Tante gak tau lo Aara itu temannya Rosi," ujar Bu Laras sambil menatap dua wanita di depannya dengan mata berbinar.
Aara tertawa kecil. "Iya, Tante. Aku juga gak tau kalau Rosi kenal Tante. Padahal tadi kami makan di cafe tante, tapi dia sama sekali gak bilang apa-apa." Aara melirik sahabatnya yang ikut tertawa.
"Aku juga baru tau hari ini, kok," bela Rosi.
"Seandainya tante udah tau dari dulu, pasti kamu sudah tak ajak kerja sama." Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi.
"Kerja sama apa, Tan?" tanya ibu hamil itu sambil mengerutkan kening.
"Ada, deh. Nanti tante japri," ujar Bu Laras sambil tertawa.
Fawaz yang sedari tadi fokus menikmati ikan gurame bakar, menghela napas tidak kentara mendengar pembicaraan sang ibu. Sepertinya mulai besok hidupnya akan direcoki terus oleh sang ibu. Pasti wanita yang telah melahirkannya itu, akan berusaha mengajak Rosi untuk bekerja sama agar bisa mendekatkan dia dan wanita di depannya. Bahkan, mungkin saja ibunya juga akan mengajak Rafi ikut dalam misi ini.
Laki-laki itu menatap sekilas pada wanita yang juga tengah memperhatikan percakapan dua wanita lainnya. Dia bingung antara menyebut wanita itu polos atau bodoh. Karena jika dilihat dari rautnya, wanita itu sepertinya sama sekali tidak mengerti maksud terselubung ibu dan Rosi.
"Kedip dong kalau lihat," goda Bu Laras sambil menyenggol lengan anak laki-lakinya.
Fawaz langsung memutus pandangannya, lalu menoleh pada sang ibu. "Jangan aneh-aneh, Bun."
"Ih, siapa yang aneh? Emang bunda tau, kok, kamu lihatin Aara dari tadi. Iya, 'kan Ros?"
"Iya, terlihat jelas Mas. Jangan diulang Mas, gak baik. Kalau mau mandangin sampai puas, harus dihalalin dulu," timpal Rosi.
"Nah, betul itu!" Bu Laras bersama Rosi tertawa, karena merasa telah berhasil menggoda Fawaz dan Aara.
Sementara dua anak manusia yang menjadi korban itu, terlihat salah tingkah. Fawaz mengedarkan pandangan ke manapun, asal tidak pada wanita di depannya. Sedangkan Aara, yang tadi sama sekali tidak tahu tengah diperhatikan, langsung menunduk agar wajahnya yang telah memerah tidak diketahui oleh orang-orang di sekelilingnya.
Melihat rekasi dua orang itu, Bu Laras tersenyum penuh arti pada Rosi, yang dijawab wanita itu dengan anggukan pelan.
***
"Awas, ya, kalau kamu punya niat macam-macam," ucap Aara pada Rosi saat tinggal mereka berdua. Karena ibu dan anak itu sudah pulang terlebih dahulu.
"Macam-macam apaan, sih?" tanya Rosi.
"Jangan pura-pura gak ngerti!" Aara berdecak kesal.
"Iya, iya, gak akan macam-macam. Tapi satu macam aja." Rosi tertawa melihat wajah sahabatnya yang keruh, "lagian kenapa gak mau, sih? Coba kenalan dulu aja. Siapa tau jodoh, kayaknya Tante Laras juga udah sreg sama kamu."
Aara menjawab Rosi dengan kedikan bahu. Bukan! Dia bukan trauma menikah lagi, tapi entah lah sampai saat ini dia masih belum kepikiran untuk menikah lagi.
Sekarang dia ingin fokus mengembangkan usaha, kalaupun nanti Sang Pencipta mempertemukan dia dengan jodohnya. Dia berharap hal itu terjadi saat dia benar-benar siap.
"Udah lah, gak usah bahas ini lagi."
"Kamu selalu aja gitu," cibir Rosi. Ibu hami itu mengedarkan pandangan, karena baru saja sang suami mengirim pesan bahwa laki-laki itu sudah sampai di sini.
Baru saja Rosi akan memanggil suaminya, tapi tiba-tiba matanya membeliak melihat sang suami datang bersama dua pasangan yang paling dia benci. Buru-buru dia menoleh ke samping untuk memastikan Aara tidak melihat pemandangan itu.
Namun, terlambat! Kini Aara telah memandang ke arah obyek yang sama.
Dalam hati Rosi menggerutu, saat suaminya berjalan ke arahnya bersama dua penghianat itu. Perasaan tadi Rosi sudah memberitahu kalau dia bersama Aara. Tidak mungkin suaminya lupa, 'kan?
Sementara Rafi yang sudah hampir sampai meja yang berisi dua sahabat itu, hanya bisa tersenyum kecut. Saat melihat sang istri memelotot padanya. Sudah bisa dipastikan, begitu nanti sampai rumah, pasti dia akan diomeli habis-habisan.
Lain halnya dengan sepasang suami istri yang seperti tengah berkomunikasi lewat tatap. Tiga orang yang pernah terlibat dalam hubungan masa lalu itu, saling memandang dengan pikiran berkecamuk.
Aara yang pertama kali sadar kalau tindakannya adalah sebuah kesalahan. Langsung mengalihkan pandangan pada gelasnya yang telah kosong.
"Maaf aku terlambat, Dek." Rafi tersenyum pada sang istri yang hanya membalas dengan decakan.
"Mbak Rosi, Mbak Aara, apa kabar?" tanya wanita yang tidak lain adalah Kirana.
"Alhamdulillah, baik." Aara tersenyum kecil, tetapi terlihat tulus. Karena wanita itu sudah pada tahap memaafkan semua yang terjadi di masa lalu.
"Yaudah ayo pulang!" sela Rosi ketus.
Melihat tingkah istrinya, Rafi tersenyum sungkan pada rekan kerjanya. Kemudian berlalu mengikuti langkah sang istri yang sudah menarik sahabatnya, yang tadi masih sempat berpamitan pada dua orang tersebut.
Alih-alih segera mencari tempat duduk saat ketiga orang itu sudah pergi. Dafa malah belum beranjak dari tempatnya. Dia masih setia memandang punggung mantan istrinya.
Sebenarnya dia masih kaget dengan pertemuan tidak terduga ini, karena memang selama ini mereka tidak pernah bertemu lagi, pasca perceraian satu tahun lalu. Hal yang membuat Dafa tidak kalah kaget adalah, penampilan Aara yang sudah berubah drastis.
Laki-laki itu tidak bisa meraba bagaimana perasaannya saat ini. Namun, satu satu hal yang jelas, dia tidak suka saat Aara mengabaikannya, bahkan wanita itu seperti menghindari kontak mata dengannya. Begitu pula saat berpamitan tadi, Aara tidak mengucapkan apapun padanya.
"Mas, ayo cari tempat duduk."
Seruan dari samping membuyarkan pikiran Dafa. Dia menoleh pada wanita yang kini juga tengah menatapnya. Tidak! Tidak seharusnya dia masih memikirkan Aara, padahal dia sudah punya sosok lain yang begitu mencintainya.
Maka dengan bibir yang menyunggingkan senyum, Dafa menggandeng tangan Kirana menuju meja kosong yang terletak di pojok ruangan.
Kirana menatap laki-laki di depannya dengan sedih. Meski Dafa selalu menimpali semua kalimatnya, tapi dia tahu pikiran lelaki itu tidak sepenuhnya di sini, dan jelas Kirana tahu apa penyebab Dafa menjadi seperti ini.
"Mas masih ada perasaan dengan Aara?"
Dafa yang sedang membuka buku menu, menatap Kirana dengan kening berkerut, "kenapa kamu tanya seperti itu?"
"Aku hanya ingin tau."
"Sudah lah kita tak usah membahas hal ini. Kita bicara yang lain saja," ujar Dafa sambil menahan kesal. Menyadari kalau mantan istrinya masih bisa mempengaruhi suasana hatinya.
Kiranya tersenyum kecut. Selalu saja seperti ini, Dafa akan selalu menghindar setiap kali mereka berbicara tentang Aara, atau ketika Kirana membahas masa depan mereka.
Wanita cantik itu menggenggam erat sendok, hingga jari-jari lentiknya memutih. Dia harus segera mencari cara, agar sang kekasih segera membuang jauh-jauh semua hal yang berkaitan dengan wanita yang kini tampil tertutup. Aara Farhana.
"Jangan, Mas!" Aara mencegah Fawaz yang akan melakukan hal lebih jauh."Kenapa?" tanya Fawaz serak.Aara mendorong tubuh sang suami. Lantas wanita itu merubah posisinya menjadi duduk. "Ehm ... ini masih pagi.""Apa?!" Kenapa sih istrinya? Kenapa belakangan ini alasan yang dibuat wanita itu selalu aneh? "Tapi lagi ngga ada siapa-siapa. Lagipula kita di kamar, Aara!" kesal Fawaz. Kebahagiaan yang baru saja dia rasakan, langsung terjun bebas. Siapa juga yang tidak kesal, setelah diterbangkan ke atas awan lalu dihempaskan begitu saja?"Ya, siapa tau nanti ada orang datang."Berdecak keras, Fawaz menatap istrinya jengkel. Katakanlah dia kekanak-kanakan, tapi dia ini masih pria normal!"Jangan mengada-ada! Kalau memang kamu ngga mau bilang aja! Dan seharusnya dari awal kamu bilang, bukan seperti ini, kita sudah berjalan jauh dan kamu malah menolah," ujar Fawaz panjang lebar mengungkapkan rasa kesalnya yang semakin menumpuk."Maaf.""
"Ngapain kamu ke sini?"Fawaz mendengkus kecil, mendengar nada ketus itu. Namun, tetap saja hal itu tidak menyurutkan langkahnya menuju ruang makan. Bahkan dengan tidak tahu dirinya dia mendudukkan diri di salah satu kursi, tidak peduli meski ada mata yang memelototi dirinya.Sudah seminggu berlalu, tapi Fawaz masih saja rajin berkunjung ke rumah sang bunda. Dengan harapan kedua wanita yang dicintainya segera luluh. Lagipula mana betah dia sendiri di rumah, apalagi sekarang para pekerja Aara juga sudah bekerja di toko kue ibunya. Otomatis membuat rumah semakin sepi."Ck! Ngga sopan banget, ya. Main nyelonong aja!" sindir Laras."Aku lapar, Bun. Mau masak sendiri badanku lagi ngga fit."Untuk yang satu ini dia memang tidak berbohong. Tadi pagi saat bangun tidur, dia merasa badannya agak kurang sehat. Kepalanya juga sedikit berat."Kamu kenapa?"Nada khawatir yang begitu kentara itu, membuat senyum kecil terbit di bibir Fawaz. Ternyata
"Ngga ada yang penting." Aara kembali menghadap kaca, melakukan pekerjaan yang barusan sempat tertunda. Mengoleskan krim malam ke wajahnya.Menyugar rambutnya dengan kasar, Fawaz berjalan mendekati sang istri. Tidak penting katanya? Jelas itu sesuatu hal penting jika menyangkut istri dan manta suami wanita itu."Jelaskan!" tegas Fawaz. Posisinya yang sudah berada di belakang sang istri, membuat pandangan mereka bertemu dalam cermin.Menutup krim terakhir yang telah selesai digunakannya, Aara memutar tubuh meski tetap dalam posisi duduk. "Beneran ngga ada yang penting, Mas."Aara mendongak, menatap suaminya yang terlihat jelas sedang diliputi amarah. Namun, entah mengapa dia malah tersenyum kecil, ketika satu kesimpulan mampir di kepalanya. Suaminya tengah cemburu!Setiap malam dia selalu berpikir, tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Apa kebaikan yang akan diperoleh atas keputusan yang nantinya dia ambil. Hingga dia sampai pada satu pemiki
Membuka pintu minimarket, Aara dikejutkan oleh kehadiran pria yang kini berada di depannya. Dafa—pria itu—menatap Aara dengan pandangan yang, entahlah wanita itu terlalu takut mengartikannya. Karena dalam mata tajam itu terlihat kesedihan, kerinduan, kemarahan dan juga penyesalan.Tidak ingin terlalu lama dalam posisi seperti ini, Aara bergeser mempersilakan pria itu untuk masuk. Namun, tetap tidak ada pergerakan dari Dafa.Wanita itu menghela napas sebelum berkata, "maaf, Mas. Aku mau lewat."Aara tersenyum tipis seraya mengangguk kecil kala pria itu bergeser. Dengan langkah cepat dia keluar dari pintu, tapi gerakannya terhenti begitu mendengar sebuah pertanyaan."Bisa kita bicara?"Memejamkan mata, hati Aara dilanda rasa bimbang. Di satu sisi merasa tidak pantas jika berbicara berdua dengan mantan suaminya, tapi di sisi lain dia merasa mereka memang butuh bicara. Ada hal yang perlu mereka bahas dan juga perlu diselesaikan.Sete
Desahan lelah keluar dari bibir pria berkaca mata itu, kala mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah sang bunda. Dia tidak memasukkan mobilnya dalam garasi karena sebentar lagi pergi bekerja. Toh, ke sini dia hanya ingin melihat istrinya.Kemarin bundanya pulang dari rumah sakit, dan wanita paruh baya itu benar-benar melaksanakan perkataannya. Membawa Aara tinggal bersama wanita itu.Kesal, tentu saja! Akan tetapi, mau bagaimana lagi sang bunda pendiriannya sudah kuat sedangkan istrinya mau saja melakukan itu.Menghembuskan napas panjang sekali lagi, Fawaz membuka pintu hanya untuk mendapati tetangga depan rumahnya membuka gerbang. Terlihat jelas raut tidak suka Dafa ketika menatapnya. Berbeda dengan ibu dan adik pria itu yang tersenyum ketika mata mereka tidak sengaja saling tatap."Lho? Fawaz dari mana? Apa dari rumah sakit?" Tina yang sudah berada di depan pria berprofesi dokter itu, tersenyum semringah, yang menurut Fawaz terlalu berlebihan.
Dengan hati yang lebih lega, langkah kaki Fawaz terasa begitu ringan menyusuri koridor rumah sakit yang masih tampak lengang. Tentu saja, saat ini masih menunjukkan pukul lima pagi, di mana orang-orang belum memulai aktifitas. Setelah pembicaraan dengan istrinya semalam, akhirnya Fawaz mengalah. Pria berkaca mata itu memilih untuk pulang, tidak lagi memulai perdebatan dengan sang ibu. Membuka gagang pintu tanpa mengetuk, pria itu mendapati kedua wanita yang dicintainya menampakan raut berbeda. Jika Aara menatapnya biasa saja, tapi masih ada senyum tipis yang tergambar di wajah cantik itu. Sang ibu justru memberi tatapan malas, lalu memutar bola mata seakan menandakan kalau kehadirannya tidak diinginkan. "Assalamu'alaikum." Fawaz melangkah ke arah tempat tidur sang ibu. "Wa'alaikumsalam." Aara yang akan berdiri, bermaksud memberi tempat untuk suaminya lebih dulu dicegah oleh Laras. Melihat Laras memegang lengan Aara, membuat Fawaz menggeleng kecil. Dia
Dengan kecepatan penuh, Fawaz memacu mobilnya. Untung saja tadi dia masih ingat membawa barang keperluan bunda dan Aira. Setidaknya dia masih bisa mengontrol otaknya agar bisa berpikir waras.Perjalanan yang biasanya ditempuh dalam waktu 30 menit, kini Fawaz melaluinya selama 20 menit. Berjalan setengah berlari, laki-laki itu sengaja meninggalkan barang bawaannya. Biarlah nanti bisa diambil, pikirnya. Sekarang yang terpenting adalah menemui dua wanita yang dia cintai.Membuka pintu tanpa mengetuk. Fawaz diberi tatapan terkejut dari orang-orang yang berada di sana. Dia menghela napas berat, kalau bunda dan istrinya memalingkan wajah ketika dia berjalan mendekat. Bukan itu saja, tatapan permusuhan juga diberikan Rosi padanya. Sedangkan Rafi hanya menggeleng kecewa."Bun," panggil Fawaz."Ngapain kamu ke sini?" tanya Laras ketus. Tatapan malas dia berikan pada sang putra yang tampak sedih. Sebenarnya ada perasaan tidak tega, tapi begitu mengingat perbuatan F
Fawaz langsung memutar tubuh ke belakang. Begitu suara familiar itu, masuk dalam telinganya. Belum hilang kekalutannya karena melihat air mata sang istri.Kini hatinya seperti ditikam belati, mengetahui sang bunda berdiri di belakangnya. Mata yang mengeluarkan cairan bening itu, memandangnya penuh kekecewaan.Bagus! Sekarang dia berhasil mengecewakan dua wanita paling berarti di hidupnya."Bun," ucapnya seraya berjalan mendekati Laras dengan cepat."Semua tadi benar?""Bun ...." Fawaz menatap nanar sang bunda yang menolak dia sentuh."Jawab Fawaz!""Maaf.""Ya Allah ...." Laras memukuli dada putranya. Air matanya luruh, tidak menyangka anak kebanggaannya melakukan perbuatan sekeji itu."Udah, Bun." Aara yang sudah berada di antara ibu dan anak itu. Memeluk Laras dari samping.Sedangkan Fawaz hanya pasrah, saat mendapat pukulan serta tamparan dari sang bunda. Karena baginya hal ini tidak berarti apa-apa. Diba
Aara segera beranjak menuju kamar Fawaz yang berada di rumah Laras. Tadi pagi mereka memang memutuskan pulang. Namun, karena ada barangnya yang tertinggal dia memutuskan kembali ke rumah sang mertua.Toh, tadi sang suami juga mengabarkan akan pulang terlambat. Jadi, lebih baik dia mengambil barangnya sendiri. Setelahnya dia akan pulang, agar sudah sampai di rumah sebelum suaminya pulang.Dia sudah mengirim pesan pada Fawaz. Akan tetapi, sampai sekarang belum ada balasan.Aara membuka lemari, mencari tas jinjing yang kemarin dia bawa ke sini. Begitu menemukannya, dia menarik benda itu. Kening wanita manis itu berkerut, saat beberapa jaket Fawaz yang terletak di bawah tas itu terjatuh.Suaminya pernah berkata, kalau jaket itu sudah lama tidak digunakan. Makanya tidak di gantung. Inginnya diberikan pada orang kurang mampu, tapi sampai sekarang sang suami belum ada waktu.Berjongkok, Aara memungut beberapa jaket yang berserakan itu. Hingga tangan