Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang.
aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala.
Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel.
“Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
Dear, kalo kalian jadi Claretta mau gimana? kalo Author bakal langsung ngibrit ketakutan.hehe... Tunggu jawabannya di part selanjutnya ya! terima kasih yang masih setia ngikutin kisah Claretta. ^_^
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
“Hallo, Assalamualaikum… Ada apa,Yah?” Dengan nada malas, aku mengangkat telepon dari Ayah.“Nak, Tante Sari sudah melahirkan. Kamu dateng kesiniya?”Suara Ayah terdengar dari ujung telepon sana.“Enggak ah, ngapain aku ke sana?” tolakku tegas. Malas sekali jika aku harus ke sana. Melihat Tante Sari saja sudah membuatku kesal,apalagi ditambah dengan kehadiran anaknya.“Tidak ada yang membantu Ayah di sini. Lagipula apa kamu tidak mau melihat adikmu?” balas Ayah.‘Sejak kapan aku mempunyai adik? Ish…,perkataan Ayah membuatku kesal saja,’ aku mengomel dalam hati.Bayi itu anak Ayah dari Tante Sari. Sejak dulu aku tak pernah menerima kehadirannya sebagai pengganti Bunda. Ayah selalu saja memaksakan kehendaknya, dulu aku harus menerima kehadiran perempuan itu sebagai ibu sambungku.
Aku tak tahu pria itu membawaku ke mana…. Saat aku tersadar,aku hanya merasakan tubuhku dipindahkan dari mobil menuju brankar dan terdengar suara gaduh dari orang-orang sekitarku. Seseorang memegang pergelangan tangan kiriku dan menusukkan jarum infus di sana. Namun aku masih belum bisa membuka mataku, kepalaku masih sakit hingga rasanya mau pecah. Aku kembali tak sadarkan diri.“Claretta… Claretta sayang, bangun Nak.” Perlahan kubuka mataku. Aku berada di kamarku dan ada Bunda sedang membelai pipikudengan lembut.“Bunda…. Retta kangen Bunda.” Aku langsung bangun dan menghambur ke pelukan Bunda. Pelukan yang hangat sampai sekarang sampai aku terharu dibuatnya.“Kamu kenapa nangis, Sayang?” Bunda melepaskan pelukanku dan menghapus air mata di pipiku. Kuambil tangan bunda dan kucium tangannya berkali-kali.“Bunda, jangan pergi lagi ya?” pintaku. Bunda hanya tersenyum dan memelu
Ansel memperkenalkanku pada ibunya, “Bu, ini Claretta… Untuk sementara,dia tinggal di sinidulu ya Bu. Retta abis kecelakaan dan jauh dari keluarganya.”Ibunya mengangguk dan tersenyum meskipun terlihat canggung.“Saya Radhiti, ibunya Ansel. Kalo begitu, Retta tidur di kamar tamu aja ya. Kamarnya sudah bersih kok, karena setiap hari selalu dibersihkan.”Tante Radhiti membawaku ke kamar tamu, dia juga menunjukkan baju-baju yang bisa kupakai. Baju-baju itu milik sepupunya Ansel yang kini tinggal di luar kota. Kamarnya bernuansa pink dengan sprei yang berwarna senada serta bermotif kucing, tokoh kartun kesukaan anak-anak perempuan. Kamar ini memang terlihat bersih dan rapi.“Retta istirahat aja di sini dengan nyaman. Nanti kalo butuh sesuatu,bisa panggil Bik Inah. Dia asisten rumah tangga di sini."“Terima kasih ya Bu, sudah mengizinkan saya tinggal disini.” Aku terharu melihat kebaikan
“Ansel, sampai kapan kamu menahan gadis itu di sini?” tanya Radhiti.Ansel menghela napas panjang dan terdiam sesaat. Sejujurnya ia pun tak tahu jawabannya. Sulit baginya membiarkan gadis itu pergi darinya. Gadis yang telah mencuri hatinya sejak awal bertemu.“Ansel suka sama Claretta, Bu. Ansel ga mau dia pergi dari sini.” Ansel menundukkan kepalanya dan tak berani memandang ibunya.“Tapi kamu gak bisa memisahkan gadis itu dengan keluarganya. Kalian itu berbeda, Nak,” balas Radhiti, seorang wanita paruh baya yang kecantikannya terlihat tak memudar dan termakan usia.“Cinta tak mengenal perbedaan, Bu. Lagipula Claretta juga menyukai Ansel,” bela Ansel. Ia menatap dalam pada ibunya, berharap ibunya bisa mengerti perasaannya.Kini terdengar helaan napas dari Radhiti. “Apa kamu yakin dia akan tetap menyukaimu setelah tahu siapa kita sebenarnya?”Bukannya Radhiti tak mengerti pera
Kuraih tangannya.“Ansel, kamu mau permainkan aku? Setelah kamu nyatain cinta,sekarang kamu ngusir aku?” tanyaku dengan penuh penekanan. “Kamu pikir aku mainan, yang bisa kamubuang begitu saja saat kamu bosan,hah?” aku berteriak kesal. “Retta, kamu sadar ga sih? Tempat kamu bukan di sini,” jawab Ansel. “Terus di mana tempatku? Kamu yang bawa aku ke sini!” balasku dengan ketus. “Kembali pada keluargamu.” Ansel menatapku dengan tatapan dingin. Ia melepaskan tanganku. Lantas ia berlalu begitu saja dan meninggalkanku seorang diri di taman ini. "Tadi kamu bilang ingin menjagaku dan melindungiku? belum satu jam berlalu dan sekarang kamu tiba-tiba berubah," sambungku. "Sekarang aku sadar, ternyata aku gak pernah benar-benar menginginkan kamu," jawab Ansel dan berlalu begitu saja. Sungguh sulit dipercaya, perkataanya barusan benar-benar membuat hatiku hancur berkeping-keping. Aku pernah merasa dicampakkan saat Ay
Dering di ponsel membuatku terbangun, kulihat jam sudah menunjukkan angka tujuh. Rupanya sejak semalam, aku tertidur. Kemarin memang hari yang melelahkan buatku. Kulihat nama Nathan sedang memanggil. “Halo, Nath...Ada apa sih pagi-pagi udah nelpon?” tanyaku malas. “Ya elah, bangun Non. Keburu rezeki dipatok ayam, jam segini baru bangun.” “Dipatok kamu tuh yang ada, jam segini udah nelpon” jawabku ketus “Beneran nih, mau dipatok sama aku?” Nathan menggodaku. Aku berdecak kesal, ‘Ini anak, kayaknya minta dipecat jadi sahabatku,’ aku mengomel dalam hati “Hari ini kita bimbingan lagi yuk! Judul skripsi kamu kan udah di acc, cuma keburu kamu menghilang aja jadinya mangkrak deh kayak pembangunan jalan provinsi,” ajak Nathan. Aku termenung, kejadian kemarin pasti telah membuat suasana geger di kampus. Seorang maha
Sementara itu di kota Saranjana, Ansel merasa menyesal dengan keputusannya. Membiarkan Retta pergi kembali ke dunianya, membuat batinnya tersiksa sendiri. Waktu yang telah ia lewati bersama Retta, terasa begitu singkat. Hal yang paling ia sesali adalah bahwa ia telah menyakiti gadis yang dicintainya. ‘Aku harus meminta maaf pada Retta,’ kata Ansel dalam hati. Ia menyelinap keluar dari kamarnya, tak ingin langkahnya diketahui oleh ibunya. Jika Radhiti tahu, ia pasti akan melarang anaknya itu untuk berhubungan lagi dengan Retta. Ansel membuka pintu depan dengan perlahan dan berjalan dengan mengendap-endap. Namun ternyata Radhiti memergokinya dan mencurigainya. “Mau kemana kamu Ansel?” hardi Radhiti dengan sorot mata yang tajam. Keringat dingin membasahi pelipis Ansel, “Ansel mau ke rumah sakit Bu, sebentar lagi ada rapat internal.” Sesungguhnya pemuda itu tidak bera