Gadis berambut hitam dengan blus putih di atas mata kaki itu duduk di atas rerumputan sambil memainkan pucuk dandelion yang tadi dipetiknya. Matanya menatap ke depan, pada beberapa ekor domba yang tengah asik mengunyah rumput.
Rambut hitam gadis itu beterbangan diterpa angin, namun dia tidak peduli, malah matanya menutup, menikmati suasanya pagi ini yang begitu sejuk.
Di kala sendiri seperti ini, dia selalu diingatkan akan kedua orangtuanya, dan pria bermata merah yang telah membawanya ke sini.
Di usianya yang sudah menginjak angka delapan belas tahun, Alicia tidak lagi menangis jika mengingat kedua orangtuanya pergi meninggalkannya tanpa sebab. Dia berpikir, apa dulu dia pernah berbuat nakal sehingga ayah dan ibunya pergi dan tidak mau bersamanya lagi? Apa dulu dia telah menjadi anak yang tidak baik sehingga membuat ayah dan ibunya menangis? Alicia tidak tahu, dia tidak akan pernah tahu.
Paman Robert yang dulu juga berjanji akan menjaganya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, nyatanya melakukan sebaliknya. Dia menjual Alicia pada si pria bermata merah kelam yang sampai saat ini tidak pernah bisa Alicia lupakan. Tentang bagaimana pria itu menatapnya, yang langsung membuat sekujur tubuh Alicia merinding dan hampir selalu bergetar takut setiap kali mengingatnya. Apa pria itu benar-benar manusia? Atau dia adalah jelmaan iblis di dunia nyata?
Yang pasti, Alicia tidak ingin bertemu dengan pria itu lagi. Dia bertekad, setelah sekolahnya lulus di desa terpencil ini, dia akan merantau ke kota, untuk mencari kedua orangtuanya di sana.
Tapi bagaimana dengan pria bermata merah itu? Alicia memikirkannya lagi. Karena jelas-jelas bahwa pria itulah yang membawanya ke tempat ini, menitipkannya pada bibi Jen yang saat ini selalu berperan sebagai ibu pengganti untuknya. Dulu, bibi Jen selalu menghibur atau hanya sekedear menemani Alicia ketika gadis itu menangis di malam hari, bermimpi buruk karena merindukan kedua orangtuanya. Alicia sangat menyayangi bibi Jen. Dan dia suka pada kehidupannya di sini, di desa terpencil yang tidak banyak orang ketahui.
Suasananya masih sangat asri dan hijau, udaranya juga segar dan hangat.
"Alicia!"
Alicia membuka kedua kelopak matanya ketika mendengar suara bibi Jen memanggil di belakang.
Sontak, Alicia pun menoleh dan mendapati bibi Jen tengah berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya. Alicia lantas bangkit dan berjalan mendekati bibi Jen dengan tatapan penuh bertanya.
"Ada apa, Aunt?" tanya Alicia.
Bibi Jen berhenti di hadapan Alicia dengan napas ngos-ngosan, hal itu semakin membuat Alicia mengerutkan kening.
Setelah napasnya mulai teratur, barulah Bibi Jen menatap Alicia dengan penuh kekhawatiran di wajahnya.
"Ayo cepat kembali ke rumah!" kata bibi Jen kemudian menarik tangan Alicia dan menyeret gadis itu pergi.
"Tunggu! Tunggu, Aunty! Tunggu dulu!" Alicia menahan tangan bibi Jen yang sontak berhenti dan berbalik menatapnya bingung.
"Apa yang terjadi, Aunty? Apa Aunty baik-baik saja?" tanya Alicia dengab raut penuh kekhawatiran di wajahnya.
"Aku baik-baik saja. Kita harus cepat, dia sudah datang?"
Alicia hendak bertanya siapa yang datang namun bibi Jen telah lebih dulu menarik tangannya da pergi.
Rasa penasaran Alicia bertambah dua kali lipat ketika melihat Wendy, anak semata wayang bibi Jen, tengah mengintip di balik pintu dapur yang langsung menuju ke ruang tamu.
"Wendy, ada apa?" bisik Alicia di belakang Wendy yang membuat perempuan berambut pirang itu berjengit kaget.
"Alice!" serunya kesal.
Alicia tidak menggubris tanggapan berlebihan Wendy, dia hendak ikut mengintip ketika bibi Jen yang baru saja selesai minum menarik tangannya kembali dan membawanya menaiki tangga berkayu tempat kamar Alicia.
Di dalam kamarnya yang sempit, bibi Jen tampak gelisah. Dia berjalan bolak-balik sambil berkacak pinggang.
Alicia yang tengah duduk di pinggir kasur menatapnya aneh.
"Kau harus mengenakan dress yang bagus!" tekad Bibi Jen yang kemudian mengobrak-abrik lemari pakaian Alicia.
"Aunty, stop! Tenangkan dirimu."
Bibi Jen menggeleng. "Tidak ada kata tenang untuk saat ini! Ya Tuhan, setelah bertahun-tahun, dia akhirnya menemuimu, apa kau tahu artinya apa?"
Kernyitan di dahi Alicia semakin dalam. Dia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati bibi Jen yang masih berkutik dengan baju-baju di lemarinya.
"Siapa yang kau maksud dengan 'dia', Aunty?" tanya Alicia.
"Kenapa kau harus memiliki baju yang sama, Alice?!" sahut bibi Jen seolah tidak menggubris pertanyaan Alicia.
Alicia menoleh ke arah lemarinya dan mengidikkan bahu.
"Semua bajuku, Aunty kan yang menjahitnya. Di atas mata kaki, berwarna putih, berbahan lembut dan nyaman."
Bibi Jen memutar bola matanya jengah. Dia menatap Alicia dari atas sampai bawah. Alicia tumbuh sebagai gadis yang cantik dengan porsi tubuh yang ideal, dia tidak tampak gemuk, tidak juga terlihat kurus. Rambut hitam lurusnya membingkai wajahnya yang tirus. Dan Alicia tidak pernah mengenakan make up, wajahnya sudah terpoles cantik dengan alami. Bulu mata lentik dengan iris hijau, bibirnya berwarna pink alami, serta kulit wajahnya yang putih dengan pipi merona. Apalagi dengan warna rambutnya yang gelap, Alicia seolah tampak seperti boneka-boneka porselen cantik. Mungkin jika dia diberi sedikit make up, maka orang-orang tidak akan menganggapnya manusia.
"Aku kenakan yang ini saja, ya," kata Alicia pada akhirnya, menyadarkan bibi Jen dari lamunannya.
Bibi Jen menatap baju yang dibawa Alicia di tangannya. Itu adalah sebuah pakaian yang sama dengan pakaian-pakaiannya yang lain. Hanya saja, yang satu ini adalah baju baru yang baru saja selesai Jen jahit dua hari yang lalu.
Bibi Jen pun mengangguk kuat-kuat. "Ya... ya kenakan itu dan segeralah ganti pakaianmu. Sisir juga rambutmu, kenakan sedikit make up yang aku belikan padamu kemarin, dan lakukan semuanya dengan cepat, mengerti?"
Alicia mengangguk patuh dan tidak sempat berkomentar saat bibi Jen berucap lagi. "Cepat, Alicia! Dia tidak suka menunggu lama," kata bibi Jen kemudian keluar dari kamar Alicia, meninggalkan gadis itu yang lagi-lagi bertanya siapa 'dia' yang dimaksud oleh bibi Jen.
***
Alicia pun keluar dari kamarnya, tanpa alas kaki dia menapaki lantai kayu yang dingin.
Sampai di ruang tamu, Alicia mendengar suara berat milik seorang pria tengah mengucapkan sesuatu yang Alicia tidak dapat dengar dengan jelas.
Alicia berjalan semakin mendekat.
"Usianya sudah delapan belas tahun, Jen. Sembilan tahun berlalu dan dia sudah tidak punya alasan apapun untuk tetap tinggal di sini. Seperti yang kukatakan padamu sebelumnya, bahwa aku akan datang kembali padanya."
Terdengar suara bibi Jen menangis, Alicia memelankan langkahnya.
"Tapi kumohon, tidak bisakah kau menunggu? Setidaknya beri kami waktu dua hari, kumohon! Aku sangat menyayangi Alicia seperti aku menyayangi anak kandungku sendiri, kumohon Tuan Lucius, beri kami waktu bersamanya sedikit lebih lama."
Alicia memasuki ruang tamu, melihat bini Jen duduk di sofa dengan berlinang air mata dan paman Fillbert duduk di sampingnya mengusap punggung bibi Jen yang tengah terisak.
Kemudian, mata Alicia bertemu dengan sepasang mata merah kelam yang balas menatapnya tajam. Napas Alicia tercekat. Dia menutup kedua mulutnya karena terkejut, merasa bahwa apa yang dia lihat saat ini tidaklah nyata. Tanpa sadar, Alicia melangkah mundur, dan di detik berikutnya dia berbalik dan berlari pergi.
***
Ignite: EpilogueNapas Alicia memburu saat merasakan kecupan basah di lehernya. Dia meraih seprai dan meremasnya sangat kencang, menahan suara desahannya lolos dari bibir. Wajahnya bersemu merah dengan mata yang terpejam erat.“Alice,” bisik suara serak di telinganya, terdengar sangat sensual sehingga mengirimkan getaran bagai tersengat listrik ke seluruh tubuh Alicia.“Hm,” gumam Alicia sebagai balasan.“Sebut namaku!”Alicia membuka mata, menatap tidak fokus pada objek di hadapannya. Karena bukan hanya bibir pria itu yang bergerak menyiksanya dengan memberikan kecupan-kecupan panas sampai meninggalkan bekas kemerahan di lehernya, tapi juga tangan pria itu yang terasa kasar, menyusup masuk dari balik baju tidur yang ia kenakan, meremas dadanya dan tanpa tahu malu pria itu menjetikkan jari pada puncak dadanya yang telah mengeras.“Ahh, Lucius!” Alicia sontak mendesahkan nama pria itu dalam ekstasi yang ia rasakan dari rangsangan yang diberikan. Tubuh Alicia tidak bisa berkutik di bawa
"Dokter, kalau Tuan Lucius terus bersamaku setiap waktu, aku mungkin akan sembuh lebih cepat," ucap Alicia pada Dokter Hank yang tengah memeriksa keadaannya. Lelaki paruh baya itu tersenyum kecil. "Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?" tanyanya. Sudah beberapa hari Alicia dirawat dan harus istirahat total untuk kesembuhannya. Dokter Hank adalah satu-satunya dokter yang datang untuk merawatnya. Namun, hanya untuk memeriksa keadaan Alicia secara umum, seperti mengecek suhu tubuhnya, memeriksa gejala-gejala tertentu yang bisa menimbulkan penyakit bawaan dari lukanya, memberinya obat yang akan membantu kesembuhan dan meningkatkan kesehatannya. Namun, khusus untuk mengganti perban di lukanya, hanya Lucius yang dapat melakukan itu. Bukan, Dokter Hank pun bisa melakukannya, tapi hanya Lucius seorang yang boleh. Dokter Hank sangat mengerti akan sikap Lucius yang seperti itu, namun dia tidak mengatakan apap
Landon tidak bisa merasa tenang sampai dia memasuki kamar Lucius dan melihat sosok yang dikhawatirkannya terbaring di atas ranjang. Landon duduk di dekatnya, memperhatikan wajah pucat gadis itu."Ini adalah salah satu yang aku maksud saat aku bilang berada di sisinya adalah pilihan yang salah, Alicia," ucap Landon lirih. Namun Alicia tidak bergeming, masih di bawah pengaruh obat bius. "Tapi melihat sepupuku begitu mengkhawatirkanmu kurasa hal ini sepadan untuknya," lanjut Landon, kemudian membelai pelan rambut gadis itu.Tidak beberapa lama kemudian Dokter Hank datang membawa obat dari rumah sakit. Hank bertanya kepada Landon di mana Lucius. Landon hanya menjawab, "Dia pergi untuk mengurus sesuatu."Hank belum tahu pasti bagaimana kejadiannya kenapa Alicia sampai seperti ini dan bertanya langsung pada Lucius adalah hal yang sia-sia."Ayah, apa Alicia akan baik-baik saja?" tanya Landon.Han
Sebelum ke luar, Lucius menatap Alicia sekali lagi, memperbaiki selimutnya, dan mengatur suhu ruangan agar lebih hangat."Ben, temui aku di ruangan, sekarang!" ucapnya, berbicara pada alat interkom yang masih terpasang di telinganya.Lucius pergi menuju ruang kerjanya dengan langkah lebar. Landon tiba-tiba saja muncul dari arah tangga, menghalangi jalan Lucius. Lucius menatapnya sesaat, mencoba mempertahankan kesabarannya yang tidak dia miliki banyak."Aku ikut," kata Landon.Lucius mendengus, kemudian melanjutkan langkahnya melewati Landon, menabrak bahu lelaki itu."Lucius, aku serius!" ucap Landon keras kepala, mengikuti Lucius di belakang."Apa kau tahu yang hendak aku lakukan?""Aku tahu," jawab Landon.Lucius langsung berhenti dan menoleh menatapnya.Mendapat tatapan menyeramkan seperti itu, Landon langsung melanjutk
Suara klakson mobil terdengar nyaring saling bersahutan di tengah jalan raya yang ramai dilalui kendaraan. Hanya satu mobil yang bergerak cepat dan tidak beraturan di antara mobil yang lain."Ben, kalau kau berhasil sampai dalam waktu lima menit, aku akan menaikkan gajimu sepuluh kali lipat," Lucius berkata dengan datar di kursi penumpang pada mobil yang dikendarai oleh Tangan Kanan-nya, Benjamin.Benjamin mendengus. "Kau tidak perlu mengatakan itu, kita akan sampai dalam waktu tiga menit."Normalnya, mereka akan sampai dalam setengah jam, lima belas menit jika mengebut. Sedangkan lima menit terdengar mustahil, terlebih tiga menit.Namun tidak bagi Benjamin. Selama bekerja dengan keluarga Denovan, dia sudah dilatih untuk hal-hal seperti ini. Dia benar-benar akan sampai di rumah dalam waktu tiga menit.Sesekali Ben melirik tuannya yang duduk di kursi belakang, memeluk seorang perempuan di d
Alicia duduk dengan gelisah di dalam mobil yang melaju sedang menuju suatu tempat. Alarick berada di sampingnya, diam dengan ekspresi keras di wajah. Semakin Alicia memikirkan kemana dia akan dibawa, jantungnya berdetak semakin kencang penuh antisipasi. Alicia memikirkan ucapan kepala pelayan itu yang mengatakan bahwa malam ini Lucius akan datang bersama Marie dan Adrian.Benarkah pria itu akan datang? Untuk apa? Apa rencananya? Alicia menolak untuk percaya bahwa Lucius benar-benar datang untuknya. Pria itu pasti memiliki agenda lain di otaknya yang licik dan penuh perhitungan. Apakah ini harinya? Pembalasan dendam itu? Apa yang akan Lucius lakukan? Membunuh Marie dan Adrian?Alicia membayangkan dua buah peti mati yang telah menanti di sana dan tiba-tiba saja tubuhnya mulai menggigil. Sekalipun Marie bukan ibu kandungnya, tapi kenangan terbaiknya semasa kecil selalu dihadiri oleh perempuan itu. Walaupun Alicia me