"Dari mana, Bu?" Alif menyambut di teras sesaat setelah aku memarkirkan mobil di garasi.
Aku pun turun dan menutup pintu mobil, lalu berjalan mengiringi anak sulungnya itu ke dalam rumah.
"Ibu habis dari toko perhiasan, Mas." Aku mulai mendudukkan tubuh di kursi tamu. Rasanya lelah sekali seharian ini.
"Loh, jadi dijual?"
"Iya, Mas. Lumayan, masih bisa laku 20-an juta."
"Perhiasan peninggalan eyang juga dijual?" Alif mengikutiku duduk seraya mengerutkan dahi.
"Iya, semuanya Mas."
"Nggak sayang, Bu? Harusnya motor Alif aja sih yang dijual. Kan Alif sudah bilang nggak apa-apa dijual. Kok malah perhiasannya yang dijual?"
"Setelah dipikir-pikir, mendingan perhiasan ibu aja yang dijual, Mas. Lagian Ibu juga nggak terlalu suka pakai perhiasan kan? Model perhiasan peninggalan eyang juga sudah kuno banget. Motor Mas juga lebih berguna dibanding perhiasan itu."
"Tapi kan sayang banget, Bu. Itu benda yang mengingatkan Ibu sama eyang kan?"
"Nggak apa-apa, Mas. Cuma perhiasan aja kok. Yang penting doa ibu tidak pernah lupa untuk eyang. Itu jauh lebih penting kan? Oh iya, adek-adek di mana?" Aku celingukan mencari keberadaan Adnan dan Sofia.
"Di kamar, Bu. Biasa lah pada lemes pulang sekolah." Alif mulai terkekeh.
"Aduuh, untung Mas ingetin. Ibu siapin makan malam dulu ya?"
"Ngapain sih, Bu. Kan masih jam segini. Masih lama makannya."
"Iya sih, Mas, tapi sebentar lagi Ibu mau ada acara di rumah Bu RT. Ibu-ibu pada mau ada pertemuan di sana. Jadi, bantuin masak-masak dulu."
"Ooh gitu, ya udah deh. Kalau gitu Alif bantuin yuk."
"Mas nggak istirahat aja? Nggak capek?"
"Nggak, Bu.”
"Ya udah deh kalau gitu. Yuk!"
*****
Sore harinya usai membereskan pekerjaan rumah, aku menuju ke kediaman ketua RT kompleks tempat tinggalku.
Rupanya aku sedikit terlambat gara-gara harus menyiapkan makan untuk anak-anak. Saat tiba di sana, terlihat sudah banyak yang berkumpul.
Aku nyaris mengucapkan salam saat tak sengaja terdengar suara seseorang yang menyebut-nyebut namaku. Apa yang sedang mereka bicarakan? aku mengurungkan niat untuk melangkah masuk. Aku memilih untuk berdiri di dekat pintu, di tempat tubuhku tak bisa terlihat dari dalam.
"Bu Aira kok belum datang ya?" Suara salah seorang di antara mereka.
"Masih masak kali, Bu. Paling bentar lagi datang," sahut yang lain.
"Eh Ibu-ibu, pada udah denger belum kabar tentang Bu Aira? Pak Dhani katanya menikah lagi lho." Aku hafal betul suara itu. Bu Hera memang terkenal sebagai biang gosip di kompleks kami.
"Hush! Bu Hera. Jangan ghibah dong." Suara Bu RT terdengar menimpali.
"Eh Bu RT, ini bukan ghibah. Ini beneran kok. Saya dengar sendiri dari saudara saya yang tetanggaan dengan orangtuanya Pak Dhani. Malah istri mudanya Pak Dhani juga sudah dibawa ke sana lho." Bu Hera ngoceh panjang lebar lagi, membuat darahku berdesir.
"Hah! Beneran begitu, Bu Hera?" Kali ini terdengar suara yang lain bertanya.
"Serius. Katanya tuh ya, istri mudanya Pak Dhani itu masih muda lho. Mirip artis-artis selebgram jaman sekarang itu. Cantik glowing gitu deh. Pantas saja Pak Dhani klepek-klepek. Bu Aira kalah jauh lah dibanding dia."
"Memangnya Bu Hera sudah pernah lihat sendiri orangnya?" Bu RT kembali terdengar menimpali.
"Ya enggak lah, Bu RT ini gimana sih. Kan tadi saya sudah bilang, ini tuh cerita dari saudara saya."
"Ya kalau nggak lihat sendiri mah jangan suka nyebarin berita, Bu. Nanti kalau hoax bisa dituntut lho. Pencemaran nama baik, fitnah namanya," tegas Bu RT kali ini.
"Eh tapi bener kok, Bu. Saya kemarin lihat juga soalnya. Mertuanya Bu Aira datang ke rumah dan sepertinya sambil ngomel-ngomel gitu pas pulang." Sekarang kudengar suara Bu Enggar yang bicara. Wanita itu memang sebelas dua belas dengan tetangga sebelah rumahnya--Bu Hera.
"Lagian ya, suami istri tuh kalau hidup jauh-jauhan gitu memang berat godaannya, Bu ibu. Mana Pak Dhani kan usianya juga masih muda. Orang yang sudah kakek-kakek aja kadang masih doyan begituan, ya nggak? Apalagi yang ini, masih muda, kaya, harus pisah sama istri sekian lama. Ya begitu deh jadinya." Bu Enggar tak kalah berceloteh. Kupingku makin panas mendengar semua pembicaraan itu.
Kenapa dengan para tetanggaku itu? Apakah mereka tidak punya perasaan? Bagaimana jika mereka ada di posisiku sekarang? Akankah mereka bisa berkata-kata yang demikian? Getir rasa hatiku.
Tak tahan lagi mendengar gunjingan itu, aku pun memutuskan untuk masuk.
“Assalamu'alaikum ...," sapaku, yang sontak membuat seisi ruangan hening.
"Eh, Bu Aira ... saya kira tidak datang." Sapaan Bu Hera yang terdengar untuk pertama kali. Wanita itu seolah tidak pernah melakukan hal keji dengan bergosip tentangku sebelumnya.
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi sapaan Si wanita biang gosip itu. Sementara Bu RT dan yang lainnya nampak sangat kikuk melihat kedatanganku.
"Maaf Bu RT, saya telat. Tadi saya harus masak dulu buat anak-anak," jelasku.
"Nggak apa-apa, Bu Aira. Kita juga nggak terlalu banyak kerjaan kok. Sebagian snack sudah saya beli, soalnya kalau semua bikin, pasti repot jadinya," kata Bu RT mencairkan suasana.
Bu Hera dan Bu Enggar yang sedari tadi gencar menggosip tentangnya sekarang hanya diam dan saling mencuri pandang. Aku jengah sekali melihat tingkah keduanya.
"Kenapa jadi diam Bu Hera, Bu Enggar? Apa sudah tidak ada lagi yang ingin dibicarakan tentang saya dan keluarga saya?" sindirku dengan senyum paksa.
Suasana kembali hening. Ibu-ibu yang lain nampak hanya menunduk dan fokus dengan pekerjaan masing-masing. Sementara Bu Hera yang sepertinya jadi tersinggung karena merasa disudutkan, mulai angkat bicara.
"Maaf lho, Bu Aira. Saya ini bukannya menggosip. Saya bicara sesuai fakta kok. Kalau tidak ada fakta, saya juga tidak mungkin bicara. Iya kan Bu Enggar?.
"Eee, mmm ... ." Sementara Bu Enggar terlihat salah tingkah ditodong seperti itu.
"Setidaknya Ibu bisa menempatkan diri dimana harus bicara. Apapun yang terjadi pada rumah tangga saya itu urusan saya dan suami. Toh saya juga tidak pernah membicarakan aib Bu Hera dan Bu Enggar di depan umum kan selama ini?"
"Halah Bu Aira ini kok kayak yang paling suci saja. Buktinya ngurus suami juga nggak becus to sampai nyeleweng gitu." Merasa tersindir, Bu Enggar pun berani bicara.
“Astaghfirullah ..." Meski dada disesaki amarah, aku memilih hanya mengelus dada.
"Maaf ya, Bu. Saya hidup berpisah dengan suami saya itu sudah menjadi kesepakatan kami dari awal. Perlu di ingat, apa yang terjadi pada saya ini, bisa saja nanti terjadi pada ibu-ibu juga. Jadi tolong, berempatilah pada perasaan orang lain."
"Alaaa .... ya nggak mungkin lah, Bu. Suami saya tiap hari lho sama saya di rumah. Dia nggak akan kekurangan kasih sayang," ujarnya lagi dengan sangat menjengkelkan.
"Sudah! Sudah! Bu Enggar. Lebih baik tidak usah diteruskan. Ibu juga salah menggosipkan rumah tangga Bu Aira. Tidak seharusnya berbuat begitu. Harusnya kita saling menjaga agar kerukunan tetap terjaga. Yang dikatakan Bu Aira itu benar lho. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan rumah tangga kita ke depan. Jadi jangan sombong jika sekarang suami kita sedang baik-baik saja. Roda kehidupan itu berputar, Bu Ibu. Kadang di atas, kadang di bawah. Apa yang menimpa orang lain, suatu saat bisa juga menimpa kita," ceramah Bu RT menengahi.
"Ya sudah, lebih baik kita sudahi saja pertikaian ini. Yuk lanjut kerja lagi aja kalau begitu," ajak ketua kompleks itu.
Dengan hati dongkol, aku pun terpaksa ikut berbaur dengan ibu-ibu kompleks itu. Ternyata saat rumah tangga sedang goncang, ada saja yang tak punya empati dan malah menyebarkan aib di tempat umum seperti ini.
Bersambung …
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t