Mobil Arum berhenti di depan gerbang rumahnya yang sepi. Setelah merogoh tas dan mengambil kunci pagar ia turun dan membuka pagar besi yang menjulang tinggi.
Bukan hal tak biasa bagi Arum membuka dan menutup pintu untuk dirinya sendiri seperti malam ini
Apalagi, sebelum pergi arum sudah berpesan agar tak usah ditunggu pada satu-satunya pekerja yang tinggal dirumah dan menyilahkannya tidur setelah putri kecilnya terlelap dan wanita yang usianya tak begitu jauh dari umur Arum itu mengangguk. Bahkan menyuruh Arum untuk berhati-hati kemanapun ia akan pergi.
Dengan tangan memegangi pagar ditatapnya kamar sang putri yang lampunya menyala temaram dilantai dua. Mata Arum berair lagi dan seketika diusapnya lalu menarik nafas panjang yang terasa menyesakan.
"Cukup, aku sudah banyak menangis malam ini." Ucap Arum menghapus sisa air dari dalam matanya lalu menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
"Mama pulang, Sayang."
Arum berusaha tersenyum lalu masuk ke dalam mobil, rasanya ia ingin cepat-cepat bertemu Arimbi yang mungkin akan terbangun saat ia memeluk dan menciumi putri kesayangannya itu. setelah memasukkan mobilnya ke pekarangan luas yang tertata apik dengan penerangan memanjakan mata meski di bawah langit malam yang terasa kelabu malam ini.
Namun, wajah arum yang merindukan sang putri jadi mengeras saat matanya menyadari dua mobil yang terparkir di dalam pekarangan. Ia menarik nafas malas seketika.
"Mau apa lagi mereka?" ucap Arum menarik nafasnya dalam lalu masuk ke dalam rumah setelah mengambil kantong berisi permen stroberi untuk Arimbi dengan wajah pasrah namun mengeras karena tak bisa menolak kedatangan dua orang manusia yang sebenarnya tak ingin ia temui.
Tapi bagaimana bisa saat mereka sudah sampai dirumahnya terlebih dahulu? Dua orang manusia yang tak henti-hentinya membuat ponsel Arum berbunyi.
Suara ramai dari dalam rumah hanya bertahan beberapa lama, diikuti teriakan dan jerit melengking yang tertelan malam kelabu. Lalu sepi, sunyi, membisu. Menyatu dengan keheningan malam menyesakan yang tak terasa kecuali dingin dan hampanya.
Kesunyian dan bisu yang pecah pada ahirnya dalam rumah sepi yang pagarnya masih terbuka, karena seorang wanita mendorong kasar pintu yang menabrak tembok tanpa permisi. BRAKK!!
"MAS BAGAS!" seru Maya yang wajah emosinya tak tertahankan bahkan tanpa merasa malu ataupun sungkan sama sekali ia memasuki rumah dari wanita yang suaminya ia ambil.
Sementara wanita dibelakangnya hanya menarik nafas panjang dan memilih duduk disofa ruang tamu mengeluarkan ponselnya malas tak ingin perduli pada pertengkaran yang akan terjadi sebentar lagi.
Tapi, suara teriakan yang ditunggu Zizi tak kunjung terdengar.
Sedikit penasaran gadis yang meletakkan ponselnya dalam tas itu berdiri dan masuk ke dalam rumah yang begitu sepi dengan tiga manusia yang menatapnya seolah melihat hantu.
"Ada apa in-!"
Mata zizi seperti akan keluar dan langsung berlari mendekat pada tubuh yang tergeletak di depan tangga.
"JANGAN!" seru wanita yang membuat Zizi menatap pada pemilik suara yang melarangnya.
"Jangan? Apanya yang jangan, Bu? kita harus segera menolong Arum. Tidak... kau benar. Kita-- kita tak bisa memindahkan Arum sembarangan," ucap Zizi langsung mengambil ponsel. Tangannya yang bergetar berusaha memenceti layar yang menyala.
"Kau mau apa!" seru tertahan wanita paruh baya yang tampilan modisnya membutuhkan banyak biaya dan langsung merebut ponsel dari tangan Zizi.
"Apa? Mau apa!? Tentu saja menelpon ambulans, Ibu. Rumah sakit atau pemadam kebakaran. Apa saja. Yang penting bantuan." Ucap Zizi panik menatap Arum dan ibunya, juga melirik Bagas dan Maya yang hanya diam di tempat mereka tanpa melakukan apapun.
"Jangan gila kau pikir apa yang akan mereka pikirkan!"
"Tentu mereka akan berpikir untuk menolong Arum, Ibu! apa lagi memangnya-- tidak... tidak tidak tidak! Jangan bilang kalian yang ...? tidak mungkin... tidak!" ucap Zizi bergantian menatap tiga orang manusia yang mulutnya hanya rapat membisu. Melihat dirinya yang panik sendirian disamping tubuh Arum yang terbaring di atas lantai dingin.
"Kalian gila! Aku tak mau terlibat dengan ini."
"Kau sudah terlibat, Zizi," ucap Maya tak melepaskan tatapan matanya pada tubuh Arum yang tak bergerak di atas ubin.
"Kita sudah terlibat, Zi." tambah Maya membuat kaki Zizi tiba-tiba lemas.
"Kalian--gila... sungguh-sungguh gila... ya Tuhan... manusia macam apa kalian! kalian semua gila..." ucap Zizi yang tertawa diantara tangisnya.
"Ini hanya kecelakaan, tak ada yang tau ini akan terjadi. Ini hanya kecelakaan. Ingat itu!" ucap wanita paruh baya yang mencengkram bahu putrinya kuat.
"Kecelakaan!? Ibu, jika ini kecelakaan kita harus menghubungi rumah sakit agar menolong Arum! Tapi apa yang kalian lakukan? kalian hanya diam memandang-
Zizi langsung berlari ke kamar mandi karena perutnya bergejolak, gadis itu mengeluarkan apapun yang dimakannya, berkali-kali dalam closet. Meninggalkan tiga orang yang terus saja mematung bersama tubuh arum yang tergelerak dengan mata terpej-
"Hoek.." sekali lagi Zizi mengeluarkan isi perutnya meski tak ada lagi yang keluar.
Tangannya bergetar hebat bersama suara flass yang mengguyur closet, pandangannya jadi sedikit buram karena air mata yang menggenang tapi disekanya kasar dengan punggung tangan.
Ditatapinya wajah pucat seolah hidupnya menguap entah kemana, ditariknya nafas dalam beberapa kali sampai ia bisa merasakan pijakannya lagi. Merasakan kembali kakinya yang lemas dan menatapi tak yakin pantulan diri, "... Mereka sudah gila." ucap Zizi lalu keluar dari kamar mandi.
"Aku tak ingin terlibat dengan ini, kalian sungguh gila!" ucap Zizi membuat tiga pasang mata menatapnya yang berjalan pergi dan tak tau apa yang terjadi setelahnya atau apa yang terjadi sebelumnya.
Zizi tak ingin tau, tak ingin paham, tak ingin perduli. lalu memacu mobilnya dengan cepat menjauh dari rumah yang membuat perasaanya kalut setelah menyambar ponsel dari tangan Sukma, ibunya.
"Sebaiknya kita juga pergi" ucap Maya pada dua wajah yang tatapannya sedikit berbeda.
"Ayo kita pergi, sebelum ada yang bangun," ulang Maya, berjalan menghampiri pria yang wajahnya begitu pucat pasi, begitu menutup rapat mulutnya, dengan mata yang terus tertuju pada tubuh tak bergerak Arum yang tergolek di depan tangga.
"Kita pergi, Mas. Sekarang." Ucap Maya menarik tangan Bagas, menyusul wanita paruh baya yang melepas kunci milik Bagas dibagian depan dengan sapu tangan dan memasang kunci milik Arum dibagian dalam.
Wanita paruh baya itu lalu mengunci pintu dari luar. Ia bersukur tak ada kamera satupun terpasang, baik di dalam rumah maupun di luar, Lalu pergi seperti tak terjadi apapun.
"Kalian berdua, ikut ibu kerumah" ucap wanita paruh baya itu tegas. Tak mau dibantah. Juga tak ada yang ingin membantah baik Maya ataupun Bagas yang bahkan tak sadar kakinya melangkah.
*
Gadis kecil itu berjalan menyusuri tangga yang terasa dingin dibawah kakinya yang tak beralas. Pelan dan perlahan dengan tangan memegangi railing tangga yang ia cengkeram kuat.
Mata bulat nan jernih Arimbi melebar mendapati sang mama berbaring diatas lantai. Ia langsung berjalan cepat namun hati-hati memegangi pinggiran tangga dan menatapi tangga satu persatu karena ia harus berhati-hati agar tak jatuh atau mama yang ada dibawah nanti marah kalau ia jatuh.
"Mama kenapa tidur disini?" tanya arimbi berusaha membangunkan Arum yang hanya diam terus memejamkan mata.
"Mama pasti lelah sekali, ya?" ucap gadis kecil yang menatap tas kertas yang dipeluk Arum. Tas bergambar candy warna-warni yang begitu ia hafal karena terlalu sering menerima.
"Apa ini untukku? Ini untuk Arimbi, kan Ma?" ucap Arimbi menatap wajah Arum dengan mata berbinar.
Tapi mamanya masih tak menjawab dengan mata tertutup rapat.
"Besok saja kalau mama bangun aku tanya," ucap bocah yang lalu ikut berbaring berbantal tangan arum yang matanya terpejam rapat dan dingin.
"Aku, sayang Mama." ucap Arimbi memeluk tubuh Arum. Tanpa tau apa yang barusan terjadi, ataupun mengerti.
Gadis kecil yang duduk lalu menggerakan tangan Arum untuk memeluk tubuh kecilnya yang tak perduli pada dinginnya lantai ini tersenyum lengan dingin Arum terasa menenangkan dan nyaman.
"Makan permennya besok saja, aku akan kasih Rei 1, Joe 1 ng... Carmen 2, mungkin dia akan suka karena dikasih satu tadi gak mau, boleh kan, Ma? mama pasti ngizinin si. Besok miss Eva ngasih snak apa lagi ya, Ma? tadikan aku makan cookie sama puding, besok apa Arimbi akan dapet puding lagi?"
ARUM WIJAYA. Jika bisa ia pasti akan menjawab tiap ucapan sang putri dengan kecupan bertubi-tubi juga pelukan hangat yang akan membuat Arimbi protes dalam tawa. Membalas tiap celoteh Arimbi yang memang suka bercerita. Lalu tertawa bersama karena kepolosan putri kesayangannya ini.
Tapi, Arum Wijaya sudah tak bisa lagi melakukan itu. Tidak akan pernah bisa lagi seingin apapun dirinya.
"Aku ngantuk, Ma" ucap Arimbi yang menguap begitu lebar lalu mendusel makin rapat pada tubuh Arum.
"Selamat malam, Mama. Arimbi sayang Mama." Ucap bocah berumur 3 tahun 12 hari itu lalu menguap lebar dan mendusel makin rapat pada tubuh Arum.
Lalu ikut terlep di atas lantai dingin yang membisu.
*
Ps. sudah masukkan dalam koleksimu? belum? tambakan dong lol....
terimakasih sudah baca dan tulis sajalah diriku!
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba