Vila Danutirta, Bandung
“Gimana, Han? sudah dapat tiket pesawatnya?” tanya Jelita gelisah. “Kasihan Alina dan Rangga, mereka belum pernah menemani ibu bersalin, pasti bingung dan panik.” Jelita mondar-mandir seperti kain pel.
“Belum, Bu. Penerbangan hari ini penuh semua. Tiket kereta juga ludes sampai besok,” lapor Hanna tak kalah gelisah.
“Haduh ... kenapa bisa habis semua di saat seperti ini? Galih, kamu sudah hubungi Galih dan Reno? Biasanya otak pria bisa berpikir cepat saat situasi mendesak begini.”
Hanna menggeleng. “Mas Galih dan Reno sedang berada di kawasan proyek, Bu. Ponselnya dinonaktifkan.”
“Astaga, ya Allah Gusti ...! Kok bisa barengan begini, sih?!” Jelita menepuk kedua pahanya putus asa.
Yuki yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya bengong sambil kepalanya bergerak mengikuti Hanna dan Jelita bergantian.
Jelita melambaikan tangannya denga
“Sayang, kok diam di sini? Yuk, kita ke bawah!” Armand mengulurkan tangan kanannya ke arah gadis kecil berambut ikal dengan ekor kuda yang sedang meringkuk di atas ranjang, memeluk boneka panda yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya. Gadis itu hanya menggeleng tanpa suara. Armand mendudukkan diri di tepi ranjang seraya mengusap kepala Maura—putri semata wayangnya. “Ada Kak Amel mau ketemu Maura. Yuk!” “Pa! Apa benar mama Kak Amel mau jadi mamanya Maura?” tanya Maura polos. Armand tersenyum memandang putrinya lembut. “Apa Maura keberatan?” “Apa boleh Maura keberatan?” Armand mengangkat Maura dalam pangkuannya. “Boleh Papa tahu alasannya?” “Maura gak mau punya mama baru, Pa. Maura gak mau Papa sayang sama orang lain selain Maura dan Mama.” “Sayang! Papa janji tidak akan mengurangi sayang Papa ke Maura.” Armand mengulurkan jari kelingkingnya sebagaimana biasa. “Benarkah? Maura akan sangat sedih kalau papa tidak m
Bagai disambar petir pada siang bolong. Soraya terbeliak kaget mendengar penuturan Amel tentang uang operasional hotel yang hilang. “Bagaimana bisa itu terjadi, Mel? Uang sebanyak itu, dari mana Mama dapatkan?” “Ma, dengar dulu! Amel melakukan itu untuk Rendra, salah satu petugas kebersihan di hotel. Dia butuh banyak biaya untuk ibunya berobat. Bukan untuk Amel sendiri, Ma,” cerocos Amelia membela diri. “Rendra?” Soraya mengernyit. “Kenapa tidak kamu jelaskan saja pada mereka? Lalu sekarang, Rendranya ke mana? Minta dia segera mengembalikan uangnya!” Kini, giliran Soraya yang panik. “Itu akan sangat merepotkan. Tolong bantu aku menjelaskan pada Papa. Please ….” Amel menangkup kedua tangannya dengan mata memohon. “Apa benar yang Tante Amanda katakan tentangmu, Mel?” Tanpa mereka sadari, Armand sudah pulang dari kantor dan berjalan masuk ke rumah. Maura berjalan di belakangnya dengan wajah datar, namun tetapi melempar tatapan ta
Ranjang besar itu bergerak-gerak. Rangga merasa kepalanya pusing seiring dengan gerakan di sisi lain ranjangnya. ‘B*****k! Kenapa kepalaku seperti mau pecah? Apa yang terjadi sebenarnya? Ahhh, panas sekali. Sial! Kenapa begini rasanya?’ Samar Rangga mendengar pria dan wanita berbicara. Namun, tidak paham apa yang mereka bicarakan. Sedangkan matanya berat, tidak mau terbuka. Tangan dan kakinya lemas, tidak dapat digerakkan. Dia berusaha berteriak, tetapi yang keluar hanya rintihan samar. Amarahnya semakin membuat kepalanya berdenyut. Selang beberapa lama, terdengar pintu ditutup. Rangga merasa kesadarannya mulai kembali. Tangannya berusaha bergerak, tetapi tidak terkontrol. “Apa ini sebenarnya? Sudah matikah aku? Kenapa aku seperti mayat hidup begini?” **** Maura yang tersadar karena rasa perih di bagian bawah tubuhnya dan kepala berat, beringsut pelan sambil mendorong tubuh pria sebesar gorila di atasnya. “Apa yang terjadi?! Kenapa aku
Griya Tawang Hotel Galaksi Masih dengan berbalut jubah mandi dan rambut basah, Rangga duduk termenung di sofa, berusaha mengingat peristiwa semalam. Di selingi umpatan penuh amarah, Rangga mengambil ponselnya dan menekan beberapa angka. “Ren, ke kamarku sekarang.” Tak berapa lama, seseorang mengetuk pintu kamar. “Masuk.” Pintu terbuka, seorang pria bertubuh sama besar seperti Rangga masuk. “Selamat pagi, Bos. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Reno, asisten sekaligus pengawal Ranggapati Danutirta, eksekutif muda dunia properti. Bisa dikatakan Rangga adalah raja bisnis properti Asia Tenggara. Pemilik sejumlah kawasan hunian elit yang tersebar di Asia Tenggara di bawah naungan GD Grup. “Ren, tolong kamu cek rekaman CCTV.” Rangga memberi perintah. “Baik, Bos. Saya akan kembali satu jam lagi.” Tanpa menunggu jawaban Rangga, Reno melangkah pergi. Reno awalnya memimpin sebuah perusahaan keamanan swasta terbesar, tetapi karena dalam seb
Kediaman Danutirta “Pagi, semua,” Alina menyapa semua yang sedang berada di meja makan. “Pagi, Sayang, tumben udah rapi. Biasanya baru nanti agak siangan turunnya.” Hanna mengerling menggoda putrinya yang paling susah bangun pagi dan sarapan bersama mereka. “Ih, Mama. Bisa, gak, sehari aja gak ngeledek?!” Alina menarik kursi di samping abangnya. Cup! “Ih, jorok banget, sih!” omel Rangga. “Jorok dari mana coba? Mandi udah, gosok gigi udah, parfum udah. Sayang itu pipi dianggurin.” Senyum Alina mengembang melihat Rangga mengusap pipi bekas ciumannya dengan punggung tangan. “Bukan sayang pipinya, itu bibir sudah lama gak nyium pipi cowok. Gatel jadinya.” “Abang, sadis banget, sih.” “Sudah, kalian ini tiap kali ketemu selalu saja ribut. Kalau jauhan bentar, kangen.” Hanna menghentikan perdebatan keduanya. “Al, kamu belum jawab Mama. Pagi begini udah rapi, mau ke mana?” “Alina dapat undangan menghadi
“Maaf, aku sungguh minta maaf,” ucap Maura demi melihat snelli Evan terkena cairan lambungnya.“It’s okay,” jawab Evan setengah meringis. “Aku bersihkan dulu.”“Maaf.”“Lho, Kak. Mau ke mana?” Rissa bingung melihat Evan melangkah cepat melewatinya. “Kenapa lagi dia?” tanya Rissa yang hanya dijawab dengan gerakan bahu dan ekspresi canggung.“Aku sudah urus administrasinya, sebentar lagi kita pindah ke kamar.” Maura mengangguk. “Apa kamu sudah memberitahu orang rumah kalau kamu sakit?” Maura menggeleng.“Mereka tidak akan mencariku.” Maura kembali berbaring. Namun, perutnya kembali bergolak. “Ris ….” Tangannya melambai dengan panik.“Kenapa?”Cairan yang sama keluar lagi.“Astaga …!” Rissa panik, tangannya dengan cepat meraih baskom plastik yang disediakan di
Maura baru selesai menghabiskan potongan apel terakhirnya dengan susah payah ketika Evan masuk dengan raut datar. Dengan canggung, diusap bibirnya dengan tisu, hanya untuk mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba menghampirinya. “Sendirian, Kak?” sapanya canggung. ‘Bodoh kamu, Ra. Jelas dia sendirian. Memangnya siapa yang akan datang bersamanya menjengukmu? Bodoh!’ Maura merutuki kebodohannya dalam hati. “Nggak, berdua sama kamu.” Sedetik kemudian, mereka berdua tersenyum malu menyadari kecanggungan yang terjadi. “Maafkan aku, Kak.” Maura memberanikan diri menatap Evan yang masih berdiri di dekat pintu kamar. “Jawab aku, Ra. Apa dia anakmu dengan kekasihmu?” Evan tidak berkedip menatap Maura, wanita yang selama tiga tahun terakhir dicintainya diam-diam. Maura menggeleng, matanya berkaca-kaca, terharu. Perasaan yang sudah lama tak lagi pernah dirasakannya. Ternyata, Evan masih peduli padanya. “Aku tidak punya kekasih.”
Rangga menerobos masuk ke dalam kamar Alina. Beruntung pemilik kamar sedang tidak ada, kalau tidak, wanita itu akan marah dan memukul Rangga. Pelanggaran teritorial, begitu dia menyebutnya.“Ma, Alina mana?”“Dia ada jadwal pemotretan untuk video klip terbarunya.”“Video klip? Tumben?”“Acara pergantian tahun di hotel kemarin itu, Alina ketemu dengan manajer Peterpena dan ditawari menjadi model video klip lagu terbaru mereka.”“Pantas ….” Rangga menggigit sepotong tempe goreng hangat yang baru saja Hanna sajikan. “Di mana lokasinya?”“Mana ya? Kok Mama lupa, padahal Alina tadi sempat bilang.”“Nanti biar Rangga sendiri yang tanya Alina. Rangga berangkat ke kantor dulu.” Rangga mencium tangan Hanna dan mengecup kedua pipinya.“Selamat pagi, Bos.” Reno menyapanya seraya membuka pintu mobil untuknya.“Kit