Langit malam sudah berubah pekat, lampu-lampu neon di lantai bawah berpendar liar, suara musik berdentum menghentak dada. Aroma alkohol, asap rokok, dan parfum murahan bercampur jadi satu. Di balik itu semua, Arumi berjalan dengan langkah kecil, tubuhnya gemetar seperti anak ayam terpisah dari induknya.
Di depan pintu bertuliskan 003, Bunga berdiri tegak dengan tatapan penuh tekanan. “Arumi, kau yang masuk. Room ini untukmu.” Arumi terbelalak. “Sendirian?!” suaranya bergetar, matanya menatap Bunga tak percaya. “Yah! Kau yang masih perawan di sini. Jadi kau harus yang pertama!” Bunga menyeringai, nada suaranya penuh sindiran. Arumi menelan ludah, tubuhnya semakin kaku. Ia melirik ke arah Lili yang berdiri tak jauh. Lili memberi kode dengan mengangkat ibu jari, seakan menyemangati. Tapi bagi Arumi, itu sama saja dorongan untuk masuk ke jurang. Ia menggertakkan gigi, mencoba menahan tangis. “Aku… aku mau ke toilet sebentar dulu.” Bunga mendengus kesal. “Cepat! Jangan lama.” Arumi buru-buru melangkah ke arah toilet. Sesampainya di dalam, ia menatap bayangannya di cermin retak. Wajahnya pucat pasi, mata sembab, bibir merah yang tadi dipoles Lili justru membuatnya semakin merasa hina. “Kerja apa ini? Aku nggak bisa… aku nggak bisa,” gumamnya lirih, menahan tangis. Ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Aku cuma pengen sekolah, bukan begini.” Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari pintu toilet. TOK! TOK! TOK! “Arumi! Cepat keluar!” Suara Bunga membentak dari luar. Arumi membeku. Rasanya ingin kabur lewat ventilasi, atau mengunci diri selamanya. Tapi ketukan itu terus berulang, makin keras, membuat jantungnya serasa pecah. TOK! TOK! TOK! Akhirnya, dengan tangan gemetar, Arumi membuka pintu. Bunga langsung menatapnya tajam. “Beraninya kau bikin aku nunggu, hah?!” Bunga menekan bahunya, mendorongnya ke arah Room 003. “Aku… aku takut, kak.” “Diam! Jangan bikin malu!” Tak ada pilihan lain. Dengan langkah terpaksa, Arumi berdiri di depan pintu VIP 003. Pintu itu kemudian dibuka, aroma alkohol menyembur keluar, bercampur bau rokok. “Masuk!” perintah Bunga dingin. Arumi menarik napas panjang, lalu melangkah masuk. ⸻ Ruangan itu remang-remang. Lampu kecil berwarna biru dan merah berkedip-kedip, musik karaoke terdengar samar. Sofa empuk melingkar, botol minuman berjejer di meja. “Permisi…” suara Arumi lirih, langkahnya ragu. Dari sudut sofa, terdengar suara berat, bariton, membuat bulu kuduknya merinding. “Kau sudah datang?” Arumi menelan saliva, matanya mencari sumber suara. Dari balik asap rokok tipis, seorang pria duduk santai. Wajahnya samar tertutup bayangan lampu. “Aku… aku disuruh datang kesini. Maaf, tapi aku tidak tahu harus melakukan apa,” ucap Arumi dengan suara terbata, kedua tangannya meremas ujung gaunnya. Pria itu terkekeh, suaranya rendah namun tegas. “Dasar nakal. Jangan sok polos di depan saya.” Arumi mundur setapak, tubuhnya bergetar. Saat pria itu bangkit dan mendekat, wajahnya akhirnya terlihat jelas. Mata tajam, hidung mancung, rahang tegas. Tampan—terlalu tampan bahkan, seperti aktor drama Korea yang sering ia tonton diam-diam di sekolah dulu. Jantung Arumi berdetak kencang. Kenapa dia seganteng ini? Kenapa aku malah makin takut? Pria itu menyapu pandangannya dari atas hingga bawah, seakan menilai. “Lumayan,” gumamnya. “Siapa namamu?” “Ar… Arumi, Om.” Pria itu menyeringai. “Om? Kau panggil saya Om? Hei, saya masih muda dan belum menikah.” Arumi menunduk, mencoba menutupi wajahnya. “Maaf, tapi bagi aku… tetap seperti Om ku.” Pria itu tertawa kecil, lalu mendekatkan wajahnya. “Katanya kau masih perawan. Apa benar?” Arumi spontan menatapnya dengan marah. “Untuk apa kau tanya itu?! Dasar pria hidung belang!” Pria itu terkekeh lagi. “Kau beda dari yang lain. Biasanya, semua gadis di sini manis-manis, gampang diatur. Tapi kau… aneh. Untuk pertama kalinya saya datang ke tempat ini dan bertemu gadis sekeras kepala kamu. Menarik.” Arumi menggertakkan gigi. “Kalau mau, percepat saja. Apa yang harus aku lakukan?” Pria itu mencondongkan tubuh, bibirnya hampir menyentuh bibir Arumi. “Apalagi? Sentuh bibir ini.” Arumi mundur kaget. “Maksudnya… cipok kah?” “Cipok?” Pria itu tertawa keras. “Yah, kata kasarnya begitu.” “Enak aja! Kau pikir aku nggak punya harga diri?” Arumi menepis tangan pria itu. Pria itu menggeleng, tertawa geli. “Kau tengil sekali. LC tengil!” Arumi mengangkat dagunya, berusaha tegar. “Kalau kau mau aku temani nyanyi, atau menuang minumanmu, aku bisa. Tapi kalau kau minta aku menyerahkan keperawananku, oh no! Tidak akan!” Pria itu menatapnya tajam, lalu tertawa keras. “Kau pede banget. Apakah kau yakin kerangmu itu bisa bikin saya tergoda?” Arumi melotot. “Kerang? Bahasa apa itu! Kerang-kerang segala!” Pria itu mengangkat alis, masih tersenyum. “Oke baiklah. Sekarang, temani saya nyanyi. Dan… duduk di pangkuan saya.” “No! Aku akan tetap duduk di sini!” Arumi cepat-cepat duduk di ujung sofa, mengambil remote karaoke. “Katakan, kau mau nyanyi apa?” Pria itu justru terdiam, menatap Arumi lama. Arumi gelisah. “Kenapa kau menatapku begitu? Menakutkan, tahu nggak.” Pria itu akhirnya mendekat, lalu berbisik di telinganya. “Kau sangat cantik.” Arumi refleks menoleh dengan wajah cemberut. “Memang aku cantik. Tapi gombalanmu basi!” Pria itu malah tersenyum semakin lebar. “Nyanyi. Aku mau dengar suara kamu.” “Apa? Nyanyi? Suara aku jelek.” “Justru itu yang bikin penasaran.” Dengan terpaksa, Arumi memilih lagu dari remote. Musik mengalun, dan ia mulai bernyanyi dengan suara fals. Pria itu terbahak mendengarnya. “Astaga, suara kamu parah sekali. Tapi… lucu.” Arumi mendengus. “Ya udah kalau jelek, jangan ketawa!” “Biar jelek, tapi jujur. Aku suka.” Malam pun terus berjalan. Mereka bergantian menyanyi, berbincang, bahkan sesekali berdebat kecil. Tanpa sadar, waktu berlalu hingga dini hari. Akhirnya, pria itu tertidur di sofa, kepalanya bersandar, napasnya teratur. Arumi duduk di sebelahnya, matanya berat. Ia pun ikut terlelap. PAGI HARI Cahaya pagi menembus celah gorden. Arumi terbangun dengan kaget. Ia melihat pria itu masih tertidur pulas di sampingnya. Lili pernah bilang… kalau pelanggan sudah tidur, ambil dompetnya. Itu cara cepat dapat uang. Arumi menatap pria itu lama. Wajahnya begitu tenang, berbeda dari tadi malam. Sebagian hatinya merasa iba. Tapi kebutuhan dan rasa takut lebih besar. Dengan perlahan, ia merogoh saku jas pria itu, menemukan dompet tebal. Tangannya gemetar saat membuka, melihat lembaran uang dolar tersusun rapi. Ia mengambil semuanya, lalu menutup dompet kembali dan meletakkannya ke tempat semula. “Sampai jumpa… terima kasih banyak,” bisiknya lirih, berdiri dengan hati-hati lalu melangkah keluar ruangan. Saat pintu tertutup, pria itu membuka matanya perlahan. Senyum samar terbit di wajahnya. “Dasar…” gumamnya pelan, menyalakan sebatang rokok. “Gadis tengil.”Langit pagi itu cerah, tapi hati Arumi udah kayak roller coaster. Tangannya dingin, bibirnya kering, jantungnya deg-degan nggak karuan. Hari ini dia resmi jadi… istri orang.Yes, istri Dayandra. Si pria misterius yang kemarin nolongin dia dari gudang kumuh itu.Suasana akad pernikahan sederhana berlangsung di ruangan hotel mewah, tanpa keluarga, tanpa pesta besar. Cuma penghulu, dua saksi, Dayandra, dan Arumi.“Dengan mas kawin sejumlah uang dolar dan cincin emas, tunai.” Suara penghulu terdengar jelas.Dayandra dengan mantap menyambut, “Saya terima nikahnya Arumi dengan mas kawin tersebut, tunai.”Arumi cuma bisa menunduk. Tangannya digenggam Dayandra, lalu cincin melingkar di jari manisnya.“Udah sah,” ucap penghulu.Arumi refleks ngedongak. Sah? Jadi aku beneran istri orang sekarang?Dayandra tersenyum tipis lalu mengecup kening Arumi. “Mulai sekarang, kamu resmi jadi istriku.”Arumi langsung menutup wajah dengan telapak tangan. “Ya Tuhan, jantung ku… sumpah deg-degan parah.”Para
Arumi sudah nggak kuat. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin membasahi pelipisnya. Di dalam ruangan kumuh itu, udara kayak ditelan semua tikus dan kecoak. Matanya mulai kabur, tubuhnya goyah.Aku mau pingsan… aku nggak sanggup lagi…Dan tepat saat itu, pintu brak! terbuka.“ARUMI!” suara berat dan tegas itu menggema.Tubuhnya nyaris jatuh ke lantai, tapi sebelum sempat menyentuh dinginnya ubin, sepasang lengan kokoh menangkapnya. Dayandra.“Tenang, gue ada di sini,” ucap Dayandra, nada suaranya tajam sekaligus penuh kepastian.Arumi nggak bisa jawab. Dia cuma nempel lemah di dada bidang pria itu, matanya setengah terpejam.Dayandra langsung gendong Arumi keluar. Semua LC di lorong club pada heboh ngintip. Ada yang bisik-bisik, ada yang rekam pake HP, ada juga yang pasang muka kepo maksimal.“Eh itu Dayandra bawa Arumi.”“Gila sih, kayak drama Korea live.”“Cieeee Arumi digendong sugar daddy!”Arumi cuma bisa meringkuk. Dadanya masih sesak, tapi ada rasa aman aneh saat dipeluk erat
Untuk kedua kalinya Arumi injak mall, vibe-nya udah beda. Kalau dulu matanya clingak-clinguk kayak anak desa baru pertama kali ke kota, kali ini dia udah lebih kalem.“Aku nggak boleh keliatan norak lagi,” gumamnya sambil jalan di belakang Lili.Mereka masuk ke toko iPhone. Lampu terang, kaca kinclong, display iPhone terbaru berjajar kayak permata. Lili langsung nyamperin staf toko, dengan gaya percaya diri.“Mas, yang iPhone 16 Pro Max ada nggak?” tanya Lili dengan suara centil.Arumi cuma ngikutin, tangannya masuk kantong. “Yaampun, mahal banget ya,” ucapnya lirih, bahkan nggak berani nyentuh. Layarnya aja udah kayak kaca aquarium.Lili sibuk nego-nego, Arumi mulai gelisah. Perutnya mulas, tanda kebelet pipis. “Kak, aku ke toilet bentar ya.”“Yaudah, jangan lama-lama,” jawab Lili cuek, sibuk sama staf toko.Arumi buru-buru jalan, high heels-nya bunyi tok tok tok. Baru aja mau masuk toilet, pandangannya ketangkap sesuatu.Seorang nenek tergeletak di lantai koridor dekat pintu toilet.
Lalu Dayandra menatap Arumi.”Mari kita bersenang-senang malam ini!!!”Ruang karaoke VIP malam itu penuh asap rokok, lampu neon kedap-kedip bikin suasana makin absurd. Dayandra, dengan dasi sudah melorot, memegang mic kayak penyanyi rock tapi suaranya… ampun dah.“Jadi aku tiiiidak bisaaaa tanpa diriiimuuu…”Arumi langsung nutup telinganya pakai dua tangan. “Astaga, Om! Please, itu suara atau alarm kebakaran?!”Dayandra nggak nyadar, sudah setengah mabuk, goyang kanan-kiri sambil teriak. “Yeeeahhh, semua ikut nyanyiii!”“Om, stop! Kupingku bisa meledak nih.” Arumi meringis, tapi malah ngakak kecil liat gaya noraknya Dayandra.Tiba-tiba lagu berhenti. Dayandra nyodorin tangan. “Ayo kita joget.”“Hah? Joget?”Tanpa nunggu jawaban, Dayandra narik tangan Arumi. “Come on, TikTok dance style!”Arumi mendengus. “Yaudah, siap-siap kaget ya, Om.” Ia langsung nge-dance ala-ala TikTok: goyang pinggul, gerakan tangan viral, ditambah ekspresi kocak.Dayandra bengong sebentar, lalu malah ikutan. “Gi
*** Pagi itu kamar Arumi masih terasa pengap. Udara dari AC yang bocor di pojokan sama sekali nggak bikin lega. Ia bolak-balik di atas kasur tipisnya, rambut awut-awutan, tatapannya kosong menatap plafon. “Nikah kontrak? Terima nggak yah?” gumamnya pelan. “Tapi aku kan nggak mau nikah muda. Tapi… daripada tinggal di neraka ini?” Ia menggulingkan badannya ke kanan, lalu ke kiri, lalu tengkurap, lalu tiba-tiba manjat tembok seakan lagi cosplay cicak. Tangannya nempel ke dinding, wajahnya meringis penuh drama. “Duh pusing banget! Kenapa hidup aku jadi kayak sinetron FTV tengah malam sih?” Arumi menggaruk kepalanya sendiri. Tiba-tiba pintu kamarnya kebuka. Lili masuk dengan santai, sambil ngemil snack ciki yang entah dapet dari mana. Matanya langsung melebar begitu liat Arumi lagi nempel kayak cicak. “Arumi… Kau? Kau kenapa?” Lili ngakak sampai hampir keselek ciki. “Astaga, ini cosplay apa? Cosplay wall gecko edition?” Arumi langsung loncat turun, wajahnya manyun. “Kak, aku bingun
Kamar Arumi berantakan kayak kamar cewek yang habis unboxing Shopee haul, bedanya ini high-end semua. Lipstik berjejer kayak tentara, eyeshadow palette numpuk di atas meja, skincare berjajar rapi.Arumi duduk bersila di lantai sambil nyoba-nyoba satu per satu.“Coba pake lipstik nude ini… hmmm, kok jadi kayak bibir kena minyak goreng. Ah, gak cocok. Ganti ah.” Dia ngedumel sendiri sambil ngaca.Tangannya sibuk ngeblend foundation, terus nyobain eyeliner. Gara-gara tangannya tremor, hasilnya malah miring. “Ya ampun! Kok jadi kayak Joker sih?”Dia ngakak sendiri, terus buru-buru hapus.Satu jam berlalu, meja rias kecil penuh printilan. Akhirnya dia capek banget. “Udah lah, ntar aja. Aku pingsan dulu.”Arumi tiduran di kasur, mukanya masih ada sisa foundation belang-belang, tapi dia udah ketiduran saking capeknya.⸻Jam dinding nunjukin pukul 7 malam. Alarm HP bunyi kenceng. Arumi bangun kaget, langsung cuci muka buru-buru.Setelah mandi, dia keluar kamar mandi dengan dress navy yang bar