Share

GANTUNG

Ruang rawat inap itu dominan gelap. Pada ranjang pasien, terbaring seorang wanita paruh baya dengan selang infus menancap pada punggung tangannya yang kurus kering keriput. Matanya yang cekung perlahan terbuka ketika pintu ruang rawat inap terbuka. Tampak siluet sesosok bertubuh tinggi. Meski inderanya sudah tidak mampu bekerja sempurna, tapi dia masih bisa mencium aroma parfum sosok tinggi yang baru hadir itu.

"Marko ...?" Suaranya yang lemah menyapa.

"Ya, Bu? Ini Marko."

Pintu ruang rawat inap ditutup kembali oleh Marko, lalu dia berjalan ke ranjang pasien tempat ibunya sedang terbaring lemah.

"Kenapa Ibu bangun? Tidur aja lagi, apa aku ganggu Ibu?" tanya Marko hati-hati.

"Mana mungkin kamu ganggu Ibu, Nak ... malahan Ibu kangen kamu, kamu yang Ibu tunggu-tunggu dari pagi ... akhirnya kamu datang juga, Ko."

Meski tampak lelah dan lemah, ibu Marko berusaha memaksa diri untuk tersenyum. Matanya yang sayu menatap puteranya dengan penuh kasih sayang. "Makasih ya, Marko. Maaf ... maaf buat semuanya, maaf udah menghalangi jalan kamu ..." ucapnya sedih.

"Aduh, Ibu ... itu lagi yang Ibu bahas. Aku males deh kalau topiknya udah soal ini," protes Marko.

"Riko mana?"

"Dia pulang dulu, biarlah malam ini dia tidur di rumah, istirahat dulu. Aku yang jaga Ibu malam ini, nggak apa-apa, kan?"

Ibu Marko mengangguk antusias. "Ibu juga kasihan liat adik kamu itu, hari-hari jadi harus ngejaga Ibu melulu, Ibu nggak enak jadinya, dia jadi nggak bisa fokus sama kuliahnya."

"Udahlah, Bu. Nggak perlu merasa nggak enak atau merasa bersalah gitu, memang sudah tugas kami sebagai anak, kami harus mengabdi sama Ibu. Ya kan?"

Marko dengan santainya mengambil satu tempat duduk lantas duduk di samping ranjang pasien.

"Tapi kamu nggak perlu berkorban sebanyak ini buat Ibu, Marko."

"Maksud Ibu apa?"

"Kamu ... kamu harus menikah, Nak ... kamu harus juga mulai mikirin masa depan kamu nanti mau seperti apa."

Satu helaan napas berat meluncur dari mulut Marko.

"Lagi-lagi, topik nggak jelas kayak gini yang Ibu bahas. Aku males deh, aku mau balik aja kalau ini yang mau Ibu omongin!"

"Heh ... jangan langsung marah gitu, Nak."

Dengan penuh perasaan sayang, ibu Marko mengelus punggung tangan puteranya.

"Bukan ada maksud apa-apa, Marko ... tapi kamu juga harus mikirin masa depan kamu juga--"

"Maksud Ibu, kayak Bang Miko?! Itu namanya egois, Bu!"

"Bukan egois, Nak ... bukan. Ibu ini udah tua, masa hidup Ibu berapa lama lagi, sih? Tapi jalan kamu masih panjang, kamu juga harus berumah tangga, kamu juga harus punya anak. Iya, kan? Kamu udah dua puluh tiga tahun, sebentar lagi kamu seperempat abad, udah bisa menikah. Gimana dengan pacar kamu, Dinda? Kalian--"

"Jangan dibahaslah, Bu. Aku nggak suka dengar nama itu."

"Kenapa, Marko? Kamu berantem sama Dinda?"

Mata Marko menerawang, tampaknya bingung harus menjawab pertanyaan ibunya seperti apa.

"Bukannya kamu udah mau genap setahun sama dia? Kenapa kalian? Udah putus?" desak ibu Marko seakan tak mau menyerah sebelum mendapat jawaban pasti dari puteranya.

"Belum putus, kok, cuma dibilang masih pacaran juga ..." Ucapan Marko menggantung.

"Kenapa?" desak ibu Marko sekali lagi.

"Ya. Kami nggak jarang ketemu akhir-akhir ini, karena aku juga udah lebih sibuk, kan. Dia juga baru dapat kerjaan juga, jadi mungkin lebih fokus sama kerjaannya sekarang."

"Yakin kamu? Kalian nggak berantem, kan?"

Mata Marko menatap tangan ibunya dengan nanar, bimbang.

"Nggak ada pertengkaran kok, Bu. Udahlah ya, Bu ... Ibu balik aja lagi tidur, aku mau ke toilet bentar."

Siapa pun tentu akan bisa menebak bahwa Marko sedang berusaha untuk menghindar dari pertanyaan tajam ibunya.

***

Marko memilih keluar dari ruang pasien, dia pergi ke balkon di luar, lalu menyalakan sebatang rokok. Kepulan asap putih keluar dari mulutnya, menghilang dan lebur di udara, sama seperti kalut pikirannya saat ini.

Dinda.

Nama itu sudah sebulan belakangan dia coba hindari, tapi tampaknya tak akan segampang itu untuk dia tepiskan dari hidupnya, terlebih jika itu untuk periode yang agak lama.

Masih tergambar dengan jelas bagaimana pertama kali Marko bertemu dengan Dinda. Dinda merupakan juniornya satu tingkat di kampus.

Gadis itu hampir sepenuhnya kebalikan dari dirinya. Marko tidak yakin seratus persen, tapi memang ada kemungkinan dia tertarik kepada Dinda karena gadis itu seperti kebalikan dari dirinya.

Dinda sangat ceria, populer, supel, memiliki banyak teman. Tipe social butterfly yang akan sangat aneh jika terlihat hanya seorang diri.

Bukan hanya populer di kalangan para gadis-gadis saja, Dinda juga sangat mempesona di mata para kaum adam, karenanya dulu saat Marko pertama kali terbuka soal hubungannya dengan gadis itu, ada banyak hati yang patah.

Dinda tidak hanya istimewa dari segi fisik dan kepribadian saja, tapi juga merupakan puteri tunggal dari seorang pemilik rumah sakit. Segala hal tentangnya memang bisa dibilang terlalu sempurna, terlalu baik untuk menjadi kenyataan.

Ada satu hal yang membuat hubungan mereka tetap terasa tawar meski sudah berjalan hampir dua tahun, Marko yang secara sadar masih belum menyadari perasaan dirinya sendiri.

Sejak semula, memang Dindalah yang mendekati Marko, Dindalah yang mengajaknya untuk berpacaran, dan Marko mengiyakan meski tak begitu yakin apa alasannya untuk menerima.

Marko percaya, cinta akan hadir seiring berjalannya waktu, cinta karena biasa, terbiasa bertemu hari demi hari. Namun, pemikirannya itu salah, sebab sampai tahun kemarin, saat Dinda bertanya ke arah mana hubungan mereka, Marko masih tak tahu harus menjawab seperti apa.

Bukan karena perbedaan status sosial yang membuat Marko ragu untuk menunjukkan keseriusan terhadap Dinda, namun karena dia tak mantap dengan keteguhan hatinya sendiri.

"Jadi ... mau sampe kapan kita gini-gini aja? Kamu udah kenal keluarga aku, aku juga kenal keluarga kamu, apa lagi yang kamu tunggu, Ko?" tanya Dinda sekitar dua bulan lalu.

"Please ... kasih aku waktu, Din. Lagian, kamu tau kan? Aku belum dapat kerjaan yang bagus, aku juga masih dua puluh tiga tahun, masih ada banyak waktu buat mikir ke arah sana. Aku cuma butuh waktu, nanti kalau aku udah dapat kerja yang bagus--"

"Kamu tau aku nggak mikir soal kerjaan! Soal uang--"

"Jadi maksud kamu? Aku akan bergantung sama keluarga kamu? Papa kamu? Gitu? Aku juga masih punya rasa malu, Dinda! Aku nggak--"

"Alasan! Kamu emang nggak serius sama aku! Kamu bahkan menolak kerjaan yang dikasih sama papa aku! Kamu sama sekali nggak mikirin tentang kita! Padahal aku udah bilang sama kamu, aku siap nemani kamu dari nol! Memang, dari awal kamu sama sekali nggak punya hati buat aku! Itu kenyatannya!"

Ucapan keras dari Dinda itu membekas begitu dalam di relung hati Marko, dan sejak saat itu, hubungan mereka menggantung, belum ada lagi kabar datang darinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status