Share

Bab 2

Penulis: Yazmin Aisyah
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-25 15:45:26

LEBIH BAIK KITA BERPISAH 2

"Kamu serius mau datang?"

Mata sipit Evelyn membola. Biasanya aku akan tertawa melihatnya. Bagaimana gadis keturunan Tionghoa yang baik hati ini berusaha melebarkan matanya yang sipit. Tapi hari ini, saat ini, aku lupa caranya tertawa.

"Tentu saja. Aku bukan perempuan cengeng yang akan menangis seharian karena ditinggal mantan menikah. Juga bukan pengecut yang bersembunyi dari undangan pernikahan sang mantan."

"Cool!" Evelyn mengacungkan dua jempolnya.

Jonas sudah pergi, terakhir kali kami saling tatap dengan senyum masing-masing. Senyum yang jelas berbeda makna. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan, tapi jelas aku tahu apa yang kupikirkan. Jika dia menikah hanya dalam jarak tiga minggu setelah putus dariku, itu artinya dia telah menjalin hubungan sebelum ini. Dia menduakan aku tanpa aku pernah tahu.

"Emangnya, kalian putus kenapa? Kok kamu nggak bilang aku?"

"Dia ngajak chek in."

"Hah? Terus… terus?"

"Ev, kamu tahu aku kan? Mana mungkin aku mau. Jadi, aku memutuskan kami lebih baik berpisah saja."

"Dan tahu-tahu dia mau married. Cowok br*ngsek! Buaya darat!" Eve memaki sambil memukul-mukul meja. Untung saja ini jam istirahat sehingga ruangan kami sepi

"Jadi selama ini, dia menduakan aku. Atau mungkin dijodohkan?"

"Heleh. Cowok macam gitu dijodohkan. Meskipun iya, harusnya kan dia ada bilang sama kamu. Lima tahun loh kamu sama dia. Kalo kredit mobil udah lunas tuh."

Kali ini aku yang melotot. Evelyn tertawa terbahak-bahak, membuatku sedikit lupa pada kesedihan yang baru saja kurasakan. Tawanya menular, apalagi saat melihat bagaimana matanya yang sipit itu kini hanya menciptakan satu garis lurus.

"Sudahlah. Ayo kita ngebakso. Nggak penting juga cowok macam gitu. Gue sumpahin istrinya nggak lebih cantik dari sohib gue ini."

Sumpah yang aneh. Tapi dia betul-betul bisa membuatku tertawa. Kami lalu berjalan beriringan keluar kantor. Masih ada empat puluh lima menit lagi sebelum kami harus kembali bergelut dengan pekerjaan.

Di seberang kantor, ada warung bakso yang cukup besar, yang selalu jadi andalan kami kalau lagi malas makan nasi. Biasanya, kalau tidak bersama Evelyn, aku makan dengan Jonas. Tapi sejak hari ini tak ada lagi dia. Aku akan segera melupakan bahwa lelaki itu pernah hadir dalam hidupku.

"Pakde, bakso dua ya. Kayak biasa."

Pakde Suryo mengacungkan dua jempolnya. Beliau telah mengenal kami dengan baik.

"Kok tumben berdua? Pacarnya yang ganteng itu kemana?"

"Ah, ganteng dari mana sih Pakde? Salah lihat kali. Dan dia juga bukan pacar teman saya ini kok."

Evelyn sepertinya dendam sekali dengan Jonas. Pakde Suryo tertawa, lalu menunjuk arah pintu masuk.

"Eh, baru aja diomongin, orangnya nongol. Panjang umur dia."

Kami serempak menoleh. Tak dapat ku pungkiri betapa jantungku berdetak keras saat ini melihat pemandangan yang menyakitkan itu. Jonas masuk dari arah depan, menggandeng seorang gadis berambut panjang. Mereka tampaknya tak melihat kami. Seperti kata orang, jika kita sedang jatuh cinta, terasa dunia milik berdua.

"Oh yang itu pacarnya ya. Hemm… cantikkan Mbak Senja padahal loh."

Pakde Suryo berkomentar lagi. Lalu beliau pamit kembali ke belakang. Aku menekuri lagi mangkok bakso ku, yang tiba-tiba saja rasanya menjadi hambar.

"Cuekin aja. Anggap aja nggak liat. Eh anggap aja liat buaya. Geli ih." Evelyn terus bicara sambil menyuap baksonya.

Aku mengikuti tingkahnya, makan dengan cepat. Bersyukur bahwa posisi duduk ku membelakanginya. Yang kusesali adalah, bahwa rasa bakso ini tiba-tiba saja berubah.

"Hey, kalian makan disini juga?"

Aku menelan ludah. Kenapa dia harus melihat dan menyapaku? Tapi aku mengangkat kepala juga. Tak akan kubiarkan dia tahu bahwa hatiku di dalam sini rasanya tercabik-cabik.

"Iya. Emang kenapa? Nggak ada yang ngelarang kan?"

Yang menjawab adalah Evelyn. Sementara aku hanya tersenyum, memandang gadis yang menggelayut manja di lengannya.

"Maaf ya, teman saya lagi PMS. Calon istrinya Jonas?"

Gadis itu mengangguk. Sementara Evelyn melanjutkan makan dengan cuek.

"Kata Mas Jo, kalian teman kantornya. Sudah dapat undangan Mbak? Datang ya."

Dia tersenyum manis. Aku mengangguk dengan pasti. "InsyaAllah, saya pasti datang."

Mereka lalu pergi lebih dulu, rupanya hanya minum es campur saja. Aku tersenyum miris. Jadi gadis seperti itulah yang dia inginkan. Yang tanpa malu menggelayut mesra di lengannya meski belum terikat pernikahan, dan di hadapan banyak mata yang memandang. Sungguh, aku tak menyesali keputusanku bertahan pada harga diri dan kehormatan. Satu-satunya kehormatan yang kupunya.

***

"Pacar kamu nggak jadi datang, Ja?"

Aku menelan ludah, menghentikan sejenak kegiatan mencuci piring.

"Senja sudah putus Ma." Jawabku pelan.

"Eh, kenapa?"

"Emm… dia mau nikah minggu depan. Sama orang lain."

Mengatakan hal itu, ternyata masih menimbulkan nyeri. Padahal seminggu lagi telah berlalu. Aku tak pernah menghitung hari sebelumnya. Seakan-akan, tengah menanti sesuatu yang amat penting.

"Loh, kalau baru putus tahu-tahu sudah mau nikah, berarti dia kemarin punya pacar lain selain kamu dong? Apa dijodohin?"

"Nggak tahu, Ma. Aku nggak tanya."

Mama meraih piring terakhir yang sudah ku cuci dan meletakkannya di keranjang.

"Ya sudah, nggak perlu diingat ingat lagi. Berarti dia bukan jodoh kamu."

Apa kira-kira komentar Mama kalau tahu penyebab kami putus?

"Tapi Mama do'ain kamu segera dapat jodoh ya, Nak. Mama sudah tua. Mama ingin sebelum Mama pergi, kamu sudah ada yang menjaga."

"Mama…"

Aku memeluk Mama, merasa sedih mendengar kata-katanya. Sejak kepergian Papa dua tahun yang lalu, Mama jadi sering bicara tentang kematian. Mereka berdua adalah contoh nyata bagaimana cinta sejati itu sebenarnya memang ada.

***

Dan disinilah aku sekarang, berdiri di depan gedung tempat resepsi pernikahan Jonas diadakan. Sendirian. Seharusnya aku datang bersama Evelyn, tapi tiba-tiba saja dia menelepon bahwa kakinya terkilir dan tak jadi datang. Aku tak mungkin mengurungkan niat. Ku langkahkan kaki dengan pasti. Di dalam nanti, tentu aku akan bertemu dengan orang-orang kantor, mereka yang tahu hubungan kami selama ini. Seperti dua minggu sebelumnya, aku akan menebalkan telinga dari segala cemooh maupun tatapan iba.

Selamat Jonas. Apapun yang pernah terjadi di antara kita, aku tak pernah menyesali lima tahun kebersamaan kita. Kamu adalah sebuah pelajaran berharga bagiku.

"Kalau mau nangis, nangis aja."

Deg.

Aku menoleh ke samping, ke arah sumber suara. Seorang lelaki dengan batik khas seragam keluarga mempelai berdiri di sampingku, ikut memandang pengantin yang sedang berbahagia.

"Memangnya kenapa aku harus nangis?"

"Kamu mantan pacar Jonas kan? Aku pernah lihat kamu jalan sama dia."

Aku melengos. Lalu melangkah menuju tiga anak tangga yang tersusun rapi menuju panggung tempat pengantin duduk.

"Hey, Senja! Itu namamu kan? Kenalkan, namaku Biru. Dirgantara Langit Biru."

Nama yang unik.

Aku hanya mengangguk, lalu naik ke atas panggung yang kebetulan tengah sepi. Langkahku satu-satu, menghampiri mereka berdua. Jonas dan wanita itu langsung berdiri saat melihatku mendekat. Sesaat, kami saling pandang, sebelum akhirnya senyum tersungging di bibirku.

"Selamat. Semoga kalian bahagia."

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bunda Wina
mantap senja keren deh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 60 (ENDING)

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 60 (ENDING)Berita kelahiran baby G menjadi trending topic berhari-hari di keluarga besarku dan keluarga besar Biru. Bergantian, mereka datang menengok, membawakan aku dan Baby G hadiah yang bermacam-macam. Belum lagi aneka rupa snack dan camilan supaya aku banyak makan dan ASI ku lancar. "Mantap Senja. Jahitan aman?"Ulfa meledekku. Aku curhat padanya tentang jahitanku yang entah sebanyak apa, karena bayiku yang besar. Untung saja, posisi jongkok yang selaras dengan gravitasi bumi membuat bayi keluar dengan mudah."Aman. Cuma masih ngiluuuuuu. Hiksss. Kamu sih nggak ngerasain.""Isshh sama aja. Jahitan secar malah lebih parah sakitnya. Belum lagi suntik epidural. Uh, kalau bisa minta, aku mau bius total rasanya."Ulfa melahirkan secar beberapa bulan yang lalu."Bedanya, besok kamu harus hati-hati Ja kalo MP lagi." Ulfa mengedipkan sebelah mata."MP apaan?""Malam pertama setelah nifas. Bilang Biru jangan grasa grusu. Harus pelan-pelan, soalnya kayak perawan

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 59

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 59Sebuah kejutan yang sama sekali tak pernah kuduga. Kupikir tadinya, Tante Mala dan keluarganya telah membawa Erika pergi, seperti yang dia ucapkan setelah mendengar penolakan Jonas. Tapi kini, gadis itu berdiri di hadapanku, menatapku dengan pandangan benci, sementara aku, sekuat mungkin menahan sakit dari pergerakan bayi yang mulai mencari jalan keluar."Erika…"Bahkan, untuk berkata-kata pun sulit karena menahan sakit yang luar biasa. Perutku terasa diremas, dipelintir, seakan ada sesuatu yang besar berguling-guling di dalam sini, mendesak desak jalan lahir hingga bagian bawahku ikut terasa ngilu. Aku bertahan untuk tetap duduk, membiarkan air ketuban mengaliri kakiku, membasahi kasur dan sebagian jatuh ke lantai."Senja…"Dia berhenti sejenak, menatap wajahku yang meringis, tak bisa berpura-pura biasa saja dan menyembunyikan rasa sakit ini. Aku sendiri hanya diam sambil menatapnya, sementara hatiku terus berdoa agar Allah menjagaku. Ya, meski Biru ada di

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 58

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 58Seperti dugaanku, Mama memang langsung histeris saat aku menceritakan kejadian kemarin. Mama memegang tanganku, lalu memeriksa seluruh tubuhku."Kamu nggak apa-apa kan? Ya Allah, Senja. Kenapa kamu nekad seperti itu? Kalau lelaki itu kalap gimana? Kamu juga Biru, kenapa kamu izinkan saja Senja melakukan hal berbahaya. Jangan terus-terusan menuruti keinginannya. Dia ini kadang harus dilarang secara tegas. Kalau perlu, kamu kurung saja di rumah."Tuh kan?Di seberangku, Biru meringis karena ikut kena damprat. "Iya, Ma, maaf, aku salah," ujar Biru dengan suara lembut."Mulai besok, Senja diawasi dua puluh empat jam. Lagi hamil besar, kok bisa-bisanya kepikiran nantangin penjahat."Mama masih belum puas."Mama marah bukan karena lemari dan keramik-keramik itu, tapi marah karena kamu nekad. Sejak dulu Mama bilang apa? Manjat pohon, naik motor lelaki, aduh Senja. Kapan berhenti bikin Mama khawatir? Mama kira setelah nikah, kamu bakalan kalem, ternyata…""Ma, aku

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 57

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 57PoV SENJAAku dan Biru tiba di rumah sakit tiga puluh menit setelah Jonas menelepon, dan mengabari bahwa dia membawa Erika ke rumah sakit karena pingsan di perjalanan. Ini sudah jam delapan malam. Dari kejauhan, kulihat Jonas duduk di selasar rumah sakit, memandangi tanaman bougenville di halaman kecil di depannya."Jonas, apa yang terjadi?""Erika pingsan, dan terlihat linglung. Ada apa sebenarnya? Dan, oh, bagaimana kabar Zara?""Zara baik-baik saja. Kamu nggak perlu mengkhawatirkan dia."Jonas tampak menghembuskan napas lega."Oh, syukurlah. Beberapa hari ini, perasaanku nggak enak, aku terus teringat pada Zara."Aku terdiam, terenyuh dalam hati. Ternyata, naluri seorang Ayah dalam diri Jonas, telah tumbuh dengan subur. "Orang tuanya sudah datang kan? Kamu sudah menjelaskan semuanya sama dia?"Jonas mengangguk."Kalau begt6, ayo kita pulang. Kita sudah nggak ada hubungannya lagi dengan Erika.""Tapi, dia temanku, Senja. Aku nggak bisa membiarkan dia sep

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 56

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 56PoV ERIKAKenapa semua harus berakhir seperti ini? Senja, bagaimana caranya dia bisa tahu semua pembicaraan dan rencanaku dengan Clay? Perempuan hamil itu benar-benar mengerikan. Dia seperti bisa membaca pikiran orang lain, menebak dengan tepat apa yang kupikirkan. Dan tatapan matanya yang lembut itu, dengan cepat akan berubah menjadi waspada saat melihatku. Sejak awal, dia sepertinya tahu bahwa aku mendekati keluarga Biru dengan maksud tertentu.Kalaulah bukan karena cinta, mana mungkin aku mau melakukan ini semua. Tapi, ternyata, orang yang kuperjuangkan, menyerah begitu saja. Clay, begitu mudah dia mengucapkan perpisahan, tanpa sedikitpun memikirkan perasaanku, apalagi menghargai perjuanganku.Aku menghentikan mobil sewaan di depan rumah Senja. Tak mungkin membawa mobilku sendiri karena Mama dan Papa akan dengan mudah melacaknya.Rumah itu sepi dan tampak tenang. Sebuah rumah yang penuh dikelilingi bunga-bunga indah. Pohon mangga, jambu air dan rumpun m

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 55

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 55"Berhentilah bertualang Jonas. Aku gerah melihatmu gonta ganti pacar.""Tunggu sampai aku mendapatkan dia.""Siapa?""Senja.""Bukannya lo udah pacaran lama sama dia?""Lama sih lama Bro. Tapi apa gunanya kalo sekedar nyium aja gak bisa, apalagi lebih dari itu."Bugh!Aku menonjok bahunya sedikit agak keras. Jonas tertawa dan melompat menjauh."Itulah gadis yang baik dan seharusnya langsung lo lamar. Dia mampu menjaga diri, bahkan dari orang yang dia cintai."Tawa Jonas makin keras."Ya gimana? Gua nggak mau beli kucing dalam karung. Kalo sebenarnya dia udah nggak perawan gimana?""Ya, berarti lo harus instropeksi diri, apa saja yang pernah lo lakukan sama gadis-gadis lainnya. Karena jodoh itu sekufu Jonas, lo tahu artinya kan?""Selevel maksud lo?""Ya, semacam itulah. Kalo ternyata dia nggak suci lagi, berarti lo juga sama."Dia terkejut, tapi hanya sejenak. Detik berikutnya, Jonas sudah kembali tertawa."Gila. Nggak bisa gitu, Bi. Biar gua bejat, gua har

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 54

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 54"Pilihan ada ditanganmu, Clay. Apakah akan terus hidup dalam penyesalan, atau bertobat dan menebus dosa."Biru membantu Clay berdiri, dan aku terkejut melihat dia menangis. Lelaki seperti dia? Yang tega melakukan kejahatan luar biasa, membunuh orangtuanya sendiri, menangis?"Dosaku tak mungkin lagi diampuni. Aku telah membunuh orang tuaku sendiri."Suaranya tercekat di tenggorokan. Aku sendiri, sejak melihat air matanya menetes, telah pula merasakan sedih. Sampai usiaku ini, aku memang tidak pernah merasa derita seperti dirinya. Hidupku bahagia dan lurus-lurus saja. Tapi, bukan berarti empatiku tak terasah."Allah itu maha pengampun, Clay. Berdoalah, dan meminta."Clay menghela napas dalam-dalam, menatapku sejenak, lalu memandang Biru."Aku akan menyerahkan diri, tapi, tolong izinkan aku melihat bayi itu… keponakanku."***Aku memandang lelaki itu, dengan langkahnya yang terpincang-pincang, dan tatapan mata penuh kerinduan. Aku tak pernah menyangka ada hidu

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 53

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 53Apa yang harus kulakukan pada bayi ini? Oh, Clay menungguku. Bukankah seharusnya dia menungguku mengabarinya? Bukankah hari ini, dia seharusnya pergi dari negara ini? Meski aku masih belum mengerti, kenapa dia mau repot-repot membawa bayi.Tok tok tok…Aku tersentak. Kaca jendela mobilku diketuk orang dari luar. Dan ketika aku mengangkat kepala, aku terkejut bukan kepalang, mendapati wajah Tante Ivana dan Om Irwan disana. Jantungku rasanya berhenti berdetak."Buka pintu, Erika."Gemetar, aku malah terpaku padanya, menatap wajah Tante Erika, dan Om Irwan. Jika biasanya aku melihat mereka ramah dan murah senyum, kali ini, wajah itu tampak dingin sekali. Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana mereka bisa ada disini? Kenapa mereka tahu akan membawa bayi ini? Sungguh, kepalaku rasanya mau pecah karena dijejali beribu pertanyaan."Erika!"Sementara itu, Zara masih terus menangis. Suaranya melengking-lengking memekakkan telinga. Dia terus bergerak, meronta-ronta, beru

  • LEBIH BAIK KITA BERPISAH   Bab 52

    LEBIH BAIK KITA BERPISAH 52Aku tersenyum, meski dalam hati, gugup setengah mati. Bagaimana dia bisa menebak dengan begitu sempurna bahwa aku punya hubungan dengan Clay?"Clay siapa?" ujarku, mencoba mengeluarkan suara yang meyakinkan.Senja menatap wajahku dengan pandangan meneliti, lalu dia tersenyum."Kamu yakin nggak mengenal seseorang bernama Clay?"Aku menggeleng "Baiklah, tapi kalau suatu saat aku tahu kamu bohong, aku mungkin akan marah padamu. Karena, ini hal yang sangat penting."Aku membuang pandang, jengah melihat tatapan mata bulatnya yang tajam."Jangankan kenal, dengar namanya saja baru ini. Kupikir, itu sejenis mainan anak-anak."Senja tersenyum, mengangkat gelas susu dan meneguknya perlahan-lahan. Aku melangkah ke depan, ketika kemudian, suaranya terdengar lagi."Manusia yang cerdas tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Jika iya, dia lebih bodoh dari keledai."Aku terdiam sejenak. Apa yang dia maksud? Siapa yang lebih bodoh dari keledai? Aku gegas meninggalkan d

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status