Share

Dari Titik Nol

Ranti menjatuhkan pilihannya pada rumah ini. Rumah kecil bercat biru muda dengan suasana perumahan yang belum terlalu ramai. Harga kontrakan yang ditawarkan pun tak terlalu mahal untuk ukuran pasangan suami istri yang baru akan memulai babak baru kehidupan.

Pemilik rumah, Pak Imam hanya meminta Ranti dan Bayu untuk merawat dan menjaga rumah itu dengan sebaik-baiknya, layaknya rumah sendiri. Pak Imam memang hanya menjadikan rumah tersebut sebagai investasi jangka panjang. Sebagai seorang pegawai dengan jabatan kepala bidang di kantor Bayu, harga cicilan rumah itu tentulah tak membebani beliau dan istrinya. Apalagi mengingat istri Pak Imam sendiri merupakan salah seorang pegawai dengan jabatan yang sama, meski di kantor yang berbeda.

"Alhamdulillah, Pak Imam baik ya, Bang. Tahu kalau kita lagi tak punya banyak uang saat ini," ujar Ranti setelah sosok pemilik rumah menghilang dengan kendaraan roda empatnya.

Ranti dan Bayu baru saja melakukan akad kontrak atas rumah yang akan menjadi saksi awal kehidupan rumah tangga mereka satu tahun ke depan. Awalnya, Pak Imam sudah menetapkan harga kontrak rumah itu untuk satu tahun. Namun setelah Bayu menjelaskan keadaan keuangannya, laki-laki paruh baya itu bersedia memberikan kelonggaran dengan menyetujui pembayaran uang kontrak dilakukan dua kali.

"Alhamdulillah, kita dimudahkan Dek. Anak-anak Pak Imam memang telah bekerja. Setahu Abang hanya si bungsu saja yang sedang kuliah. Kamu sudah cocok dengan rumah ini? Abang lihat kamu yakin sekali dengan pilihanmu."

Bayu dan Ranti berjalan memasuki rumah yang memang telah dibuka sejak tadi. Walau dibiarkan kosong selama ini, kondisi rumah tak terlalu kotor. Tak ada apapun isi di dalamnya karena memang sejak dibeli tak pernah ditempati. Hanya sejak tahun kemarin, Pak Imam melakukan renovasi sedikit di bagian belakang rumah. Sebelumnya, tak ada dapur. Rumah KPR memang tak menyediakan dapur secara khusus. Tanah kosong di bagian belakang akhirnya dibangun dapur oleh Pak Imam yang membuat bagian dalam rumah terasa lebih luas.

Rumah ini merupakan lokasi yang kedua dalam rute survei mereka. Tak berpikir panjang, Ranti langsung memutuskan rumah ini sebagai pilihannya untuk menghindari diri dari keluarga suaminya. Rumah yang pertama mereka survei kurang nyaman di mata Ranti. Posisi rumah yang menempel dengan tetangga sebelah membuat segala aktivitas di rumah nantinya terasa tak leluasa. Ibarat kata, sendok yang jatuh ke lantai saja akan terdengar oleh tetangga. Apalagi jika sampai bersahutan kata dengan Bayu nantinya saat mereka berselisih pendapat nantinya.

"Mau pindahan kapan, Dek?" tanya Bayu yang sedang memperhatikan lebih detail kamar mandi. Lantainya tampak agak kotor oleh debu dan kotoran.

Ranti terdiam sesaat. Jujur, dirinya tak ingin lebih lama berkumpul dengan keluarga suaminya yang bagi Ranti sungguh luar biasa itu. Bukan karena benci, tapi lebih karena rasa tak ingin saling menyakiti hati nantinya. Dua hari ini Ranti bisa diam, mampu menahan gejolak emosinya. Bukan tak mungkin, besok dirinya tak mampu menahan ledakan amarah saat dirinya merasa tak dihargai. Dirinya difitnah atas sesuatu yang tak ia lakukan.

Bukan karena tak ingin lebih mengakrabkan diri dengan keluarga Bayu, hanya saja mungkin perlu waktu lebih lama bagi Ranti untuk beradaptasi. Menyesuaikan kebiasaan dengan keluarga yang mungkin beda pola pemikiran, beda kebiasaan. Tapi tetap saja hati kecil Ranti merasa jika mereka tidak terlalu menyukai kehadirannya sebagai anggota keluarga baru. Entah apa alasannya, itu yang Ranti tak tahu. Setelah semua yang dialaminya, haruskah dia bertahan lebih lama di rumah itu?

"Hari ini saja, Bang. Mumpung Abang juga masih cuti kan dua hari lagi. Jadi masih ada kesempatan buat berbenah dua hari ke depan," jawab Ranti seraya mendekati suaminya.

"Kamu yakin? Nggak mau lama-lama di rumah Ibu dan Bapak dulu? Lingkungan rumah ini belum terlalu ramai jika dibandingkan dengan rumah Ibu."

Bayu membalikkan tubuhnya, menghadap ke arah Ranti. Posisi keduanya saling berhadapan.

"Yakinlah, Bang. Adek yakin, tak lama lagi lingkungan rumah ini akan ramai. Abang lihat di jalan depan sana, ada warung yang menjajakan berbagai sayuran sepertinya. Terus di pojokan perumahan ini tadi, Adek lihat ada minimarket," jawab Rantu sembari menggerakkan telunjuknya pada tempat-tempat yang dia maksud.

"Abang keberatan dengan pilihan ini?" tanya Ranti hati-hati. Walaupun Bayu sempat berkata bahwa urusan rumah adalah keputusan Ranti, tetap saja dirinya merasa bersalah tidak mengajak suaminya itu berunding dulu sebelumnya.

"Tentu saja tidak, Dek. Kebetulan lokasi rumah ini juga tak jauh dari kantor. Sepuluh menit naik motor motor sudah sampai. Dengan rumah Ibu pun tak jauh, setengah jam perjalanan saja. Yang penting bagi Abang, Adek nyaman dengan rumah kita. Tempat tinggal kita, walaupun saat ini Abang hanya mampu untuk mengontrak rumah, insyaAllah jika rezeki kita diperlancar tahun depan kita ambil kredit rumah KPR seperti ini juga. Tak perlu tipe besar. Tipe 36 saja cukup sementara."

Ranti tersenyum bahagia saat mendengar janji yang diucapkan Bayu. Tak mengapa tinggal di rumah sederhana. Tak mengapa harus hidup berjuang dari bawah. Kebahagiaan rumah tangga bukan hanya diukur dari materi semata. Yang terpenting kasih sayang dari keluarga. Dan itu sepertinya sulit Ranti dapatkan dari keluarga Bayu saat ini, entah untuk ke depannya.

Tak mungkin Ranti berterus terang tentang alasan sebenarnya. Alasan yang membuat dirinya tak betah lebih lama di rumah mertua tercinta. Bukan menyelesaikan masalah nantinya, justru akan muncul masalah baru antara dirinya dengan keluarga suaminya itu. Cap menantu tak tahu diri jelas akan disematkan keluarga itu padanya. Ranti harus bermain cantik agar tak terkesan buruk di mata banyak orang. Bagaimana pun, mertua akan selalu benar di mata banyak orang. Saat ini baginya, cukup dapat hidup tenang menjalani kehidupan rumah tangga dengan Bayu, suaminya.

"Kalau begitu, nanti kita langsung belanja alat-alat rumah tangga setelah makan siang ini, Dek."

Ranti tersenyum kecil saat mendengar ucapan suaminya itu. Lega, tak perlu memberikan alasan lebih panjang atas keinginannya yang terpendam.

"Yang penting alat-alat kebersihan dulu, Bang. Sapu, pel, pembersih lantai, sikat kamar mandi. Kita langsung bersihkan rumah setelah belanja nanti. Nanti malam kita bisa pindahan, Bang."

Bayu mengacungkan jempol kanannya.

"Kita langsung makan siang dulu kalau begitu. Hari juga hampir masuk waktu Zuhur. Setelah salat baru kita belanja, Dek."

"Kita langsung cari warung terdekat saja kalau begitu, Bang," ujar Ranti seraya mengambil tas selempang kecilnya. Tas hitam itu merupakan salah satu seserahan saat pernikahan mereka kemarin.

"Mau coba warung seafood, Dek? Di dekat sini, ada warung seafood enak setahu Abang. Adek kan jarang ketemu warung seafood."

Senyum ceria terpancar langsung dari wajah Ranti saat mendengar tawaran suaminya itu. Di daerah asalnya maupun tempat mereka kuliah selama ini menu makanan yang tersaji lebih sering dengan menu ikan air tawar. Jika pun ada ikan laut, tak segar-segar seperti di sini. Sangat wajar jika mengingat letak geografis pulau yang dikelilingi lautan ini.

Tak lama kemudian Bayu dan Ranti sudah duduk menikmati hidangan seafood mereka di sebuah warung kecil di pinggir .jalan. Kerang dara asam pedas dan udang saos padang menjadi menu makan siang mereka kali. Ditambah sepiring cah kangkung dengan potongan cumi di atasnya, benar-benar menggoda selera Ranti yang selama ini memang jarang menikmati menu aneka hewan laut seperti ini.

"Dek, kamu tak keberatan kan kita mengawali rumah tangga seperti ini? Abang hanya staf biasa di kantor, tak ada jabatan. Kendaraan pun hanya sepeda motor keluaran beberapa tahun yang lalu. Abang tak berjanji, tapi Abang akan berusaha untuk membahagiakan Adek sekuatnya. Abang janji pernikahan kita di atas segalanya."

Tiba-tiba Ranti merasakan genggaman tangan Bayu di jemarinya yang baru saja dicuci setelah menikmati makan siang luar biasa. Ada haru menyelinap di ruang hati Ranti saat mendengar pengakuan laki-laki di hadapannya ini.

"Cinta Abang yang utama ... dan itu di atas segalanya. Kita mulai kehidupan rumah tangga kita dari nol, Bang. Kita berjuang bersama. Kita saling mendukung. Kita saling menguatkan di kala susah nantinya. Kita tertawa bersama di kala bahagia."

Ranti merasa pelupuk matanya menghangat. Netranya mengembun. Ruang hatinya bahagia bak ditaburi bunga-bunga. Cinta, Ranti berharap semoga rasa itu akan selalu menguatkan perjalanan rumah tangganya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status