Keesokan paginya, Gracya merasa badannya masih pegal-pegal, seolah-olah tidur tidak cukup meredakan rasa lelah yang mendera sejak semalam. Mimpi-mimpi aneh tentang abang ojek online hantu masih menyisakan perasaan tidak nyaman di dadanya. Namun, dia tetap berusaha bersikap normal. Dia menatap cermin di kamar kosannya, memastikan wajahnya tidak memperlihatkan tanda-tanda ketakutan.
"Udah pagi, nggak usah drama," ujarnya pada bayangan di cermin, sambil mengusap sedikit bedak di wajahnya. "Itu cuma stres, Gracya. Abang ojek online atau bukan, semua pasti aman hari ini."
Namun, saat dia berjalan menuju kampus, keanehan mulai muncul lagi. Setiap kali dia melewati lorong kampus yang sepi, dia merasa ada sesuatu di belakangnya. Seolah-olah ada sepasang mata yang mengawasinya dari sudut-sudut ruangan. Setiap kali Gracya menoleh, tentu saja, tidak ada siapa pun. Hanya dinding-dinding dingin dan koridor kosong.
"Aduh, mungkin efek semalam. Jangan sampai jadi parno ya, Grace," katanya pelan, sambil mencoba tertawa kecil.
Sesampainya di gedung fakultas, hal-hal aneh masih terus terjadi. Saat dia duduk di ruang dosen, sebuah bayangan hitam melintas di sudut matanya, seperti sosok yang bergerak cepat melewati pintu. Jantung Gracya berdebar, tapi dia segera mengabaikannya dan menunduk, pura-pura sibuk dengan laptopnya.
"Aku harusnya ngecek laporan aja," katanya dengan nada riang, meski pikirannya sudah mulai kacau. "Jangan mikirin yang nggak-nggak."
Dia membuka folder tugas mahasiswa, mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, semakin dia berusaha tidak peduli, semakin sering bayangan-bayangan itu muncul. Kadang di luar jendela, kadang di koridor, bahkan di ruang dosen. Hanya saja, setiap kali dia menoleh, semuanya tampak normal.
"Mungkin mereka memang jahil," Gracya menghibur diri. "Pasti mahasiswa iseng lagi."
Memang, beberapa mahasiswa di kampus ini tidak pernah kapok mengerjai dosen. Gracya sudah sering menghadapi ulah jahil mereka—menyembunyikan alat peraga anatomi, membuat suara-suara aneh saat kuliah malam, atau memasang tengkorak plastik di ruang kelas.
"Tapi masa iya, sampai di ruang dosen juga?" pikirnya sambil menghela napas.
Gracya mencoba melanjutkan rutinitasnya dengan ceria. Setiap kali dia merasa merinding, dia sengaja bersenandung lagu-lagu ceria. "Heh, nggak akan kena aku," gumamnya sambil menyenandungkan lagu pop yang baru saja populer di radio. Tapi jujur saja, bahkan dengan suara musik kecil yang ia buat sendiri, keheningan di kampus hari itu terasa berat.
Sore harinya, Gracya menerima kabar bahwa temannya yang biasa bertugas di rumah sakit kampus, Earth Medika Akarta, berhalangan hadir karena mendadak sakit. Temannya itu menghubunginya lewat pesan singkat, meminta Gracya untuk menggantikannya bertugas malam itu. Gracya menggerutu pelan, merasa tugasnya sebagai asisten dosen sudah cukup melelahkan tanpa harus mengambil shift malam di rumah sakit.
"Aku beneran perlu uang lembur ini? Uangnya sih lumayan, tapi kalau kerjaan kayak begini... aduh," keluh Gracya saat dia menerima uang jatah makan dan lembur dari temannya yang dititipkan oleh staf kampus.
Namun, yang mengganggu Gracya bukanlah uang atau makan malam. Bukan. Hal yang benar-benar meresahkan adalah penglihatan-penglihatan aneh yang semakin lama semakin jelas. Dan dia tidak bisa menepis perasaan bahwa ada sesuatu yang salah, terutama di sekitar rumah sakit itu.
Malam hari, saat langit semakin gelap, Gracya berjalan menuju rumah sakit di belakang kampus. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, dengan awan-awan gelap yang menutupi bintang-bintang. Gracya menatap langit sesaat, sebelum menghela napas panjang dan melanjutkan langkahnya.
"Nyanyi aja, Grace. Tetap riang. Ini cuma malam biasa," katanya pada dirinya sendiri, sambil mulai bersenandung kecil.
Sesampainya di rumah sakit, suasana terasa sangat sunyi. Rumah sakit itu sudah lama dikenal menyeramkan, bahkan di siang hari. Lorong-lorongnya yang panjang dan kosong, ditambah lampu-lampu yang berkedip-kedip, membuat suasana semakin mencekam. Tapi malam ini, rumah sakit terasa lebih berat dari biasanya. Gracya merasakan udara yang dingin, dan jantungnya mulai berdebar sedikit lebih cepat.
Dia mencoba menenangkan diri dengan bersenandung lagu-lagu pop. "Aku harus tetap ceria, nggak boleh kalah sama suasana horor ini," ujarnya pelan, meskipun suaranya sedikit gemetar.
Namun, sekitar tengah malam, hal yang paling ditakutkannya terjadi. Saat Gracya sedang duduk di ruang staf, sibuk dengan ponselnya dan mencoba mengalihkan pikirannya, tiba-tiba dia mendengar suara yang familiar. Suara yang membuat darahnya berdesir dingin.
Ding... ding... ding...
Suara dentingan lonceng.
Gracya membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak. Suara itu bukan berasal dari imajinasinya—itu nyata. Dentingan yang lembut dan perlahan itu datang dari kejauhan, entah dari mana, tapi terdengar jelas di telinganya. Suara yang sering ia dengar dalam cerita mahasiswa-mahasiswa tentang "lonceng kematian."
"Aduh, serius banget? Beneran ini?" gumam Gracya, suaranya lebih rendah dari biasanya.
Dia menoleh ke sekeliling, tapi ruangannya kosong. Tidak ada orang. Tidak ada siapa pun di dekatnya. Tapi suara lonceng itu terus terdengar, seperti memanggilnya dari tempat yang jauh, namun sekaligus dekat.
Gracya mencoba tetap tenang. "Mungkin... mungkin cuma mesin rusak. Atau angin. Iya, pasti cuma suara angin. Angin bisa bikin suara lonceng, kan?"
Tapi suara itu terus berlanjut, semakin dalam dan menekan, seperti sesuatu yang menunggu. Gracya menelan ludah, berdiri dari kursinya, dan berjalan perlahan menuju lorong rumah sakit.
"Nyanyi, Gracya. Nyanyi!" desaknya pada dirinya sendiri. Dia mulai bersenandung lagu yang biasa ia dengarkan saat bersantai, tapi suaranya terdengar semakin pelan, tertelan oleh rasa takut yang mulai menjalar.
Langkah-langkah Gracya terasa berat saat dia berjalan menyusuri lorong. Lampu-lampu di rumah sakit berkedip-kedip di atasnya, menambah kesan suram di sekitarnya. Penglihatannya mulai kabur, tetapi tidak karena lelah—ada bayangan yang mulai muncul di sudut-sudut matanya. Bayangan yang bergerak cepat, melintas dari satu sisi ke sisi lain.
Gracya berhenti di tengah lorong, napasnya mulai tersengal. "Oke, ini mulai aneh," gumamnya. Tapi dia tidak berani kembali ke ruang staf. Sesuatu, entah apa, memaksanya untuk terus berjalan.
Dari sudut matanya, Gracya melihat bayangan samar di ujung lorong. Bayangan itu tampak seperti sosok manusia, berdiri diam, menghadap ke arahnya. Tubuh Gracya menegang, tetapi dia berusaha keras untuk tidak menunjukkan ketakutannya. "Aku... cuma... terlalu capek," katanya pelan.
Namun, sosok itu tidak bergerak. Diam di sana, seolah-olah sedang menunggunya. Gracya merasakan bulu kuduknya meremang. Tapi, entah kenapa, langkah kakinya terus maju, seakan ada sesuatu yang menariknya menuju bayangan itu.
Langkah demi langkah, Gracya mendekat ke sosok bayangan itu. Setiap kali dia mendekat, sosok itu tampak semakin jelas—tubuhnya berpakaian seperti pasien rumah sakit, tetapi wajahnya... kosong. Tidak ada mata, tidak ada mulut, hanya sebuah permukaan kosong yang tampak mengerikan.
Gracya akhirnya berhenti. Jantungnya berdetak sangat kencang, dan meskipun dia berusaha untuk tetap tenang, kakinya bergetar hebat.
"Aku nggak lihat apa-apa... Aku nggak dengar apa-apa..." gumam Gracya dengan suara kecil, berharap sosok itu akan pergi.
Namun, sosok itu tidak menghilang. Malah, dia mulai bergerak pelan, melangkah mendekat ke arah Gracya. Iya, melangkah, bukan melayang. Dan di saat itulah, Gracya mendengar lagi dentingan lonceng itu—lebih keras, lebih dekat.
Gracya sedang menyantap mie ayam di kantin kampus ketika ia menangkap sosok Chandra yang berdiri ragu-ragu di pintu masuk. Pemuda itu terlihat gelisah, sesekali melirik ke arahnya sambil pura-pura sibuk dengan ponselnya."Chan!" panggil Gracya dengan suara lantang, membuat beberapa staf di sekitar menoleh. "Ngapain berdiri kayak patung begitu?"Wajah Chandra langsung memerah. Dengan langkah kaku, ia menghampiri meja Gracya. "Pa-pagi, Kak.""Tumben pagi-pagi udah keliatan. Biasanya kan kamu shift siang?" goda Gracya sambil tersenyum jahil."Itu... saya..." Chandra tergagap, tangannya menggaruk kepala yang tidak gatal.Di meja sebelah, beberapa perawat senior mulai berbisik-bisik sambil cekikikan. "Cieee... yang brondong ngejar-ngejar kakak senior nih.""Ssst, tapi cocok loh. Yang satu cantik yang satu ganteng," timpal yang lain.Chandra semakin salah tingkah mendengar bisikan-bisikan itu. Ia hendak berbalik pergi ketika Gracya menarik
Chandra mengamati Gracya dari kejauhan, menyaksikan bagaimana seniornya itu dengan tenang membaca jurnal Bu Susan sambil sesekali mengetik sesuatu di laptopnya. Sudah seminggu berlalu sejak ia ditugaskan menemani Gracya selama shift malam, sebuah "kehormatan" yang sebenarnya tidak diinginkan oleh staf lain karena cerita-cerita seram yang beredar."Kak Grace," panggil Chandra pelan, berusaha menyembunyikan getaran dalam suaranya. "Kakak nggak takut ya kerja malam terus?"Gracya mengangkat wajahnya dari jurnal, tersenyum tipis. "Kenapa harus takut? Kan ada kamu yang nemenin."Chandra merasakan wajahnya memanas. Tiga tahun perbedaan usia mereka terasa tidak berarti saat Gracya melemparkan candaan-candaan ringan seperti ini. Namun di balik sikapnya yang terkesan penakut, Chandra menyimpan tujuan yang lebih dalam."Kak," Chandra memberanikan diri. "Kakak percaya nggak sama cerita lonceng kematian itu?"Gracya terdiam sejenak, matanya menerawang. "Dulu n
Gracya menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya setelah malam penuh ketegangan di ruang arsip. Ia masih memikirkan dokumen-dokumen yang baru saja ia temukan—daftar pasien dengan kematian misterius, catatan tentang "Lonceng Kematian," dan tulisan tangan Bu Susan yang menyebutkan kuil tua sebagai asal mula lonceng tersebut. Namun, semua itu terpaksa ia simpan sementara waktu. Ada hal lain yang lebih mendesak: Chandra.Cowok itu kini duduk dengan wajah pucat di ruangan staf, memeluk lututnya seperti anak kecil yang baru saja melihat hantu. Gracya mengamati dari pintu ruangan, mencoba menahan tawa kecil yang muncul di tengah rasa lelahnya. "Anak baru ini benar-benar kena mental," pikirnya."Kak Gracya..." Chandra memanggil pelan, suaranya gemetar. "Boleh nggak saya duduk di sini aja sama Kakak? Jangan suruh saya balik ke ruangan staf sendirian lagi, ya?"Gracya mengangkat alis. "Kenapa? Bukannya tadi kamu cuma mau ke toilet?"Chandra mengangguk cepat, matanya melebar seperti an
Gracya tidak bisa tidur. Pikirannya terus berputar, memikirkan pertemuannya dengan Bu Ratri dan janji untuk bertemu di ruang arsip malam itu. Meski tubuhnya lelah setelah shift panjang di rumah sakit, pikirannya tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang mengganjal tentang perubahan sikap Bu Ratri—perempuan yang selama ini dikenal dingin dan tak pernah bersikap ramah tiba-tiba memberinya akses ke ruang arsip yang selama ini dijaga ketat. Apakah ini jebakan? Apakah ada maksud lain di balik sikap Bu Ratri?Gracya menghela napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Cuaca cerah siang itu tidak mampu mengusir kegelisahannya. Bahkan suara langkah kaki anak kos lain yang berjalan di lorong membuatnya mudah terkejut. Ia mencoba menenangkan diri, berusaha tidur, tapi bayangan tentang apa yang akan ia temukan di ruang arsip terus menghantui pikirannya."Ken
Jam di dinding menunjukkan pukul 5 pagi. Gracya masih terpaku pada jurnal Bu Susan yang terbuka di hadapannya. Matanya yang lelah menelusuri setiap kata, mencoba memahami misteri yang tersembunyi di balik tulisan tangan rapi mendiang Bu Direktur."15 April 2019 - Ratri semakin menjauh. Aku tahu dia kecewa, tapi ini demi kebaikan semua. Proyek Penyelamatan Besar tidak bisa dilanjutkan. Terlalu berbahaya..."Gracya mengernyitkan dahi. Ini entri ketiga yang menyebutkan nama Bu Ratri dan proyek misterius itu. Sebelum dia sempat membaca lebih lanjut, suara langkah kaki dan obrolan samar mulai terdengar dari koridor. Shift pagi sudah dimulai."Pagi, Kak Grace!" sapa Mbak Yuni, salah satu perawat senior. "Lembur lagi?"Gracya tersenyum tipis, dengan cepat menutup jurnal Bu Susan. "Iya nih, banyak yang harus dikejar."Saat itulah sosok Bu Ratri melewati ruangan dengan langkah tegap. Mata tajamnya sekilas melirik ke arah Gracya, dingin dan menusuk, sebelum berlalu tanpa kata."Bu Ratri masih s
Gracya duduk di meja kerja tua milik Bu Susan, jemarinya membelai perlahan sampul jurnal hitam yang mulai mengelupas. Suasana ruangan terasa dingin, lebih dingin daripada yang ia ingat saat terakhir kali membersihkannya. Udara di sekitar seperti menekan, menimbulkan perasaan was-was. Ia membuka halaman pertama jurnal itu dengan hati-hati, seolah takut setiap huruf di dalamnya akan membawa lebih banyak rahasia kelam.“Malam ini, mereka muncul lagi. Aku mencoba mengabaikannya, tetapi tatapan mereka selalu mengikutiku ke mana pun aku pergi. Tatapan yang memohon, bertanya, meminta jawaban.”Setiap kata terasa seperti jeritan yang terbungkam. Gracya menelan ludah dan melanjutkan membaca. Suasana di sekitarnya seolah berubah—udara semakin dingin, dan suara detak jarum jam di dinding terdengar semakin lambat, seperti menandai sesuatu yang tidak wajar.“Mereka selalu datang di lorong rumah sakit. Arwah-arwah itu tidak bersuara, tetap