Share

2. Kapten Bum


Suara kicau burung nyaring terdengar di tengah lautan lepas. Sebuah kapal dagang yang mengangkut barang-barang berlayar menuju daratan terdekat. Kapten kapal memberikan intrupsi untuk membentangkan selayar. Mereka butuh dorongan angin yang lebih kuat agar cepat sampai ke tempat tujuan.

"Kapten, ada surat dari tuan Putri Tang."

Lelaki berkumis tipis dengan rambut panjang sepinggang itu mengambil sebuah amplop dari tangan pelayannya.

"Kembalilah bekerja."

"Baik, Kapten."

Satu-satunya lelaki paling dihormati dalam kapal itu berjalan menuju kamarnya. Ia begitu gembira mendapat surat dari orang yang ia cinta. Sudah setahun lamanya ia pergi dari Cina mengembara ke beberapa wilayah di dunia. Ia berniaga dan bertemu dengan orang-orang penting tiap singgah ke daerah mereka. Kendati demikian, tidak membuatnya lupa akan cinta yang ia tinggal di tempat asal.

"Kian," panggilnya. Ia membuka amplop tersebut. Barisan huruf mandarin menyapanya. Tak butuh waktu lama untuk membuat Kapten tersenyum.

Angin berbisik padaku tiap purnama. Dibelainya wajahku yang muram karenamu. Dedaunan kering berkeremis ketika kupijak. Mereka menyanyikanku lagu, tetapi tak semerdu suara langkahmu. Kini, ketika musim semi datang, burung berkicau memberiku kehangatan dalam senyap di petang gulita. Kau datang, kata surat yang tertulis di bawah kaki merpati.

Kapten Bum menahan senyum hanya dengan membaca goresan tulisan Tang Eng. Ia kembali membaca isi surat itu setelah mengendalikan diri agar tidak terlihat seperti orang gila.

Aku benar-benar yakin dengan janji yang kau ucapkan dulu. Kau akan menjemputku, membawaku, dan memulai semua cerita kita dari awal. Aku selalu meyakini itu, dan semoga Allah meluruskan niatmu. Aku menunggumu, Bumyen.

Bumyen meletakkan surat dari Tang ke atas meja kerjanya. Ia mendudukkan dirinya di atas kursi. Bumyen--pemuda gagah dengan kulit putih itu menatap lukisan Tang yang terpajang indah memenuhi dinding ruang kerja sekaligus tempat istirahatnya.

"Kian, aku akan menjemputmu."

Bumyen sangat merindukan Tang Eng Kian. Hari-hari di mana mereka menghabiskan waktu berdua dengan berlari di tepi pantai. Tang bukan seorang gadis biasa. Butuh waktu yang sangat lama untuk bertemu gadis itu. 

"Kapten!"

Bumyen menatap awak kapalnya yang datang tergopoh-gopoh membawa sebuah kapak. "Ada apa?"

"Seorang penyusup, Kapten! Dia ada di ruang persediaan makanan. Koki Lee telah mengikatnya di bawah sana!"

Penyusup adalah ancaman serius yang harus segera ditangani. Bumyen tak pernah main-main dalam menghadapi musuhnya. Mereka mengganggu, itu artinya mereka mengibarkan bendera perang!

Bumyen mengikuti langkah awak kapalnya. Ia menuruni tangga, lalu berhenti tepat setelah melihat seorang wanita dengan pakaian lusuh terikat di tiang.

"Kalian sudah mendapatkan informasi apa saja darinya?" 

Para awak kapal Bumyen--terutama yang bekerja di bagian bawah menggeleng bersamaan. 

"Kami tidak mengerti bahasa apa yang dia pakai, Kapten."

Bumyen mengernyit. Ia berjalan mendekati seorang wanita yang dituduh sebagai seorang penyusup itu. Rambutnya berantakan, ia menunduk lesu seperti orang kelaparan. Mulutnya disekap-- karena ia telah banyak membuat keributan.

"Hei."

Usai membebaskan mulut gadis itu, Bumyen berganti menelisik tiap jengkal wajah yang ada di depannya. Penyusup itu mendongak sedikit. Bumyen mengangkat kepala penyusup itu yang terkesan menutupi siapa dirinya. Mata bulat besar dengan hidung pesek dan bibir mungil namun berisi menjadi ciri khas wanita itu. Matanya yang besar terlihat sangat lesu ketika berjumpa pandang dengan Bumyen.

"Aku orang baik, Tuan!" Gadis itu memiliki pita suara yang tajam meski bibirnya kering. "Namaku Zahra, dan aku tidak mengerti apa yang kalian ucapkan."

"Kau dari bangsa Melayu?" Bumyen masih tak melepaskan tangannya dari pipi penyusup itu. Kulitnya yang sedikit coklat begitu kontras dengan kulit Bumyen yang berwarna putih bersih.

"Aku dari Sumatra, dan aku orang Indonesia. Aku tidak bisa berbahasa Mandarin."

Pengalaman sebagai seorang pengembara membuat Bumyen bisa berbicara dalam beberapa bahasa. Namun ia baru mendengar logat bahasa yang diucapkan gadis itu. Sama seperti bahasa Melayu, tetapi cukup berbeda dalam pelafalannya.

"Bawa dia ke ruang kerjaku."

Para awak kapal sontak terkejut. Mereka saling lempar pandang. Tidak mengerti mengapa Bumyen seberani itu membawa penyusup ke dalam tempat yang begitu penting baginya.

"Tunggu apa lagi?! Cepat bawa dia!"

"Baik, Kapten!"

Bumyen meninggalkan penyusup itu. Ia menunggu para pekerjanya membawa wanita tadi ke ruangan pribadinya. Tinggi wanita itu bahkan sebatas dadanya. Melihat secara fisik, Bumyen ragu jika wanita itu benar-benar seorang penyusup.

Terlebih, dengan cara berbicaranya yang berbeda dari kebanyakan orang. Baru kali ini Bumyen tahu bahasa Melayu dengan pelafalan seperti itu. Juga sebuah tempat bernama Indonesia. 

"Kapten, kami akan masuk."

"Ya."

Wanita itu didudukkan di depan Bumyen. Tangannya masih terikat, bajunya begitu lusuh dengan rambut yang terurai.

"Kau satu-satunya orang yang mengerti bahasaku. Hanya kau yang dapat menolongku di sini."

Bumyen tidak tahu maksud wanita di depannya. Ia masih terlihat sangat muda. Mungkin umurnya masih sekitar dua puluhan kurang. Hal itu kian menambah kuat kesimpulannya mengenai wanita itu.

"Zahra, kau... ingin makan?"

Zahra mengangguk. Bumyen berdiri membawakan wanita itu beberapa buah-buahan. Karena tangan Mutiara terikat, Bumyen terpaksa menyuapi wanita di depannya.

"Sudah berapa lama kau ada di kapalku?"

Mutiara menggeleng sembari mengunyah makanannya. "Aku tidak tahu. Aku bahkan terkejut setelah tahu aku ada di sini."

Bumyen tertawa mendengar alasan tak masuk akan dari mulut Zahra. Ia membiarkan gadis itu mengenyangkan perutnya terlebih dahulu. Biar pun Bumyen sangat anti musuh, tetapi ia masih memiliki sisi manusiawi terhadap mereka--musuhnya.

"Kau sangat baik!" Zahra tersenyum setelah menghabiskan seluruh buah-buahan milik Bumyen.

"Kambing harus diberi makan yang banyak sebelum disembelih, bukan?"

"Maksudmu, kau akan menyembelihku?!"

Bumyen meletakkan telunjuknya di atas dagu. Ia mengernyit sembari menatap tubuh Zahra dari bawah hingga ke atas.

"Sangat cocok!"

Zahra tercekat. Ia bahkan masih kebingungan dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Bagaimana ia berakhir di dalam sebuah kapal? Dan mengapa ia bisa terbawa oleh kapal yang diisi oleh orang yang berbicara bahasa Mandarin?

"Makan daging manusia itu haram, tau!"

"Siapa yang ingin memakan dagingmu? Lebih baik aku menyumbangkannya ke hiu."

"Membunuh itu juga haram!"

"Kapan aku pernah bilang ingin membunuhmu?"

"Tad--yang kambing-kambing itu apa?!"

"Kau menyamakan dirimu dengan kambing? Aaahh, atau kau bosan menjadi manusia dan ingin menjadi kambing?"

"Aaarrgghh! Bukan!"

Andai tangan Zahra tidak terikat, ia sudah pasti menjambak rambutnya. Kapten yang disapa Bumyen itu seperti orang paling menjengkelkan yang pernah ia temui.

"Kau sangat cocok untuk menjadi pelayanku."

"Hah, pelayan?! Eh Kapten yang rambutnya enggak pernah di pangkas, aku ini pelajar SMA yang masih aktif di sekolah! Dan sekarang aku terjebak di sini. Dan juga, jangan tanya kenapa dan bagaimana aku bisa ada di kapal ini!"

Bumyen melipat tangannya. Ia duduk di atas meja--menatap mata bulat besar milik Zahra. Bibirnya yang mungil namun berisi terlipat ke dalam. Ia menikmati wajah kesal Zahra. Biarpun bahasanya terdengar aneh dan sedikit asing, Bumyen masih bisa memahami apa yang lawan bicaranya sampaikan.

"Kau ingin menjadi pelayanku atau tahananku?" Bumyen memberikan penawaran. Zahra masih memasang wajah kesal melihat orang yang berlagak jumawa di depannya.

"Bisa tolong lepaskan ikatanku? Kau bisa ditahan oleh KPAI atas tindak kekerasan kepada anak di bawah umur!"

"Apa itu KPAI?"

"Serius?! Kau tidak tau apa itu KPAI?"

Bumyen terdiam. Ia menarik dagu Zahra. "Berhenti berbicara tidak jelas. Aku akan mengirimmu ke dalam sel tahanan jika kau masih tidak menuruti perintahku."

"Aku berbicara dengan sangat jel--"

"Chan!" Bumyen memanggil nama seseorang. Tak lama setelah itu, seorang lelaki berwajah lebih muda darinya datang membawa sebuah pedang yang diletakkan di sebelah pinggul.

Zahra menelan salivanya dengan terpaksa. Ia ketakutan! Orang-orang di sekitarnya terlihat begitu kuno dan agresif. Bahkan Bumyen yang pernah bersikap tenang padanya berubah menjadi kejam dengan mencengkram wajah Zahra begitu kuat.

"Kapten Bum? Kenapa kau membawa gadis ini ke ruang kerjamu?"

"Tidak penting apa alasannya. Sekarang, bawa gadis ini pergi dari kapalku!"

"Pergi?"

"Buang dia ke laut!"

Zahra memekik. Dia menggeleng berulang kali, tetapi Bumyen tak menghiraukan sikapnya. Chan--orang kepercayaan Bumyen awalnya terdiam di tempat. Namun tak butuh waktu lama baginya untuk menuruti perintah Bumyen.

"Tolong, kumohon! Jangan lakukan ini padaku!

Bumyen tidak peduli ucapan Zahra. Bahkan ketika ia memberontak di tangan Chan. Ia tidak ingin ambil pusing mengenai gadis itu. Mau penyusup atau pun mata-mata, gadis itu tak lebih dari seorang wanita biasa di matanya. Namun sayang, Bumyen tidak ingin mengambil risiko. Sehingga, lebih baik ia membuang gadis itu di tengah lautan. Jika ia beruntung, mungkin seseorang akan menyelamatkannya.

***


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status