Share

BELUM MOVE ON

Maya terbatuk sebentar, tidak dia kira Bhara akan bertanya tepat pada sasaran seperti ini, Bhara yang dulu dia kenal adalah sosok yang pendiam, tidak suka berterus-terang mengungkap apa yang ada dalam benaknya.

"Oya? Apa aku bersikap kayak gitu?" Maya memperbaiki posisi duduknya.

"Jangan bilang kamu udah lupa apa yang dulu kamu lakukan, cuma itu kurasa alasan kenapa kamu bisa sesantai ini, tanpa rasa bersalah." Bhara menahan emosinya sekuat tenaga.

Samar-samar bayangan masa lalu mengusik pikirannya kembali. Tiap kali bayangan suram itu muncul, dadanya menjadi begitu sesak.

"Kamu tau aku memang pelupa, Bhara."

"Sekalipun kamu pelupa dan ingatan manusia memang terbatas, kurasa bakal sulit juga buat melupakan kejahatan yang dulu pernah kamu lakukan." Intonasi Bhara tidak melunak sama sekali.

Muka Maya memucat. Sungguh, aura Bhara begitu kuat, bisa dikatakan mengintimidasi. Dulu, laki-laki ini akan sangat mudah ditaklukkan dengan kata-kata manis, tapi sekarang sepertinya mulut semanis madu pun tak akan mempan baginya.

"Bhara ... aku rasa kamu salah paham--"

"Salah paham? Maksud kamu?" sela Bhara. "Kamu merasa waktu itu, kamu nggak mutusin aku gitu aja? Setelah kamu memanfaatkan aku mengerjakan skripsi kamu? Gitu?"

Maya menarik napas panjang, perasaannya mulai tak tenang. Bukan konfrontasi seperti ini yang dia harapkan. "Bhara, kamu tau ... waktu itu aku harus kuliah ke Australi. Kita nggak mungkin berhubungan jarak jauh--"

"Kenapa nggak mungkin?" Bhara memotong lagi. "O, tolong jangan salah kaprah. Aku tanya bukan karena aku masih punya perasaan atau harapan sama kamu. Bukan. Sama sekali bukan. Aku nggak pernah juga menyesali kita udah putus," ralatnya.

"Terus kenapa kamu masih mengungkit soal itu, Bhara?"

"Karena seenggaknya, kalau kamu masih manusia normal, seharunya kamu nggak segampang ini aja datang ke kantor aku, dan bersikap pura-pura nggak pernah terjadi apa-apa di antara kita." Alis Bhara mengerut.

Maya terlihat tersudut, dia gigit bibir bawahnya dengan gelisah. Namun, tiba-tiba Bhara tertawa, gelak tawanya membesar sampai membuat Maya menatapnya cengo. Seperti tidak waras, Bhara tertawa lebar.

"Maaf ... maaf, Maya. Aku cuma bercanda. Aku cuma kangen liat muka kamu panik," katanya setelah tawanya mereda. Lagi-lagi akting yang luar biasa, padahal setengah mati dia menahan gejolak amarah yang tadi sempat membakar hatinya. Maya otomatis ikut memaksakan diri untuk tersenyum maklum meski dia sendiri kebingungan menghadapi polah aneh Bhara. "Muka kamu lucu kalau panik gitu." Bhara menunjuk wajah Maya yang masih setengah melongo.

"Aku sempat kaget tadi, aku sempat takut. Jangan kayak gitu lagi, ah. Nggak lucu."

"Maaf, ya. Cuma mau ngerjain kamu doang. Kamu kan tau aku orangnya nggak pendendam, semua itu cuma masa lalu. Waktu kita masih belum dewasa, ya kan? Lagian, kamu sekarang punya Dev, aku juga punya Lisa. Kita harus sama-sama move on, melihat ke depan. Ya kan?" Bhara menekankan kalimatnya.

"Kamu betul. Kita harus sama-sama bergerak maju, jangan lagi kita ingat masa lalu. Sama-sama membuka lembaran baru," timpal Maya.

Gampang banget bilang gitu, sahut Bhara dalam hati. Rahangnya diam-diam menggeretak, matanya berkilat-kilat kembali mengingat masa pahit beberapa tahun silam. Harapannya untuk menikahi Maya, angan-angan tentang cinta selamanya, semua itu kandas, yang tersisa hanya kepahitan dan benci.

Jika saja memang Bhara sudah berhasil move on, sudah sejak lama dia telah menjalin kisah asmara baru. O bukan, bukan cinta Maya yang membuatnya tak bisa bergerak maju dan melupakan semuanya, melainkan rasa sakit yang ditinggalkan Maya. Rasa sakit itu yang tak bisa dia lupakan dan tinggalkan begitu saja. Mungkin untuk selamanya.

***

"Jadi kamu kerja di mana sekarang?"

Bhara bertanya sambil mengunyah nasi di mulut. Saat ini dia tengah bersantap siang bersama Maya di restoran paling dekat dengan kantor. Alisa tidak ikut, alasannya ingin makan di kantor, padahal sebetulnya memang Bhara yang melarang dia ikut agar bisa leluasa bercakap-cakap dengan Maya. Berdua.

"Aku lagi nggak kerja."

Kunyahan Bhara sedetik berhenti. "Kenapa?"

"Situasinya sulit. Aku malu mau cerita sebenarnya."

"Kenapa?"

"Usaha Mama aku bangkrut."

Jadi gosip itu betul? batin Bhara agak terkejut. "Terus? Karena bangkrut?" selidiknya lagi.

"Kamu tau, Bhara ... dari dulu dunia aku itu dunia hiburan, entertainment! Itu passion aku, aku selalu pingin jadi model, jadi artis."

"Hm ... aku tau," sahut Bhara agak cuek. "Jadi?"

"Tapi ternyata sampe sekarang pun, aku cuma dapat peran kecil. Cuma jadi figuran, jadi kameo. Aku berniat untuk berhenti, tapi kalau aku berhenti, aku harus gimana? Aku jadi apa?" keluhnya.

"Kamu bisa jadi Nyonya Dev. Kamu bisa santai di rumah, nggak perlu repot-repot kerja. Hm?" Bhara tersenyum menyindir.

"Nggak semudah itu. Sebetulnya orang tua dia pun belum merestui kami."

Menarik, batin Bhara lagi. Siapa sangka dibalik figur mereka yang bak romeo juliet tersembunyi drama yang sepertinya menarik? "Kenapa?" tanya Bhara lagi.

"Ya karena latar belakang aku. Keluarganya kan terpandang, ibunya pejabat, ayahnya juga pengusaha ternama. Cuma soal itu sih bisa diatur nanti. Dev juga udah bulat pingin menikahi aku."

"Jadi apa yang bikin kamu cemas kalau gitu? Hidup kamu akan terjamin, kamu nggak akan menikahi cowok miskin kayak yang dulu kamu takutkan." Bhara menyindir lagi.

"Ya aku sih pinginnya ngejar karier aku, hari gini malu dong cewek diam aja di rumah, apalagi cewek kayak aku. Sayang kalau semua aset yang ada di diri aku nggak berguna. Kalau aku bisa dapat proyek bagus, mungkin aku bisa lebih mandiri ketimbang sekarang," ucap Maya bertingkah manja.

Bhara tidak sepenuhnya yakin, tapi entah mengapa, hati kecilnya menduga, Maya sengaja berkata seperti ini kepadanya dengan niat ditawari bantuan. "Kamu emang butuh apa?" Bhara mengikuti arus permainan yang diciptakan Maya.

Sorot mata Maya berubah berbinar. "Nggak ada, kok. Aku bukannya butuh apa-apa, tapi aku dengar kamu bersahabat sama Husen."

Kunyahan di mulut Bhara melambat. Rupanya Maya telah melakukan pencarian tentang Bhara. Memang benar, Bhara pernah memiliki kerja sama dengan salah satu sutradara ternama, Husen. Husen yang membuat iklan properti untuk perusahaan Bhara.

"Kamu tau dari mana? Aku memang kenal sama dia." Bhara bertanya balik.

"Aku liat di sosial media kamu."

Bhara tertegun, bahkan diam-diam Maya telah mengorek sosial media miliknya, entah apa yang dia cari.

"Kami cuma teman bisnis." Bhara menenggak minuman dinginnya.

Bibir Maya yang padat mengerucut manja. "Masa, sih? Jadi kamu nggak bisa ketemu dan minta tolong sama dia? Atau ngenalin dia sama aku?"

Bhara membeku, matanya menelusup ke dalam mata gelap punya Maya. Siapa kamu ini, Maya? Perempuan luar biasa, baru ketemu lagi sekian lama, kamu kembali cuma untuk memanfaatkan aku lagi? batin Bhara antara kagum sekaligus jijik melihat Maya. "Kamu mau ketemu?" Tapi, sebenci apapun, Bhara masih mengikuti arus yang dibuat Maya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status