Share

Serba Mendadak

Penulis: Syarlina
last update Terakhir Diperbarui: 2023-09-18 21:28:56

"Sebenarnya aku ini anak Ayah atau bukan?" Saat menanyakannya, pandanganku ke arah lain, enggan menatap sosok yang sedang kuberi pertanyaan tersebut. Sakit hati melihat dia yang kuanggap keluarga satu-satunya tak pernah berpihak padaku, bahkan untuk keputusan penting menyangkut masa depanku. Apa benar aku darah dagingnya atau justru ternyata anak pungut hingga kasih sayangnya tak pernah adil kepadaku.

Tinggal kami berdua di ruang tamu ini karena Ibu pergi menemui Bu Lasmi untuk memberitahukan kesiapan pernikahan nanti lusa sedang Bella pergi keluar dengan alasan ada janji dengan teman.

"Ah, adikku itu enak sekali hidupnya, tidak sepertiku." Aku membatin dalam hati meratapi perbedaan kami.

"Kamu anakku, Del. Anak kesayanganku."

Mataku mendelik tak suka dan refleks menatap orangtua yang garis wajahnya mirip denganku itu.

"Anak kesayangan tapi rasa anak tiri. Begitu kan, Yah? Apa Ayah sadar sedari kecil tak pernah menunjukkan rasa itu padaku? Ayah terus saja fokus ke Bella. Seakan aku tak ada di kehidupan Ayah," sanggahku membalas perkataannya barusan dengan tajam. Semua memori pahit itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Rasanya nyeri mengiris hati tiap potongan-potongan memori itu memaksa muncul seolah mengingatkan.

"Maafkan Ayah jika selama ini membuatmu diabaikan. Bukan seperti itu maksudnya. Ayah tak berdaya. Kamu tahu itu. Satu yang harus kamu tahu, Ayah sayang sama kamu, sayang sekali."

Kepalaku menggeleng masih menyanggahnya. Mudah untuknya mengucapkan hal tersebut tapi realitanya tak seperti yang dikatakannya. Aku tetaplah seperti anak tiri di rumah ini yang keberadaannya tak pernah dianggap, karena itulah aku rela merantau ke kota lain demi menghindari rasa itu, takut sakit yang sudah lama terendap ini tak mampu disembuhkan lagi.

Setahun sudah di kota orang membuatku mulai nyaman terpisah dari mereka. Meskipun terkadang rasa rindu itu menyeruak hadir memaksaku menghubungi mereka. Yang kurindukan cuma satu orang, Ayah. Bagaimanapun juga dialah satu-satunya yang masih memiliki cinta untukku.

"Ayah kenal Rayyan? Bu Lasmi? Seperti apa mereka?" Kualihkan pembicaraan karena pertanyaanku sebelumnya telah menghasilkan kaca-kaca di kedua pelupuk matanya. Laki-laki yang dulu terlihat gagah itu, sekarang ini sudah melemah. Gampang tersentuh dan menitikkan air mata.

Ayah menggeleng. Responnya membuatku membelalakan mata. Lalu tersenyum getir karena orang di sebelahku ini dengan gampangnya menyerahkan anak gadisnya pada orang yang tidak dikenalnya. Terbersit tanya aku ini barang atau manusia?

"Ayah tak kenal tapi rela menyerahkanku pada mereka?" Suaraku sedikit meninggi setelah lelah menahan emosi bicara pada orang yang kupanggil ayah ini.

Lagi, Ayah meneteskan air mata mendengar pertanyaanku seolah aku sedang mengintimidasinya. Tampak kasar padanya. Ini sungguhan atau hanya trik meluluhkan hatiku?

Pikiran negatif sudah memenuhi isi benakku.

"Untuk apa Ayah menangis? Seharusnya itu aku karena sikap Ayah inilah membuat masa depanku hancur. Dari kecil cita-citaku sudah Ayah patahkan. Aku masih tak masalah, tapi sekarang, masa depanku sudah tak jelas akan seperti apa," keluhku akhirnya terluapkan juga.

"Del, maaf. Maafkan Ayah." Ayah meraih tanganku untuk digenggamnya tapi kutarik cepat tak ingin hal tersebut terjadi. Aku melengos tak ingin menatapnya.

"Jadi lusa nikahnya? Dimana?" Aku kembali bertanya karena hanya dia satu-satunya yang bisa kutanya tentang rencana pernikahan tersebut. Apalagi setelah datang ke rumah ini tak ada aktivitas yang menunjukkan kalau di rumah ini bakal ada pernikahan. Suasananya sama saja seperti hari terakhir kutinggalkan.

"Katanya di rumah Bu Lasmi."

Aku menoleh pada sosok yang sedang menjawab pertanyaanku ini.

"Katanya Yah?" Kutatap lamat Ayah yang tergagap seperti salah bicara. Lalu kuhembuskan napas berat setelahnya dengan menatap kosong ke depan.

Pernikahan apa ini? Ayah seperti tak tahu apa-apa. Bahkan orangnya saja belum pernah kulihat sama sekali. Aku seperti membeli kucing dalam karung. Gelap.

Tinggal sehari lagi sebelum hari itu tiba, aku tak berani kemana-mana. Hanya berdiam diri di rumah. Rasanya malu bertemu orang sekitar. Apalagi tetangga. Sepertinya mereka juga tidak tahu dengan rencana pernikahanku. Yumi, sahabatku saja tidak tahu karena aku tak memberi kabar pulang ke kota ini. Aku juga bingung harus cerita apa dengannya. Biarlah kuikuti rencana Ibu. Aku pasrah.

***

"Del, Adel!"

Terdengar panggilan untukku disertai ketukan pintu.

Aku yang baru selesai solat subuh menatap ke arah pintu kamar. Itu suara Ibu. Tumben sepagi ini mengetuk kamarku. Apa lagi maunya? Dengan langkah cepat aku menuju ke asal suara.

"Sudah selesai solatnya?" tanya wanita yang berdiri di depan pintu kamarku dengan raut datar tapi tegas. Aku mengangguk pelan mengiakan.

"Baguslah. Wina, ayo masuk!" Ibu menoleh ke arah belakang. Tepat di belakang badannya. Ternyata ada orang di sana dan aku tahu dia Wina–MUA pernikahan di kota ini dan merupakan tetangga dekat rumah. Namun untuk apa sepagi ini datang dimana mentari bahkan belum menunjukkan wajahnya?

"Eh, Bu. Ada apa ini?" Aku bertanya bingung tapi tak mampu mencegah Ibu dan Wina masuk ke dalam kamarku.

"Kamu lupa hari ini pernikahanmu?" jawab Ibu dengan santai. Ia mengambil duduk di tepi ranjang dengan memberi kode ke arah Wina seolah memerintahkan sesuatu.

"I–iya tau, tapi–"

Wina tiba-tiba menarik tanganku dan memintaku duduk di kursi yang memang berada di dalam kamar tidurku. Kursi yang biasanya kududuki untuk belajar dekat ranjang dengan meja kecil sebagai temannya.

"Sudah, diam saja! Wina mau menghiasmu. Jadi menurutlah!" titah Ibu tak ingin dibantah. Aku tak punya pilihan. Hanya mampu manut.

"Selesai! Bagaimana Bu, cantik kan?" ucap Wina yang baru saja selesai menghiasku dengan senyum merekah seolah bangga dengan hasil karyanya di wajahku. Aku tak tahu seperti apa wajahku karena aku belum melihatnya di cermin.

"Lumayan. Bantu dia berpakaian. Sejam lagi kita berangkat!"

Deg! Sejam lagi? Refleks aku menoleh pelan ke jam dinding yang ada di kamarku. Ini baru jam enam pagi. Kenapa pagi sekali? Aku bahkan belum sempat sarapan. Ibu lupa menawarkan hal tersebut padaku dan tidak pernah juga karena di rumah ini aku membuatnya sendiri jika ingin makan. Namun rasanya sudah tidak mungkin makan setelah di make up tebal seperti ini. Apalagi melakukan aktivitas masak.

"Kok bisa nikah sama anaknya Bu Lasmi. Kenal dimana?" Wina tiba-tiba bertanya sambil membantuku mengenakan kebaya putih setelah ditinggal pergi Ibu, dan aku bingung harus menjawab apa.

"Hm, itu …."

"Di jakarta ya? Kan kamu kerja di sana bukan? Jodoh memang aneh ya dan kamu beruntung menikah dengan keluarga terpandang. Aku sebenarnya nggak kenal sama keluarga Arya Kusuma. Cuma pernah dengar namanya saja. Dulu pindah ke Jakarta eh sekarang balik lagi ke sini. Entah kenapa tiba-tiba menetap di sini. Katanya tinggal berdua sama anaknya yang cowok. Didengar tampan, tapi aku belum pernah lihat sih. Pasti itu calon suamimu." Wina melirikku dengan senyum yang aneh. Tampak tak tulus.

Aku hanya tersenyum menanggapi ceritanya.

Oh, calon suamiku itu dari Jakarta. Aku bahkan tidak tahu apa-apa. Ingin bertanya lebih dalam tapi takut karena pasti ketahuan kalau aku tak kenal betul calon keluarga suami sendiri.

"Maaf, Del. Kamu hamil ya?"

"Hah?!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   ending

    "Syaratnya kalian tetap tinggal di rumah besar. Tidak ada yang boleh pindah ke tempat lain."Oh, itu. Syukurlah. Kukira syarat yang susah. Aku bisa bernapas lega jadinya. "Tapi kami bawa Ayah Burhan, bisa?" Kali ini dadaku kembali berdegup kencang. Mas Rayyan memberikan penawaran. Ayah. Aku yang meminta pada Mas Rayyan agar Ayah ikut dengan kami. Sekarang apa jawaban Mama Lasmi? Aku takut permintaan ini ditolaknya.Tampak Mama Lasmi menarik napas berat lalu menatapku lekat hingga membuatku tak nyaman. Pasti sekarang Mama Lasmi tambah marah padaku. Ia tentu tahu kalau keinginan tersebut datang dariku."Terserah."Jawaban Mama Lasmi terdengar pasrah, tapi dengan nada minor. Membuatku masih tak nyaman. Pasti itu untuk menyenangkan anaknya, bukan ikhlas dari dalam hati. Setelah mengatakan hal tersebut, ibu mertuaku tersebut pamit pulang. Dia bahkan tidak masuk lagi ke dalam ruangan Ayah sekedar pamit sebagai sikap basa-basi semata menghormati besannya. Aku duduk di sebelah Mas Rayyan

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   kemarahan Ibu mertua

    "Maksud Mas?" tanyaku penasaran. Kutatap sepasang bola mata berwarna hitam legam di depanku saat ini. "Kita tinggal di rumah kita. Rumah yang memang sudah dipersiapkan jika nanti aku menikah.""Mas yakin? Mama Lasmi bagaimana?" Aku hati-hati bertanya. Meski sudut hatiku senang karena ternyata Mas Rayyan mempunyai rumah pribadi. Senang di sini artinya aku bisa bebas mengajak Ayah ikut serta tinggal dengan kami tanpa rasa sungkan pada Mama Lasmi dan Nenek. Ayah pasti juga mau dan tidak akan menolaknya. Namun di sisi lain aku pun merasa tak enak karena seolah memisahkan Mas Rayyan dari ibunya. Itu karena Mas Rayyan anak tunggal. Belum lagi rumahnya sangat besar dan luas. Kami tinggal di sana saja masih terlalu besar untuk ditinggali. Apalagi jika ditinggal pergi? Mungkin akan semakin sepi terasa. "Nggak perlu khawatirkan ibuku, setelah nikah, ini adalah hidupku, hidup kita. Selama ini aku sudah patuh padanya. Sampai sekarang ini. Kenapa keinginan yang satu ini ditolak? Kita perlu mand

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   Keputusan Ayah

    "Ini sudah keputusan bulat Ayah, Del. Pernikahan kami memang sudah seharusnya berakhir. Maaf jika selama ini membuatmu menderita," balas Ayah menatapku sendu. Ia memegang tanganku seolah meyakinkanku kalau keputusannya sudah benar dan ia baik-baik saja. Aku tetap menggeleng lemah dengan mata sudah berkaca-kaca mengisyaratkan kalau aku juga baik-baik saja dengan pernikahan mereka. Tidak masalah. Ini sudah berlangsung lama dan mentalku sudah sekuat baja menghadapi ketidakadilan yang sering kurasakan selama hidup bersama mereka. "Oh, jadi gara-gara dia, kamu mengakhiri hubungan kita?!" Ibu Mayang bangkit dari duduknya dan mengarahkan telunjuknya kepadaku. Ia menatapku nyalang. Aku merasa terpojok dan refleks beranjak dari kursi yang kududuki lalu mendekat ke Ayah. Kaget juga dengan respon yang Bu Mayang berikan. Sepertinya dia malah salah paham dan menuduhku yang tidak-tidak. Aku sendiri baru tahu tentang keinginan Ayah ini, di sini sama seperti mereka. Jadi salah besar tuduhan Bu Mayan

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   Talak yang Terucap

    Hari demi hari keadaan Ayah semakin membaik. Aku intensif ikut menjaganya juga di rumah sakit. Tidak meninggalkannya pun barang sehari. Selalu ontime di sisinya untuk mengamati sendiri bagaimana keadaannya selama dirawat di sana. Bisa dipastikan dari awal beliau masuk rumah sakit sampai lima hari dirawat, aku ada di dekatnya, ikut tidur di ruangan yang sama dengannya. Aku tak mau jauh dari Ayah, tak ingin lagi kejadian kemarin terulang kembali. Aku garut menjaganya dengan baik. Aku memutuskan menginap di rumah sakit, dan sudah mengantongi izin juga dari Mas Rayyan, begitupun izin dari Mama Lasmi dan Nenek. Mas Rayyan juga ikut menemani. Tak ada masalah dengan Ibu mertua maupun Nenek. Syukurlah kedua orang berpengaruh di rumah Mas Rayyan tersebut mau mengerti dan mengizinkan setelah kuberi alasan kalau aku tidak bisa meninggalkan Ayah sendirian lagi karena hanya dia satu-satunya keluarga yang kupunya. Mungkin terdengar aneh kukatakan seperti itu karena masih ada Bu Mayang dan Bella

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   curiga

    Aku menunggu dengan cemas saat dokter dan dua orang perawat masuk ke dalam ruangan ICU memeriksa keadaan Ayah. Mas Rayyan menggenggam erat tanganku, mungkin mencoba menenangkan karena nampak sekali kalau aku sangat gelisah. Aku takut terjadi apa-apa pada Ayah. Kadang pergerakan tubuh seseorang yang belum sadar bisa jadi awal berita buruk. Itu yang kucemaskan. Namun di satu sisi senang karena melihat perhatian Mas Rayan yang berubah 180 derajat dari yang dulu. Sikapnya tak pernah cuek lagi padaku. "Bagaimana Dok? Apa itu sebuah kemajuan?" Mas Rayyan gerak cepat menghampiri salah satu dokter yang baru saja keluar dari sana. Aku setia mengekor langkahnya, berdiri di sisinya ingin tahu juga secara langsung bagaimana kondisi Ayah. Dokter tersebut tersenyum menatap kami berdua. "Alhamdulillah kondisi Pak Burhan sudah melewati masa kritisnya, tapi kita biarkan dulu dia di sini untuk memantau kondisinya dan memastikan kalau Bapak benar-benar sudah keluar dari masa kritis tersebut, nanti ba

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   melawan

    Aku tersenyum tipis mendengar perkataan Bu Mayang barusan. Bagiku semua itu terdengar lucu. Kocak sekali punya ibu sambung yang cuma memperhatikan anaknya saja hingga anak dari suaminya pun dianggap tak berarti. "Maaf, Bu. Adel tidak bisa memenuhi permintaan Ibu barusan. Adel tidak bisa memberikan Mas Rayyan ke Bella," ucapku terjeda, sengaja berhenti sebentar untuk melihat ekspresinya. Seperti yang kuduga, ia terkejut dengan jawaban yang kuberi. Mungkin tidak mengira kalau aku akan menolaknya. Dulu, saat permintaan ini pernah dilontarkan, aku hanya menjawab pasrah, terserah Mas Rayyan, ujarku waktu itu. Keputusan kuserahkan pada suamiku tersebut. Kalau dia memang menginginkan Bella, maka aku pasrah dan memilih mundur, tapi hal tersebut tak pernah kutanyakan langsung ke Mas Rayyan karena tak berani mendengar jawabannya. Cuma suamiku itu pintar. Dia tahu hal tersebut dari pesan chatku dengan Bu Mayang yang masih tersimpan di ponsel, dan tidak menyukai sikap pasrahku. Mengingat nasihat

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   Tiba-tiba Ayah Sakit

    "Ada apa Adel? Kenapa dengan Ayah?" Mas Rayyan ikutan panik. Pasti karena mendengar pembicaraanku sekilas dengan Ibu. Iya, Ibu Mayang baru saja menghubungi dan menyampaikan kabar buruk untukku. Katanya Ayah jatuh di rumah dan sekarang sudah berada di rumah sakit. Aku tak tahu pasti jatuh seperti apa hingga Ayah harus dibawa ke rumah sakit, yang pasti sesuatu yang mengkhawatirkan. Segera aku ke sana ditemani Mas Rayyan berangkat ke rumah sakit. Ibu Mayang sudah mengirimkan alamat lengkapnya. Sudah pamit juga ke Mama Lasmi dan Nenek Alin, dan mereka mengizinkan. "Yang sabar. Jangan panik begini. Ayah pasti baik-baik saja." Mas Rayyan mencoba menenangkan. Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapannya tersebut. Hati dan ragaku tidak sinkron. Aku sangat mengkhawatirkan keadaannya. Belum pernah mendengar Ayah masuk rumah sakit lagi setelah terakhir dia stroke. Sekarang pasti sesuatu yang sangat mengkhawatirkan sampai Ayah dibawa ke sana. ***Baru sampai lobi rumah sakit, aku segera men

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   Berita Buruk

    Pov Rayyan Aku terdiam mendengarkan curahan hati istriku. Tak percaya dengan apa yang kudengar. Dia tampak emosi saat mengungkapkan isi hatinya tersebut. Setelah kupikir memang benar aku dan keluargaku terlalu menyetirnya. Memaksakan kehendak kami padanya. Tanpa bantahan ataupun protes darinya, dia terlalu penurut dan patuh. Aku mengamatinya dengan dada berdenyut nyeri, apa sesakit itu rasanya hingga saat dia bicara, suaranya ikut bergetar juga. "Maaf, maafkan aku dan keluargaku," lirihku akhirnya. Aku berlutut di hadapannya dengan meraih tangannya. Kugenggam erat tangan halus tersebut dan refleks mengecupnya. Adelia awalnya terkejut, lalu melengos, seolah enggan menatapku yang berada di hadapannya. Dia juga ingin menarik tangannya dariku, tapi kugenggam erat agar tak terlepas. Aku juga bisa melihat wajah sendu dan mata yang mulai berkaca-kaca di sana. Banyak kesakitan yang sekarang ini bisa kulihat di matanya. Kenapa baru menyadarinya? Kemarin itu aku kemana saja? Aku cuma ped

  • LELAKI LUMPUH ITU SUAMIKU   Menyelami perasaannya

    Pov Rayyan"Ma." Aku masuk ke dalam ruang kerja Mama. Menghampirinya yang tidak menunjukkan batang hidungnya saat aku pulang ke rumah ini. Saat masuk, Mama terlihat lagi fokus menatap layar laptop. Sepertinya Mama memang sibuk. Ia cuma menatapku sekilas saat aku masuk ke dalam ruangannya. Setelah kembali ke rumah, bergegas aku mencarinya. Bukan karena rindu yang mendera. Kami baru berpisah 24 jam, jadi bukan itu alasanku mencarinya. Aku hanya heran saja tak ada sosoknya di luar barusan. Hanya Nenek dan beberapa orang yang bekerja di sini. "Duduk Yan. Baru sampai?" tanyanya sembari melepaskan kacamata dari hidung bangirnya. Aku mengangguk. Lalu duduk sesuai inginnya. "Cerah wajahmu. Jadi semalam terjadi ya?"Kedua alisku naik saling terpaut. Mengernyit heran. Mama tersenyum tipis. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke arahku. "Sudah Mama duga kamu tidak akan tahan menghindarinya. Adelia itu cantik. Cantiknya alami. Cuma sayang dia tidak pandai berdandan saja. Kalau dipoles di

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status