Resor Ranggapati, Karangasem
Maura dan Alina duduk lemas di sebuah sofa panjang yang tersedia di ruang tunggu resor. Entah karena terlalu bersemangat atau karena melewatkan sarapan, dua wanita itu kompak mabuk udara bersamaan.
“Ada apa dengan kalian? Bukannya tadi sangat antusias saat pesawat akan mengudara? Kenapa sekarang lemes begini? Mabuk?”
“Sudahlah, Bang. Jangan terlalu banyak bicara. Omelanmu membuat perutku mual.” Alina makin meringkuk malas.
“Astaga, lemah sekali.” Rangga sedikit menekuk lututnya, menyusupkan dua lengannya di bawah lutut dan tengkuk Maura. “Ren, kau urus Alina!” perintahnya seraya menggendong Maura menuju buggy car yang akan mengantar ke kamar mereka di tepi pantai.
Tubuh mungil itu menempel bak koala pada induknya. Duduk di pangkuan Rangga dengan patuh dan mata terpejam.
“Apa rasanya sangat tidak nyaman?” bisik Rangga pelan.
“Pening
Setelah anggukan kepalanya, Maura tak lagi bisa mengingat apa saja yang Rangga lakukan padanya. Satu hal yang ia tahu, rasanya seperti sedang berselancar di tengah lautan lepas dengan ombak besar melambungkannya ke puncak dan kemudian melemparnya ke dasar. Saat jemari pria itu mulai menyusup ke balik baju, Maura mencekal pergelangan tangannya dengan cepat. Ingatan tentang peristiwa itu berkelebat dalam otaknya. “Buka matamu, Ra. Lihat aku.” Rangga mengusap peluh di kening Maura dan memberinya ciuman menenangkan. “Lihat aku baik-baik. Terima semuanya, jangan menolakku.” Mata cantik Maura terbuka, menatap Rangga dengan pancaran gairah dan ketakutan. “Aku teringat malam itu,” bisiknya lirih. Maura menggigit bibir bawahnya, membuat Rangga makin gemas. “Jangan tutup matamu, lihat aku baik-baik.” Dengan sigap, Rangga memindahkan tubuh Maura ke ranjang. Memenjarakan tubuh molek dengan tubuh maskulin, membuat gadis itu tidak sempat berpikir dan memper
Sinar jingga kemerahan menghias langit sore, menyuguhkan keindahan yang berhasil membuat Maura menatap kagum. Berbeda dengan Rangga yang duduk di depannya, pria itu menekuk mukanya.“Jadi ini yang kamu maksud dengan ‘melakukan sesuatu untukku’ sambil menyungging senyum menggoda? Belajar dari mana kamu?” gerutu Rangga karena merasa Maura mempermainkannya.“He’em.” Maura bahkan tidak repot memandang Rangga, matanya masih menikmati benda setengah lingkaran yang bersinar kemerahan seolah masuk ke dalam lautan.Sret.Rangga berdiri menjulang di depan Maura, menghalangi gadis itu menangkap detik terakhir laut menelan matahari.“Ish! Awas, Kak!” serunya seraya mendorong tubuh Rangga ke samping. “Haish, lenyap sudah!” omelnya kesal.Melihat Rangga masih mematung, Maura mendongak. “Kenapa masih diam di situ?”Alih-alih menjawab, Rangga berbalik memunggungi Maura meng
Melihat Vivian berdiri di depan pintunya, membuat emosi Rangga naik ke ubun-ubun. Suara Maura yang bertanya dari dalam, makin membuatnya marah. Rangga menutup pintu tak kalah keras dari sebelumnya dan berbalik menatap Maura. “Siapa, Kak? Kenapa kasar sekali menutup pintunya?” “Maaf, ada hal tidak mengenakkan yang harus aku urus. Aku akan keluar sebentar, tidak lama. Kalau kamu masih lelah, tidurlah dulu.” Tanpa menunggu Maura selesai mengangguk, Rangga sudah menghilang di balik pintu. “Apa yang terjadi?” heran Maura. **** “Sial! Ke mana perginya Vivian?!” Reno mengumpat kesal ketika operator menjawab panggilan teleponnya. Sore tadi, saat ia dan rombongan baru mendarat di bandara, Vivian mengirim pesan padanya memintanya bertemu. Reno menyanggupinya bukan untuk memberikan Vivian kesempatan menemui bosnya, tapi untuk membujuk wanita itu segera kembali ke Jakarta. Namun, niat baiknya disalahgunakan. Vivian tidak datang ke tempat y
Rangga berjalan cepat menuju kamarnya, berhenti di depan kolam renang dengan tangan di dalam saku celana. Tak habis pikir dengan kebodohan Reno dan kebohongan yang Vivian lakukan.Setelah dirasa cukup tenang, Rangga berjalan kembali ke kamar. Ketika membuka pintu, ia melihat Maura duduk tertidur di sofa dengan sebuah buku terbuka di pangkuannya. Kemarahan yang sempat dirasakannya, hilang tak bersisa setelah melihat raut tenang mirip bayi yang sedang ia amati.“Baru ditinggal sebentar sudah terlelap.” Rangga mengangkat tubuh Maura dan memindahkannya ke ranjang. “Dia begitu tenang dan cantik saat tidur.”Rangga mengambil baju ganti dan membersihkan diri, marah membuat tubuhnya berkeringat. Dengan rambut basah dan harum, Rangga menyusul Maura naik ke atas ranjang. Dilihatnya Maura bergerak gelisah sambil mengigau.“Jangan, jangan lakukan, engh.”“Ra, Maura.” Rangga mengguncang bahu Maura pelan.&l
Maura membuka mata dengan malas, seluruh tubuhnya terasa lepas dari sendi. Semalam, Rangga benar-benar membuatnya tidur nyenyak sebelum sempat membersihkan diri. Tak ada sosok Rangga di sampingnya. Menarik selimut membungkus tubuhnya, Maura berjalan ke kamar mandi. Ia berencana berendam lama dalam air panas dan minyak aromaterapi yang kemarin Rangga bawa untuknya. Setelah dirasa cukup segar, Maura memutuskan keluar dari bathtub. Rangga belum juga terlihat. “Ke mana dia?” gumam Maura seraya mengeringkan rambutnya yang basah. Tok tok tok. “Kak!” Terdengar suara Alina berteriak memanggil. “Ya, tunggu.” Maura segera memakai celana pendek dan tank top tanpa berkaca, lalu bergegas membuka pintu. “Astaga, kenapa lama sekali?” “Maaf, aku sedang mandi tadi.” “Mana Bang Rangga? Masih tidur?” “Entahlah. Dia sudah tidak ada di kamar ketika aku terjaga. Duduklah, mau minum sesuatu?” “Apa dia
Bug. “Aku sudah bilang, aku akan menghajarmu kalau kamu gagal lagi.” Desh! “Kenapa dia bisa datang kemari, hah?! Bagaimana kamu mengurusnya?!” Rangga berteriak marah tepat di depan wajah Reno. “JAWAB!” “Maaf, Bos.” “Maaf tidak bisa menyelesaikan semuanya, Ren.” Rangga mendorong Reno dengan keras. Srett. Srett. “Di mana dia sekarang?” “Saya sudah mengirimnya terbang ke Bandung.” “Siapa yang dikirim ke Bandung? Astaga! Ada apa denganmu, Ren?” Alina berlari menghampiri Reno yang sibuk menyembunyikan wajahnya. “Sini, biar aku lihat.” Maura mendekati Rangga yang wajahnya masih merah padam. “Ada apa, Kak? Kenapa memukul Reno?” Rangga bergeming. Tidak menjawab atau menatap Maura. Saat kakinya akan melangkah pergi, tangan Maura mencekal lengannya. “Kak, apa yang terjadi?” “Tidak ada, hanya membuat Reno paham bahwa keputusannya salah.” Rangga melepaskan tangan Maura, menatapnya meminta wan
Mereka berdiri cukup dekat, tapi tidak sampai bersentuhan sepenuhnya, membuat Alina tersiksa. Dua tangan gadis itu berpegangan erat di bahu kokoh Reno. Alina menggigit bagian dalam mulutnya untuk menjaganya tetap sadar dan tidak melakukan tindakan yang akan membuatnya menyesal. Satu lengan Reno melingkari pinggang Alina, satu lagi menopang punggungnya. “Lepaskan aku.” Alina mendorong bahu kokoh di bawah telapak tangannya. “Sudah terlambat untuk mundur, Al. Dengarkan aku baik-baik, karena aku tidak akan mengulangnya.” Alina membuka mata dan telinganya lebar-lebar. Merekam setiap kata yang akan keluar dari mulut Reno, mulut yang tidak pernah lepas kendali sekeras apapun Alina mencoba memprovokasi. Jantungnya berdetak cepat, bersiap mendengar kalimat penolakan yang lebih resmi dan menyakitkan. “Alina, aku tidak pernah ingin menyakitimu. Aku kira dengan menjauh dan mengabaikanmu, bisa membuatmu bosan dan berpaling. Semua sikapku padamu selama ini bukan ka
“Apa kau akan ikut kakakku ke Munich?” tanya Alina saat Reno memberitahunya untuk menemani Maura tinggal beberapa hari lagi.“Sepertinya begitu, Nona. Ada yang bisa saya bantu?” Reno berusaha tetap bersikap formal dan sopan setelah mendapat telepon dari Galih. Dia baru saja teringat bahwa Alina yang sedang berdiri menatapnya, adalah putri dari bos besarnya.“Apa kita bisa bicara sebentar?” Alina menatap Reno yang berusaha menghindari pandangan matanya.“Sepertinya tidak bisa untuk saat ini. Maaf, saya permisi ke toilet.” Reno melangkah pergi menuju kamar mandi yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Bernapas lega saat ekor matanya tidak menangkap ada pergerakan dari Alina.“Ada apa denganmu sebenarnya? Kau berubah begitu cepat. Kembali dingin dan jauh. Teruslah menghindar, Ren. Kamu akan menyesal bila melakukannya,” ancam Alina dengan nada marah.Reno tidak menghiraukan ancaman Alina, mala