Share

Fitnah

Ranti tertegun dalam diamnya. Lidahnya terasa kelu seketika. Netranya mengembun. Sekuat tenaga Ranti mencoba menahan genangan air yang siap meleleh dari pelupuk matanya.

Pernikahan yang selama ini menjadi dambaan ternyata tak seindah khayalan. Tak cukup cinta antar dua insan, ada keluarga besar kedua belah pihak yang ikut disatukan.

"Maaf, Bu. Ranti tak paham dengan kebiasaan di rumah ini. Nanti Ranti akan coba menyesuaikan diri."

Akhirnya kalimat itu yang terucap dari bibir Ranti. Bukan karena rasa bersalah, namun lebih pada alasan agar tak memperpanjang masalah. Ranti merasa tak ada yang salah dengan dirinya. Pergi mengikuti ajakan Bayu bukan karena tak ingin mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah ini, Ranti siap untuk mengerjakan pekerjaan apapun.

"Kalau tak paham itu bertanya, jangan diam saja. Pas orang ribut baru mengaku tak paham."

Ririn, adik bungsu Bayu tiba-tiba muncul di belakang Ranti sembari memegang sapu plastik di tangannya.

"Aku saja sudah selesai menyapu. Pagi-pagi itu untuk membersihkan rumah, Kak. Kalau mau jalan-jalan tak salah, setelah pekerjaan rumah beres."

Entah dimana gadis itu belajar etika berbicara. Ranti merasa sangat tak pantas ucapan itu dilayangkan padanya, seorang ipar yang baru saja masuk dalam keluarga mereka.

Ranti memilih diam kali ini. Bukan karena tak punya jawaban yang tepat untuk membungkam mulut keluarga Bayu, tapi karena Ranti tahu tak guna memberikan alasan untuk orang-orang yang memang tak menginginkan kehadirannya. Perih, hanya kata itu yang mampu diungkapkan Ranti.

"Dek, kenapa piringnya tak juga diambil? Bapak nungguin tuh di depan. Bu ... Bayu banyak membeli lakso, kesukaan Ibu."

Ranti menghela napas panjang. Sesak yang dirasakannya harus dilepaskan, bukan untuk diungkapkan.

"Ranti kayaknya kurang betah di sini, Yu. Memang sih, rumah kita ini tak sebagus rumahnya dulu."

Ranti mengernyitkan dahinya. Semakin tak paham dengan perangai mertuanya. Sedikit pun tak ada pembahasan tentang masalah itu dari tadi. Kenapa lantas beliau mengungkapkan hal yang mengada-ada seperti itu?

"Sabar, Dek. Nanti siang kita juga akan mulai melihat kontrakan. Lagi pula, biar rumah ini tak besar tapi suasananya ramai. Kalau di kontrakan nanti kamu bakal kesepian, Dek."

Ranti menolehkan wajahnya, menghadap suami yang diharapkan akan menjadi pelindungnya di tempat yang tak diharapkannya ini. Bukan karena tak ingin, tapi Ranti merasa tak perlu memaksa jika memang orang tak bisa menerima. 

"Nggak kok, Bang. Aku berusaha nyaman dimana pun berada, asalkan kita selalu bersama," ujar Ranti seraya mendekat pada suaminya itu.

Bagi Ranti, tinggal di kontrakan sendiri akan lebih nyaman dibandingkan harus lebih lama dibandingkan harus lebih lama menahan perasaan. Tak mungkin Ranti mengungkapkan semua yang dirasakannya ini pada Bayu. Jelas, Bayu akan sulit mempercayai segala yang akan disampaikannya.

Ranti tahu persis, suaminya itu sangat menyayangi keluarganya. Itulah salah satu alasan membuat Ranti tak ragu melabuhkan hati pada sang kekasih halalnya itu. Menurut Ranti, laki-laki yang menyayangi keluarga tentunya akan menjadi pengayom bagi anak-anak mereka nantinya. Namun saat ini hati Ranti menjadi gundah, saat menyadari bahwa tak semua keluarga itu sama.

"Bu, sarapan dulu. Mumpung kuah laksonya masih hangat," ujar Bayu seraya mulai mengisi piring kecil yang diambilnya dari rak dengan aneka pempek dari plastik.

"Dek, ambilkan piring satu lagi. Untuk wadah kue-kue ini."

Ranti mengangguk dan berjalan ke arah rak piring.

"Lakso Ibu jangan kau habiskan, Yu. Ibu mau mencuri baju dulu." Kalimat Ibu memang datar, namun Ranti tahu ada sesuatu yang tersirat di balik ucapan itu.

"Biar Ranti saja yang mencuci bajunya, Bu." 

Cepat Ranti melangkah mendekati mertuanya setelah menyerahkan sebuah piring kepada Bayu.

Wanita yang telah melahirkan suaminya itu sedang berdiri tegak di dekat sumur. Kedua tangannya sibuk memindahkan air dari ke bak semen di samping sumur ke dalam dua baskom besar berwarna hitam dengan menggunakan gayung.

Letak sumur yang berada persis di belakang dapur membuat suara ibu mertuanya cukup jelas terdengar. Ranti sempat berpikir, mengapa tak menggunakan mesin cuci saja untuk aktivitas mencuci pakaian di rumah ini. Dengan kondisi bapak mertua yang masih aktif bekerja di kantor kecamatan, keluarga ini tergolong mempunyai kondisi ekonomi yang tak kekurangan. Apalagi menurut cerita Bayu, kedua orang tuanya mempunyai tambak ikan dan kebun sawit sebagai usaha sampingan. 

"Ibu sarapan saja, biar Ranti yang mencuci bajunya."

Ibu mertuanya itu tak menunjukkan ekspresi apapun. Hanya gayung yang dipegangnya saja dilepaskan dari tangan. Cukup sebagai isyarat bagi Ranti untuk mengambil alih pekerjaan.

"Kamu bisa mencuci pakai tangan, Ran? Ibu bukannya tak mampu membeli mesin cuci. Mencuci pakai mesin itu tak sebersih dengan tangan," ujar Ibu seakan menjawab pertanyaan yang sempat melintas di pikiran Ranti.

Ranti mengisi baskom hitam kedua dengan air. Baskom pertama telah diisi penuh oleh mertuanya.

"Bisa, Bu."

Hanya kalimat singkat itu yang dilontarkan Ranti. Derap langkah kaki mertuanya terdengar berjalan menuju dapur.

Ranti mengisi baskom pertama dengan deterjen. Kemudian memasukkan satu per satu pakaian ke dalam baskom tersebut. Memastikan agar pakaian yang punya resiko luntur tak tercampur. Jangan sampai dirinya disalahkan lagi karena tak becus membedakan pakaian luntur dan tidak.

Pakaian empat orang penghuni rumah itu telah berada sempurna dalam rendaman. Lumayan banyak. Ranti sengaja tak memasukkan pakaiannya dan Bayu. Nanti saja, setelah memastikan pekerjaan yang lain beres, baru Ranti akan mencuci pakaian kotor mereka. Lagi pula, mencuci pakaian dalam jumlah banyak sekaligus tentu akan menguras tenaganya. Perutnya sama sekali belum terisi.

Perlahan Ranti menyikat pakaian-pakaian yang terendam. Sayup-sayup indera pendengarannya masih mampu menangkap perbincangan yang terjadi antara mertua dan suaminya. Tentunya dengan tambahan dua gadis, adik suaminya itu.

"Bang, istri Abang sepertinya perlu dinasihati, dikasih tahu tentang kebiasaan di rumah ini. Jangan mau seenaknya sendiri."

Tak jelas siapa yang mengucapkan kalimat itu. Yang pasti, itu ucapan adik iparnya. Ranti mencoba menajamkan telinganya, memastikan tak ada kalimat pedas yang akan terlewatkan olehnya.

"Namanya juga pertama kali di tempat orang, Rin. Kakak iparmu itu tentunya perlu beradaptasi. Ada kebiasaan di rumah kita yang mungkin tak sama dengan selama ini terjadi di rumahnya."

Bayu mencoba memberikan tanggapan, pembelaan untuk istrinya.

"Tapi Kak Dinda dulu langsung bisa memahami kebiasaan di rumah kita."

Kali ini terdengar kembali ucapan dari pemilik suara yang berbeda. Ranti mencoba mengingat-ingat. Jika tak salah, Dinda adalah istri Bang Ilham, kakak sulung Bayu. Ranti memang belum terlalu mengenal anggota keluarga Bayu. Pertemuan mereka baru terjadi saat pernikahan kemarin.

"Kak Dinda kan sebelum menikah dengan Bang Ilham sudah sering main ke sini, Min. Kadang dari pagi sampai sore, tak pulang-pulang. Ya ... wajar saja jika pas menikah, dia sudah terbiasa di rumah ini."

Benar saja, setelah Ririn mencoba menyudutkannya, kali ini Nina juga tak mau kalah. Namun setidaknya, Ranti masih bisa bernapas cukup lega. Bayu masih terus melakukan pembelaan padanya. Tak menyudutkan dirinya. Hal itu cukup sebagai pelipur duka bagi Ranti.

"Jangan terlalu membela istrimu seperti itu, Yu. Tadi saja pas ibu meninggalkannya di sumur, Ibu sempat mendengar Ranti menggerutu. Seperti tak ikhlas mencuci pakaian kami. Hanya saja, Ibubtak mau meladeninya."

Ucapan yang satu ini benar-benar tak disangka Ranti. Ucapan pedih yang jelas terdengar dari mulut mertuanya itu benar-benar fitnah sejati.

Tak ada gerutuan yang keluar dari bibirnya. Kenapa ibu mertuanya itu seolah-olah terus menjelek-jelekkannya? Jelas-jelas semua ini merupakan bukti, sang mertua tak suka akan hadirnya.

Ranti menghela napas panjang. Keputusannya sudah bulat, apapun yang terjadi mereka harus keluar dari rumah ini. Tak peduli bagaimana nanti suasana di rumah kontrakan yang akan mereka cari. Ranti rasa tak ada lagi alasan untuk menunda lebih lama. Ranti tak ingin lebih banyak fitnah yang akan tercipta jika lebih lama tinggal di pondok indah mertuanya ini.

Setetes air mata mengalir dari pelupuk matanya. Cukup sebagai pertanda jika dirinya lagi-lagi harus terluka.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status