Share

Serba Mendadak

"Sebenarnya aku ini anak Ayah atau bukan?" Saat menanyakannya, pandanganku ke arah lain, enggan menatap sosok yang sedang kuberi pertanyaan tersebut. Sakit hati melihat dia yang kuanggap keluarga satu-satunya tak pernah berpihak padaku, bahkan untuk keputusan penting menyangkut masa depanku. Apa benar aku darah dagingnya atau justru ternyata anak pungut hingga kasih sayangnya tak pernah adil kepadaku.

Tinggal kami berdua di ruang tamu ini karena Ibu pergi menemui Bu Lasmi untuk memberitahukan kesiapan pernikahan nanti lusa sedang Bella pergi keluar dengan alasan ada janji dengan teman.

"Ah, adikku itu enak sekali hidupnya, tidak sepertiku." Aku membatin dalam hati meratapi perbedaan kami.

"Kamu anakku, Del. Anak kesayanganku."

Mataku mendelik tak suka dan refleks menatap orangtua yang garis wajahnya mirip denganku itu.

"Anak kesayangan tapi rasa anak tiri. Begitu kan, Yah? Apa Ayah sadar sedari kecil tak pernah menunjukkan rasa itu padaku? Ayah terus saja fokus ke Bella. Seakan aku tak ada di kehidupan Ayah," sanggahku membalas perkataannya barusan dengan tajam. Semua memori pahit itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Rasanya nyeri mengiris hati tiap potongan-potongan memori itu memaksa muncul seolah mengingatkan.

"Maafkan Ayah jika selama ini membuatmu diabaikan. Bukan seperti itu maksudnya. Ayah tak berdaya. Kamu tahu itu. Satu yang harus kamu tahu, Ayah sayang sama kamu, sayang sekali."

Kepalaku menggeleng masih menyanggahnya. Mudah untuknya mengucapkan hal tersebut tapi realitanya tak seperti yang dikatakannya. Aku tetaplah seperti anak tiri di rumah ini yang keberadaannya tak pernah dianggap, karena itulah aku rela merantau ke kota lain demi menghindari rasa itu, takut sakit yang sudah lama terendap ini tak mampu disembuhkan lagi.

Setahun sudah di kota orang membuatku mulai nyaman terpisah dari mereka. Meskipun terkadang rasa rindu itu menyeruak hadir memaksaku menghubungi mereka. Yang kurindukan cuma satu orang, Ayah. Bagaimanapun juga dialah satu-satunya yang masih memiliki cinta untukku.

"Ayah kenal Rayyan? Bu Lasmi? Seperti apa mereka?" Kualihkan pembicaraan karena pertanyaanku sebelumnya telah menghasilkan kaca-kaca di kedua pelupuk matanya. Laki-laki yang dulu terlihat gagah itu, sekarang ini sudah melemah. Gampang tersentuh dan menitikkan air mata.

Ayah menggeleng. Responnya membuatku membelalakan mata. Lalu tersenyum getir karena orang di sebelahku ini dengan gampangnya menyerahkan anak gadisnya pada orang yang tidak dikenalnya. Terbersit tanya aku ini barang atau manusia?

"Ayah tak kenal tapi rela menyerahkanku pada mereka?" Suaraku sedikit meninggi setelah lelah menahan emosi bicara pada orang yang kupanggil ayah ini.

Lagi, Ayah meneteskan air mata mendengar pertanyaanku seolah aku sedang mengintimidasinya. Tampak kasar padanya. Ini sungguhan atau hanya trik meluluhkan hatiku?

Pikiran negatif sudah memenuhi isi benakku.

"Untuk apa Ayah menangis? Seharusnya itu aku karena sikap Ayah inilah membuat masa depanku hancur. Dari kecil cita-citaku sudah Ayah patahkan. Aku masih tak masalah, tapi sekarang, masa depanku sudah tak jelas akan seperti apa," keluhku akhirnya terluapkan juga.

"Del, maaf. Maafkan Ayah." Ayah meraih tanganku untuk digenggamnya tapi kutarik cepat tak ingin hal tersebut terjadi. Aku melengos tak ingin menatapnya.

"Jadi lusa nikahnya? Dimana?" Aku kembali bertanya karena hanya dia satu-satunya yang bisa kutanya tentang rencana pernikahan tersebut. Apalagi setelah datang ke rumah ini tak ada aktivitas yang menunjukkan kalau di rumah ini bakal ada pernikahan. Suasananya sama saja seperti hari terakhir kutinggalkan.

"Katanya di rumah Bu Lasmi."

Aku menoleh pada sosok yang sedang menjawab pertanyaanku ini.

"Katanya Yah?" Kutatap lamat Ayah yang tergagap seperti salah bicara. Lalu kuhembuskan napas berat setelahnya dengan menatap kosong ke depan.

Pernikahan apa ini? Ayah seperti tak tahu apa-apa. Bahkan orangnya saja belum pernah kulihat sama sekali. Aku seperti membeli kucing dalam karung. Gelap.

Tinggal sehari lagi sebelum hari itu tiba, aku tak berani kemana-mana. Hanya berdiam diri di rumah. Rasanya malu bertemu orang sekitar. Apalagi tetangga. Sepertinya mereka juga tidak tahu dengan rencana pernikahanku. Yumi, sahabatku saja tidak tahu karena aku tak memberi kabar pulang ke kota ini. Aku juga bingung harus cerita apa dengannya. Biarlah kuikuti rencana Ibu. Aku pasrah.

***

"Del, Adel!"

Terdengar panggilan untukku disertai ketukan pintu.

Aku yang baru selesai solat subuh menatap ke arah pintu kamar. Itu suara Ibu. Tumben sepagi ini mengetuk kamarku. Apa lagi maunya? Dengan langkah cepat aku menuju ke asal suara.

"Sudah selesai solatnya?" tanya wanita yang berdiri di depan pintu kamarku dengan raut datar tapi tegas. Aku mengangguk pelan mengiakan.

"Baguslah. Wina, ayo masuk!" Ibu menoleh ke arah belakang. Tepat di belakang badannya. Ternyata ada orang di sana dan aku tahu dia Wina–MUA pernikahan di kota ini dan merupakan tetangga dekat rumah. Namun untuk apa sepagi ini datang dimana mentari bahkan belum menunjukkan wajahnya?

"Eh, Bu. Ada apa ini?" Aku bertanya bingung tapi tak mampu mencegah Ibu dan Wina masuk ke dalam kamarku.

"Kamu lupa hari ini pernikahanmu?" jawab Ibu dengan santai. Ia mengambil duduk di tepi ranjang dengan memberi kode ke arah Wina seolah memerintahkan sesuatu.

"I–iya tau, tapi–"

Wina tiba-tiba menarik tanganku dan memintaku duduk di kursi yang memang berada di dalam kamar tidurku. Kursi yang biasanya kududuki untuk belajar dekat ranjang dengan meja kecil sebagai temannya.

"Sudah, diam saja! Wina mau menghiasmu. Jadi menurutlah!" titah Ibu tak ingin dibantah. Aku tak punya pilihan. Hanya mampu manut.

"Selesai! Bagaimana Bu, cantik kan?" ucap Wina yang baru saja selesai menghiasku dengan senyum merekah seolah bangga dengan hasil karyanya di wajahku. Aku tak tahu seperti apa wajahku karena aku belum melihatnya di cermin.

"Lumayan. Bantu dia berpakaian. Sejam lagi kita berangkat!"

Deg! Sejam lagi? Refleks aku menoleh pelan ke jam dinding yang ada di kamarku. Ini baru jam enam pagi. Kenapa pagi sekali? Aku bahkan belum sempat sarapan. Ibu lupa menawarkan hal tersebut padaku dan tidak pernah juga karena di rumah ini aku membuatnya sendiri jika ingin makan. Namun rasanya sudah tidak mungkin makan setelah di make up tebal seperti ini. Apalagi melakukan aktivitas masak.

"Kok bisa nikah sama anaknya Bu Lasmi. Kenal dimana?" Wina tiba-tiba bertanya sambil membantuku mengenakan kebaya putih setelah ditinggal pergi Ibu, dan aku bingung harus menjawab apa.

"Hm, itu …."

"Di jakarta ya? Kan kamu kerja di sana bukan? Jodoh memang aneh ya dan kamu beruntung menikah dengan keluarga terpandang. Aku sebenarnya nggak kenal sama keluarga Arya Kusuma. Cuma pernah dengar namanya saja. Dulu pindah ke Jakarta eh sekarang balik lagi ke sini. Entah kenapa tiba-tiba menetap di sini. Katanya tinggal berdua sama anaknya yang cowok. Didengar tampan, tapi aku belum pernah lihat sih. Pasti itu calon suamimu." Wina melirikku dengan senyum yang aneh. Tampak tak tulus.

Aku hanya tersenyum menanggapi ceritanya.

Oh, calon suamiku itu dari Jakarta. Aku bahkan tidak tahu apa-apa. Ingin bertanya lebih dalam tapi takut karena pasti ketahuan kalau aku tak kenal betul calon keluarga suami sendiri.

"Maaf, Del. Kamu hamil ya?"

"Hah?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status