Share

3. Zaki Satria Fajri

Zaki baru saja keluar dari kamar mandi kala ia mendengar pintu kamarnya diketuk perlahan. Mulanya, ia ragu. Ketukan itu terlalu lemah hingga membuat Zaki hampir merasa ia hanya salah dengar. Namun, di tengah suasana yang hening, suara itu justru semakin kentara.

“Siapa?” Zaki memberanikan diri bertanya. Seingatnya, tidak ada teman yang bilang akan berkunjung malam ini.

Rumah indekos Zaki lebih mirip bangunan rumah kontrak. Kamarnya terletak di baris paling depan dari pagar masuk, merupakan kamar pertama yang paling dekat dengan pintu pagar. Di barisnya, hanya ada tiga kamar. Zaki mengenal para penghuni dua kamar di sebelahnya. Yang satu seorang karyawan swasta, baru akan pulang di atas jam sembilan malam. Sedangkan pemilik kamar paling kanan merupakan mahasiswa baru yang tadi sore berpapasan dengannya saat ia pulang. Seingat Zaki, anak itu bilang akan menginap di indekos teman. Kecuali itu seseorang dari kamar di baris dalam—yang sudah pasti tidak terlalu dikenalnya—atau malah bapak penjaga yang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari sini, Zaki tidak memiliki dugaan lain dalam kepala.

“Siapa?” ulang Zaki, sedikit lebih keras karena pertanyaan sebelumnya tidak terjawab.

Lagi, tidak ada jawaban. Ketukan di pintunya justru semakin samar dan tidak beraturan. Dengan kening berkerut, lelaki itu membuka kunci kamarnya.

“Kai—” Zaki mengangkat tangan menutupi mulutnya di saat yang tepat. Ia memandang sosok di depannya tak percaya. “Lo ... ngapain?”

Gadis di depan Zaki tidak bicara. Tapi lelaki itu tahu ada yang tidak beres. Wajah Kaila pucat, rautnya tampak kesakitan.

“La? Lo nggak pa-pa?” Zaki kembali bertanya sembari memegangi kedua bahu gadis itu. “Lo kenapa ada di sini? Gue anter pulang, ya. Lo tunggu sini bentar, gue pinjem kunci motor sama Bapak Kos.”

Zaki hampir melesat meninggalkan Kaila jika saja gadis itu tidak segera mencengkram lengannya. Pergerakan Zaki terhenti. Matanya memandang Kaila penuh-penuh. Tapi gadis itu masih belum berkata apa-apa. Hanya kepalanya yang menggeleng perlahan.

“La....” Zaki merasa tenggorokannya kering. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan ini mengerikan. “Lo ... kenapa?”

“Kepala gue, Zak,” Kaila akhirnya menjawab, suaranya tidak lebih dari sekadar bisikan. “Sakit banget.”

“Makanya gue anter lo pulang—”

“Gue boleh di sini aja?”

Zaki membeku. Kaila masih memegangi tangannya. Sekilas, Zaki bisa merasakan suhu tubuhnya yang hangat. Tidak tega melihat bagaimana gadis itu terlihat sangat kesakitan, Zaki mengalah. Menulikan diri dari akal sehatnya sendiri. Ia sempat memeriksa sekitar beberapa kali sebelum mengangguk cepat.

“Ya, udah, ayo masuk dulu,” katanya, menuntun Kaila dengan memegangi bahunya.

Hal pertama yang Zaki lakukan kala mereka sampai di kamar adalah mengunci pintu. Bukan, ia bukannya berniat menjadi lelaki berengsek. Tapi, jika sampai ada yang tahu ia membawa teman wanita ke dalam kamar, penjaga indekos bisa mengusirnya saat ini juga.

“Duduk, La,” Zaki menuntun Kaila hingga duduk di tepi kasurnya. Satu tangannya lalu menyambar jaket, kaos, serta potongan pakaian lain yang masih berserakan di pinggiran tempat tidur, kemudian menyusupkannya asal-asalan ke dalam lemari di sudut ruangan. Diam-diam, Zaki bersyukur tidak ada hal-hal terlalu pribadi yang ia biarkan bergeletakan. Dengan berhati-hati, lelaki itu kembali menghampiri lalu duduk di sisi Kaila. Gadis itu sedang memegangi kepalanya dengan satu tangan.

“La,” panggilnya. “You okay?”

Terdengar suara ringisan. Kaila terlihat hampir menangis. “Sakit, Zak....”

Untuk sejenak, Zaki terdiam.

“Lo udah makan? Mau teh anget?”

Kaila menggeleng. “Gue ... boleh minta obat sakit kepala?” tanya gadis itu terbata. “Kalo lo ada. Kalo nggak, ya, udah.”

“Ada. Bentar.”

Lagi, Zaki bangkit berdiri. Kali ini menuju drawer mini di atas meja belajarnya. Ia membuka laci paling atas, menarik kotak obat sakit kepala dari sana lalu mengeluarkan satu papan blister yang isinya sudah tidak utuh. Lelaki itu kemudian membuka lemari bawah meja, mengambil gelas dari dalamnya untuk kemudian diisi air dari galon berpompa portable di salah satu sudut. Setelahnya, Zaki kembali ke sisi Kaila.

“Nih, La.”

Thanks,” bisik Kaila. Tangannya lekas menyambar pemberian Zaki, mengeluarkan sebutir tablet obat sakit kepala, lalu menelannya dengan bantuan segelas air. Napas Kaila terengah sedikit. Ringisannya masih terdengar. Zaki menatap khawatir sembari mengambil alih gelas di tangan Kaila. Kala melangkah menuju meja untuk meletakkan gelas, lelaki itu memikirkan sesuatu. Lama, sebelum ia akhirnya mengambil keputusan.

“Tiduran aja, La,” katanya, meraih selimut dari lemari. “Istirahat.”

Ini sudah malam. Menyuruh gadis itu beristirahat di kasurnya berarti membiarkannya bermalam hingga esok hari. Di sini. Di kamarnya. Zaki bimbang. Ia tidak tahu apakah keputusan yang diambilnya sudah tepat. Namun, melihat bagaimana Kaila begitu kesakitan, ia tidak sampai hati bahkan untuk sekadar membawa gadis itu memerangi dinginnya angin malam di jalanan demi mengantarnya pulang. Jadi, Zaki hanya berdoa banyak-banyak dalam hati agar jangan sampai ada yang mengetahui kehadiran Kaila dalam kamarnya malam ini.

“Tidur. Biar kepala lo enakkan.”

Zaki menyelimuti tubuh Kaila yang sudah berbaring di kasurnya. Sebelah tangannya tanpa sadar mampir mengusap kepala Kaila satu kali. Setelah melihat gadis itu memejam, Zaki menjauhi tempat tidur. Ia mendudukkan diri di satu-satunya kursi dalam ruangan. Sepasang matanya masih lekat mengawasi Kaila.

Barulah ketika ringis kesakitan Kaila tak lagi terdengar—berganti dengan deru napasnya yang teratur, pertanda gadis itu sudah tertidur—Zaki mampu bernapas lega. Lelaki itu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, melemaskan otot-otot yang sejak tadi menegang tanpa ia sadari. Sebuah pemikiran menghampiri benak Zaki. Membuatnya menjangkau ponsel yang terletak di meja, tak jauh darinya.

Zaki sudah membuka ruang obrolan dengan Kaisar ketika kemudian jemarinya berhenti bergerak.

Tidak.

Jika ia memberitahu Kaisar sekarang, hasilnya mungkin tidak akan baik. Biarlah besok saja, ia akan mampir ke fakultas Kaisar untuk bicara dengan lelaki itu. Hari ini sepertinya terlalu melelahkan untuk sepasang kembar itu, Zaki tidak akan mengganggu.

Setelah memutuskannya, Zaki meletakkan ponselnya kembali ke meja. Kedua kakinya ia angkat ke kursi hingga ia bisa meringkuk memeluk lututnya sendiri di atas kursi. Zaki menumpukan kepalanya pada kedua lututnya, dengan pandangan yang masih mengarah pada Kaila. Rasa kantuk mulai menyerangnya perlahan meski ini belum seberapa malam. Menyerah setelah beberapa saat, lelaki itu kemudian turun dari kursinya lalu mencari-cari sesuatu yang bisa ia jadikan alas tidur.

Malam ini, ia terpaksa tidur di lantai meski ini kamarnya sendiri.

***

Terbangun di kamar indekos seorang lelaki dengan kepala berat tidak pernah ada dalam bayangan seorang Kaila Rashi.

Gadis itu tersentak, nyaris segera bangkit duduk dalam gerakan cepat jika saja kepalanya tidak segera berdenyut dan membuatnya kembali merebah. Kaila diam sebentar, menetralisir sakit di kepalanya yang sudah jauh berkurang dibanding tadi malam. Ia ingat semuanya. Ia hanya sakit kepala, bukan mabuk dan tidak sadar. Tapi kesadaran itu cukup membuatnya takut. Perlahan, gadis itu menggerakkan kepalanya, menoleh ke sekeliling demi menjelajah isi kamar dengan matanya. Kamar indekos Zaki tidak seberapa besar, jadi Kaila tidak kesulitan mencari keberadaan si pemilik kamar.

Zaki berada tepat di seberang tempatnya tidur. Meringkuk di lantai beralaskan sajadah dan terbalut kain sarung. Tanpa sadar, Kaila bernapas lega. Jika bukan Zaki lelaki yang semalam ia datangi, mungkin saja pagi ini ia akan terbangun dalam keadaan tanpa busana. Tapi tubuhnya justru terbungkus selimut tebal. Selimut yang kemudian Kaila peluk sebentar sembari menguap.

Pelan-pelan, gadis itu bangkit ke posisi duduk. Kepalanya masih sedikit pusing, tapi rasanya lebih baik. Sembari menelengkan kepalanya, Kaila merogoh ponselnya yang mengganjal di saku celana. Ia kemudian menghidupkan layarnya.

5:57.

Kaila menghela. Pandangannya sekali lagi terarah pada Zaki kala mendengar dengkur halus lelaki itu. Tanpa sadar, Kaila tersenyum. Selimut yang tadi membungkus tubuhnya kini sudah ia lipat rapi dan ia letakkan di sebelah bantal. Kaki telanjangnya terasa dingin ketika menyentuh lantai, membuatnya sedikit berjengit. Pagi ini agak dingin. Kaila jadi merasa bersalah karena membuat Zaki harus tidur di lantai yang dingin. Perlahan, ia menghampiri Zaki lalu berjongkok di sisinya.

Niat Kaila membangunkan lelaki itu batal, berubah menjadi rasa canggung dan tidak enak. Gadis itu akhirnya memutuskan untuk duduk. Kepalanya sekarang terasa baik-baik saja. Ia sedang menimbang pilihan antara membangunkan Zaki atau membiarkannya kala kemudian ponsel Zaki berdering nyaring membuatnya terlonjak.

06:00

Alarm

Kaila mendengkus. Tangannya terjulur, berniat menghentikan bunyi berisik itu. Namun, entah mengapa, Kaila mendadak merasa tidak berhak. Bagaimana kalau Zaki memang sengaja memasangnya agar terbangun? Jika ia matikan sekarang, lelaki itu tidak akan bangun. Peperangan di benak Kaila terjadi dinaungi suara berisik yang mengusik gendang telinganya. Beruntung, sebelum ia sempat memutuskan, Zaki akhirnya bergerak.

Lelaki itu membuka mata, berbicara sesuatu yang tidak mampu Kaila terjemahkan—karena memang bukan susunan kata dalam bahasa manusia—, lalu bertemu pandang dengan Kaila hingga tersentak dan segera bangkit duduk.

Wajah Zaki yang sangat berbeda dengan yang biasa Kaila jumpai—matanya saat ini menyipit berat seolah menolak terbuka, ditambah sebagian besar rambutnya yang berdiri, khas orang bangun tidur—membuat gadis itu menahan tawa. Zaki mengusap kedua matanya beberapa kali, lalu menjangkau ponsel yang memang sengaja ia letakkan berdekatan dengannya selepas salat subuh tadi. Suara bising itu berhenti. Diganti kuap Zaki yang segera ia tutupi dengan tangan.

Untuk sesaat, baik Kaila dan Zaki sama-sama menghindari pandangan satu sama lain.

“Lo ...” Kaila berdeham sejenak. “... masang alarm sepagi ini, ada kuliah pagi?”

Zaki menggeleng. Matanya kemudian lekat menatapi Kaila. “Kepala lo udah mendingan?”

Kaila mengangguk. “Thanks,” katanya ragu.

Ganti Zaki yang mengangguk.

Lelaki itu kemudian bangkit berdiri sambil membenahi sarung dan sajadahnya. “Jangan duduk di lantai, La. Dingin. Pindah ke kasur aja, atau di kursi, tuh.”

Merasa canggung, Kaila menurut. Dalam hati, gadis itu mengeluh. Ia mengenal Zaki selama hampir sembilan tahun. Berteman baik dengannya dan merasa nyaman di sekitarnya. Jika setelah ini hubungannya dengan lelaki itu menjadi aneh hanya karena kebodohannya semalam, Kaila tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

Tapi Zaki tidak mengatakan apa-apa lagi, melainkan sibuk mengeluarkan sesuatu dari kolong tempat tidur. Kaila sempat mengernyit ketika menyadari itu kompor gas portable.

“Zak ...” panggilnya ragu-ragu.

“Itu di kantong plastik di atas meja ada roti, La. Lo makan, gih. Lumayan buat ganjel perut.”

“Tapi, Zak ...”

“Ini bentar, gue masakin air dulu, ya, buat bikin teh anget.”

“Zaki, lo ngapain?”

Gerakan Zaki terhenti. Kepala lelaki itu menoleh, matanya bertemu dengan iris kecokelatan milik Kaila.

“Lo sakit. Gue harus ngapain?” tanyanya balik, terdengar menantang.

Kaila seketika merasa bersalah.

“Gue ...” gadis itu memutus kontak mata. “I'm fine now.

Terdengar embusan napas. “Ya, udah. Anggep aja ini treat gue buat menjamu tamu tak diundang yang semalem tiba-tiba dateng ke kosan gue dan bikin panik semaleman.”

Kalimat itu diiringi senyum. Satu senyum khas Zaki yang segera Kaila kenali. Sebuah perasaan lega mengaliri seluruh sudut hati Kaila. Gadis itu ikut tersenyum.

“Sori,” katanya. “Gue semalem mau ke Ilma tapi masih jauh, terus kepala gue udah sakit banget. Nggak kuat.”

Zaki mengangguk. “Maafnya diterima dengan syarat.”

“Syaratnya?”

“Ambil roti di meja, terus lo makan. Sama ini, gue mau masak air. Lo mau teh, susu, atau sereal?”

Kaila mendengkus tertawa. “Kosan lo lengkap banget, ya? Kayak warung.”

“Ada alesan kenapa anak-anak selalu seneng nugas di kosan gue, La.”

Kaila lantas tertawa kecil, membuat Zaki ikut tersenyum.

Kalau Kaila boleh jujur, delapan tahun lalu, ketika ia pertama mengenal Zaki di kelas dua SMP, ia tidak terlalu menyukai anak laki-laki kurus yang lebih tinggi beberapa senti darinya itu. Zaki terlalu ramah untuk ukuran seseorang yang baru ia temui. Ditambah, gelarnya sebagai “teman Kaisar” membuat Kaila lekas berniat membencinya.

Tapi siapa yang akan mampu membenci seorang Zaki Satria Fajri?

Tidak ada.

Zaki anak yang baik. Ringan tangan dalam menolong orang lain. Ia tidak pernah ambil pusing tentang mereka yang bergosip di belakang punggungnya perihal alasan ia pindah sekolah. Sifatnya yang ramah dan mudah berbaur dengan lingkungan baru membuatnya tidak kesulitan beradaptasi meski ia siswa pindahan. Dan semudah itu pula, ia membuat Kaila menerimanya.

Kaila tidak tahu sejak kapan tepatnya, tapi ia menemukan kenyamanan berteman dengan Zaki. Seolah saudara kembarnya adalah Zaki, bukan Kaisar. Lelaki itu selalu bersedia mendengarkannya, tidak pernah menghakiminya, dan menghargai pandangannya. Zaki tidak mencampuri urusan orang lain dengan cara yang menyebalkan. Kalaupun ingin memberi pendapat, ia akan mengutarakannya dengan cara paling sopan yang membuat orang lain bersimpati.

Dengan pembawaan itulah, Zaki mampu mendamaikan Kaila dan Kaisar beberapa kali.

“Lo hari ini ngampus?” tanya Zaki sembari menggeser gelas kecil berisi teh hangat ke dekat Kaila. “Gula, nggak?”

“Nggak ada jadwal, sih,” Kaila menerima pemberian itu, lalu mengangguki tawaran gula. “Tapi kayaknya gue pengen ke Ilma dulu. Lo?”

“Kelas jam sepuluh.”

Kaila mengangguk paham. Tangannya kemudian mengaduk isi gelas yang telah diberi gula. Setelah menyesap tehnya dan merasakan kehangatan menjalari kerongkongannya, Kaila merasa sangat baik.

“Ke Ilma gue anter, ya?”

Tawaran itu mengandung kekhawatiran dan kepedulian yang tulus. Murni. Karenanya, satu senyum Kaila terbit dengan sendirinya.

“Kalo nggak ngerepotin,” balas gadis itu. Menyebabkan Zaki tertawa kecil.

Keduanya lantas menyelesaikan “sarapan” mereka dalam lebih banyak diam. Tidak, ini bukan hening yang canggung. Hening di antara Kaila dan Zaki sering kali merupakan hening yang sengaja diciptakan keduanya untuk memberi ruang bagi satu sama lain. Tidak ada dari mereka yang mempermasalahkan itu. Ketika kemudian Zaki bangkit berdiri membawa gelasnya, Kaila lantas mengikuti.

“Sekalian dicuci, nggak, Zak?” tawarnya, mengulurkan tangan meminta gelas di tangan Zaki.

Refleks, Zaki justru menjauhkan benda itu dari jangkauan Kaila. “Nggak usah, La. Masa tamu nyuci piring.”

Kaila tergelak. “Gue udah nyusahin lo dari kemaren, Zak. Sini, itung-itung gue balas budi.”

Zaki memutar bola matanya. “Udah, nggak usah. Nanti aja kapan-kapan gue minta ganti rugi. Yang lebih gede, lah. Enak aja cuma dibayar cuci piring doang.”

“Yee, ngelunjak!”

Keduanya terbahak bersama. Usai membereskan peralatan makan–lebih tepatnya, gelas-gelas kotor–dan memindahkannya ke tempat yang Zaki tunjukkan, Kaila berdiri bingung di tempatnya.

“Mau ke Ilma sekarang?” tawar Zaki, menyadari kelinglungan sang kawan. Kaila sempat memandang ragu, lalu menoleh pada jam di dinding kamar yang menunjukkan pukul tujuh lewat beberapa menit.

“Gue sendiri aja, nggak pa-pa, kali, Zak?”

“Tadi perasaan udah setuju gue anter?” Zaki bertanya dengan kening berkerut.

“Iya, tapi …” Kaila diam. “... setelah gue pikir lagi, lo kan, mau kuliah?”

“La, astaga, gue kuliah masih jam sepuluh!” Lelaki itu menepuk keningnya sendiri, mentertawakan Kaila. “Udah, ayo. Eh, tunggu …” Zaki berhenti, menatap penampilan Kaila dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Terjadi beberapa kali hingga si gadis merasa risih.

“Kenapa?” tanyanya, setengah takut.

Zaki tidak bicara. Lelaki itu lantas melangkah mendekati lemarinya, membuka pintu lemari, menyambar sesuatu dari dalam lalu mengangsurkannya ke arah Kaila. Membuat gadis itu mengernyit heran.

“Zak, gue nggak sakit. Lagian, di luar juga nggak dingin. Ngapain lo ngasih ja–”

“Di sini nggak boleh bawa temen cewek, La,” Zaki memotong, rautnya tampak serius—serius yang dibuat-buat. “Kalo anak kosan atau Bapak liat lo keluar dari sini, lo mau gue diusir? Atau kita diarak keliling kampung terus dikawinin?”

Kaila melongo sesaat.

“Sembarangan!” salaknya, sembari menyabet Zaki dengan jaket abu-abu di tangannya sementara lelaki di hadapannya tertawa geli. Kaila memandang ragu. Ketakutan yang asing tiba-tiba menyergapnya. Benar juga. Ia tidak–tepatnya belum–berpikir sampai ke sana sejak bangun tadi. Tapi kini, mendengar Zaki mengatakannya, membuat Kaila ngeri. Bagaimana kalau....

“Makanya, ikutin saran gue,” sahut Zaki, seolah baru saja membaca pikiran Kaila. Lelaki itu kembali berlalu, kali ini menuju mejanya. Kaila bisa melihat Zaki mengambil sebuah topi dari sana. “Nih,” katanya lagi, tahu-tahu mendaratkan topi hitam itu di kepala Kaila. “Rambut lo dikuncir atau gimana, kek, masukin topi biar nggak keliatan panjang.”

Zaki mundur beberapa langkah, tangannya lalu terlipat di dada, mengawasi Kaila yang masih berdiri canggung di tempatnya. Gadis itu melepas topi dari kepalanya, lalu memandangi topi serta jaket di tangannya bergantian. Tatapannya putus asa. Ia kemudian mengangkat pandangan, bertemu dengan sorot Zaki.

“Zak, …”

“Buru. Udah setengah delapan nih, gue kuliah jam sepuluh.”

Kaila mendengkus. Zaki Satria dan segudang caranya untuk membuat Kaila tersudut. Anehnya, gadis itu tidak pernah benar-benar merasa kesal dengan tingkah laku Zaki. Pun hari ini. Maka perlahan, Kaila mulai mengenakan jaket abu-abu kebesaran itu. Lengan jaketnya menjuntai menutupi ujung tangan gadis itu. Kaila memandang Zaki sangsi, tapi tatapan Zaki tidak berubah. Kaila menghela lalu merapikan ikatan rambunya. Ia membentuknya sedemikian rupa mengikuti perintah Zaki. Setelah selesai, tatapan mereka kembali bertemu.

Zaki masih tidak bicara. Lelaki itu kembali meneliti penampilannya dengan seksama.

“Mirip cowok,” cetusnya kemudian, diikuti cengiran.

Kaila mendesah lega. Untuk sesaat membuat gestur seolah hendak memukul atau melempar Zaki dengan sesuatu, menyebabkan si lelaki tergelak geli. Zaki mengambil jaketnya yang lain, yang biasa ia gunakan ketika keluar indekos untuk mencari makan atau mencetak tugas. Diam-diam merasa bersyukur ia tadi sempat menahan diri. Yang sebenarnya ingin Zaki suarakan tadi adalah bahwa ia baru saja melihat kemiripan Kaila dengan Kaisar. Tentu, Kaila tidak akan suka jika ia menyuarakan gagasan itu.

“Udah? Yuk?” ajak Zaki sembari mengantungi ponselnya di saku celana. “Jalan kaki atau gue perlu minjem motor–”

“Jalan aja, Zak,” potong Kaila cepat. Ia sudah terlalu banyak menyusahkan Zaki.

Zaki mengangguk menyetujui. Kemudian berjalan mendahului menuju pintu. Satu tangannya menyingkap tirai perlahan, memastikan keadaan.

Aman, pikirnya. Halaman depan tampak sepi. Para mahasiswa yang biasa memiliki kelas pagi hari, seharusnya sudah berangkat sejak setengah jam yang lalu. Bapak penjaga indekos baru akan berkunjung setengah jam lagi. Kecuali sedang bernasib sangat sial, situasi saat ini seharusnya aman.

Jadi, Zaki memutar kunci. Menarik pintu kamarnya terbuka perlahan, mengantisipasi. Di belakangnya, tanpa sadar, Kaila menahan  napas. Berusaha bergerak senatural mungkin, Zaki keluar kamar, diikuti Kaila. Ia kemudian mengunci kembali kamarnya, sembari berusaha tidak menatap sekeliling agar tidak perlu bertemu pandang dengan siapapun dan terpaksa berbasa-basi. Selesai. Zaki mempersilakan Kaila berjalan lebih dulu. Nyaris memegang tangan gadis itu kala tersadar gestur kecilnya akan menimbulkan kecurigaan. Tersenyum sendiri, Zaki mengalihkan tangannya, menjadi merangkul leher Kaila, bersikap sok akrab layaknya dua sobat lelaki. Kaila berjengit sebentar, sebelum kemudian menoyor kepala Zaki yang berada di sisi kepalanya. Keduanya tertawa bersama, keluar dari halaman rumah indekos tanpa terlihat oleh siapa-siapa.

Kecuali satu sosok yang bersembunyi tepat di balik tembok samping pagar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status