Namaku Claretta Elvina, mahasiswa semester akhir di Kota Banjarbaru. Tak pernah terbayang olehku, mendapatkan pengalaman aneh setelah selesai mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Laut. Dalam perjalanan pulang ke Banjarbaru, aku tersesat di sebuah kota yang tak kasat mata, tapi kota itu diyakini keberadaannya oleh masyarakat sekitar. Di sana, aku ditolong oleh seorang dokter muda yang tampan bernama Ansel. Di satu sisi, aku sangat merindukan keluargaku dan Nathan, sahabat baikku.Namun di sisi lain, aku tak rela berpisah dengan pria yang telah berhasil mencuri hatiku. Saat perasaan hatiku sedang terombang-ambing, mendadak aku kembali ke Banjarbaru, kembali lagi ke kehidupanku yang sebelumnya. Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku kembali mencari dan memecahkan misteri kota yang hilang itu demi bertemu kembali dengan cinta sejatiku? Atau haruskah aku melanjutkan hidupku dan melupakan Ansel untuk selamanya?
Lihat lebih banyak“Hallo, Assalamualaikum… Ada apa, Yah?” Dengan nada malas, aku mengangkat telepon dari Ayah.
“Nak, Tante Sari sudah melahirkan. Kamu dateng ke sini ya?” Suara Ayah terdengar dari ujung telepon sana.
“Enggak ah, ngapain aku ke sana?” tolakku tegas. Malas sekali jika aku harus ke sana. Melihat Tante Sari saja sudah membuatku kesal, apalagi ditambah dengan kehadiran anaknya.
“Tidak ada yang membantu Ayah di sini. Lagipula apa kamu tidak mau melihat adikmu?” balas Ayah.
‘Sejak kapan aku mempunyai adik? Ish…,perkataan Ayah membuatku kesal saja,’ aku mengomel dalam hati.
Bayi itu anak Ayah dari Tante Sari. Sejak dulu aku tak pernah menerima kehadirannya sebagai pengganti Bunda. Ayah selalu saja memaksakan kehendaknya, dulu aku harus menerima kehadiran perempuan itu sebagai ibu sambungku. Sekarang aku pun harus menerima anaknya sebagai adikku. Sampai kapan pun, itu tidak akan pernah terjadi.
“Enggak, itu anak Ayah, bukan adikku!” bentakku. Ada sedikit rasa bersalah menjalar di hatiku karena telah berkata kasar kepada Ayah.
“Tak apa … Kalau Retta tidak menganggap anak Ayah ini sebagai adik Retta. Tapi Ayah mohon, tolong bantu Ayah di sini,” ucap Ayah setengah memohon.
Aku selalu saja tidak pernah bisa menolak permohonan Ayah, meskipun aku sangat kesal padanya. “Ya udah, nanti Retta izin dulu sama teman kelompok Retta. Karena harusnya Retta pulang besok, bukan hari ini.”
“Iya Nak, nanti hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabari Ayah,” suara Ayah terdengar sangat lega sekaligus senang.
Kuputus teleponku dan duduk termenung sendiri di ruang tamu, hingga tepukan bahu dari Nathan menyadarkanku.
“Heh, ngelamun aja! Entar kesambet loh!” Nathan terkekeh, membuatku sebal melihat wajahnya yang cengengesan setelah berhasil mengagetkanku.
‘Nyebelin banget sih! Ngagetin orang aja!’ aku mengomel dalam hati dan memasang mimik wajah kesal.
Bukannya minta maaf, dia malah semakin cengengesan melihatku kesal. Sahabatku yang satu ini memang jahil dan menyebalkan, untung saja dia baik dan care. Kalau tidak, sudah kupecat jadi sahabat sejak lama.
Nathan duduk di sampingku dan tersenyum. “Kamu kenapa sih? Kayaknya lagi kesel?” dari nadanya terdengar serius.
“Lagi datang bulan ya? Kayaknya bulan juga ga berani datang ke kamu, orang kamunya aja galak. Jangankan bulan, orang aja takut deket kamu,” lanjutnya lagi, disusul dengan tawanya yang terbahak-bahak sampai ia memegangi perutnya.
Kuambil bantal kecil berwarna abu di sampingku. Kulempar bantal itu hingga tepat mengenai wajah Nathan. Ia mengaduh tapi aku senang bisa membalas kejahilannya. Belum puas pembalasan dariku, kuhampiri Nathan dan kuacak-acak rambutnya hingga puas, dia tak melawan. Kini rambut pemuda tengil itu terlihat seperti rambut singa hingga aku tergelak melihatnya.
“Nath, aku izin dong pulang duluan. Ayah nyuruh aku pulang, katanya Tante Sari udah ngelahirin. Aku berangkat nanti sore.” Aku duduk di samping Nathan.
“Alhamdulillah, bagus dong. Ayolah Ta. sampai kapan sih kamu manggil dia tante?”
“Gimana pun juga Tante Sari itu udah jadi ibu sambung kamu. Toh sikapnya juga baik sama kamu kan? ga kayak ibu-ibu sambung macam di sinetron alay itu,” ujar Nathan, sambil merapikan rambutnya yang seperti singa dan menyugar rambutnya kembali.
“Kamu sih enak, bisa ngomong gitu. Kamu punya orang tua kandung yang lengkap!” jawabku ketus.
"Aku ngerti kok perasaan kamu cuma kan ..." Saat Nathan belum selesai bicara, aku langsung memotong pembicaraannya.
"Kamu gak akan pernah ngerti kalo kamu gak ada di posisi aku," ucapku penuh penekanan
"Kita selalu sepaham dalam hal apapun, kecuali ini. Jadi jangan memaksakan pemahaman kamu itu sama aku. Not worth it for me! seruku sambil beranjak pergi
Aku malas melanjutkan obrolan ini. Nathan selalu saja membahas hal yang sama. Ia tidak akan mengerti bagaimana perasaanku, kondisi keluargaku berbeda dengannya. Ia mempunyai keluarga yang utuh dan mendapatkan kasih sayang yang lengkap dari kedua orang tuanya. Tapi dia selalu bersikap seolah mengerti perasaanku.
“Nanti aku mintain izin juga ke teman-teman yang lain!” seru Nathan dari jauh.
Kumasukkan pakaian dan perlengkapanku ke dalam koper. Aku sudah mendapatkan izin dari teman-teman kelompok KKN-ku untuk pulang lebih dahulu, walaupun aku harus melewatkan acara perpisahan dengan warga di sini. Syukurlah mereka mengerti alasanku.
Hari sudah semakin sore, aku bergegas dan menarik koperku ke depan. Aku tak mau kemalaman di jalan. Karena aku harus mengendarai mobil sendiri dan penglihatanku agak kurang awas saat malam hari.
Nathan membuka pintu bagasi mobilku dan memasukkan koperku. Setelah aku pamit pada teman-temanku, kubuka pintu depan mobil dan segera tancap gas. Rupanya cuaca sore ini sedang tidak bersahabat, awan mendung mulai berarak dan langit mulai semakin gelap.
Tak lama, hujan turun dengan rintik-rintik. Kuinjak pedal gas lebih dalam lagi untuk menaikkan kecepatan mobilku. Suasana jalan pun sedang lengang, aku bisa bebas menambah kecepatanku. Kulirik ponsel yang berdering di jok sampingku, tertera nama Ayah sedang memanggil. Kuambil headset dan kutekan tombol on untuk menghubungkan dengan ponsel.
“Halo Ayah, Retta udah di jalan nih. Paling dua jam lagi Retta sampai,” ujarku sambil mengemudi dan menjaga pandanganku tetap lurus ke depan.
“Oh gitu. Ya udah, hati-hati di jalan ya, Nak. Jangan lupa berdoa,” jawab Ayah.
“Iya…Yah, udah dulu ya… Retta lagi nyetir nih,” balasku singkat dan kuputuskan panggilan.
Mengendarai mobil sendiri dengan keadaan jalanan yang sepi membuat suasana terasa sunyi. Kuputar musik dari speaker mobil, kupilih lagu-lagu favoritku untuk menemani perjalanan ini. Lagipula aku harus menjaga mata ini agar tidak mengantuk. Ponselku berdering lagi, kali ini Nathan yang menelepon.
“Halo Nath, aku masih di jalan nih. Tadi gimana acara perpisahan sama warganya?,” tanyaku penasaran.
“Alhamdulillah, lancar acaranya, tadi juga warga nanyain kamu. Katanya ke mana Mbak yang cantik itu?” Nathan berusaha menggodaku.
Aku tertawa mendengarnya. “Bohong, itu sih bisa-bisanya kamu aja biar aku ke-geer-an.” Dia pikir dia bisa membohongiku.
“Hahaha, tahu aja… Ya ga mungkinlah warga ngomong gitu. Paling juga nanyanya gini, Mas…, Mbak yang galak itu ke mana ya?” diselingi gelak tawanya yang menggema di ponselku.
Sudah kuduga, Nathan memang tidak pernah tulus memujiku. Setelah membuatku terbang dengan pujiannya, dia akan membuatku jatuh dengan ledekannya.
“Asseemm…! Dasar temen ga punya akhlak! Udah, jangan ganggu aku. Lagi buru-buru nih, takut keburu malam,” gumamku pura-pura kesal.
“Ya udah, hati-hati di jalan ya. Jangan lupa kabarin kalau udah sampai,” ucap Nathan.
“Ok…” Kuputuskan panggilannya dan kutaruh ponselku di atas dashboard.
Hujan semakin deras, Kilat mengiringi perjalananku bersamaan gemuruh petir yang menggelegar dengan keras. Aku mengurangi kecepatan mobilku karena jalanan mulai berkabut. Tiba-tiba terdengar suara keras. Braaak …! Pohon beringin berukuran besar yang berada tepat di depanku tumbang. Kutarik rem mendadak untuk menghindari mobil agar tidak menabrak pohon itu. Namun kecelakaan tidak dapat dihindari. Buuuum….! Mobil menghantam pohon itu dengan keras.
Aku baru sadar tak memasang seatbelt dengan benar hingga kepalaku terbentur mengenai kaca depan mobil dan tubuhku mengenai setir mobil. Aku meringis memegang perutku yang sakit. Kuraba keningku, meneteskan darah yang terus mengalir. Dengan kekuatan yang tersisa, kubuka pintu mobil. Aku mencoba mencari pertolongan tapi tak ada satu pun kendaraan yang lewat.
Aku berjalan dengan tertatih, kepalaku semakin berat. Kulihat ada sebuah mobil putih yang melintas. Aku berteriak meminta pertolongan. Mobil itu berhenti, seorang pria keluar dari mobil dan menghampiriku dengan terburu-buru.
“Mbak… mbaknya kenapa? Baik-baik aja kan?” tanya pria itu dengan cemas.
Aku menggeleng, ingin menjawab tapi suaraku tersekat di tenggorokan, kepalaku semakin berat dan pusing. Pria itu langsung menggendongku menuju mobilnya. Pandanganku mengabur dan suara pria yang terus memanggilku itu semakin samar. Aku tak sadarkan diri.
“Claretta … ,” panggil Ansel, membuatku tersadar dari lamunanku. Tubuhku masih kaku, tak percaya dengan kenyataan yang terjadi di hadapanku. Ansel masih saja berusaha mendekatiku, Namun kali ini aku merasa takut berada di dekatnya. Aku menghindarinya dengan mundur beberapa langkah, tanpa sadar aku sudah berada di tepi bukit ini. Hampir saja aku hilang keseimbangan, beruntungnya Ansel segera meraih tanganku. Ansel memang berhasil menyelamatkanku, tapi aku masih syok dengan kejadian barusan. Jika Ansel terlambat beberapa detik saja menyelamatkanku mungkin aku sudah jatuh ke jurang. Tubuhku bergetar, menahan sesak di dada. Aku menangis kencang, seperti anak kehilangan induknya. Ya, aku merasa kehilangan arah hidupku. Semua tidak seperti yang kuharapkan. Ansel memelukku dan berusaha menenangkanku tapi tangisku belum juga reda. Ansel segera membawaku pulang. Sesampainya di rumah, Helena menungguku dengan wajah yan
Aku masih penasaran, dengan paviliun itu. ‘Sebenarnya bayangan apa yang tadi kulihat?’ pikirku. Saat Helena sudah keluar, aku kembali membuka tirai di jendela. Kulihat Helena pergi menuju paviliun dengan mengendap-endap. Sungguh aneh, ia berjalan dengan mengendap-endap di rumahnya sendiri, tak mungkin ia bersembunyi dari seseorang. aku harus mengikuti Helena dan mencari tahu apa yang sedang Helena lakukan di luar sana. Aku membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di dalam rumah, sudah sedikit gelap. Lampu di sekitar ruangan sudah padam, hanya beberapa lampu sudut yang dibiarkan menyala. Praang … aku mendengar suara benda jatuh dari arah dapur. Baru saja beberapa langkah menuju dapur, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah depan. Penasaran, kubuka tirai yang ada di ruang tamu, rupanya Ansel yang datang. Segera kuraih kenop pintu dan membukakan pintu untuk Ansel. “Ansel, kok balik lagi? Ada yang ket
Seorang pemuda terkapar tak sadarkan diri di pinggiran pantai, seorang gadis berambut pendek sebahu, menghampiri pemuda itu. Ia memeriksa denyut nadi pemuda tersebut untuk memeriksa keadaannya. Setelah memastikan kondisinya baik-baik saja, gadis itu memapah pemuda itu menuju mobil untuk membawanya pulang. Pemuda tersebut akhirnya mulai tersadar dan mengerjapkan matanya beberapa kali, saat menyadari dirinya berada di tempat yang asing. “Kamu udah bangun?” tanya gadis yang sedang duduk di kursi sebelahnya. Nathan mengangguk pelan, “kamu siapa?aku ada dimana?” “Aku Helena, sepupunya Ansel. Kamu tadi pingsan di pinggir pantai, jadinya aku bawa kamu kesini deh,” jawab Helena. “Ansel?” Nathan seperti tidak asing dengan nama itu. “Ya, Ansel yang saat ini bersama Claretta. Aku tahu semua tentang Claretta, termasuk soal sahabatnya yang diam-diam menc
‘Kenapa jalan ini terasa asing bagiku?’ batinku. saat aku tiba di Pulau Laut. Kutepikan mobilku di dekat pantai, suasana disini terasa sepi. Terlebih lagi disini mulai senja, sejujurnya aku sedikit merasa takut berada di tempat ini seorang diri. Tapi aku tak punya tempat lagi untuk ku singgahi. Bodohnya aku berharap bisa menemui Ansel disini. Hanya dia satu-satunya yang orang yang membuatku merasa nyaman. Aku terduduk di tepi pantai, menertawakan nasibku sendiri. Aku merasa bodoh dan merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku. Tak terasa butiran-butiran kristal pun terjatuh dari sudut mataku. Kubenamkan kepala di antara tangan dan kakiku, melepaskan semua kesedihanyang menyesakkan dada. Setidaknya suara deburan ombak, menemaniku malam ini. Tiba-tiba sebuah tangan, membelai rambutku dengan lembut. Aku terkejut dan segera menoleh ke samping. Seorang pria bermata coklat tengah memandangku dengan tatapan matanya yang teduh.
Teeeeeet … bel sekolah sudah berbunyi, seluruh siswa sudah masuk ke kelas masing-masing untuk memulai jam pelajaran. Seorang guru perempuan bernama Bu Sovia, memasuki kelas XII IPA 2, Ketua kelas memberikan aba-aba pada siswa lainnya untuk memberikan salam pada sang guru. Usai menjawab salam dari semua siswa, pandangan guru tersebut menyisiri seisi ruangan. Pandangannya berhenti pada seorang siswa yang duduk di dekat jendela, tampaknya siswa tersebut masih asyik didunia mimpinya. Ia tidak terbangun, meskipun jam pelajaran sudah dimulai. Bu Sovia menghampiri siswa tersebut, dan mengambil buku dari salah satu siswa. Alih-alih menghukum siswa tersebut, guru tersebut justru mengipasi siswa itu. Semua siswa tertawa melihat tingkah laku siswa laki-laki tersebut. Tapi ia tak kunjung bangun juga. Bu sovia duduk di kursi sampingnya yang memang kosong dan menepuk pipinya dengan lembut. “Nathan, banguu
“Retta, tadi kamu cari siapa? Laki-laki itu?” tanya Nathan meminta penjelasan Aku mengangguk pelan, Nathan terlihat menghela nafasnya dengan berat. Mungkin ia kecewa padaku karena masih saja teringat tentang Ansel. Tapi bagaimana lagi, semua hal tentang Saranjana termasuk Ansel, masing terbayang-bayang di ingatanku. Sampai saat ini, aku merasa bahwa itu semua nyata. Meskipun aku sedikit ragu dengan perasaanku pada Ansel, entah nyata atau tidak. “Retta, bukankah kamu janji padaku?” tanya Nathan, “Untuk melupakan semua hal tentang Saranjana termasuk laki-laki itu.” “Tapi bukan salahku Nath, kalau bayangan Ansel tiba-tiba muncul di hadapanku.” tukasku. “Kenapa sih kamu selalu mikirin laki-laki itu?” keluh Nathan. Aku memalingkan muka, memilih untuk tak menjawab pertanyaan Nathan. Nathan menatapku dengan sorot mata yang tajam. “Kamu ada perasaan sama dia?”
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen