Share

2. Racun Hati

Girls, gue balik duluan, ya,” pamit Resya setelah sempat berkutat memeriksa ponselnya. Satu tangan gadis itu melambai ke arah para sahabatnya sementara satu yang lain masih memegang ponsel yang mendadak bergetar.

“Buru-buru amat, udah ditungguin Mas Pacar?” goda Ilma sembari membalas lambaian Resya.

Resya hanya tertawa kecil. Ia sudah bangkit berdiri kala matanya menangkap tatapan Kaila mengarah padanya. Tawa Resya lantas berubah menjadi cengiran.

“Mana Mas Pacar, kenalin ke kita, dong, Re. Biar bisa nongki bareng sekalian gue ospek,” celetuk Kaila, nadanya bercanda. Namun, diam-diam, gadis itu memang penasaran perihal jati diri dari kekasih sang karib. Pasalnya, sudah tiga bulan berjalan sejak Resya sering kali pamit pulang lebih awal ketika mereka sedang bersama, seolah memang ada orang lain yang juga memenuhi waktunya—seseorang yang tidak Kaila dan Ilma ketahui. Tiap kali menerima pertanyaan, Resya tidak pernah mengiyakan pun mengelak. Gadis itu pasti hanya akan tertawa kecil, mengalihkan topik, lalu kembali pamitan dan cepat-cepat berlalu. Mengenal Resya dengan sangat baik sejak tingkat satu, kedua sahabatnya tidak pernah memaksanya bercerita. Hanya godaan-godaan ringan seperti tadi saja yang kerap mereka lontarkan.

“Nanti, ya, girls. Mas Pacar masih takut sama Kanjeng Ratu Kaila,” balas Resya jahil.

“Idih, emang gue apaan? Kok ditakutin? Emang gue kenal?” tanya Kaila bertubi-tubi, terdengar tidak terima.

“Lo tanya satu fakultas, Kai. Siapa yang nggak kenal lo?”

“Sumpah, Mas Pacar anak FE juga?” pekik Kaila, merasa memperoleh petunjuk besar. Ini kali pertama Resya mengakui secara gamblang bahwa sosok seseorang yang sering mereka bicarakan itu memang nyata.

“Bukan, sih,” ringis Resya. Kaila mendengkus sementara Ilma geleng-geleng kepala. “Udah, ih, gue mau balik. Dah, Kai. Dah, Ilma. Semangat revisiannya sayang-sayangku!”

Lalu gadis itu lekas bergegas, meninggalkan dua kawannya yang masih menatapi kepergiannya dengan heran.

“Beneran punya pacar si Rere?” tanya Kaila, setelah sosok yang bersangkutan hilang dari pandangan. Ilma angkat bahu.

“Nggak pernah cerita, sih, dia,” jawabnya, lalu menoleh penuh pada Kaila. “Kai mau balik kapan?”

Kaila mendongak menatap Ilma. Pandangannya kemudian turun pada layar laptop yang masih menyala. Merasa sia-sia—dan sedikit sakit kepala—gadis itu mendesah pelan. “Ilma mau balik sekarang?”

Yang ditanya mengangguk. “Iya, nih. Mau revisian di kosan aja. Udah sore juga. Yuk?”

“Ya, udah, deh,” putus gadis itu akhirnya.

Keduanya lantas merapikan barang bawaan masing-masing. Setelahnya, meninggalkan area kantin fakultas dalam diam. Kaila masih sibuk dengan pikirannya sendiri sementara Ilma tampak tidak ingin mengganggu. Kala sampai di halte depan fakultas, Ilma menoleh pada kawannya.

“Kai balik sendiri nggak pa-pa? Mau naik kereta atau mesen ojek?”

Kaila tersenyum tipis. Kepalanya menggeleng. “Naik kereta aja, Ma. Ilma mau langsung jalan atau nunggu bis?”

Berbeda dengan Kaila dan Resya yang pulang-pergi antara rumah dan kampus setiap harinya, Ilma menetap di rumah indekos yang berlokasi dekat dengan kampus. Ia biasa menggunakan bus khusus dalam kampus sebagai sarana transportasi sehari-hari untuk mobilisasi. Tidak jarang pula berjalan kaki karena jarak ke fakultasnya pun masih bisa ditempuh dengan jalan kaki.

“Kalo Kai naik kereta, ya udah gue ikut nunggu bis aja. Yuk, duduk!”

Ilma menarik Kaila duduk di halte yang cukup lengang, menanti bus kampus yang biasa lewat tiap lima belas sampai dua puluh menit sekali. Kaila mengikuti Ilma, duduk di sisi gadis itu sembari mendengarkan obrolan-obrolan ringan yang Ilma lontarkan. Menanggapi sesekali sambil menyembunyikan rasa berdenyut yang kian terasa di kepalanya.

Kaila menghela. Agaknya, hari ini benar-benar bukan harinya.

***

Ketika Kaila membuka pintu rumah, hanya suasana hening yang menyambutnya. Lampu-lampu rumah yang biasa dinyalakan di malam hari, semua belum menyala meski kini langit sudah hampir gelap. Mengira tidak ada orang di rumah, Kaila menyalakan lampu teras serta lampu ruang tamu. Gadis itu lalu menutup pintu depan dan melangkah melewati ruang tamu, menuju ruang tengah.

“Mama sama Papa nggak pulang. Nginep di Karawang, jenguk Mbak Nia abis lahiran.”

Kalimat datar itu menyambut Kaila kala kakinya hampir menapaki anak tangga pertama. Ia berhenti melangkah, cukup terkejut menyadari Kaisar sudah di rumah—dan tidak menjalankan tugas menyalakan lampu. Pemikiran itu membuat Kaila kesal hingga tanpa sadar ia mendengkus pelan.

Berniat mengabaikan suara Kaisar, Kaila meneruskan langkah. Namun, belum ada satu langkah penuh ia ambil, sosok Kaisar yang tadinya sedang merebah di sofa mendadak bangkit duduk lalu menoleh ke arahnya. Bukan itu yang kemudian kembali menghentikan langkah Kaila. Tapi suara Kaisar yang terasa menggema di ruangan yang hening, serta di dalam kepala Kaila yang masih berdenyut.

“Zaki bilang, lo udah tahu soal gue ditawarin ke YC,” ada nada aneh di suara Kaisar yang tidak Kaila pahami. Namun, mengenal saudaranya itu sejak di rahim Mama, Kaila menyimpulkan bahwa Kaisar hanya sedang ingin menyombongkan diri. Karenanya, gadis itu menoleh penuh pada si lelaki dengan raut sinis.

“Gue nggak peduli,” sambarnya, menatap lurus pada sepasang mata Kaisar yang irisnya berwarna kecokelatan alami, persis miliknya.

“Dosen pembimbing gue cuma nawarin rekomendasi. Itu juga proses rekrutmennya tetep nunggu gue resmi lulus dulu, La. Bukan berarti gue udah fix pasti diterima di sana.” Kaisar melanjutkan kalimatnya seolah Kaila tidak pernah menginterupsi. Darah Kaila mendidih. Sakit kepalanya semakin hebat. Pegangannya pada tali tas laptop menguat, menjelma cengkraman.

“Gue bilang, gue nggak peduli,” ulang Kaila dalam desisan, menahan marah.

Ayolah, memangnya Kaila peduli apa soal kehidupan Kaisar? Sedikit pun, ia tidak pernah mau tahu. Bagaimana adik kembarnya itu tidak pernah mengulang mata kuliah, masih mampu mempertahankan Indeks Prestasi Kumulatif di atas standar cum laude hingga sekarang, diterima menjadi asisten dosen beberapa kali hingga memiliki networking yang baik dengan dosen-dosennya—sungguh, Kaila tidak pernah peduli dengan semua pencapaian Kaisar semasa kuliah. Apalagi perihal keberuntungannya. Lantas, mengapa anak itu harus menyombongkan keberuntungan itu di hadapannya?

Well,” Kaisar mengangkat bahu. “Just want to clear things up. Everybody knows YC is your dream company.

Cukup sudah.

York & Carten atau yang lebih dikenal sebagai YC, merupakan salah satu Kantor Akuntan Publik bertaraf internasional yang juga masuk jajaran Big Five, yaitu lima besar konsultan akuntansi dan pajak terbaik di dunia. Sejak tahun-tahun awalnya di jurusan Akuntansi, Kaila memimpikan YC untuk menjadi tempatnya kelak meniti karir. Ia mempertahankan angka-angka serta indikator huruf di calon transkripsi nilainya sejak tahun pertama, menempa diri dengan segudang pengalaman dan aktivitas organisasi, membangun jaringan, mencari informasi, tapi kenapa selalu hanya Kaisar yang memperoleh jalan mudah? Seolah perjuangan Kaila selama ini tidak berarti apa-apa. Mengapa semesta memberi kesempatan emas hanya pada Kaisar?

Cukup sudah.

Isi kepala Kaila yang kusut membuatnya muak. Ia sudah merasa tidak suka kala mengetahui jurusan kuliah yang Kaisar pilih hampir empat tahun lalu adalah jurusan yang akan sangat mungkin bersinggungan dengan jurusan pilihannya. Dan kini, ketidaksukaan Kaila mendadak menggunung memenuhi dirinya, membuatnya merasa ingin meledak. Apalagi, melihat ekspresi sok Kaisar serta gestur tubuh lelaki itu. Kaila merasa sedang diremehkan.

“Lo tuli atau tolol?” Gadis itu mendesis lagi, kepalanya kian berdenyut menyakitkan. “GUE NGGAK PEDULI SAMA HIDUP LO, KAISAR!”

Teriakan Kaila bergaung memenuhi ruang hening di sekitar mereka. Kaisar tersentak sebelum menoleh cepat memandang kakak kembarnya. Raut lelaki itu berubah marah, sepasang alisnya bertaut.

“Lo kenapa, sih? Nggak waras? Gue ngomong baik-baik, ngapain lo teriak-teriak?” balas Kaisar. Nadanya meninggi. Ia kini bangkit berdiri, menghadap Kaila yang masih tegak di kaki tangga.

“Lo yang kenapa!” tuduh Kaila lagi. “Cuma karena lo selalu dapet apa yang lo mau, nggak berarti lo harus pamerin semuanya, Berengsek!”

Kaisar mendengkus. Ia terbiasa mengalah jika Kaila mulai berulah. Namun, hari ini, baginya Kaila sudah keterlaluan.

“Hati lo busuk, La,” cetus Kaisar. Kalimat itu diucapkan nyaris tanpa emosi, namun cukup tepat sasaran. “Hati lo beracun.”

“TAHU APA LO SOAL HATI?”

Kaila merasakan kepalanya dipukul dari dalam. Sakit yang ia rasakan semakin menyiksa seiring dengan setiap teriakannya. Pandangan gadis itu nyaris mengabur. Napasnya terengah. Berusaha menyembunyikan kesakitan, Kaila kembali menatap Kaisar.

“Orang nggak punya hati kayak lo nggak berhak ngomong soal hati,” tandasnya.

Kemudian hening.

Di antara denyut kepalanya, Kaila bisa melihat Kaisar memutar bola mata.

“Cewek gila.”

Dan dengan kalimat singkat itu, Kaisar berlalu menuju kamarnya. Meninggalkan Kaila yang masih mematung dengan tubuh gemetar—antara menahan rasa sakit dan amarah. Pintu kamar Kaisar terbanting menutup. Menyisakan sang kakak kembar yang menatapi pintu tertutup itu cukup lama, hingga kemudian menghentak gusar lalu berlari ke luar rumah.

Dari kamarnya, Kaisar bisa mendengar suara pintu depan yang dibanting serta pagar yang dibuka lalu ditutup kembali dengan berisik. Kaisar tahu Kaila meninggalkan rumah. Tapi ia tidak bisa bersimpati. Apa yang Kaila katakan hari ini benar-benar sudah kelewatan. Jadi, lelaki itu hanya menghempaskan diri ke kasurnya. Napasnya terembus lelah. Ia menatap langit-langit kamar sebelum mengangkat sebelah tangan untuk menutupi matanya.

Persetan dengan pesan Papa yang menyuruhnya menjaga Kaila di rumah. Kaisar tidak peduli. Kakaknya itu sudah besar. Pasti tidak akan apa-apa. Paling-paling, Kaila pergi ke rumah Resya atau rumah indekos Ilma. Memangnya ke mana lagi gadis itu akan melarikan diri?

Tidak penting, sungut Kaisar dalam hati.

Maka lelaki itu menyamankan dirinya dalam rebah, berniat tidur sebentar dalam beberapa menit ke depan.

Kaisar tidak tahu, kalau Kaila meninggalkan rumah tanpa membawa apa-apa. Gadis itu membiarkan tas dan barang-barangnya berserakan di kaki tangga, dan hanya membawa serta ponselnya di saku celana.

***

Di antara keramaian orang yang berlalu lalang, Kaila merasakan dirinya bisa pingsan kapan saja. Sakit di kepalanya belum berkurang—malahan bertambah parah jika masih bisa dikatakan demikian. Gadis itu berusaha meneruskan langkahnya pelan-pelan. Ia tidak ingat bagaimana tadi ia mampu berlari meninggalkan rumah, kembali ke stasiun, bertahan dalam kereta yang penuh sesak di jam ramai, turun di stasiun kampusnya lalu berjalan kaki cukup jauh hingga kini memasuki area pemukiman di belakang kampus—tempat deretan rumah indekos berjajar bersama rumah-rumah warga.

Kaila menghentikan langkahnya sejenak. Tangannya bertumpu pada pilar penyangga atap sebuah warung makan yang tutup. Gadis itu berusaha bernapas pelan-pelan, berniat mengusir sedikit saja rasa sakit yang membuatnya nyaris menangis. Tapi nihil. Sakitnya tidak juga berkurang. Kaila tidak tahu apa yang salah atau mengapa tiba-tiba ia mengalami sakit kepala sehebat ini. Ia hanya tahu, ia tidak mampu berjalan lagi.

Kaila mengangkat kepala, melihat sekeliling. Dengan sisa tenaganya, ia berusaha mengenali sekitar. Ini belum dekat. Rumah indekos Ilma—tempat yang ia tuju—masih berjarak beberapa blok dari sini. Kaila tidak akan sanggup. Jadi, sembari mencengkram pilar, gadis itu berusaha berpikir. Ringisannya samar terdengar. Kaila bisa merasakan tatapan aneh dari orang-orang yang kebetulan melewatinya. Namun, ia tidak peduli. Ia hanya perlu memikirkan apa yang harus ia lakukan saat ini.

Lalu, di sela sakit yang begitu menyiksa, kepalanya mendadak memunculkan satu ingatan. Sesuatu yang membuat Kaila sekali lagi mengedarkan pandangan sembari mencoba mengingat-ingat. Perlahan, gadis itu melepaskan pegangannya pada pilar. Ada satu tujuan lain yang jauh lebih dekat dengan tempatnya saat ini dibanding indekos Ilma. Kaila hanya perlu berdoa tujuannya itu belum berganti pemilik. Dan semoga, tidak akan menimbulkan masalah apa-apa.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status