Share

Bab 3

LEBIH BAIK KITA BERPISAH 3

"Selamat. Aku berdoa untuk kebahagiaan kalian."

Ada senyum yang sedikit canggung terlukis di bibir Jonas. Tanpa mampu kucegah, senyumnya menyeretku pada masa-masa saat kami masih bersama. Meski tanpa kontak fisik, bukankan kita pernah saling cinta? Semua perhatian dan komitmen yang pernah kita ucapkan rupanya bisa dengan mudah menguap begitu saja.

"Terima kasih."

Suara gadis itu, Marsya namanya, lembut sekali. Aku membalas senyumnya dan mengulurkan tangan. Ku kumpulkan semua konsentrasi agar bisa tiba di bawah dengan selamat. Tidak Senja, kamu bukan gadis seperti itu. Ditinggal menikah oleh buaya darat seperti Jonas harusnya merupakan suatu keuntungan.

Di antara para tamu, ada rekan-rekan kantor kami yang sedang menikmati hidangan. Mereka melambai ketika aku lewat. Ah, entah hanya perasaanku saja, semua mata seperti sedang menatapku dengan iba.

"Kamu sendirian Senja?"

Aku tersenyum, menatap Mbak Arin dari front office yang datang bersama suaminya. Mereka pengantin baru.

"Iya, Mbak. Eve keseleo katanya." Aku meringis.

"Ah, si Meimei itu memang ceroboh."

Mbak Arin dan hampir sebagian besar orang di kantor memanggil Evelyn dengan nama Meimei karena garis wajah Tionghoa nya yang tercetak jelas.

"Kamu sabar ya, Ja. InsyaAllah jodohmu nanti akan lebih baik dari…"

"Nggak apa-apa, Mbak. Aku baik-baik saja kok." Aku tersenyum. Doa-doa semacam itu, entah kenapa rasanya tak nyaman di telingaku. Jonas dan aku kini telah membentang jarak, tak ingin lagi kudengar namanya disangkut pautkan denganku.

Aku pamit pulang lebih dulu, menghindari tatapan mata beberapa teman kampus, dan saudara-saudara Jonas yang diam-diam memandang. Tentu saja, lima tahun bukan waktu yang sebentar. Bahkan dulu mereka kerap menobatkan kami sebagai pasangan paling serasi.

Deretan mobil para tamu di halaman parkir membuatku cukup kesulitan mengeluarkan mobil. Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya ada yang mengetuk kaca mobilku dari luar.

"Butuh bantuan?"

Aku menoleh, mendapati senyum lelaki bernama Biru. Dirgantara Langit Biru. Hey, bagaimana aku langsung bisa mengingat namanya dengan lengkap?

Aku keluar dan menyerahkan kunci padanya. Dia memakai batik seragam keluarga. Artinya, dia salah satu anggota keluarga Jonas atau Marsya.

"Senja, masuk aja yuk. Jalan ke depan jauh loh."

Dia menyebut namaku seolah-olah telah mengenalku sangat lama. Aku menoleh ke jalan raya, yang tertutup deretan mobil-mobil. Memang cukup jauh apalagi dengan gaun dan sepatu sendal setinggi lima centi ini.

"Ayo Senja. Sayang sepatu kamu."

Heh.

Aku memutuskan untuk naik, memikirkan kakiku yang berpeluang pegal-pegal. Biru tersenyum, lalu memundurkan mobil dengan lincah. Tak lama, mobil telah tiba di jalan raya.

"Okey, Terima kasih."

"Ehemm… kamu kok datang kesini?"

Aku menoleh, "Aku diundang, jadi wajib datang."

"Jangan pura-pura kuat Senja. Aku tahu pasti kamu sakit. Disini." Dia menujuk dadanya sendiri.

"Jangan sok tahu."

"Tentu saja aku tahu. Jonas kan sepupu aku dan kamu adalah nama yang sering dia ceritakan padaku. Bisa dibilang, aku ini tempat curhatnya."

Ternyata aku salah pilih orang.

"Dan sayangnya, bukan cuma nama kamu saja yang sering dia sebut. Ada Erika, Yoan, dan Marsya, yang akhirnya berhasil menggeretnya ke pelaminan."

Dasar playboy. Rutukku dalam hati.

"Entah kamu terlalu polos atau gimana, sampai nggak tahu pacar Jonas itu di mana-mana."

Aku meringis. "Bisa berhenti bicara? Aku nggak mau dengar namanya ataupun cerita tentang dia lagi. Nggak penting."

"Oh, sorry."

"Dan silahkan turun. Aku mau pulang."

Biru menoleh dan sejenak kami saling bertatapan. Baru kusadari bahwa dia tampan sekali. Dengan kemeja batik yang seharusnya rapi, tapi kini dua kancing atasnya dia buka. Memperlihatkan kaus hitam di baliknya.

"Nebeng ya."

"Eh."

"Aku bosan banget di sana. Acaranya lama banget. Kebanyakan prosesi. Dan dari gedung kayaknya bakalan berlanjut ke rumah nanti. Bayangin aja betenya."

"Hey, itu bukan urusanku."

"Makanya bantuin aku, plis Senja."

Tanpa menunggu persetujuanku, Biru menekan gas dan mobil mulai meluncur. Astaga. Apa-apaan ini?

"Hey, kamu nggak punya hak memaksaku."

"Plis, berbuat baiklah. Aku do'akan kamu dapat ganti cowok ganteng dan baik sebagai pengganti dia yang namanya tak boleh disebut. Emm… seperti aku misalnya."

"Mimpi."

Biru tertawa. Dan lagi, deretan gigi putih dan rapi miliknya mencuri perhatianku. Tak mau lama-lama menatapnya, aku berpaling, memandang keramaian minggu siang yang didominasi pengendara motor berpasangan. Tiba-tiba saja perhatianku dengan cepat teralih. Sepasang sejoli di depanku, mengendarai motor besar dengan boncengan menukik ke atas. Di ceweknya memeluk lelakinya erat, bahkan menempelkan kepalanya dipunggung sang kekasih. Astaga, wajahku panas melihatnya. Mudah-mudahan saja mereka sudah menikah.

"Anak sekarang pacaran nggak ada akhlak emang."

"Bisa nggak kamu berhenti bicara."

"Ups. Sorry."

Hening lagi. Mobil melaju memasuki area rumahku, membuatku mengerutkan kening.

"Kok kamu tahu rumah aku."

"Tahu lah."

Singkat banget jawabannya. Aku diam saja, sesungguhnya malas berdebat karena bayangan Jonas bersanding di pelaminan tadi kembali memenuhi ruang benakku. Dulu, aku pernah berangan-angan, akulah yang berdiri di sampingnya, merangkul lengannya dengan mesra sementara fotografer mengabadikan setiap moment. Tapi ternyata pada saat aku memimpikan hal indah itu, Jonas mungkin tengah sibuk berbagi hati, mencicipi sana sini sebelum memutuskan siapa yang akan dia bawa ke hadapan penghulu.

How sad!

"Stop di depan. Rumahku yang pagar putih."

Biru mengangguk dan menghentikan mobil.

"Mama kamu ada?"

"Eh, mau apa?"

"Ya kali mau kenalan sama calon menantu!"

Aku melotot. Astaga anak ini kesambet atau gimana sih? Kok seenaknya aja ngomong. Aku aja baru kenal dia. Meski dia merasa mengenalku dari cerita Jonas. Itu tentu saja dua hal yang berbeda.

"Jangan ngaco."

"Hehehe…"

Dia tertawa. Kemudian diserahkannya kunci mobilku dengan wajah tak rela. Berulang kali Biru menoleh ke pintu rumahku yang tertutup.

"Aku nggak ditawarin masuk? Tadi belum sempat makan di hajatan nya Jonas."

"Salah siapa? Balik sana. Makan di sana aja. Mama lagi pergi, aku nggak masak."

"Duh…"

"Ayo cepat turun."

"Oke… oke…"

Biru akhirnya turun dari mobil dan aku menghembuskan napas lega. Aku ikut turun dan berjalan memutar, mendorong pagar rumah dan masuk lagi ke dalam mobil. Aku merindukan kamarku, dan bantal yang beberapa hari ini menjadi sasaran tangisku. Basah oleh air mata. Saat ini, aku sangat ingin menangis. Biarlah untuk terakhir kalinya menangis karena dia.

Mobil baru saja hendak memasuki halaman rumah ketika tiba-tiba saja jendela ku diketuk. Aku menghentikan mobil, mengusap mataku yang basah dan menurunkan kaca jendela. Lagi-lagi, wajah Biru terlihat olehku. Kali ini dia meringis.

"Senja, maaf. Eh, pinjem duit dong buat ongkos ojek. Dompetku di mobil."

Dia menggaruk-garuk kepalanya, memasang wajah malu. Astaga.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
dasar Biru ya gokil jg orang nya boleh lah jd pengganti Jonas senja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status