Share

4. Sapaan-Sapaan Asing

“LO SEMALEM NGINEP DI KOSAN–” Resya menutup mulut lalu melirik sekeliling. Tubuhnya merunduk sedikit. “–Zaki?”

Kaila memutar bola matanya malas sementara Ilma memukul lengan Resya, menyuruhnya diam. Ketiganya sedang berada di ruang baca lantai dua perpustakaan pusat. Tidak seperti ruang diskusi yang cukup ramai, ruang baca cenderung sepi di siang hari. Selain rak-rak buku besar yang menjulang hingga atap, tidak ada orang lain di sekitar mereka sejauh mata memandang. Kecuali mungkin, di balik salah satu rak buku itu.

“Anjrit,” Resya bertepuk tangan girang, membuat Ilma memelototinya garang. “Sumpah, Kai? Zaki yang itu?”

“Zaki yang itu,” jawab Kaila malas.

“Zaki Satria?”

“Zaki Satria.”

“Bahan bagus, nih, buat gosip hangat FE,” gadis itu menyahut, cepat menyambar ponsel lalu menyalakan layarnya. Resya mendadak sibuk dengan ponselnya hingga tidak menyadari Kaila menatapnya terperangah.

“Wanita ular,” dengkus Kaila kesal. “Bisa-bisanya urusan temen sendiri lo goreng juga jadi gosip?”

Resya nyengir. Layar ponsel di tangannya menggelap, sebelum benda itu kembali ke atas meja dengan layar menghadap ke bawah. “Bercanda, Sayang. Cuma gue gosipin sama Mas Pacar.”

“Resya!”

Resya lantas tertawa menyebalkan, seolah merasa senang sudah berhasil menyulut kekesalan Kaila. Di antara keduanya, Ilma hanya geleng-geleng kepala. Sebelum sebuah kesadaran melintas di kepala gadis itu.

“Mas Pacar emang kenal Zaki, Re?”

“Nggak, sih,” Resya menjawab santai, menyadari tatapan Kaila terkunci padanya. Jelas, Kaila juga penasaran tentang hal yang sama. “Nggak tahu juga. Bisa kenal, bisa nggak. Guess it!” lanjutnya jahil.

Kaila sudah hampir melempar pulpen ke arah Resya jika saja Ilma tidak lebih dulu mendaratkan satu pukulan di lengan Resya.

“Udah, ah. Lagian itu nggak kayak yang lo pikir, anjir,” keluh Kaila, kepalanya mendadak pening akibat reaksi berlebihan sahabatnya.

“Emang gue mikir apa? Hm?” goda Resya, kedua alisnya dinaik-turunkan. Membuat telapak tangan Kaila mampir demi meraup wajahnya. Resya lantas tergelak senang.

“Udah, ih, Re. Katanya mau revisian. Malah ngegosip,” timpal Ilma.

“Jadi gimana, Kai?” Resya kembali bersuara seolah Ilma tidak mengusiknya.

“Gimana apanya?”

“Ya, … gimana pendapat lo?”

“Pendapat apa, sih?” Kaila mendelik.

Resya tertawa genit. “Pendapat setelah menghabiskan malam bersama Zaki?”

“Resya!”

Itu suara Ilma. Sebatang pulpen menyambut kening Resya, membuatnya mengaduh. Kaila yang masih menganga lantas menggelengkan kepala.

“Kotor banget isi kepala lo. Belajar di mana, sih?” sungutnya.

Resya terbahak. Gadis itu terpaksa membungkuk sedikit demi memegangi perutnya. Ketika kemudian berusaha kembali menegakkan diri, Resya menatap kawannya satu per satu.

“Lo yang pada kotor, anjir!” tuduhnya, masih setengah tertawa. “Maksud gue tuh, ya, lo nggak ada rasa apa gitu, Kai? Zaki cakep loh, jujur aja, nih. Charming dia tuh, generally. Dia juga baik sama lo. Like, sebaik itu! Lo nggak baper apa?”

Kaila mendongak, menatap Resya. Kawannya itu tampak tidak sedang bercanda, meski masih menunjukkan cengiran. Tatapan Kaila lalu mengarah pada Ilma, yang tengah menatapnya balik, dengan sorot penuh arti, namun berakhir mengangkat bahu.

You mean, …” Kaila menimbang beberapa saat. “… like, romantically attracted to him?”

Resya mengedik. “Mungkin. Cowok potensial, loh, Zaki, tuh. Denger-denger, dia juga dulunya pernah sekolah atlet, ya?”

“Apa hubungannya sama ini?” timpal Ilma dengan kening berkerut.

“Cowok kalo jago olahraga, bisa musik, treat women with respect, beuh…” Resya mengibaskan tangannya di dekat leher. “… perfect!”

Ilma mengeluarkan suara ingin muntah sementara Kaila memutar bola matanya.

“Itu mah, tipe cowok lo aja, Re!”

“Ye, sialan!” sergah Resya, berusaha membela diri. “Tapi serius, nih, Kai, lo nggak tertarik sama Zaki?”

Kaila terdiam, mencerna. Ini sebuah gagasan yang terdengar baru. Ia mengenal Zaki begitu lama hingga rasanya tidak mungkin ada perasaan lain selain apa yang biasa ia rasakan terhadap lelaki itu–perasaan pertemanan, kepedulian antar sahabat. Tapi, mendengar penuturan Resya, mungkinkah….

“Nggak, ah, Re,” putus Kaila akhirnya. “Lagian gue lagi nggak mau mikirin begituan. Ribet!”

“Emang cuma lo doang, Re, yang lagi semester genting gini malah jadian,” ledek Ilma.

Resya mengibaskan rambutnya. “Gue butuh supporter buat menghadapi skripsi.”

“Emangnya lagi tanding bola, pake supporter segala.”

“Ya, udah, anggep aja investasi pendamping wisuda.”

“Sumpah, Resya, mulut lo!”

Ketiganya lantas terkikik pelan-pelan. Kaila memukul lengan Resya beberapa kali sembari tertawa. Setelah tawa mereka mereda, Resya menghela napasnya dalam-dalam.

“Kalo gue belom punya Mas Pacar, udah gue gebet, deh, si Zaki.”

“Masih dibahas aja, anjir!”

Resya terkekeh. Gadis itu lalu mengangkat tangan, tanda menyerah. Kaila mengipasi dirinya sendiri, berusaha menenangkan diri dari efek tawa barusan. Ia menggelengkan kepala, niatnya mencari tambahan referensi untuk skripsinya malah jadi terganggu akibat ulah teman-temannya. Gadis itu lantas bangkit berdiri.

“Kai, mau ke mana?” tanya Ilma.

“Gue mau nyari referensi dulu, ah. Ngegosip mulu sama kalian, nggak kelar-kelar skripsi gue.”

“Dih, nyalahin kita. Ini jadi ngegosip juga gara-gara lo sama Zaki,” tuduh Resya.

Kaila mendengkus sebelum beranjak meninggalkan meja mereka, menuju deretan rak-rak buku tinggi.

Kaila mendekati salah satu rak demi melihat nomor direktori di sisi rak. Ia kemudian mencoba mengingat nomor direktori tujuannya, yang sudah lebih dulu ia cari di komputer pencari ketika baru memasuki perpustakaan tadi. Langkah Kaila melebar karena rak yang ia tuju masih berjarak tiga lorong lagi. Setelah sampai, gadis itu berbelok, memasuki salah satu lorong. Tangannya menyusuri nomor sub-direktori di setiap baris rak buku, sebelum berhenti di satu tempat. Seorang lelaki berdiri tak jauh dari tempatnya, tengah membaca sebuah buku. Kaila melirik sekilas, lalu meneruskan pencariannya sendiri.

Tapi buku yang dicarinya tidak berada di tempat semestinya.

Kening Kaila berkerut. Menurut data di komputer pencari, buku yang ia inginkan masih tersedia untuk dipinjam. Meski seingat Kaila, jumlah buku itu memang hanya satu. Tapi, kenapa….

Pandangan Kaila bergerak ke sekitar kemudian berhenti di lelaki yang tadi berdiri beberapa meter darinya. Lelaki itu kini tak lagi membaca, melainkan sedang melihat-lihat isi rak di sebelah bagian yang sedang Kaila cari. Namun, buku yang tadi dibacanya masih ia bawa di tangan. Dan Kaila seketika tercenung kala melihat sampulnya.

“Eh, sori,” tegur Kaila, mengusik lelaki tadi. Yang ditegur menoleh heran.

“Gue?” tunjuknya pada diri sendiri.

Kaila mengangguk cepat. “Buku itu,” ia mengedik pada buku di tangan si lelaki. “Mau dipinjem?”

Ada jeda di mana si lelaki menatap sampul buku di tangannya sebelum kembali memandang Kaila. “Niatnya, sih. Kenapa?”

“Oh,” Kaila mengangguk, memasang senyum yang ia harap tidak terlihat canggung. Meski dalam hati gadis itu tengah menggerutu. Jika saja ia tidak menanggapi Resya dan segenap omong kosongnya dulu tadi, ia pasti akan lebih dulu mendapatkan buku itu. “Nggak. Nggak pa-pa.”

“Lo mau pinjem ini juga?” Lelaki itu mengangkat buku berjudul “Akuntansi Manajemen Sektor Publik” itu hingga sampulnya menghadap ke arah Kaila.

“Tadinya. Tapi nggak jadi.”

“Karena keduluan gue?”

Kaila mengernyit samar, kurang menyukai nada yang digunakan lelaki asing tadi. “Bisa dibilang gitu.”

Si lelaki tersenyum. Pandangannya kini mengarah pada buku di timangannya. “Gue cuma butuh buat referensi minor, sih. Kalo lo nggak keberatan, boleh temenin gue sebentar sekalian nungguin gue nyalin bagian yang pengen gue kutip dari buku ini? Kebetulan gue bawa laptop, dan gue liat tadi di pojok sana masih ada meja yang kosong.”

Kernyitan Kaila kini tak lagi samar, gadis itu terang-terangan menunjukkannya. Ia menatap si lelaki asing yang masih tersenyum memandangnya, lalu mendengkus pelan.

“Nggak perlu. Saya bisa cari buku lain aja. Thanks.”

Kaila berbalik, berniat mengambil langkah seribu untuk menghindari lelaki aneh di hadapannya. Namun, langkahnya terpaksa terhenti akibat panggilan yang memintanya menunggu. Tanpa berbalik, Kaila mematung di tempatnya, menimbang apakah ia harus terus atau kembali menghadap sosok di belakangnya.

Pada akhirnya, Kaila tidak perlu mengambil keputusan, karena lelaki itu yang justru mendekatinya, berjalan ke hadapannya.

“Nih,” ia mengulurkan buku di tangannya pada Kaila. “Lo aja yang pinjem. Lo keliatan lebih butuh.”

Ini sudah tidak lucu.

Mengapa perihal pinjam-meminjam buku saja menjadi serumit ini?

“Kan, saya udah bilang nggak perlu? You got it first, you go take it,” ketusnya. “Sekarang, kalo nggak keberatan, boleh tolong biarin saya pergi?”

Senyum menyebalkan itu terbit lagi. Kali ini, uluran bukunya berganti menjadi uluran tangan. “Fano.”

Hening. Kaila memandangi wajah lelaki itu serta uluran tangannya bergantian. Gadis itu tidak ingin repot-repot menyembunyikan dengkusan kesalnya sepersekon kemudian.

“Saya nggak sembarangan ngasih nama ke orang asing, maaf. Dan permisi.”

Kali ini Kaila bergegas pergi, nyaris setengah berlari. Dalam hati, gadis itu bertekad tidak akan berhenti lagi meski jika lelaki yang mengaku bernama Fano-Fano itu kembali memanggilnya. Beruntung, lelaki itu nampaknya sudah memutuskan untuk tidak mengusiknya. Hingga Kaila bisa mengembuskan napas lega ketika kembali mendudukkan diri di kursi yang tadi ia tinggalkan–bersama dua temannya.

“Kenapa lo? Kok tegang gitu?” tanya Resya, mengalihkan atensi dari layar laptop.

Kaila menggeleng. “Nggak. Capek aja, raknya jauh.”

Resya mendengkus. “Mana, katanya mau cari referensi? Kok nggak bawa apa-apa? Nggak jadi minjem buku?”

“Balik aja, yuk? Bukunya nggak avail. Udah keburu ada yang minjem kayaknya.”

Suara ketikan di keyboard laptop Ilma yang sejak tadi melatarbelakangi percakapan mereka mendadak hilang. Jemari gadis itu berhenti bergerak, menggantung beberapa senti di atas keyboard-nya. Ilma mendongak, rautnya sedikit kecewa.

“Balik, nih?”

“Sori, Ma. Takut kesorean gue baliknya. Gue juga lagi nggak bawa laptop, kan,” ringis Kaila, memasang senyum minta maaf. Tentu saja, Kaila tahu rasanya diusik ketika inspirasi menulis skripsi sedang sangat lancar–sangat menyebalkan. Tapi, mau bagaimana lagi? Ia kemari tanpa membawa laptop atau barang-barang apa pun, berangkat dari indekos Ilma hanya dengan niat meminjam buku. Jika niatnya itu tidak dapat terlaksana, untuk apa lagi ia tetap berada di sini?

“Atau lo balik sendiri aja gimana, Kai? Gue juga lagi nanggung, nih. Mumpung penghuni perpus lagi ngidupin lampu di kepala gue,” cetus Resya, mendongak sekilas lalu kembali sibuk mengetik sesuatu. Menyebabkan tangan Kaila lantas terjulur mendorong sisi kepalanya.

“Kalo ngomong yang baik-baik aja kenapa,” sungut Kaila. “Diikutin beneran sama penunggu perpus baru tahu lo!”

“Idih, amit-amit!”

Ilma tertawa kecil, terlalu terbiasa dengan pertengkaran tidak penting kedua sobatnya. Sementara Kaila, gadis itu mengembuskan napas. Matanya menjelajah ke sana kemari, sesaat, sebelum ia akhirnya bangkit berdiri.

“Ya, udah, deh. Gue balik duluan aja,” putusnya.

Resya seketika mengangkat kepala. “Serius? Eh, gue bercanda doang, anjir, tadi!”

“Serius. Udah, nggak pa-pa, Re. Lo sama Ilma terusin aja, mumpung mood. Jangan pacaran mulu lo! Biar bisa wisuda bareng, nih, kita,” ucap Kaila, mengantungi ponselnya di saku celana. Ia lalu tersenyum, meski dalam hati merasa sedikit tidak tenang. Bagaimana jika ia kembali bertemu si Fano-Fano tadi? Bagaimana jika lelaki itu mengusiknya lagi?

“Eh, seriusan, Kai, nggak marah, kan?” suara Ilma terdengar tidak enak hati.

“Nggak, Ma. Santai aja,” Kaila tertawa kecil sembari mengibaskan tangan. “Udah, ya. Gue duluan.”

“Lo beneran nggak pa-pa balik sendiri? Udah sehat? Gue teleponin Zaki, ya, suruh jemput?” usul Resya, membuat Kaila memelototinya.

“Zaki mulu otak lo!”

“Loh, loh, kok cemburu?”

“Resya!”

Yang diteriaki justru tergelak senang hingga Kaila hanya bisa menghela pasrah. Setelah selesai memerangi Resya dan godaan-godaan tidak bergunanya, juga menanggapi setiap pesan penuh kekhawatiran Ilma, Kaila bersyukur ia akhirnya bisa melangkahkan kaki keluar perpustakaan–termasuk, mensyukuri keberuntungannya karena tidak lagi berpapasan dengan lelaki aneh yang mengganggunya tadi.

Pun ketika gadis itu mendudukkan diri di salah satu bangku tunggu peron di stasiun kampusnya, ia mensyukuri suasana stasiun yang belum terlalu ramai. Keputusannya untuk pulang lebih dulu mungkin memang hal yang tepat.

Kaila menghela. Untuk beberapa saat, tatapannya mengikuti beberapa orang yang berlalu-lalang di sepanjang peron, melewatinya. Kebanyakan terlihat seperti mahasiswa juga, sama seperti dirinya. Stasiun ini memang masih terletak dalam area kampus, adalah sebuah pemandangan yang wajar jika mayoritas penggunanya masih merupakan mahasiswa di kampus Kaila.

Satu pergerakan asing terlalu kentara yang muncul dari sisi kirinya membuat Kaila lantas menoleh. Seorang lelaki baru saja duduk di sana, berjarak beberapa meter darinya, masih di bangku yang sama. Merasa tidak mengenal sosok asing itu, Kaila kembali mengalihkan perhatian. Ia memilih untuk melihat ponselnya, memeriksa notifikasi atau apa saja yang bisa menghilangkan jenuhnya.

“Sori,” sebuah suara mendadak menyela, mengusik Kaila. Ketika gadis itu mendongak, pandangannya bertemu dengan lelaki asing di sebelahnya tadi, yang kini tengah menoleh ke arahnya. “Boleh tahu jam berapa?”

“Oh,” Kaila bereaksi, lantas segera melihat penunjuk waktu yang tertera di pojok kiri atas layar ponselnya–melupakan keberadaan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Setengah tiga kurang lima,” jawabnya sopan

“Makasih.” Lelaki tadi tersenyum. Satu senyum manis yang menyenangkan untuk dilihat–sudut-sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan sempurna ketika tersenyum, membuat Kaila–yang mendeklarasikan dirinya sebagai seorang perempuan yang tidak mudah terkesan dengan paras laki-laki–sempat terpaku untuk sepersekon.

Lalu mereka kembali menjadi dua orang asing yang sibuk dengan dunia masing-masing. Kaila merutuki dirinya sendiri karena sempat terbengong sebelum mengangguki ucapan terima kasih lelaki itu. Setelah merasa kesal pada lelaki tidak dikenal yang dengan begitu mudahnya mengulurkan tangan mengajak berkenalan di perpustakaan tadi, mengapa kini ia jadi mudah terpana hanya karena seulas senyum?

Kaila berdecih pelan, mendadak teringat pada Resya dan tingkah laku semi-centilnya.

“Sori lagi,” suara berat lelaki tadi kembali menegur Kaila, membuat gadis itu menoleh sekali lagi.

“Ya?”

“Lo ...” Kalimat itu menggantung, seolah ragu. Mata si lelaki menatapi wajah Kaila sedikit lebih lama sebelum akhirnya mengulas satu senyum ramah. “... temennya Zaki, kan?”

Kening Kaila lekas berkerut. Ia meneliti wajah di hadapannya. Ada apa dengan pertanyaan tiba-tiba itu? Mengapa Zaki? Sejak kapan titel “teman Zaki” melekat padanya atau menjadi suatu ciri khas yang membuatnya dapat dikenali? Benak Kaila berpusing sejenak akibat pertanyaan-pertanyaan dalam kepalanya sendiri. Ia berusaha mengingat berapa banyak teman bernama Zaki yang mungkin ia miliki. Tapi, bagaimana pun Kaila memikirkannya, memorinya hanya memunculkan satu orang bernama Zaki. Maka dengan kening yang masih berkerut bingung, gadis itu memberanikan diri bertanya.

“Zaki Satria?”

“Fajri,” sambung lelaki di hadapannya itu, seolah ia memang sengaja menunggu untuk menamatkan nama lengkap Zaki. Kepalanya lantas terangguk, bibirnya tersenyum. “Gue temennya Zaki. Kenalin, Rafi,” katanya lagi, diiringi uluran tangan.

Tiba-tiba saja Kaila merasa pening. Ada apa dengan hari ini? Mengapa lelaki-lelaki asing mendadak hobi mengulurkan tangan padanya sambil menyebutkan nama masing-masing? Merasa heran sekaligus jengkel, gadis itu lantas memutar bola mata. Tatapannya sinis. Frasa “teman Zaki” rupanya telah membuat Kaila teringat pada Kaisar–yang pernah benar-benar menyandang titel itu semasa mereka sekolah dulu. Kaila tidak tahu–dan tidak ingin tahu–perihal pertemanan Zaki dengan Rafi-Rafi ini. Tetapi jika Rafi mengenalkan diri sebagai teman Zaki, besar kemungkinan bahwa lelaki itu juga salah satu teman Kaisar, kan? Dan pemikiran itu membuat Kaila kesal. Karenanya, gadis itu mendengkus.

“Gue nggak harus temenan sama setiap temennya Zaki, kan?” ucapnya sarkas.

Rafi lekas menarik kembali uluran tangannya. “Nope,” katanya, masih dengan sunggingan senyum, seolah tidak tersinggung dengan nada pedas Kaila. “Tapi mungkin gue yang butuh temenan sama setiap temennya Zaki.”

Kalimat itu beradu dengan suara kereta yang masuk di peron mereka, teredam bising, menyebabkan Kaila gagal mendengar dengan benar untuk memahami maksudnya. Maka raut sinis Kaila berubah bingung.

“Hah?”

Tapi lelaki bernama Rafi itu tidak mengulang perkataannya. Ia justru bangkit berdiri, senyumnya sopan kala ia berkata singkat, “Duluan.”

Lalu, ia masuk ke salah satu gerbong di rangkaian kereta yang tengah berhenti. Ke mana tujuan kereta itu, Kaila tidak tahu. Pikirannya sedang berkelana dan bingung. Kala kemudian pintu kereta tertutup dan rangkaian gerbong besi itu mulai berjalan, barulah ia menggeleng perlahan, seolah berusaha mengembalikan kesadaran.

Kaila memandang bingung pada gerbong terakhir kereta yang semakin mengecil di penglihatan. Pertama Fano, lalu Rafi. Jika setelah ini ia bertemu satu orang lagi yang secara tidak masuk akal memperkenalkan diri padanya, Kaila berencana akan menghadiahi dirinya dengan sebuah piring cantik saja.

Pemikiran itu lantas membuatnya mendengkus.

Dasar orang-orang aneh, pikirnya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status