Bina terbangun dengan napas yang memburu. Pakaiannya basah karena keringat. Wanita itu terdiam selama beberapa saat. Mencoba mengatur napasnya yang masih terengah-engah. Setelah napasnya mulai teratur kembali, wanita itu baru menyadari kalau pamannya sedang duduk di sampingnya. Menatapnya dengan raut wajah yang khawatir.
“Apa kamu baik-baik saja, Bina?” Tanya Paman Jo.
Bina hanya menganggukkan kepalanya sebagai balasan. Pandangan Paman Jo kini beralih menatap tangan kanan keponakannya itu. Bina memutar kepalanya, mengikuti pandangan pamannya dan terkejut. Wanita itu segera melepaskan benda yang berada di tangan kanannya.
“A-aku—Aku tidak bermaksud untuk—“ Bina tergagap. Raut wajahnya panic saat akan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Paman Jo hanya mengembuskan napas pasrah.
“Kamu bermimpi buruk, kan?” Tanya Paman Jo. Wanita itu hanya bias menundukkan kepalanya, sedih.
“Sudah berapa kali paman katakan untuk tidak tidur sambil memegang anak panahmu? Kamu kan sudah tahu kalau kamu selalu bermimpi buruk setiap kali tidur sambil memegang anak panahmu itu,” ucap Paman Jo dengan nada yang sedikit tinggi.
Bina mengangkat kepalanya. Tatapannya dan Paman Jo saling bertemu. Kedua matanya berkaca-kaca. Wanita itu sedikit menarik napas dengan berat dan berkata, “Karena aku merindukan ayah dan ibuku. Aku selalu tidur sambil menggenggam anak panahku , karena aku merindukan mereka.”
Paman Jo meluruskan punggungnya. Mulutnya terkunci seketika. Pikirannya terbang entah kemana. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi seperti ini. Di hadapannya, keluarganya satu-satunya menatapnya dengan raut wajah yang sedih.
“Apa paman tidak rindu pada mereka? Apa paman tidak ingin tahu siapa yang membunuh kakak perempuan paman?” Bina bertanya dengan suara yang lirih.
Jonathan menelan ludahnya dengan kasar. Kepalanya terasa berputar. Pertanyaan dari keponakannya membuat pikirannya seolah terlempar kembali pada kenangan delapan tahun lalu. Hari dimana kakak kandungnya dan kakak iparnya mati dengan tragis.
"Bina, kita sudah pernah membahas hal ini. Mereka bilang itu hanya--"
"Kecelakaan?" Bina segera memeotong ucapan pria di depannya.
"Apa paman masih percaya pada ucapan orang-orang itu?" Bina kembali melempar pertanyaan kepada pamannya.
"Mereka sudah menyelidikinya dengan maksimal, Bina." Jonathan, pria itu menjawab dengan tegas pertanyaan Bina.
"Tidakkah paman merasa aneh? Mereka bersedia melakukan penyelidikan dan memberi kita uang untuk memulai kehidupan yang baru secara cuma-cuma," Bina mencoba menjelaskan.
"Bina, sudah cukup! Tidak bisakah kamu lihat kebaikan mereka sedikit saja?" Jonathan mulai kehabisan kesabaran pada wanita muda di depannya.
"Kalau mereka memang baik, mereka tidak akan mengusir kita berdua dari negara kita sendiri, paman."
Setelah mengatakan itu, Bina beranjak keluar kamar sambil membawa anak panah yang tadi digenggamnya. Sedangkan Jonathan tidak bergeming dari tempatnya. Pria berusia empat puluh tahun-an itu malah mengacak rambutnya--frustasi.
***
Pukul 03.00 WIB
Seorang wanita terlihat berjalan sendirian menuju taman kota. Udara dini hari membuatnya merapatkan kembali mantel putih yang melekat ditubuhnya. Sesekali ia meniup telapak tangannya yang terasa kebas. Wanita itu mulai mempercepat langkahnya saat menyadari kalau tidak ada kendaraan atau satu orang pun disekitarnya.
"Dasar pak tua menyebalkan! Awas saja kalau sudah ketemu! Akan kuberi pelajaran langsung di tempat!" Gerutu wanita itu.
Tidak lama kemudian, tidak jauh di depannya, ia melihat sosok 'pak tua' yang ia sebut tadi. Tengah duduk meringkuk di atas trotoar. Di sebelah kanannya ada tempat sampah hijau berukuran besar. Wanita itu berdecih, melihat pemandangan di depannya. Ia lalu segera menghampiri orang yang memintanya untuk bertemu dini hari itu.
"Hei, pak tua! Bangun! Jangan tidur di sini! Kau seperti gembel, tau!" Wanita itu menendang pelan ujung sepatu yang dipakai pria di depannya.
Pria itu tidak bergerak sedikit pun. Wanita itu mulai merasa kesal lagi. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantelnya.
"Jangan menguji kesabaranku, ya! Aku hitung sampai tiga. Satu... Dua..." Hitung wanita itu.
"Dia bilang merindukan ayah dan ibunya," ucap pria itu.
Pria itu mengangkat wajahnya. Kedua matanya terlihat bengkak. Tatapannya sayu. Wanita di depannya yang sejak tadi ingin meluapkan amarahnya kini malah merasa kasihan. Ia lalu ikut berjongkok di depan pria itu.
"Apa yang terjadi?" Tanya wanita itu, bersimpati.
"Dia selalu bilang kalau kakakku dibunuh." Kedua mata pria itu kini mulai berkaca-kaca.
"Dia bertanya apa aku merindukan kakakku," lanjutnya.
TES
Pria itu kini tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis dengan menyedihkan. Memukul dadanya yang terasa sesak. Berharap kalau waktu bisa diputar kembali. Berharap kalau ia bisa menyelamatkan kakak tercintanya. Wanita di depannya hanya bisa menawarkan bahu dan pelukannya. Ia menepuk pelan punggung sahabatnya. Berharap kalau hal itu bisa memeberi ketenangan.
*Bersambung*
*** Pukul 09.00 Waktu Sydney, Australia Leo Park tampak ikut bertepuk tangan bersama para penonton lainnya. Pria itu kini tengah duduk di kursi penonton di Sydney Opera House dan menyaksikan penampilan seorang pianis wanita yang berbakat. "Ya, itulah penampilan dari pianis berbakat kita hari ini. Beri tepuk tangan kepada Nona Sapphire," ujar sang pembawa acara. Wanita yang disebutkan namanya barusan langsung berdiri menghadap penonton dan menundukkan tubuhnya sebagai rasa terima kasih kepada penonton. Setelah menegakkan kembali tubuhnya, ia menebarkan pandangan dan senyumnya ke arah kursi penonton. Namun sayang, senyuman manisnya itu tidak bertahan lama begitu kedua matanya menangkap sosok pria yang begitu ia kenal. Tanpa basa-basi lagi, ia segera turun begitu pembawa acara mulai menyebutkan acara selanjutnya. Wajahnya terlihat cukup panik dengan kedua rahangnya yang mulai mengeras. Tepat ketika ia baru saja masuk ke dalam ruang istirahatnya, bahkan belum sempat ia berbalik unt
*** Matahari pagi terlihat masuk menembus kaca jendela pesawat dan menimpa wajah seorang wanita. Membuat dahi wanita tersebut sedikit berkerut karena merasa risih dengan cahaya itu. Perlahan tapi pasti, kedua matanya mulai mengintip meski masih sedikit terasa mengantuk. "Pagi, putri tidur!" Sapa seorang pria yang duduk di seberangnya dengan senyuman jahil. "Sial! Mood-ku langsung hancur begitu disapa oleh orang sepertimu!" Omel wanita itu dengan tatapan yang sinis. "Ini sarapanmu, Bina." Tiba-tiba Jonathan memberikan sepiring nasi goreng hangat buatannya sendiri. "Terima kasih, paman." Balas Bina sambil menyunggingkan senyum manis. "Tch! Lihatlah keharmonisan antara paman dan keponakan di depanku ini." Leo Park berdecih sambil memasang ekspresi seolah-olah merasa jijik pada sikap Bina yang sok manis kepada pamannya, Jonathan. "Apa kau bilang?!" Bina kini mengeluarkan nada tingginya.
*** Bina kini masih berjalan mondar-mandir di ruang tengah sambil menggigiti kuku jari tangannya dengan cemas. Sedangkan anggota tim yang lain nampak sedang memandangi ukiran Budha asli yang berhasil mereka ambil dari tempat penyimpanan rahasia keluarga Rothschild dengan takjub. "Bina, kenapa kau terlihat cemas begitu?" Tanya Awan yang akhirnya menyadari kegelisahan rekannya. Bina menghentikan langkahnya. "Bagaimana tidak, meskipun misi pertama kita sukses dengan lancar, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya mengakhiri hubunganku dengan si anak konglomerat, Nathaniel Rothschild. Ditambah lagi, aku tidak memiliki pengalaman dalam sebuah hubungan sama sekali! Bagaimana bisa aku bertemu dengan ibunya? Sedangkan kita mendekati anaknya hanya untuk kelancaran misi saja! Apa yang harus aku katakan nanti?!
***Dua hari setelah makan malam Bina dengan Nathaniel Rothschild, wanita itu kembali diajak bertemu oleh si anak konglomerat. Bukan tanpa alasan pria kaya raya itu mengajaknya bertemu kembali. Ternyata, Nathaniel Rothschild menyanggupi syarat yang diberikan oleh Bina untuk membuktikan keseriusannya atas hubungan mereka.Maka dari itu, seluruh anggota tim terlihat sangat sibuk mempersiapkan segalanya. Bahkan Awan saja ikut sibuk membantu Jonathan untuk membuat sebuah alat yang akan dipakai oleh Bina nanti."Ini," ucap Awan sambil menyerahkan koin perak yang sama persis dengan koin perak tempo hari Bina dapatkan sebelum makan malam dengan Nathaniel.Bina mengerutkan keningnya. "Apa ini? Aku kan sudah mendapatkan alat pelacak yang sama beberapa hari yang lalu." Bina menunjukkan koin perak yang diberikan kepadanya beberapa hari yang lalu."Koin yang baru saja kuberikan berbeda. Koin perak baru itu bisa melacak keberadaanmu sekaligus memetaka
***Bina sedang berdiri di balkon seorang diri. Setelah celotehan Leo Park tadi, wanita itu tiba-tiba saja teringat pada tragedi yang menimpa orang tuanya dan berhasil merenggut nyawa mereka. Bina mengembuskan napas berat untuk kesekian kalinya. Bayangan kejadian itu selalu membuatnya merasa frustasi setiap kali ia mengingatnya."Maaf, aku tidak bermaksud membuka luka lama-mu itu." Tiba-tiba saja Leo Park muncul di belakangnya."Tak apa. Lagipula kau juga tidak tahu akan kejadian itu," jawab Bina dengan nada suara yang dingin.Leo Park kini mulai melangkah maju dan menyejajarkan tubuhnya di samping Bina. "Aku memang tidak tahu akan kejadian itu. Tapi aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang-orang yang sangat disayangi."Ucapan Leo Park membuat Bina langsung mengalihkan pandangannya kepada pria itu. Kedua alisnya kini saling bertaut saking penasarannya pada ucapan pria itu barusan. Raut wajah Bina yang berubah penasaran sukses membuat Leo Park menarik sudut bibir kanannya ke atas."
***Bina terbangun di pagi harinya dengan keadaan yang cukup kacau. Rambutnya berantakan dan wajahnya masih dipenuhi dengan make up yang tidak sempat ia hapus sebelum jatuh tertidur di atas tempat tidurnya. Ditambah lagi dengan kepalanya yang berdenyut sakit, pusing dan perutnya yang mual dengan hebat. Bina buru-buru pergi ke toilet dan memuntahkan isi perutnya ke westafel.Wanita itu lalu menyalakan keran air dan membersihkan mulutnya. Bina keluar dari toilet sambil memegangi perutnya yang masih terasa mual. Kakinya perlahan melangkah menuju ke dapur. Indera penciumannya tanpa sengaja menangkap bau masakan dari arah dapur. Ia mendapati ada Evelyn di sana yang sedang sibuk mengaduk sesuatu di dalam panci di atas kompor."Kukira kau hanya pandai memimpin tim saja," ucap Bina sebagai sapaan kepada atasannya. Ia berjalan menuju ke kulkas, membukanya dan mengambil sebotol air mineral dari dalam sana."Ah, ya aku juga cukup pandai memasak. Aku buatkan