesona dan ketenangan yang bikin orang merasa aman. Rambutnya panjang diikat ke belakang, dan senyum lembutnya selalu muncul di saat Arumi paling butuh.“Kau

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Dipaksa

    Mata Arumi sembab, wajahnya pucat, dan langkahnya gemetar ketika tiba di depan bangunan yang sudah sangat ia kenal — Club Elysium, tempat yang selama ini menjadi luka terdalam dalam hidupnya. Aroma alkohol dan asap rokok menyambut begitu pintu mobil dibuka. Musik berdentum keras dari dalam, membuat jantung Arumi berdegup semakin cepat.Ia menatap Bella yang berdiri di depannya, mengenakan pakaian glamor dan lipstik merah menyala.“Kenapa kalian membawa aku ke sini lagi!?” serunya parau, tangannya mencoba melepaskan genggaman dua orang bodyguard yang memegangnya di kedua sisi.Bella hanya tersenyum tipis, penuh kemenangan.“Karena kau aset kami, Arumi. Kau tahu itu.”“Tapi Mas Dayandra sudah membayar kalian! Dia sudah menebus aku, sudah selesai!” Arumi memohon, suaranya bergetar antara marah dan ketakutan.Bella mendekat, menatap wajah Arumi dengan tatapan tajam dan sinis.“Mana dia sekarang, hah? Mana pria yang kau banggakan itu? Kau lihat? Tak ada siapa pun yang datang menyelamatkanm

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Kembali Menjadi LC

    Mobil itu menabrak pembatas jalan dan terguling dua kali sebelum akhirnya berhenti dengan posisi miring di pinggir jalan. Kaca depan pecah, suara alarm mobil meraung keras, dan asap tipis keluar dari kap depan.Beberapa detik, semuanya hening.Arumi pingsan separuh sadar. Tubuhnya terlempar ke samping, bahunya sakit tapi nggak parah. Dia coba buka mata, pandangannya buram. Saat sadar sedikit, hal pertama yang dia lihat adalah tangan Dayandra yang masih menggenggam tangannya lemah—tapi darah menetes dari pelipisnya.“Mas…?” suara Arumi serak. Dia mengguncang bahu Dayandra pelan. “Mas Dayandra! Bangun, Mas! Tolong!”Tapi Dayandra nggak bereaksi. Matanya tertutup, napasnya lemah, kepala bersandar di kursi dengan luka yang terus berdarah.Arumi panik. “Tolong! Ada orang tolong!” teriaknya histeris dari dalam mobil. Tangannya gemetar, berusaha buka sabuk pengaman tapi susah karena tangannya juga lecet.Beberapa menit kemudian, suara sirene ambulan datang. Petugas langsung ngebuka pintu mob

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status