Share

5

Tarno segera membopong emaknya ke kamarnya sesuai instruksi adiknya. Ratih mengikuti dengan cemas di belakangnya. Sesampainya di kamar, ia membaringkan emaknya di tempat tidur. Dipan dari kayu yang tampak rapuh kayunya dengan cat putih yang mengelupas pada beberapa bagian. Kasur kapuk tipis itu ditutupi seprei yang warnanya mulai pudar dengan beberapa bantal yang ditumpuk di ujung kasur.

Ratih segera mengambil inhaler yang tersimpan di atas lemari. Lalu memasangkan di mulut Emak yang langsung dihisap dengan kuat. Wanita yang telah melahirkan Tarno dan Ratih itu mulai tenang. Nafasnya mulai teratur dan keringat di pelipisnya sudah menghilang.

Ratih sibuk mengoleskan kayu putih di perut dan dada emak. Sementara Tarno masih kebingungan dengan apa yang terjadi barusan. Baru kali ini ia melihat emaknya seperti itu. Seribu tanda tanya berputar di benaknya. Ia dengan sabar menunggu Ratih yang dengan telaten menyelimuti emak yang sedang menenangkan diri. Dio dan Dinda mengintip dari luar kamar sesekali untuk melihat apa yang terjadi.

Ratih menggeret tangan Tarno dan mengajak lelaki itu keluar kamar setelah memastikan emak nyaman dan tenang. Begitu sampai di luar kamar Tarno langsung bertanya pada Ratih, “Apa yang terjadi dengan Emak? Apa Emak sakit parah?”

“Bukan sakit tapi menurut Dokter, Emak terkena serangan panik.” Ratih menggelengkan kepalanya.

“Serangan panik? Apa itu?”

“Seperti yang kamu lihat tadi, Mas. Itu namanya serangan panik. Biasanya Emak jadi begitu saat stres atau gelisah. Mungkin Emak kaget saat mendengar perkataanmu tadi.”

“Sejak kapan? Apakah Emak sering seperti ini?”

“Aku lupa kapan tepatnya, Mas. Mungkin sekitar satu atau dua tahun terakhir ini.”

“Kenapa kamu tidak pernah mengabariku?”

“Emak melarangku, Mas. Katanya takut kamu kepikiran dan nggak fokus kerja.”

Tarno terdiam mendengar perkataan Ratih. Emak memang seperti itu, tidak mau membuat anak-anaknya khawatir dan selalu menyimpan masalahnya di depan anak-anaknya.

“Apa tidak perlu kita periksakan ke Dokter?”

“Nggak usah, Mas. Nanti akan membaik sendiri kok. Emak sedang kelelahan sekarang, biarkan dia istirahat dulu.”

“Tarno ....” Terdengar suara emak memanggil dari dalam kamar dengan pelan.

“Ya, Mak.” Tarno terburu-buru masuk ke kamar begitu mendengar panggilan emaknya. Ratih mengikuti kakak laki-lakinya di belakangnya.

“Ada apa, Mak?” tanya Tarno yang kini jongkok di samping tempat tidur Emak. Ditatapnya wanita yang telah melahirkannya dengan seksama. Rambutnya yang sudah memutih tampak berantakan. Kulitnya yang keriput membalut tubuhnya yang kurus kering sehingga tulang-tulangnya tampak menonjol. Tarno memegang tangan emak yang terasa kasar karena kerja keras yang dilakukan saat muda untuk menghidupi Tarno dan Ratih setelah ditinggal bapaknya saat Tarno kelas dua SMA.

“Kamu ada masalah apa dengan Susanti?” lirih emak.

“Mak, istirahatlah dulu. Kita bicarakan masalah ini setelah Emak baikan. Mas Tarno juga pasti lelah dan butuh istirahat sekarang setelah menempuh perjalanan jauh,” sahut Ratih. Ia memberikan kode pada Tarno lewat tatapan matanya.

Tarno yang paham dengan kode yang diberikan adiknya langsung berpura-pura menguap, “Iya, Mak. Aku mau tidur dulu. Emak juga istirahatlah dulu. Nanti kita bahas masalah ini setelah Aku dan Emak sudah istirahat.”

“Baiklah. Kamu pasti lelah, tidurlah dulu.” Emak mengangguk lemah dan memandang Tarno dengan tatapan prihatin.

Tarno berjalan keluar kamar, sementara Ratih memeriksa kondisi Emak dan membenarkan posisi selimutnya yang tersingkap.

Tarno menunggu Ratih keluar dari kamar emak dengan tak sabar. Begitu adiknya keluar kamar dan menutup pintu kamar emak, ditariknya tangan Ratih menuju ruang tamu yang letaknya cukup jauh dari kamar emak.

Di ruang tamu tampak Dio dan Dinda yang sedang menonton televisi. Keduanya tampak fokus menatap layar kotak yang menayangkan acara kartun kesukaan anak-anak dan sesekali tertawa saat muncul adegan yang lucu.

“Tih, bagaimana Emak bisa terkena serangan ... apa tadi namanya?” Tarno tampak berpikir keras mengingat-ingat apa yang dikatakan Ratih tadi.

“Serangan panik, Mas.”

“Iya itu, serangan panik. Sejak kapan dan bagaimana awal mulanya?”

“Aku lupa kapan tepatnya. Mungkin berawal sekitar dua tahun lalu dan sepertinya menjadi semakin sering setahun belakangan ini.”

“Kenapa Emak bisa seperti itu Tih? Kamu bilang tadi penyebabnya stres kan, apa ada masalah yang tidak kutahu?”

“Aku juga tidak tahu apa yang membuat Emak stres, Mas. Kamu kan tahu Emak selalu menyimpan masalahnya sendiri dan menyembunyikannya dari kita.”

Tarno setuju dengan perkataan adiknya barusan. Emak memang selalu diam dan tidak pernah cerita kepada siapa pun saat ada masalah. Dan berusaha baik-baik saja di depan anak-anaknya walaupun sebenarnya hatinya sedang hancur.

“Tidurlah dulu, Mas. Kamu pasti lelah belum istirahat sejak kemarin. Tidurlah di kamar Dio,” ucap Ratih seraya berdiri menuju kamar putranya.

Dulu, kamar itu adalah kamar Tarno, sebelum ia menikah dan pindah ke rumahnya sendiri. Setelah Dio lahir, kamar itu akhirnya ditempatinya. Setelah dibersihkan dan dicat ulang serta direnovasi pada beberapa bagian.

Tarno melemparkan tubuhnya ke atas kasur dan mulai memejamkan matanya. Tanpa menunggu lama ia langsung terlelap menuju alam mimpi. Ia merasa baru saja terlelap saat sebuah tepukan pelan mendarat di lengannya.

“Mas, bangun. Hampir magrib. Mandilah dulu lalu salat asar,” ucap Ratih.

Tarno mengucek-ucek matanya lalu menggeliat pelan sebelum bangun. Begitu sadar sepenuhnya ia mulai berjalan keluar kamar dan mencari Dinda yang ternyata sedang asyik bermain dengan Dio.

Emak tampak sibuk di dapur saat Tarno lewat dan berjalan ke kamar mandi.

“Emak sudah baikan?” tanya Tarno menghampiri emak.

“Sudah. Mandilah lalu salat. Setelah itu kita bicara.”

Tarno melanjutkan perjalanannya ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya begitu melepas semua pakaiannya. Badannya terasa segar sehingga rasa letih di tubuhnya berkurang. Ia merasa mampu menghadapi semua masalahnya sekarang.

**

Ratih menyuruh Dio untuk mengajak Dinda membeli jajan saat semua sudah berkumpul di ruang tamu. Ia tidak ingin gadis kecil itu mendengarkan pembicaraan tentang perceraian kedua orang tuanya. Kini hanya ada mereka bertiga di rumah itu. Emak, Ratih dan Tarno yang sudah duduk di kursi.

Emak dan Ratih sudah siap mendengarkan cerita Tarno. Alasan kenapa ia dan Susanti bercerai dan mengakhiri pernikahan yang sudah berjalan selama tiga belas tahun. Terlebih lagi Tarno yang baru pulang setelah merantau ke luar negeri selama lima tahun tiba-tiba membawa kabar yang sangat mengejutkan. Kabar tentang perceraiannya dengan Susanti.

Bahkan selama Tarno di luar negeri tidak pernah sekalipun dia membahas atau menyinggung tentang hal itu. Selama ini dia terlihat baik-baik saja. Apakah Tarno merahasiakan semuanya dari Emak dan Ratih selama ini. Tarno berutang penjelasan itu kepada Emak dan Ratih sekarang.

“Jelaskan kepada Emak sekarang. Apa alasanmu bercerai dengan Susanti. Bukankah kamu baru saja pulang. Kenapa tiba-tiba membahas masalah perceraian?” tanya emak. Mereka bahkan belum menanyakan kabar masing-masing. Hal yang umum dilakukan   sekian lama tidak bertemu, namun hal itu terlewatkan karena ada hal lain yang lebih penting.

Tarno menarik nafas panjang untuk menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah siap dia lalu menceritakan peristiwa yang terjadi di rumahnya tadi pagi. Sesekali Tarno menarik nafas panjang untuk menekan emosinya agar tidak meluap-luap lagi. Ia ingin menjaga kondisi emak agar tidak terlalu stres memikirkan masalah yang dialaminya sekarang agar tidak terjadi serangan panik lagi. Cukup sudah dia menangis di pelukan emak tadi. Tarno berjanji tidak akan ada lagi tangis setelah ini.

Lalu Tarno mulai menceritakan apa yang terjadi tadi pagi sebelum ia datang kesini.

“Astagfirullah, Ratih nggak nyangka Mbak Susanti bisa kayak gitu. Berarti yang kita lihat waktu itu bener dia, Mak,” kata Ratih setelah Tarno selesai bercerita.

“Apa maksudmu, Tih?” tanya Tarno.

“Waktu itu aku dan Emak ke rumah kamu Mas. Emak mau ngasih sesuatu buat Dila dan Dinda. Ternyata nggak ada siapa-siapa di rumah. Pas dalam perjalanan pulang kita papasan sama motor ninja. Saat lihat cewek yang dibonceng sekilas terlihat mirip sama Mbak Susanti, tangannya waktu itu meluk ke perut cowok yang bonceng. Tapi aku nggak yakin, pas tanya ke emak juga nggak yakin kalau itu Mbak Susanti. Pas aku mau ngasih tahu kamu, sama emak dilarang. Katanya biar kamu nggak kepikiran dan fokus kerja,” kata Ratih dengan berapi-api.

“Motor ninja merah?” tanya Tarno.

“Iya Mas. Aku ingat banget sama motornya waktu itu soalnya kelihatan masih baru.”

“Berarti benar yang kamu lihat itu Susanti. Karena motornya Joko ya motor ninja warna merah itu,” gumam Tarno.

Emak hanya diam dan memandang prihatin ke arah Tarno.

“Kamu yakin dengan keputusanmu untuk cerai? Sudah dipikir matang-matang?” tanya Emak dengan mata berkaca-kaca.

“Iya, Mak. Aku bisa memaafkan semua kesalahan kecuali perselingkuhan. Lagi pula perceraian ini Susanti sendiri yang memintanya,” jawab Tarno dengan yakin.

“Lalu bagaimana dengan anak-anakmu nanti?”

“Masalah anak-anak biar mereka sendiri yang memilih mau ikut dengan siapa. Aku nggak mau memaksa mereka.”

“Lalu bagaimana dengan rumahmu yang baru kamu renovasi, Mas?” tanya Ratih.

“Kalau anak-anak memilih ikut Ibunya, maka rumah itu akan kuserahkan kepada Susanti.”

“Kalau anak-anak memilih ikut kamu, bagaimana?”

“Entahlah. Mungkin akan dijual dan hasilnya di bagi dua,” jawab Tarno asal. Ia masih belum berpikir sampai kesana. Ia masih bingung memikirkan bagaimana caranya memberitahu masalah perceraian ini pada kedua putrinya dengan baik. Bagaimanapun Dila dan Dinda masih kecil. Tarno takut mereka akan terluka saat mendengar kabar perceraian kedua orang tuanya.

“Eehmmm... Mas Tarno, boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Ratih.

“Iya, tanya apa?” jawab Tarno.

Ratih melirik emaknya sebentar sebelum mulai bertanya. Membuat Tarno penasaran tentang apa yang akan ditanyakan adiknya. Kenapa ia tampak ragu-ragu.

“Begini Mas, ini masalah tentang uang bulanan yang kamu kirimkan pada emak. Kata Mbak Susanti, Mas Tarno menyuruhnya untuk menghentikan yang bulanan buat Emak untuk ditabung buat biaya sekolah Dila dan Dinda ....”

Belum selesai Ratih bertanya, Emak memukul paha Ratih dengan cukup keras.

“Aduh.. sakit loh Mak,” teriak Ratih.

“Ngapain toh bahas masalah itu. Kan sudah Emak bilang nggak usah dibahas lagi. Tarno punya dua anak yang harus dicukupi kebutuhannya,” kata Emak.

Tarno kaget mendengar perkataan Ratih dan Emak. Bagai petir di siang bolong pertanyaan adiknya sukses membuat Tarno tidak bisa menutup mulutnya selama beberapa detik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status