Share

LC PERAWAN MILIK CEO
LC PERAWAN MILIK CEO
Author: Aquaviva

Dijual

Author: Aquaviva
last update Last Updated: 2025-09-11 17:05:44

Arumi baru pulang sekolah, seragam masih menempel di tubuhnya, rambut awut-awutan, niatnya cuma mau mandi terus rebahan. Tapi langkahnya terhenti ketika suara mama tirinya terdengar dari ruang tamu.

“Rumi, cepet ganti baju. Kita harus pergi,” kata Lita tanpa basa-basi.

Arumi mematung, keringat masih menetes di pelipis. “Ikut kemana mah? Aku baru banget pulang sekolah, capek sumpah. Mau mandi aja belum,” keluhnya, mencoba menahan nada kesal.

Tatapan Lita tajam, tangannya terlipat di dada. “Kamu harus inget, mama udah besarin kamu dari kecil. Papa kamu udah nggak ada. Sekarang waktunya kamu balas budi.”

Arumi bengong. Balas budi? Maksudnya apa sih? “Hah? Maksud mama gimana? Aku nggak ngerti,” suaranya lirih, penuh tanda tanya.

Lita nggak mau ribet. Dia mendorong bahu Arumi, menyuruhnya masuk ke kamar. Arumi terperangah saat melihat sebuah dress merah ngejreng sudah tergeletak di ranjang. Dress itu pendek, ketat, belahan dadanya terlalu rendah untuk ukuran anak SMA.

“Mah… serius? Ini buat aku? Seriusan mama nyuruh aku pake ini? Gila sih, malu banget aku kalau pake ginian,” protesnya, memelototi baju itu dengan wajah panik.

“Udah, jangan banyak tanya. Pake sekarang,” suara Lita datar, tapi tegas.

Arumi menggigit bibirnya, hati terasa nggak enak. Tapi melawan juga percuma, akhirnya dengan berat hati dia kenakan dress itu. Saat bercermin, matanya berkaca-kaca. Ini bukan dirinya—rasanya kayak orang asing yang lagi dia lihat di balik pantulan kaca.

Jam sepuluh malam, Lita menarik Arumi keluar rumah. Di depan, sebuah mobil hitam sudah menunggu. Arumi berusaha bercanda untuk meredakan gugupnya, “Mah, kita mau kemana sih? Jangan bilang mama mau jual aku ke Kamboja gitu, kayak yang di berita-berita.”

Lita menoleh sebentar, tatapannya dingin, membuat bulu kuduk Arumi meremang. “Udah diem. Jangan bikin malu.”

Akhirnya Arumi duduk di kursi penumpang. Dadanya berdegup kencang ketika melihat Lita menerima sebuah amplop cokelat tebal dari wanita setengah baya di mobil itu.

“Mah… itu amplop apa? Jangan bilang beneran aku dijual…” bisik Arumi dengan suara bergetar.

Lita pura-pura sibuk, nggak menggubris. Wanita setengah baya itu lalu menoleh, tersenyum samar yang justru makin bikin ngeri. “Kamu jangan takut, Arumi. Kamu cuma bakal kerja.”

“Aku… aku nggak mau. Aku sebentar lagi lulus, aku pengen kuliah kedokteran. Aku punya mimpi, Bu, jangan hancurin itu,” suara Arumi tercekat, hampir nangis.

Wanita itu mendengus pelan. “Kamu harus bersyukur. Kalau bukan Lita, kamu udah jadi anak yatim piatu tanpa arah. Sekarang giliran kamu balas budi.”

Arumi terdiam, pandangannya kosong. Kata-kata itu menusuk hatinya, seakan mimpi yang dia jaga rapat-rapat sejak kecil mulai hancur di depan mata.

Subuh, Arumi dibangunkan oleh wanita itu. “Bangun, Arumi.”

Dengan mata berat, Arumi membuka kelopak matanya. Yang dia lihat dari jendela mobil bikin jantungnya melompat. Lampu-lampu neon masih kelap-kelip, gedung-gedung tinggi menjulang. Dia panik. “Kita… kita di mana? Ini kota lain?”

Wanita itu hanya tersenyum tipis. Mobil berhenti di depan sebuah gedung besar dengan musik berdentum samar dari dalam.

Arumi menatap dengan mulut ternganga. “Ini… club? Seriusan ini club?”

“Yah, betul. Kamu tau juga ternyata,” jawab wanita itu santai, seakan ini hal biasa.

Kaki Arumi gemetar saat keluar dari mobil. “Terus aku disini ngapain?”

“Kamu bakal tau nanti,” ucap wanita itu dingin.

Begitu masuk, suasana club langsung menyerang panca indera Arumi. Lampu warna-warni menari, bau alkohol menyengat, orang-orang tertawa keras, dan musik memekakkan telinga. Wanita itu—Risma—menarik tangannya menuju ruangan lain, di mana sekumpulan perempuan cantik berpakaian seksi duduk sambil ngobrol santai.

“Eh, ini anggota baru. Tolong didik dia ya,” kata Risma sambil menepuk tangan.

Arumi plonga-plongo, nggak ngerti apa-apa. Seorang perempuan dewasa berparas cantik bangkit, menghampiri dengan senyum sinis. “Kenalin, aku Bunga. Kamu siapa namanya?”

“Arumi… kak. Aku masih kelas tiga SMA,” jawab Arumi gugup, suaranya pelan.

Bunga menatap Arumi dari atas ke bawah lalu tertawa kecil. “Masih muda banget ternyata.”

Arumi memberanikan diri bertanya, “Kak… aku disini sebenernya kerja apa sih? Aku nggak ngerti…”

Bunga menyandarkan diri ke kursi, senyumnya makin sinis. “Kerja jadi LC lah. Emang kamu kira di club kerjaannya apa?”

Kata itu seperti petir yang menyambar. Arumi membeku, wajahnya pucat. “Apa…? LC? Maksud kakak… aku harus…” suaranya tercekat, air mata mulai menggenang. “Aku nggak mau… aku beneran nggak mau kerja gini. Aku masih sekolah!”

Bunga hanya tertawa kecil, tatapannya penuh iba bercampur sinis. “Welcome to the real world, dek. Semua orang disini dulunya juga punya mimpi.”

Arumi menatap pintu kamar dengan mata penuh air mata. Jantungnya berdebar kencang, tangannya meraih gagang pintu, berniat kabur. Namun, langkahnya terhenti ketika suara dingin terdengar dari belakang.

“Kau nggak akan bisa kabur dari sini, Arumi. Nggak akan pernah bisa!” suara Bunga menggelegar, penuh ancaman.

Arumi menoleh, wajahnya panik. “Aku nggak mau disini, kak! Lepasin aku! Aku mau pulang!” teriaknya sambil menangis sekencang mungkin.

Tangisannya memecah suasana, sampai beberapa wanita lain yang ada di ruangan itu jadi risih. Mereka saling pandang, gelisah. Akhirnya, satu per satu meninggalkan Arumi sendirian di kamar itu.

Arumi terus nangis sampai matanya bengkak, hingga kelelahan membuatnya tertidur.

Beberapa jam kemudian, pintu kamar berderit terbuka. Bunga masuk, wajahnya dingin. Ia mendekati ranjang, menatap Arumi yang tertidur dengan wajah sembab. “Dasar!” gumamnya sambil mengguncang tubuh Arumi.

Arumi terbangun, matanya masih berat. Begitu sadar, dia buru-buru duduk. Namun, Bunga langsung mengomel. “Mata kamu harus fresh, Arumi! Kamu harus tampil cantik di depan tamu. Gimana mereka mau suka kalau kamu kayak orang habis nangis seharian?”

Arumi menahan tangis, suaranya serak. “Aku nggak mau jadi LC. Pecat aku! Biarkan aku pergi!”

Bunga mendengus keras, matanya melotot. “Arumi! Apa kamu mau mati?”

Arumi terdiam, wajahnya pucat. “Mati…?” suaranya nyaris tak terdengar.

“Yah!” bentak Bunga. “Siapa aja yang nggak nurut sama aturan, dia bakal dieksekusi. Jadi jangan main-main sama hidupmu.”

Arumi membeku. Dalam hati ia menjerit, lebih parah dari Kamboja ya ternyata nasibku ini… Air matanya kembali jatuh, tak mampu dia tahan.

Saat itu, seorang wanita lain masuk, membawa segelas air. Perawakannya ramah, senyumnya tipis. “Hai, aku Lili,” katanya pelan.

Arumi mengangguk lemah. “Aku… Arumi.”

Lili menatapnya iba. “Ngeliat kamu, aku jadi inget aku dulu, waktu pertama kali dibawa ke sini.”

Arumi langsung menoleh penuh harap. “Lili… tolongin aku. Aku benci tempat ini. Aku pengen keluar.”

Namun Lili hanya menghela napas panjang. “Arumi, sekarang nikmatin aja hidupmu disini. Karena kalau nggak, kamu bakal sengsara.”

Arumi menggeleng keras. “Tempat apa ini sih? Aku bener-bener benci!”

“Arumi, dengerin aku,” Lili mendekat, suaranya merendah. “Ikutin aja alurnya. Setelah kamu coba, kamu bisa aja ketagihan.”

“Maksudnya?” Arumi menatap Lili dengan kening berkerut.

Lili lalu membisikkan sesuatu ke telinganya. Kata-kata itu membuat bulu kuduk Arumi berdiri, tubuhnya merinding.

“Kalau kamu bisa main cantik, keperawananmu itu nggak akan hilang,” bisik Lili.

Arumi menutup mulutnya dengan tangan, kaget. “Apa harus begitu? Apa… apa tempat ini beneran tempat jual diri?”

Lili menatapnya lurus. “Yah, betul. Tapi aku gagal jaga itu. Aku dulu ditawar satu miliar… mana bisa nolak?”

Arumi terdiam, shock. “Satu miliar? Kalau kamu udah punya duit segitu, kenapa masih disini?”

Lili tersenyum miris. “Karena aku nggak bisa ninggalin dunia ini. Aku udah ketagihan. Percaya sama aku, Arumi… semua yang masuk sini awalnya nangis, tapi akhirnya ya begitu juga.”

Arumi terisak. “Aku… aku nggak mau jadi kayak gitu.”

“Udah, nggak usah kebanyakan mikir. Aku bakal ngajarin kamu cara merias diri biar kelihatan cantik dan seksi,” ujar Lili, mencoba menghibur.

Arumi akhirnya nurut, walau hatinya hancur. Lili mulai mengajarinya makeup tipis. Pulasan lipstik, eyeliner tipis, blush on samar. Hasilnya membuat Arumi terdiam di depan cermin. Wajahnya benar-benar berubah. Bukan lagi siswi SMA polos, melainkan sosok yang terlihat dewasa—terlalu dewasa untuk usianya.

Lili tersenyum puas. “Cantik banget. Kamu bakal laku keras.”

Arumi menatap pantulan dirinya dengan mata berkaca-kaca. “Ini… ini bukan aku. Aku bener-bener udah kayak LC beneran.”

“Jangan nangis lagi, Arumi,” Lili menepuk bahunya. “Air mata nggak ada gunanya disini. Yang penting cuma uang, bukan rasa sakitmu.”

Tengah malam, pintu-pintu room mulai terbuka. Satu per satu LC keluar dengan tawa yang dipaksakan, ada yang merapikan gaun, ada yang menyalakan rokok. Arumi masih duduk, tangannya gemetar.

“Rumi, ayo. Malam ini giliran kamu coba,” suara Bunga tiba-tiba mengagetkan.

Arumi bangkit dengan ragu, hatinya berteriak ingin kabur, tapi kakinya berat melangkah. Di dalam room, dia gugup, salah tingkah, dan akhirnya melakukan kesalahan fatal—menolak minuman yang disodorkan tamu.

Bunga langsung murka. Wajahnya merah, tangannya menghantam meja. “Arumi! Gimana kamu bisa bikin tamu seneng kalau kayak gitu?!”

Arumi hanya bisa menangis. “Aku… aku nggak bisa, kak. Aku mau pulang.”

Bunga mendekat, tatapannya penuh amarah. “Mulai sekarang, kamu nggak usah makan malam! Itu hukumanmu.”

Arumi terisak, perutnya kosong, tubuhnya gemetar. Malam itu, ia meringkuk di pojok kamar, menangis sampai sesenggukan. “Tolongin aku… aku pengen pulang,” bisiknya lirih, suara yang tenggelam di antara dentuman musik club yang tak pernah berhenti.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LC PERAWAN MILIK CEO   5 Tahun Kemudian

    Malam itu, langit di atas kota tampak penuh cahaya neon. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh, tapi di balik gemerlap itu, ada sisi gelap yang masih sama—tempat yang dulu jadi mimpi buruk Arumi.Arumi berjalan pelan di koridor sempit club itu, rambutnya dikuncir seadanya, bibirnya pucat. Lima tahun telah berlalu sejak malam ketika Lili meninggal di pelukannya. Lima tahun sejak tubuhnya dipaksa kembali ke tempat yang ingin dia tinggalkan selamanya.Kini, dia cuma bayangan dari dirinya yang dulu. Hatinya kosong, langkahnya berat, dan setiap malam, dia cuma berharap satu hal: semoga suatu hari bisa bebas.Flashback lima tahun lalu...Ketika mobil pengantin Dayandra meninggalkannya di depan rumah mewah itu, Arumi berlari mengejarnya, tapi langkahnya goyah, napasnya sesak.Belum sempat ia sadar, suara langkah kaki cepat terdengar dari belakang.“Arumi!” teriak seseorang.Dia menoleh, dan matanya membesar. Anak buah Bunga—dua orang pria berjas hitam—berlari mendekat.“Tidak… tidak! Lepaskan a

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Pernikahan Dayandra

    Langit masih gelap keunguan saat Arumi bangun dari bangku batu tempat dia tertidur semalaman. Angin pagi menusuk kulitnya, dingin sampai ke tulang. Matanya sembab, rambutnya berantakan, tapi tatapannya teguh—ada satu tujuan di pikirannya: Dayandra.Dia memanggil bajaj yang lewat, dan dengan suara serak, berkata pelan,“Ke rumah sakit, Mas.”Sepanjang perjalanan, Arumi menggenggam ujung jaket lusuhnya erat-erat. Di pikirannya cuma ada wajah Dayandra—lelaki yang pernah melindunginya mati-matian dari Bunga dan Corla, yang bilang dia gak peduli dengan masa lalu Arumi. Lelaki yang sekarang mungkin masih terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.Tapi begitu sampai di rumah sakit, kabar yang dia terima justru bikin jantungnya berhenti sesaat.“Pasien atas nama Dayandra?” tanya Arumi dengan napas bergetar.Suster di meja resepsionis membuka data pasien di komputer. “Oh, Pak Dayandra sudah keluar dari ICU setengah lalu. Sekarang sudah pulih total, bahkan sudah tidak dirawat di sini lagi.”

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Kak Lili!! Hikss!!!

    1 Bulan Kemudian.Sudah sebulan berlalu sejak malam itu—sebulan sejak Lili dan Arumi berjanji buat cari jalan keluar dari neraka bernama club itu.Setiap hari rasanya seperti berlari di dalam lingkaran setan. Musik yang sama, tawa palsu yang sama, dan tatapan para pengawas yang selalu curiga setiap kali Lili dan Arumi bisik-bisik.Tapi Lili gak pernah berhenti berusaha.Setiap malam, dia pura-pura ramah sama pengawal pintu belakang, pura-pura manis ke bartender supaya bisa dapetin info tentang jadwal Bunga dan anak buahnya. Semua ia lakuin demi satu hal: kabur.Namun, Bunga bukan orang bodoh. Sejak terakhir kali ia curiga, penjagaan makin ketat. Dua bodyguard baru ditambah di pintu keluar, kamera pengawas dipasang di setiap lorong, dan semua LC harus lapor kalau mau keluar ruangan.Arumi makin tertekan. Kadang ia cuma duduk di kamar sempitnya, menatap dinding kosong sambil nangis tanpa suara.“Aku capek, Kak,” ucapnya lirih suatu malam. “Setiap kali aku coba percaya kita bisa keluar,

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Om Om Buncit

    Lampu-lampu neon berkedip di langit-langit ruangan itu, berganti warna dari merah ke ungu, lalu biru, seolah gak pernah berhenti mengingatkan betapa dunia di dalam tempat itu gak pernah benar-benar tidur. Musik EDM berdentum keras dari panggung utama, dan bau alkohol bercampur parfum murah memenuhi udara.Arumi duduk di pojok ruangan, pakai dress hitam pendek yang bahkan gak ia pilih sendiri. Tatapannya kosong, wajahnya tampak letih, dan tangan mungilnya menggenggam segelas air putih yang udah lama gak ia sentuh.Sudah seminggu. Seminggu sejak Corla menyerahkan dirinya pada Bunga.Seminggu sejak dunia gelap yang dulu ia tinggalkan kembali menelannya tanpa ampun.Tapi kalau bukan karena Lili—mungkin Arumi udah hancur sepenuhnya.Lili datang di malam pertama Arumi dibawa balik ke club. Perempuan itu jauh lebih tua, tapi masih punya pesona dan ketenangan yang bikin orang merasa aman. Rambutnya panjang diikat ke belakang, dan senyum lembutnya selalu muncul di saat Arumi paling butuh.“Kau

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Dipaksa

    Mata Arumi sembab, wajahnya pucat, dan langkahnya gemetar ketika tiba di depan bangunan yang sudah sangat ia kenal — Club Elysium, tempat yang selama ini menjadi luka terdalam dalam hidupnya. Aroma alkohol dan asap rokok menyambut begitu pintu mobil dibuka. Musik berdentum keras dari dalam, membuat jantung Arumi berdegup semakin cepat.Ia menatap Bella yang berdiri di depannya, mengenakan pakaian glamor dan lipstik merah menyala.“Kenapa kalian membawa aku ke sini lagi!?” serunya parau, tangannya mencoba melepaskan genggaman dua orang bodyguard yang memegangnya di kedua sisi.Bella hanya tersenyum tipis, penuh kemenangan.“Karena kau aset kami, Arumi. Kau tahu itu.”“Tapi Mas Dayandra sudah membayar kalian! Dia sudah menebus aku, sudah selesai!” Arumi memohon, suaranya bergetar antara marah dan ketakutan.Bella mendekat, menatap wajah Arumi dengan tatapan tajam dan sinis.“Mana dia sekarang, hah? Mana pria yang kau banggakan itu? Kau lihat? Tak ada siapa pun yang datang menyelamatkanm

  • LC PERAWAN MILIK CEO   Kembali Menjadi LC

    Mobil itu menabrak pembatas jalan dan terguling dua kali sebelum akhirnya berhenti dengan posisi miring di pinggir jalan. Kaca depan pecah, suara alarm mobil meraung keras, dan asap tipis keluar dari kap depan.Beberapa detik, semuanya hening.Arumi pingsan separuh sadar. Tubuhnya terlempar ke samping, bahunya sakit tapi nggak parah. Dia coba buka mata, pandangannya buram. Saat sadar sedikit, hal pertama yang dia lihat adalah tangan Dayandra yang masih menggenggam tangannya lemah—tapi darah menetes dari pelipisnya.“Mas…?” suara Arumi serak. Dia mengguncang bahu Dayandra pelan. “Mas Dayandra! Bangun, Mas! Tolong!”Tapi Dayandra nggak bereaksi. Matanya tertutup, napasnya lemah, kepala bersandar di kursi dengan luka yang terus berdarah.Arumi panik. “Tolong! Ada orang tolong!” teriaknya histeris dari dalam mobil. Tangannya gemetar, berusaha buka sabuk pengaman tapi susah karena tangannya juga lecet.Beberapa menit kemudian, suara sirene ambulan datang. Petugas langsung ngebuka pintu mob

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status