Home / Horor / LEMBUR TENGAH MALAM / Dentingan Maut

Share

Dentingan Maut

Author: Futopia
last update Last Updated: 2024-11-03 23:47:06

Gracya baru saja duduk di ruang staf ketika telepon berdering. Ia mengangkatnya dengan malas, berharap itu bukan panggilan tugas tambahan. Suara Pak Wiryo, dosen senior yang terkenal dengan pengetahuan lokalnya tentang sejarah kampus, terdengar di ujung sana, berbicara dengan nada agak cemas.

“Grace, bisa tolong gantikan Dewi malam ini? Katanya mendadak sakit. Tidak ada keterangan jelas, hanya katanya sangat mendadak.”

Gracya menelan ludah. Setelah malam-malam aneh belakangan ini, ia merasa lelah, tetapi rasa tanggung jawabnya mendorongnya untuk menerima. “Baik, Pak. Saya bisa.”

Malam itu, ia berjalan di lorong kampus yang sepi menuju ruang staf malam, merasakan dinginnya malam seperti menembus tulangnya. Suara langkahnya yang menggema di lorong menambah perasaan tidak nyaman yang semakin besar dalam dirinya. Di tengah kesunyian, ia teringat kembali pada cerita lonceng kematian yang sering dibicarakan mahasiswa. Cerita itu selalu terdengar seperti gurauan, tetapi akhir-akhir ini cerita tersebut terasa lebih nyata dari sekadar kisah horor kampus.

Ketika sampai di ruang staf, Gracya duduk sambil memandangi meja kosong di hadapannya. Suara tawa mahasiswa dari siang tadi masih terngiang di telinganya, terutama obrolan mereka tentang lonceng kematian.

“Eh, tahu gak, kalau denger lonceng itu katanya tamat sudah!” celetuk seorang mahasiswa.

Mahasiswa lain menimpali, “Iya, lonceng itu bukan buat sembarang orang, katanya. Mahasiswa angkatan tahun ketiga dulu juga katanya dengar suara itu sebelum…”

Gracya tersenyum tipis, walau sebenarnya tidak sepenuhnya merasa nyaman. Bagi para mahasiswa, cerita itu mungkin sekadar lelucon yang menyenangkan untuk ditertawakan. Tetapi setelah beberapa kali melihat hal-hal ganjil, Gracya mulai mempertanyakan apakah ada sesuatu yang lebih dalam di balik kisah itu.


Tidak lama setelah ia duduk, suara gemerincing dari gantungan kunci terdengar mendekat di lorong. Gracya menoleh dan melihat Pak Suwito, satpam yang sedang berkeliling seperti biasa. Kali ini, perasaan cemas Gracya membuatnya ragu untuk mengabaikan cerita-cerita seram.

“Pak Wito, bisa duduk sebentar?” Gracya memanggilnya pelan.

Pak Suwito menghentikan langkahnya, sedikit terkejut, tetapi ia menghampiri Gracya dan duduk di kursi di seberangnya. “Ada apa, Mbak Grace? Malam-malam gini tumben ajak ngobrol.”

Gracya menghela napas, menatap Pak Suwito dengan sedikit ragu, “Pak, saya mau tanya soal… cerita lonceng kematian di kampus ini. Itu beneran, kan?”

Pak Suwito terlihat berpikir sejenak, lalu tertawa pelan. “Ah, cerita lama itu memang selalu jadi bahan obrolan. Saya di sini udah lebih dari sepuluh tahun, Mbak Grace, dan tiap tahun pasti ada aja yang bicarain lonceng itu.”

“Tapi Bapak sendiri pernah dengar suaranya?” Gracya menatapnya dengan serius.

Ekspresi Pak Suwito berubah. Senyumnya perlahan menghilang, dan ia menunduk, menatap lantai. “Mbak Grace, kalau saya bilang pernah, apa Mbak mau percaya?”

Gracya mengangguk perlahan. “Kalau Bapak pernah dengar… saya rasa itu bukan cuma cerita kosong, Pak.”

Pak Suwito menghela napas panjang, suaranya pelan namun tegas, “Malam-malam kalau keliling di lorong lama, kadang saya dengar. Gak keras, cuma kayak suara jauh. Tapi ada aja perasaan gak enak. Pernah, beberapa tahun lalu, suara itu kedengeran di malam seorang petugas kebersihan ditemukan meninggal mendadak di lorong rumah sakit.”

“Petugas kebersihan? Apakah dia… juga dengar suara lonceng itu?” tanya Gracya, merasa napasnya mulai tercekat.

“Katanya, sebelum meninggal, dia sempat cerita ke penjaga lain kalau dia dengar suara lonceng dari arah bangsal kosong. Tapi pas saya periksa, gak ada apa-apa. Hanya ada ruangan kosong dan suara sunyi,” jawab Pak Suwito sambil menggelengkan kepala, mengingat kisah yang tak pernah ia ungkapkan pada siapa pun sebelumnya.

Gracya merasakan ketakutan yang sama dengan malam-malam sebelumnya, tetapi kali ini terasa lebih nyata. Ia tidak berani menyela, membiarkan Pak Suwito melanjutkan ceritanya.

“Dulu pernah ada pasien yang juga meninggal tiba-tiba, Mbak Grace. Katanya siang itu dia masih segar bugar, malah bercanda sama perawat. Tapi malamnya, setelah suara lonceng itu kedengeran, dia ditemukan sudah tidak bernyawa. Mungkin itu kebetulan, tapi kebetulan yang terlalu sering, saya rasa.”


Gracya menatap kosong ke arah Pak Suwito, mencerna setiap kata. Rasanya ada benang merah yang menghubungkan semua cerita itu. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar dari lorong, disusul dengan dentingan samar lonceng yang familiar dan semakin mendekat.

Pak Suwito menoleh, wajahnya tiba-tiba pucat. “Dengar gak, Mbak?” bisiknya dengan nada khawatir.

Gracya mengangguk, meskipun tubuhnya mulai gemetar. “Ya, Pak… itu suaranya,” jawabnya, hampir tak terdengar.

“Kita jangan bergerak, Mbak. Biar suara itu lewat,” ucap Pak Suwito pelan, seolah berbicara pada diri sendiri. Mereka berdua duduk diam, menahan napas saat suara itu mendekat, dan kemudian menjauh, meninggalkan ketegangan yang menggantung di udara.

Setelah beberapa saat, Pak Suwito berbisik lagi, “Mbak Grace, kalau suara itu datang lagi, lebih baik Mbak jangan sendirian di sini. Saya rasa, lonceng itu memang bukan cuma legenda kampus. Dulu, ada rumor kalau lonceng itu… penanda seseorang akan segera meninggal.”

“Kenapa Bapak gak cerita dari dulu?” Gracya menahan napas, merasa sesak di dadanya. Pertanyaan-pertanyaan tentang suara lonceng itu kini semakin mendesaknya.

“Gak semua orang mau percaya, Mbak. Kebanyakan orang anggap itu cuma mitos. Tapi saya udah lihat terlalu banyak kejadian aneh di sini,” balas Pak Suwito, suaranya terdengar berat.

Gracya memandang Pak Suwito dengan tatapan kosong. Sekarang, ia mulai memahami kenapa cerita itu tetap hidup, kenapa mahasiswa, perawat, bahkan para dosen sering membicarakan lonceng kematian dengan nada serius meski terkadang bercampur tawa.

“Kalau gitu, kenapa gak ada yang berusaha cari loncengnya dan… memusnahkannya?” Gracya bertanya, suaranya penuh harap.

Pak Suwito menatap Gracya, tersenyum pahit. “Mungkin sudah banyak yang mencoba, tapi lonceng itu gak bisa dihilangkan, Mbak. Setiap kali orang berpikir lonceng itu sudah lenyap, pasti ada yang mendengarnya lagi, di tempat yang berbeda.”

Hening sesaat. Gracya menggenggam tangannya sendiri, merasa dingin mulai merasuki dirinya. Ia tidak bisa berpaling dari tatapan serius Pak Suwito, yang kali ini terlihat lebih seperti peringatan daripada sekadar nasihat.

“Dari dulu, saya udah bilang sama para petugas jaga malam lain. Kalau dengar suara lonceng itu, jangan berusaha mencari dari mana asalnya. Lebih baik biarkan saja,” ucap Pak Suwito dengan tegas, seolah menyiratkan betapa bahayanya mencoba menyingkap misteri di balik lonceng kematian itu.

Gracya hanya bisa mengangguk, masih terpaku dalam ketakutan dan kebingungan. Baginya, percakapan ini seperti membuka pintu menuju dunia lain, dunia yang penuh rahasia gelap yang seharusnya tetap tersembunyi.

Di tengah kesunyian, Pak Suwito berdiri, lalu menepuk bahu Gracya pelan. “Kalau Mbak butuh apa-apa, panggil saya saja. Saya akan berkeliling dulu,” katanya dengan nada yang lebih tenang, lalu melangkah pergi, meninggalkan Gracya dalam hening yang mencekam di ruang staf malam itu.

Perlahan, Gracya menyandarkan diri ke kursinya, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Bayangan-bayangan akan dentingan lonceng, wajah-wajah penuh ketakutan para pasien yang ia dengar kisahnya, dan ketidakpastian yang menyelimuti dirinya kini mulai mengisi pikirannya, memenuhi setiap inci ruang staf dengan ketakutan yang tak bisa ia jelaskan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Momen Kecanggungan

    Gracya sedang menyantap mie ayam di kantin kampus ketika ia menangkap sosok Chandra yang berdiri ragu-ragu di pintu masuk. Pemuda itu terlihat gelisah, sesekali melirik ke arahnya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya."Chan!" panggil Gracya dengan suara lantang, membuat beberapa staf di sekitar menoleh. "Ngapain berdiri kayak patung begitu?"Wajah Chandra langsung memerah. Dengan langkah kaku, ia menghampiri meja Gracya. "Pa-pagi, Kak.""Tumben pagi-pagi udah keliatan. Biasanya kan kamu shift siang?" goda Gracya sambil tersenyum jahil."Itu... saya..." Chandra tergagap, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.Di meja sebelah, beberapa perawat senior mulai berbisik-bisik sambil cekikikan. "Cieee... yang brondong ngejar-ngejar kakak senior nih.""Ssst, tapi cocok loh. Yang satu cantik yang satu ganteng," timpal yang lain.Chandra semakin salah tingkah mendengar bisikan-bisikan itu. Ia hendak berbalik pergi ketika Gracya menarik

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Rahasia Chandra

    Chandra mengamati Gracya dari kejauhan, menyaksikan bagaimana seniornya itu dengan tenang membaca jurnal Bu Susan sambil sesekali mengetik sesuatu di laptopnya. Sudah seminggu berlalu sejak ia ditugaskan menemani Gracya selama shift malam, sebuah "kehormatan" yang sebenarnya tidak diinginkan oleh staf lain karena cerita-cerita seram yang beredar."Kak Grace," panggil Chandra pelan, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kakak nggak takut ya kerja malam terus?"Gracya mengangkat wajahnya dari jurnal, tersenyum tipis. "Kenapa harus takut? Kan ada kamu yang nemenin."Chandra merasakan wajahnya memanas. Tiga tahun perbedaan usia mereka terasa tidak berarti saat Gracya melemparkan candaan-candaan ringan seperti ini. Namun di balik sikapnya yang terkesan penakut, Chandra menyimpan tujuan yang lebih dalam."Kak," Chandra memberanikan diri. "Kakak percaya nggak sama cerita lonceng kematian itu?"Gracya terdiam sejenak, matanya menerawang. "Dulu n

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Kena Mental

    Gracya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah malam penuh ketegangan di ruang arsip. Ia masih memikirkan dokumen-dokumen yang baru saja ia temukan—daftar pasien dengan kematian misterius, catatan tentang "Lonceng Kematian," dan tulisan tangan Bu Susan yang menyebutkan kuil tua sebagai asal mula lonceng tersebut. Namun, semua itu terpaksa ia simpan sementara waktu. Ada hal lain yang lebih mendesak: Chandra.Cowok itu kini duduk dengan wajah pucat di ruangan staf, memeluk lututnya seperti anak kecil yang baru saja melihat hantu. Gracya mengamati dari pintu ruangan, mencoba menahan tawa kecil yang muncul di tengah rasa lelahnya. "Anak baru ini benar-benar kena mental," pikirnya."Kak Gracya..." Chandra memanggil pelan, suaranya gemetar. "Boleh nggak saya duduk di sini aja sama Kakak? Jangan suruh saya balik ke ruangan staf sendirian lagi, ya?"Gracya mengangkat alis. "Kenapa? Bukannya tadi kamu cuma mau ke toilet?"Chandra mengangguk cepat, matanya melebar seperti an

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Arsip Tersembunyi

    Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken

  • LEMBUR TENGAH MALAM   Keterkaitan dengan Bu Ratri

    Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s

  • LEMBUR TENGAH MALAM    Lonceng dan Dosa

    Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status