Saking fokusnya menyapukan lipstik di bibir ranumnya, Maya sampai tak sadar seseorang masuk ke dalam apartemennya. Pria berkulit sawo matang itu berdiri di ambang pintu kamar Maya, memperhatikan tunangannya yang sedang berada di depan meja kaca rias.
"Kenapa nggak angkat telepon aku?"
Tangan kanan Maya yang kini telah berganti memegang kuas blush sejenak kehilangan keseimbangan. "Ya ampun, Dev! Kamu ngangetin aku! Aku kirain siapa, kamu kapan datang?" Maya melanjutkan kesibukannya yang sempat tertunda.
"Kamu belum jawab aku. Kenapa telepon aku nggak kamu angkat? Kamu mau ke mana? Ada jadwal syuting apa hari ini?" Dev mendekati meja rias.
"Nggak ada syuting, kok."
"Terus? Mau ke mana? Ada janji ketemu teman kamu?"
Maya langsung berbalik dengan muka sedikit masam. "Kenapa sih, Dev? Kamu kayak nggak senang banget kalau aku pergi dan ada kegiatan. Emang kamu mau ngapain? Kita kan nggak ada janji juga hari ini."
"Karena kamu juga nggak mau terus terang sama aku, kamu mau ke mana," protes Dev enggan mengalah.
Bukan sekali ini saja sebetulnya Dev bersikap terlalu posesif, tapi Maya masih belum juga terbiasa. Kadang gadis itu merasa tak semua urusannya perlu dia katakan kepada Dev, sama halnya, dia pun tak selalu ingin tahu urusan Dev.
"Bukannya hubungan itu harus dilandasi kepercayaan?" kritik Maya.
"Tapi juga adanya keterbukaan, jangan lupa."
"Iya ... iya ... aku ada rencana ketemu sama Husen hari ini." Akhirnya Maya mengalah juga.
"Hah? Husen siapa?"
"Itu, sutradara Husen. Yang filmnya kemarin box office," jawab Maya sekenanya.
Muka Dev langsung tak senang. Kuas di tangan Maya seenaknya dia rampas, sampai membuat Maya terperangah. "Kamu kenal dia dari siapa?! Kamu kok nggak kapok sih ngejar mimpi kamu? Apa semua yang aku kasih kurang, Maya? Aku belikan kamu apartemen, mobil, semuanya, apa lagi yang kamu cari?"
Maya membuang muka, malas meladeni drama yang kerap diciptakan Dev.
"Jawab aku, Maya!"
"Kamu yang harusnya tanya diri kamu sendiri, Dev. Kenapa kamu nggak mendukung tunangan kamu sendiri? Aku mau dibantu sama Bhara. Dia kenal sama Husen, kalau aku bisa dapat peran pendamping pun ... itu juga harusnya membuat kamu bangga, kan?"
Rahang Dev mengeras, kuas blush di tangan dia genggam erat-erat seolah bersiap untuk meremukkannya.
"O, hebat ... kamu kira aku nggak tau kalau cowok itu mantan kamu? Kamu masih berharap sama dia?"
"Bisa nggak sekali aja pikiran kamu nggak diisi sama dugaan buruk? Kami memang pernah punya hubungan, tapi menurut kamu sendiri, apa aku kelihatan kayak berharap balikan sama dia? Apa aku murahan banget di mata kamu? Aku cuma minta sedikit bantuan aja dari dia, dan dia mau. Terserah itu masalah buat kamu atau enggak, aku nggak peduli." Bukan Maya namanya kalau bertekuk lutut di depan orang lain.
Tas tangan yang terletak di atas meja dia ambil kemudian dia berdiri untuk meninggalkan Dev tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
"Maya! Kamu mau pergi gitu aja? Sekalipun aku nggak kasih kamu izin?!" teriak Dev.
Mata Maya mengerling sinis. "Maaf ya, Dev. Aku nggak perlu izin kamu."
Dev membeku, langkah Maya tak bisa dia hentikan. Begitu Maya keluar dari pintu, satu tinjunya menggetarkan dinding. Sekali lagi terbukti bahwa sampai kapanpun, Maya tak akan pernah mendengarkannya. Maya akan selalu menang dalam perdebatan mereka. Tapi mau bagaimana lagi, Dev tak bisa kehilangan Maya, gadis secantik Maya hanya akan sekali seumur hidup bisa dia dapatkan.
***
Meski Maya tak mengungkap bagaimana perasaannya, Bhara bisa merasakan betapa gugup gadis itu. Berkali-kali dia merapikan pakaiannya, rambut serta mengecek riasan di wajahnya. Sampai selang lima belas menit keduanya duduk berdua saja, seorang pria berjaket hoodie datang dan menyapa Bhara.
"Bhara!"
"Husen!" Bhara berdiri, menyalam lalu mendekap ramah pria tinggi berambut gondrong itu. "Kenalin, ini Maya."
Maya segera memasang senyum malu-malu seraya menjulurkan tangannya ke arah Husen. "Maya."
"Husen."
Diluar dugaan, Husen menyalam tangan Maya begitu kuat, bahkan terkesan meremasnya. Maya sendiri tak keberatan, dia merasa sikap yang ditunjukkan Husen adalah sinyal baik, bahwa dia menyukai Maya.
"Duduk. Biar aku pesankan minuman." Namun suara Bhara jugalah yang melerai ikatan tangan mereka.
***
Selama hampir satu jam lamanya, Husen dan Maya bercakap-cakap. Mulai dari menanyakan pekerjaan Maya sebelumnya sampai pengalamannya di industri modeling dan seni peran.
Bhara mulai penat dan bosan, nyaris dia tak dilibatkan dalam percakapan mereka, toh untuk apa juga dilibatkan, dia sama sekali tak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Di tengah-tengah percakapan, ponsel pintar Bhara berbunyi. Masuk panggilan dari sekretarisnya, Alisa. Ngapain lagi? Nih orang nggak bisa tenang sekali, gerutu Bhara dalam hati. "Sebentar, ya ..." pamitnya sembari berdiri untuk mengangkat panggilan itu.
"Hah?!" sentak Bhara setelah dia keluar dari kafe.
"Pak, Bapak kapan balik? Ada rapat mendadak setengah jam lagi sama pimpinan." Suara Alisa terdengar cemas.
"Iya! Saya tau, sepuluh menit lagi saya balik, kok. Lagian ngapain juga jadi kamu yang kebakaran jenggot?!"
"Maaf, Pak. Saya takutnya Bapak lupa."
"Emangnya kapasitas otak saya sama kayak kamu?! Mending kamu fokus aja sama kerjaan kamu!"
"Ya ini kan kerjaan saya, Pak. Selalu ngingatin Bapak sama jadwal Bapak."
"Ck! Melawan lagi! Ya udah! Saya udah mau balik!" bentak Bhara. "Oya, kamu udah makan siang? Sekalian saya masih di kafe, mau saya bawain apa?" Tapi meski sedang kesal, tak bisa juga dia mengabaikan karyawannya yang satu itu.
Terdengar suara cengengesan dari ujung panggilan.
"Jangan ketawa! Cepat bilang mau apa sebelum saya berubah pikiran!"
"Maaf, Pak. Kopi aja, Pak. Capucino. Jarang-jarang saya minum yang bermerek buatan kafe, biasa minum kopi saset doang." Alisa terdengar malu-malu tapi antusias.
"Nggak ada yang nanya!" damprat Bhara.
Begitu Alisa hendak terdengar menyahut lagi, Bhara langsung menutup panggilan dan kembali ke meja tempat Husen masih asyik mengobrol bersama Maya.
"Maaf ya, kayaknya aku harus balik duluan. Mau ada rapat bentar lagi." Bhara pamit.
Husen juga lekas berdiri. "Kebetulan gue juga, mau ada jumpa klien bentar lagi. Oya, gue tertarik banget sama Maya. Gue udah minta dia buat kirim portofolio, secepatnya gue akan carikan peran yang cocok buat dia!" Perkataan Husen itu tentu langsung membuat wajah Maya berseri-seri, sementara Bhara tampak datar saja.
"Bagus, deh. Semoga lancar. Ke depan, kalian bisa urus kerja sama kalian tanpa gue." Bhara menanggapi sekenanya saja.
Sebelum pulang, Maya mengelus lengan Bhara dengan begitu lembut. Senyumnya seolah mampu melelehkan batu di hati Bhara. "Bhara, makasih banyak, ya. Tanpa kamu, aku nggak akan mungkin dapat kesempatan emas kayak gini."
Bhara tak berkata apa-apa. Hanya senyum tipis saja yang tersungging di bibirnya, ada banyak yang ingin dia katakan sebetulnya, tapi semua dia tahan di kepala.
Dengan agak kesusahan, Alisa menarik koper besarnya keluar dari kamar. Di luar rumah, taksi yang akan membawa dia ke stasiun kereta sudah siap menunggu. Tepat saat kopernya baru sampai di anak tangga pertama, Damar masuk dengan derap langkah kaki yang cepat, pintu mobil bahkan dibantingnya tadi.
"Sayang ...!!"Jantung Bhara nyaris mau copot rasanya ketika suara nyaring Maya tiba-tiba memekakkan telinga, perempuan cantik itu masuk ke dalam ruang kerja Bhara membawa serantang makanan, menggunakan gaunsummerberwarna putih bermotif bunga seroja."Ngapain kamu di sini?" tanya Bhara bingung."Kunjungan mendadak ~" jawab Maya manja seraya mendekat lalu duduk di atas pangkuan Bhara. "Aku juga buatin makan sing, loh. Kamu belum makan, kan?""May, nggak usah berlebihan, deh. Ini tuh kantor, minggir sana. Atau turun tuh, temui Tommy aja di bawah, liat kerjaannya," ujar Bhara pura-pura seb
Kedua tangan Alisa memegang hasil pemeriksaan USG kehamilan yang baru tadi siang dia lakukan. Dipegangnya perut yang mulai membesar. Genap kandungannya memasuki usia enam bulan, dan menurut tes USG, jenis kelamin janin yang dia kandung adalah laki-laki. Lantas hasil pemeriksaan USG itu dia letakkan di atas meja lampu, di samping sebuah undangan pernikahan yang juga baru saja dia baca.
Pria di hadapan Bhara masih membolak-balik foto-foto yang tadi diserahkan kepadanya. Bhara sendiri sembari menyesap kopinya pelan-pelan terus mengawasi.
"Mana Bang Bhara? Kak Maya?" tanya Tommy ketika dia temukan hanya ada Luna di rumah.Luna yang tengah asyik membaca novel di ruang tengah cuma melirik sinis sesaat lalu menjawab datar, "Di rumah sakit.""Eh? Siapa yang sakit?" tanyanya lagi.Novel di tangan ditutup Luna dengan kasar, dia mulai tak senang dengan gempuran pertanyaan dari Tommy, terlebih rasanya, pertanyaan itu hanya sekadar basa-basi cuma untuk mendekatkan diri dengannya."Kalau mau tau, tanya aja sendiri." Luna bangkit berdiri.Sebelum gadis remaja itu menaiki anak tangga, Tommy kembali membuka mulutnya, "Heh, B
Tulilit Tulilit ...
Lebih dari dua menit sudah Alisa mondar-mandir di depan TV, jam dinding klasik sudah berdentang tanda sudah lewat tengah malam. Bukan baru kali ini saja dia menunggu kepulangan Damar dengan hati resah, malah bisa dikatakan malam-malamnya hanya diisi dengan resah dan gelisah saja sejak hari pernikahan mereka. Padahal dokter kerap kali meminta dia untuk menghindari stres, tapi bagaimana bisa dia menghindari stres jika dia dihadapkan dengan situasi seperti ini setiap hari.Tepat saat Alisa baru meletakkan pantat di atas sofa, didengarnya suara pintu gerbang terbuka. Sesegera mungkin dia berlari untuk membukakan pintu. Dan tepat seperti dugaannya, Damar baru pulang, dengan kemeja agak acakadut dan berbagai aroma yang menguar dari tubuhnya."Aku mulai capek sama tingkah kamu, Mas," kritik
Maya terbangun dari tidur singkatnya di sofa usai telinganya menangkap suara pintu terbuka. Bhara akhirnya pulang setelah jarum pendek jam menunjuk angka 2. Sudah lewat pukul dua dini hari.
Senyum tipis tersungging di wajah tampan Bhara setelah dilihatnya kehadiran Alisa kembali di belakang meja kerjanya. Gadis itu berdiri tegak lalu menyapa dengan wajah berseri-seri, "Selamat pagi, Pak! Baru balik bulan madu dari Bali, ya?!" tanyanya bermaksud berkelakar.