Ranti dan Bayu baru saja menyelesaikan rutinitas tiga rakaat di penghujung senja yang semakin menggelap. Wujud ketaatan pada Sang Pencipta. Tak lupa memanjatkan doa agar segalanya dipermudah.
"Nanti kita pamitan dulu sama Bapak dan Ibu, ya! Mau makan di rumah dulu sebelum berangkat?" tanya Bayu saat Ranti mengulurkan tangan, mencium takzim tangan kanannya. Masih di atas hamparan sajadah, keduanya duduk berhadapan."Makan nasi bungkus saja, Bang. Kita beli nasi di warung, makannya di rumah kita saja nanti."Bukan tanpa alasan Ranti menolak makan malam di rumah mertuanya. Tak ingin menjadi sesalan sat ada ucapan yang menyinggungnya nanti. Bukan Ranti berburuk sangka, tapi hanya ingin menyelamatkan telinga dan hatinya atas sesuatu yang bisa terjadi nanti.Berbekal pengalamannya tadi pagi, bukan tak mungkin akan ada ucapan pedas saat nasi putih hendak masuk ke mulutnya nanti. Seharian tak ada di rumah, membantu pekerjaan rumah pun tak dilakukannya. Tentu hal itu akan menjadi senjata ampuh bagi keluarga Bayu untuk menggores luka di hatinya."Sepertinya kamu sudah tak sabar, Dek. Sudah mau di rumah sendiri kayaknya, walaupun cuma ngontrak."Bayu beranjak dari sajadahnya. Membuat baju Koko dan sarung yang dikenakannya. "Setiap pasangan suami istri pasti ingin seperti itu, Bang. Secepat mungkin mandiri, walau hanya lauk sambal terasi," kilah Ranti menutupi rasa di hatinya. Bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Ranti membuka mukenanya, melipatnya dengan cepat dan memasukkannya ke dalam koper pakaian. Keputusannya untuk tak membongkar koper itu sungguh tepat rasanya. Tak banyak harus dibereskan pada saat seperti ini."Artinya kamu siap lauk sambal terasi nantinya, Dek?" Bayu menggoda istrinya yang sedang mengganti pakaiannya. Daster yang dikenakan Ranti telah berganti dengan setelan tunik dan celana katun."Siap, Bang. Tenang saja. Allah sudah mengatur rezeki. Bukan tak mungkin ... rezeki Abang justru ada di rumah tangga kita nantinya. Abang tak perlu khawatir. Istrimu ini siap bersusah ria dengan suaminya, asalkan suaminya setia. Itu kuncinya, Bang."Bayu tertawa kecil saat mendengar ucapan istrinya. Memilih wanita itu untuk menggenapkan separuh agamanya semoga bukan pilihan yang salah."Abang bersiap saja. Pakaian Abang sini Adek bantu bereskan."Tampak Ranti sudah menyiapkan hijab instan untuk dikenakannya. Hijab berbahan jersey dengan warna abu muda senada dengan tunik dan celana yang dikenakannya."Koko dan sarung itu tak usah dimasukkan dalam koper Abang, Dek. Buat ditinggal di sini saja, suatu saat kan pasti kita pasti menginap di sini lagi. Jadi Abang tak susah membawa sarung dan baju untuk salat nantinya."Ranti menganggukkan kepalanya. Tak menjawab, namun gerakan tangannya sigap memasukkan baju-baju Bayu ke dalam koper yang berbeda."Kita nanti pesan pesan taksi saja ya untuk membawa barang-barang kita. Biar tak kerepotan."Bayu merapikan beberapa map di atas meja kecil di sudut kamar dan memasukkannya ke dalam ransel yang biasa dipakainya bekerja."Kita tetap naik motor, biar taksi yang mengikuti kita dari belakang. Atau Adek mau naik taksi nantinya? Tapi Abang tetap naik motor, soalnya susah mau kemana-mana kalau tak ada motor."Ranti mengalihkan pandangannya ke arah Bayu."Ya jelas naik motorlah, Bang. Tak nyaman naik taksi sendirian. Lagi pula Abang tak cemburu nantinya kalau istri Abang berduaan saja dengan sopir taksi?" tanya Ranti seraya tersenyum.Bayu menggaruk kepalanya, walau sebenarnya tak ada rasa gatal di sana."Ya ... siapa tau saja, Adek mau naik taksi maksud Abang. Ya sudah, ayo kita pamitan sama Ibu dan Bapak dulu!" ajak Bayu kepada Ranti. Bayu membuka pintu kamar, melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Ranti ikut melangkahkan kakinya juga. Walau jujur saja, hatinya berdebar-debar seolah memberi pertanda ada kejadian tak nyaman yang akan dihadapinya nanti.Ternyata kedua mertuanya sedang duduk di depan televisi. Menyaksikan drama kehidupan yang biasanya cerita akhirnya sudah bisa ditebak penonton.Ranti memilih duduk di samping Bayu, saat suaminya itu mendudukkan tubuhnya di kursi kosong dekat ibu mertuanya."Tumben kalian sudah rapi, Yu? Mau makan di luar lagi? Masakan di rumah ini tak cocok bagi Ranti ya?"Ranti yang baru saja duduk di samping Bayu jelas terhenyak mendengar ucapan ibu mertuanya itu. Jika tak memandang adab kepantasan, rasanya Ranti tak tahan jika tak menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang menohok juga. Namun lagi-lagi, Ranti berusaha menahan gejolak di hatinya."Ibu ... mengapa bicara seperti itu? Ranti tak pernah menganggap masakan di rumah ini tak cocok untuknya," ujar Bayu dengan tangan kanan meraih jemari Ranti. Menggenggam jari-jari istrinya, mengalirkan kekuatan pada pasangannya itu."Belum, Yu. Bukan tak pernah. Lain lubuk tentu lain belalangnya. Selera tentu tak sama, mengingat daerah asal kita yang tak sama." Ranti mencoba melirik ke arah ibu mertuanya yang pandangannya lurus menatap layar televisi. Sementara bapak mertua lebih sibuk dengan gawainya."Sudahlah, Bu. Tak perlu membuat suasana menjadi tak nyaman. Begini ... Bayu dan Ranti mau pamit. Tadi siang kami sudah lihat-lihat rumah kontrakan, kebetulan juga sudah dapat yang cocok. Jadi maksud kami malam ini mau pindahan. Cuti Bayu kan cuma sampai besok, jadi masih ada waktu untuk membereskan barang-barang."Bu Ratna, mertuanya itu segera mengalihkan pandangannya. Tak lagi menatap layar datar bercahaya yang ada di hadapannya. Netranya beralih pada Bayu dan Ranti."Secepat ini kalian mau pindah? Sudah tak betah di rumah ini, Yu?" tanya Bu Ratna dengan nada sinis."Bukan tak betah, Bu. Kami mau belajar mandiri saja. Lagi pula, jarak rumah kontrakan itu lebih dekat ke kantor Bayu. Ibu dan Bapak kapan mau melihat-lihat rumahnya? Bayu jemput," ujar Bayu perlahan. Ranti memilih diam, menekuri ubin lantai. Tak ingin berbicara, takut salah ucap nantinya.Bu Ratna menghela napas panjang. Seolah ada beban dalam hatinya yang tak terucapkan."Ibu dan Bapak tak marah kan jika Bayu dan Ranti mengontrak?" tanya Bayu hati-hati."Kalau Bapak tak masalah, Yu. Kalian sudah dewasa. Kalian sudah tahu mana yang terbaik untuk kalian. Kalian tak salah jika ingin mandiri. Rumah ini selalu terbuka untuk kalian. Bukan begitu, Bu?" tanya Pak Ridwan kepada istrinya. Gawai yang tadinya ada di genggaman diletakkan Pak Ridwan ke atas meja."Ibu juga tak masalah. Hanya saja ada satu hal yang Ibu perlu sampaikan ke Ranti."Ucapan ibu mertuanya itu membuat Ranti terkejut. Ada apa gerangan yang hendak disampaikan wanita itu kepadanya? "Begini, Ran. Bayu itu adalah putra Ibu dan Bapak yang kami kuliahkan dengan susah payah. Bayu putra Ibu ... sampai kapan pun. Walaupun Bayu sudah menikah, berkeluarga ... tetap saja Bayu harus berbakti pada kedua orang tuanya. Kamu tentunya mengerti maksud Ibu kan, Ran?"Ranti yang sedari tadi tertunduk merasa terpojok. Tak menyangka ibu mertuanya akan berkata seperti itu. Ranti bukan tak paham apa yang dimaksud wanita yang telah melahirkan suaminya itu. Ada tanggung jawab dan kewajiban pada kedua orang tuanya yang harus tetap dipikul Bayu meski telah berkeluarga. Ranti mengerti dan paham, tak perlu ibu mertuanya sampai berkata seperti itu kepadanya. "Maaf, Bu. Ranti tak pernah melarang Bang Bayu untuk tetap berbakti pada Ibu dan Bapak. Ranti juga senang dengan sikap Bang Bayu seperti itu. Ranti pun akan berusaha menunjukkan bakti pada Ibu dan Bapak, walau mungkin tak sempurna karena Ranti hanya manusia biasa. Banyak celah dan salah," ujar Ranti seraya mengangkat wajahnya. Netranya mengembun, namun Ranti mencoba menahan kuat-kuat pelupuk matanya agar tak meloloskan buliran bening. Sesakit ini rasanya. Sungguh, jika Bayu tak ada di sampingnya, Ranti tak mampu membayangkan apa yang akan menjadi kekuatannya saat ini. Diterpa badai seketika. Menghantam hati dan jiwanya."Bang Bayu selamanya akan tetap menjadi anak Bapak dan Ibu. Tak berubah. Hanya sekarang ada tambahan peran yang dijalankannya. Sebagai suami Ranti."Kalimat itu menjadi penutup perbincangan mereka. Bayu mencium takzim tangan kedua orang tuanya. Ranti pun mengikuti gerakan suaminya, walau dengan hati yang berdarah-darah. Mereka keluar dari rumah yang sejak kecil menemani Bayu dengan sembilu di hati Ranti."Abang tak lagi sering memberikan kami uang.""Bukankah jatah bulanan Ibu tetap kami berikan? Bahkan saat Bang Bayu di penjara pun, Kakak tetap memberikan Ibu uang kan? Padahal saat itu Bang Bayu tak lagi memiliki gaji sama sekali. Uang itu murni dari Kakak.""Tapi Abang dulu sering memberikan tambahan uang buatku dan Ibu di luar jatah bulanan itu."Ranti mengerti penyebab semua kebencian ibu mertuanya itu sekarang."Saat itu Bang Bayu masih bekerja kan?" tanya Ranti dengan nada sehalus mungkin."Kakak pasti telah mengguna-gunai Abang hingga tak lagi peduli ke kami. Padahal sekarang ekonomi Abnag jauh lebih baik daripada saat menjadi pegawai negeri dulu. Usaha Abang maju pesat. Tapi mengapa Abang tak royal lagi pada kami? Abang seakan tak berdaya karena cengkeraman tangan Kakak."Jelas sudah semuanya. Fitnah keji itu jelas-jelas membuat luka hati Ranti kembali menganga. Luka yang pernah ada semakin terasa perih karena mendapat siraman air garam di atasn
Sontak saja Bayu dan Bu Ratna merasa terkejut atas ucapan Ranti itu. Walaupun diucapkan dengan perlahan sehingga tak ada tamu atau pun anggota keluarga lain yang mendengar, tetap saja Bayu merasa terperanjat. Bingung sekaligus terkejut mengapa sang istri berkata seperti itu. Bu Ratna sendiri memilih diam. Tak mampu entah tak mau membalas ucapan menantunya. Wajah sang ibu mertua tak menunjukkan ekspresi apa pun saat menerima piring yang disodorkan Ranti. Namun bagi Ranti semua itu tak ada maknanya lagi.Selanjutnya tiba acara utama. Bayu memberikan sambutannya. Ranti tak henti melepaskan senyum bahagianya. Kebahagiaan hari ini mungkin tak akan terulang lagi ke depannya. "Terima kasih atas kehadiran semua yang sudah hadir di sini sore ini. Tak dapat kami lukiskan perasaan bahagia kami hari ini. Kalian telah membersamai kami selama ini. Bahkan pada saat kami, terutama saya mengalami masa-masa terburuk dalam kehidupan ini. Ucapan tulus ini kami sampaikan. Ta
Ranti melihat aneka masakan yang tersaji. Ayam goreng mentega, sate ayam, selada, kari telur, aneka lalapan, dan tak ketinggalan sambal tomat khas buatan emak Agung. Makanan setengah berat pun sudah tersaji. Bunga menambahkan es kelapa muda sebagai penghilang dahaga.Mengedarkan pandangannya pada keluarga dan pegawai yang sudah hadir. Sebagian sedang menunaikan salat Asar di ruang musala keluarga. Ranti belum melihat sosok tamu istimewanya sore ini. Semoga mereka akan hadir agar semuanya dapat diselesaikan.Masih ingat dengan semua yang dilihatnya dua hari yang lalu, Ranti berusaha sekuat tenaga menahan genangan bulir bening yang siap tumpah dari ujung kedua netranya. Tak ingin menunda lagi, semuanya harus diputuskan sekarang. Berpuluh purnama telah terlalui, kenyataan itu masih tetap sama. Bahkan mungkin sampai ratusan purnama berlalu pun, dirinya tak akan mampu merubah kenyataan itu."Dek, mau dimulai acaranya sekarang?" tanya Bayu yang tiba-tiba muncul
Ranti cepat merangkul ibunya. Seolah-olah ibunya meninggalkan pesan terakhir untuk dirinya. Bulir bening membasahi pipi mereka berdua."Sudah, jangan menangis. Ibu tahu, kamu wanita yang kuat, Ran. Wanita yang tegar. Terus seperti ini ke depannya. Hidup ini ujian, bukan hidup jika tak ada cobaan. Ibu percaya, kamu mampu melewati apa pun yang akan terjadi nanti. Ingat, Ibu akan selalu mendukungmu!"Ranti kembali terisak saat mendengarkan pesan ibunya itu. Dirinya kuat karena ada ibunya. Lantas bagaimana jika sosok yang memeluknya sekarang tak ada lagi suatu saat nanti?"Sudah, hapus air matamu! Sebentar lagi mau menjemput Faiz dan Farah kan?"Bu Dewi mengurai pelukannya. Mengelap air mata yabg membasahi pipi putri tercintanya.Ranti menganggukkan kepalanya. Tak ada lagi panggilan si kembar semenjak kelahiran Faiz dan Farah karena yang kembar tak hanya mereka.Bu Dewi beranjak dari duduknya, meninggalkan Ranti yang sedang merapikan
"Ibu tak punya beban lagi jika suatu saat dipanggil Yang Maha Kuasa untuk menyusul ayah kalian. Anak-anak kami sudah bahagia dengan kekuarganya masing-masing. Walaupun sampai saat ini Ryan dan Bunga belum memberikan Ibu cucu, tak apa. Enam cucu Ibu darimu dan Bayu rasanya sudah cukup memberi kebahagiaan bagi Ibu di usia yang sudah sepuh ini."Sampai saat ini memang Ryan dan Bunga belum mampu menghadirkan cucu untuk ibu mereka. Tak kurang kasih sayang Bu Dewi tetap pada menantunya itu. Tak menyalahkan apalagi menghujat sang menantu atas amanah yang belum mereka dapatkan. Semuanya takdir. Jika janin itu belum hadir di rahim Bunga, artinya Allah belum berkehendak menghadirkan cucu dari anak dan menantunya itu. Allah belum mengizinkan dirinya mendapat cucu dari sang putra bungsu. Bukankah semua yang terjadi di bumi ini atas izin-Nya? Bahkan langit mendung pun tak akan jadi hujan jika Allah belum berkehendak. Sehelai daun hanya akan luruh dari tangkainya jika Allah men
Melalui berpuluh purnama, sikap ibu mertua Ranti tak pernah berubah. Selalu hanya menimbulkan masalah jika sosoknya tiba-tiba muncul di rumah anak dan menantunya. Ranti memilih tak lagi peduli dengan semua sikap yang ditunjukkan wanita itu padanya ataupun anak-anak mereka.Empat kali melahirkan dengan kondisi kehamilan ketiga dan keempat sepasang bayi kembar, Ranti tak pernah merasakan kehadiran sosok ibu mertua membersamai saat harus bertarung nyawa melahirkan cucunya. Untunglah, saat persalinan keempat ada sosok suami yang menungguinya. Menguatkan Ranti untuk terus berjuang menghadirkan anak mereka ke dunia.Tangis haru sempat dirasakan Ranti saat mengingat momen persalinan ketiganya. Tanpa kehadiran sang suami kala itu membuat dirinya bertekad harus kuat berjuang sendiri. Alif sudah duduk di kelas sekolah menengah saat ini. Sedangkan Fayza, Hanun, dan Hanif duduk di bangku sekolah dasar. Ranti memilih sekolah Islam dengan sistem full day untuk keempat