Langkah Ali makin lebar saat sudah dekat dengan kamar rawat inap milik Arum. Kakinya yang panjang bahkan berlari dan membuka cepat pintu ruangan yang begitu sepi lalu melangkah lagi mendekati pintu lain yang pengaitnya ia pegang kuat dengan dada berdebar begitu keras penuh pengharapan.
SREGG!!
Dibukanya pintu geser ruangan Arum di rawat tak perduli pintu di belakangnya masih terbuka lebar.
"!" Mata ali membesar seketika dengan mulut membisu yang terasa kelu meski lega. Saraf tegang diseluruh tubuhnya serasa dikendurkan ketika ia melihat gadis kecil yang dicarinya sedang terlelap memeluk sang mama.
Mungkin jika tangannya tak kuat mencengkram daun pintu yang baru dibukanya sebagian, Ali akan terduduk di atas kakinya sendiri yang jadi lemas.
Dengan tangan yang bergetar di ambilnya ponsel dan memencet nomor yang terdaftar dalam panggilan cepat yang langsung diangkat si penerima telepon yang suara nafasnya terdengar memburu.
"Arimbi ketemu, Ko, d
Ruangan tempat Arum dirawat jadi sepi sesaat setelah Sabio mengatakan untaian kalimat yang membuat pertalian tangan Ali dan Marko makin mengerat.Mesin yang menjadi penyambung hidup bagi Arum pun terdengar begitu keras di telingan yang sudah hafal dengan bunyinya.Bib... Bib... Bib...Ali menatap pria muda yang matanya tak pernah melewatkan ekspresi apapun dari wajah dua pria di hadapannya itu. pria muda yang begitu pandai memainkan wajah dan intonasi suara semaunya sendiri pada waktu yang tepat."Apa hal itu perlu untuk dilakukan, Dok?""Tentu, Pak Ali. Saya percaya kita semua tidak mau Arimbi kehilangan jati dirinya sendiri, bukan?" tanya Sabio menatap dua pria di depannya dan sabar menunggu reaksi dari Marko dan Ali.Dua pria yang pertalian tangannya bahkan makin mengerat setelah mendengar ucapan Sabio. Dan ucapan Ali membuat Sabio tersenyum samar sampai garis tawa di bibirnya tak terlihat."Apa itu mungkin dilakukan, Dokter?" ucap
"Melupakan yang terjadi?" Tanya Ali begitu tak percaya. Matanya yang terlihat bingung menatap Sabio yang mengangguk."Benar, Pak Ali. Ditambah lagi Arimbi sudah mengunci ingatannya sendiri kini. Jadi, apa yang akan saya lakukan hanya akan mempermudah ingatan yang terkunci itu seperti tidak pernah terjadi," ucap Sabio membuat Ali dan Marko menahan nafas mereka."Seperti tidak pernah terjadi? Tapi, apa itu mungkin dilakukan, Dokte Sabio? Dan apa hal itu tidak akan berbahaya jika Arimbi tanpa sengaja mengingat ingatannya yang dihilangkan?" tanya Marko membuat Sabio diam memperhatikan dua pria di depannya.Bukan tak bisa menjawab. Sabio hanya ingin mengambil momen yang tepat pada emosi Marko dan Ali yang mau tidak mau harus menyetujui. Mereka menyadarinya ataupun tidak."Saya, sudah menangani banyak pasien yang memiliki hal-hal menyakitkan dalam hidup mereka. Hal-hal yang terlalu menyakitkan untuk diingat, tapi terlalu sulit untuk dilupakan sendiri sekeras ap
"Kejutan!" ucap sukma dengan senyum merekah, pada putranya yang meski kaget membalas senyum sang ibu lalu mengecup pipi Sukma setelah membalas hangat pelukannya."Bagaimana ibu tau kami di sini?" tanya Bagas membuat Sukma tertawa sambil berjalan masuk, meletakkan tas berisi baju di sofa, meski tatapannya dingin pada Maya yang jadi benar-benar tak nyaman berdiri di ambang pintu dalam bisu."Karena kau putraku, Bagas," ucap Sukma membuat Bagas dan Maya yang masih berdiri di tempat sama, saling melirik lalu memandang wanita paruh baya yang tampilannya masih sangat modis dan tertawa melihat reaksi mereka."Oh, ayolah, tidakkan semua ibu berhak mengatakan itu sekali dalam hidup mereka? dan aku kangen dengan cucuku. Di mana dia?" tanya Sukma membuat Maya menelan ludahnya yang terasa begitu pahit mendapati sorot mata wanita paruh baya yang mendekat lalu menciumnya juga memberi pelukan yang tampak hangat meski dua wanita itu sama-sama tahu, tidak ada kehangatan sedikitp
"Jika kau ingin terus berada di samping putraku, jangan pernah sekali lagi memotong jalan didepanku. Maka Carmen akan terus menjadi cucuku dan anak Bagas. Seperti yang semua orang percayai. Termasuk putraku," ucap Sukma membuat pupil Maya membesar sebesar-besarnya."Kau, buatlah kopi untuk Bagas. Aku tak pernah minum kopi di pagi hari," ucap Sukma menepuk pundak Maya yang tubuhnya terlonjak kaget. Apalagi saat ia melihat Sukma memberi senyum begitu ramah, meski sorot mata Sukma tajam lalu menjauh.Maya hanya bisa menatap mertuanya ini berjalan menjauh, mengambil tas berisi baju Bagas dan Carmen yang sengaja Sukma bawa agar tidak terlihat mencurigakan di mata putranya yang pintar tapi bodoh dan buta sampai tak melihat secuil keburukan pun dari Maya.Sukma menyeringai samar melihat wanita ayu yang membodohi putranya juga dunia, lalu meninggalkan wanita muda yang wajahnya pucat itu. Sementara Maya masih membisu dengan tubuh bergetar memegangi ujung coun
Suara derap kaki tiga manusia yang terburu-buru langsung lenyap begitupun keramaian yang tercipta dalam ruangan yang seluruh manusianya sedang bekerja. Hanya karena sang fotografer menatap tajam tiga manusia yang datang begitu terlambat."Maafkan, kami tel-""Maafkan aku, Mas Sani. Bajuku entah nyelip di mana gara-gara menejerku yang gak becus naruh barang ini," ucap Lorenz cepat, secepat tolehan Mawardi padanya yang menatap dengan mata besar tak percaya.Sementara Lency yang omongannya dipotong cepat dengan telunjuk Lorenz mengarah padanya, hanya menundukkan kepala makin dalam pada Sani yang meski tak bersuara membuat suasana terasa mencekat, "saya benar-benar minta maaf," ucap Lency tak ingin membela diri sambil terus menunduk."KITA MULAI!" Seru Sani membuat suasana sepi seketika meski hanya beberapa detik karena semua orang bergegas ke tempatnya masing-masing. Melanjutkan tugas mereka.Lorenz dengan manja melingkarkan tangan pada lengan Sani. S
Puk! Tepukan tangan pelan yang terasa itu membuat Bi Lisa terlonjak kaget dan langsung menoleh pada si pemilik tangan."Oh, I am really sorry, Lisa. Kamu tak menjawab saat kupanggil-panggil barusan," ucap Miranda mendapati Lisa sungguh kaget sambil berdoa lirih dan mengelus dadanya."Ti- tidak apa, Bu Miranda, saya hanya sedang melamun," ucap bi Lisa membuat Miranda tersenyum."Semua baik, Lisa?" tanya Miranda membuat wanita di depannya menoleh ke belakang lalu mengangguk pelan. Meski ragu, "iya ..., Bu,"Miranda yang paham ada hal yang tak ingin dikatakan Lisa meski wajahnya tampak bermasalah, hanya mengangguk dan menatap wanita yang masuk dengan gadis kecil ke dalam rumah."Arimbi, sudah pulang?" tanya Miranda mengenali seragam yang dipakai gadis kecil yang berjalan memunggunginya itu dan sedikit heran saat Lisa hanya menggeleng pelan dengan wajah sedih.Miranda tahu, Arimbi terluka berkat ocehan beruang kecilnya yang masih terlelap, dan s
"Aku tidak suka Arimbi, Oma."Ucap Carmen, gadis kecil berusia 3 tahun yang pita pink-nya begitu pas menghiasi rambut lurus nan terawatnya. Gadis kecil yang tumbuh tanpa tahu kata 'tidak' untuk apapun yang ia mau. Gadis kecil yang kemauaanya hanya tertunda dan pasti akan mendapat yang ia inginkan. Karena dengan cara seperti itu ia dibesarkan sang mama. Wanita yang keberadaanya seperti duri dalam daging bagi Sukma."Dengar, Carmen sayang," yang dipanggil sayang mendongak, "untuk tinggal di sini kamu tidak perlu suka pada Arimbi, karena Oma pun tak suka padanya," ucap Sukma membuat Carmen menatapinya heran, meski ada senyum di wajah kecilnya itu."Oma, juga tidak suka Arimbi? Sama seperti aku dan mami? Sungguh, oma?" tanya Carmen semangat, apalagi saat Sukma mengangguk, "aku-- aku tak suka pada Arimbi karena ng... Pokoknya aku tak suka. Tapi, kenapa Oma juga tak suka Arimbi? Apa Arimbi teman Oma juga? Tapi, Oma 'kan, tak sekolah sama aku," tanya Carmen tanpa jeda,
Pria atletis yang bergerak dalam tidurnya itu kaget saat tak bisa menarik tangannya sendiri untuk menarik selimut karena suhu AC yang terlalu dingin.Cring!!Begitu sadar ada benda dingin yang ia hafal bunyinya menahan kedua tangan di teralis kasur dengan borgol yang terkunci dikedua pergelangan tangan kekarnya itu, ahirnya Angga membuka mata dan menatap wanita yang perlahan naik ke atas tubuhnya."Selamat pagi, Pak Polisi. Kuharap kamu nyaman dengan posisimu," ucap guru muda yang suaranya terdengar nakal tak urung membuat Angga menatapnya dengan kekaguman nyata.Meski pria itu tahu, kekasihnya ini tak akan melakukan hal mesum apapun yang terlintas dalam pikiran. Saat ia melihat miss Eva-nya ini, menyedakepkan kedua tangan di depan dada dan duduk begitu santai di atas tubuhnya yang kekar dan berotot."Well, tidak buruk, Miss. Meski aku akan senang jika posisi kita ditukar," ucap Angga membuat Eva mendecakkan lidah meski pipinya tampak berubah warna