"Buk, ada eyang datang."
Aira sedang berkutat di dapur untuk mempersiapkan makan malam saat Shofia mengabarkan kedatangan kakek neneknya sore itu.
Mereka adalah orang tua Dhani, karena kedua orang tua Aira sendiri sudah berpulang beberapa tahun yang lalu.
"Iya, di suruh masuk, Dek. Ibu cuci tangan dulu."
"Sudah, Buk. Sudah di ruang tamu kok," jawab anak gadis remajanya itu.
Aira sudah menduga. Mertuanya pasti akan datang sebagai penengah dalam permasalahannya dengan Dhani. Kedua orang tua yang sudah berumur itu tidak mungkin datang ke rumah ini tanpa sebab yang jelas.
Usia mereka sudah cukup lanjut, itulah alasan kenapa selama ini Dhani tidak mengijinkannya dan anak-anak mereka ikut tinggal di perantauan bersamanya. Dhani adalah anak tunggal, dan kedua orang tuanya juga tidak mau diajak pindah meninggalkan rumah mereka. Jadi, Aira biasanya yang minimal dua kali seminggu menengok mereka untuk melihat keadaan.
Meskipun Dhani sudah menyewa seorang asisten rumah tangga dan seorang sopir tidak tetap untuk kedua orang tuanya, suaminya itu tetap ingin ada keluarga yang tinggal dekat dengan mereka. Jadilah Aira yang harus berkorban untuk tetap tinggal di kota ini dan berpisah dengan suaminya yang tinggal di perantauan.
Selama ini Aira tidak pernah mengeluh, meskipun kenyataannya sungguh berat. Namun saat peristiwa yang menyakitkan itu terjadi, rasanya Aira merasa hanya dimanfaatkan saja oleh suaminya. Bagaimana tidak, merawat tiga bocah sendirian selama bertahun tahun bukan perkara mudah. Ditambah lagi dia harus selalu siap ketika terjadi apa-apa dengan mertuanya.
Bukan ingin perhitungan, tapi seolah pengorbanan yang dia lakukan selama ini sia-sia saja ketika melihat suaminya justru berkhianat dengan menikahi wanita lain.
"Bapak, ibu." Seperti biasa Aira mencium tangan keduanya yang sudah duduk di ruang tamu dengan takzim. Namun sepertinya Aira melihat ada raut kurang bersahabat di mata kedua mertuanya kali ini. Aira yakin, Dhani pasti sudah menceritakan hal hal buruk tentangnya pada kedua orangtuanya ini.
"Ibu langsung saja, Nduk. Bapak sama ibu ke sini untuk meluruskan masalah yang terjadi sama kamu dan Dhani." Ibu mertuanya yang berucap untuk pertama kali. "Kalian itu tidak boleh bercerai. Kamu juga harus memikirkan nasib anak-anakmu. Kalau sampai kamu bercerai dari suamimu, bagaimana nanti masa depan mereka tanpa kehadiran ayah?"
"Maaf, Bu ..."
"Jangan disela dulu omongan Ibu. Dengarkan dulu!" Wanita baya itu nampak menghela nafas panjang sebelum akhirnya bercerita panjang lebar yang membuat Aira akhirnya tahu apa sebenarnya yang terjadi.
"Tentang Dhani menikah lagi, aku sama bapakmu ini sudah tahu, Nduk. Bahkan waktu itu Dhani sudah minta ijin pada kami. Dan perlu kamu tahu, dia melakukan semua itu untuk kebaikan kalian semua. Kebaikan kamu dan juga anak-anakmu."
Apa yang sedang dibicarakan ibu mertuanya itu. Kebaikan? Kebaikan yang seperti apa jika.seorang suami tega menduakan istrinya? Aira mengerutkan dahinya. Dia benar-benar.bingung dengan apa yang dikatakan ibu mertuanya itu.
"Maksud Ibu? Kebaikan yang bagaimana?"
"Dhani itu menikahi Soraya, atas perintah dari atasannya. Soraya hamil oleh atasannya. Jadi, Dhani disuruh menikahi wanita itu. Atasannya tidak mungkin menikahinya karena dia sudah berkeluarga. Jadi, Dhani ini hanya sebagai tameng, Nduk, untuk menutupi hubungan atasannya dengan Soraya."
"Apa?!" Aira membekap mulutnya dengan kedua telapak tangannya. Entah apakah yang didengarnya ini benar atau tidak, tapi semua itu membuat Aira benar-benar shock.
"Kalau memang benar seperti itu, kenapa Mas Dhani melakukan itu, Buk? Apakah itu adil buat saya dan anak-anak?" Mata Aira mulai sembab.
"Karena imbasnya akan baik untuk kalian. Dhani akan bisa dekat dengan kalian."
"Maksud ibu apa?" Aira semakin tidak mengerti.
"Kantor Dhani sedang membuka cabang di kota ini. Dan atasannya menyerahkan kepemimpinannya pada suamimu. Jadi sama-sama menguntungkan kan? Buat kalian, juga buat atasannya Dhani."
"Apa?! Astaghfirullahal'adzim." Kali ini Aira benar-benar tidak tahan lagi. Jadi ternyata suaminya sanggup melakukan hal serendah itu? Menikahi seorang wanita hanya demi mendapatkan jabatan dan kedudukan yang dia inginkan tanpa mempedulikan perasaannya dan anak-anaknya?
"Bukan itu saja, Aira." Kali ini Bapak mertuanya mulai ikut bicara.
"Setelah mereka menikah, Soraya akan tinggal bersama kami. Jadi kamu juga tidak akan repot lagi bolak balik mengurusi kami karena sudah ada Soraya. Bukankah itu lebih bagus, Nduk?"
Aira menghela nafas berat. Pernikahan suaminya ternyata memang sudah direncanakan sedemikian rupa. Bahkan mertuanya pun sudah sangat tahu segala sesuatunya sedetil itu. Hanya dirinya yang menjadi manusia bodoh sendiri di sini. Yang menjadi korban dan bahkan tidak tahu sedikitpun tentang semua ini.
"Ya Allah, ampuni kesalahan hambamu." Aira terus saja beristighfar.
"Berlapang dada lah, Nduk. Semua ini pasti akan ada hikmahnya untuk kamu dan anak-anakmu. Lagipula, jika kamu ridho dengan pernikahan suamimu ini, bukankah pintu surga akan menantimu? Ikhlas lah!" ucap bapak mertuanya lagi.
Getir, itulah yang Aira rasakan saat ini. Ikhlas? Aira harus mengikhlaslan suaminya berbuat aniaya seperti ini terhadapnya? Bahkan lelaki itu tidak pernah sekalipun meminta ijin untuk berpoligami padanya. Lantas bagaimana Aira bisa ikhlas? Dia yang tersakiti dan menjadi korban di sini. Bahkan seandainya Dhani meminta ijin pun, Aira tidak akan bisa ikhlas. Apalagi ini? Dia seperti sedang ditusuk benda tajam berulang kali dari belakang.
"Tidak, Pak. Aira mohon maaf. Tapi Aira tidak bisa menerima semua ini. Apapun alasan mas Dhani melakukan ini. Biarpun dia bilang ini demi kebaikan saya dan anak-anak. Tetap saya tidak bisa semudah itu memaafkan dan menerima hal ini. Maafkan saya tidak bisa menjadi menantu yang berbakti."
Karena tidak tahan lagi membendung air matanya, usai berkata seperti itu, Aira pun bergegas ke kamarnya. Menumpahkan segala kekesalan dan kekecewaannya pada sang suami dengan tangisannya.
Sementara itu di ruang tamu, kedua mertuanya saling pandang setelah kepergiannya.
"Sudah lah, Pak. Yang penting kita sudah sampaikan pada Aira yang sebenarnya. Perkara dia mau menerima atau tidak, ya itu terserah dia. Wis ayo, kita pulang!" ajak sang ibu mertua pada suaminya.
Di teras rumah, ketiga cucunya yang sedang duduk di sana bersama sopir eyangnya segera bangkit melihat kakek neneknya keluar dari rumah.
"Alif, Adnan, Shofia ... eyang pulang dulu ya? Kalian baik-baik, yang rukun. Ayah kalian sekarang ada di rumah eyang. Kalau kalian mau bertemu, datang saja kesana. Tidak perlu ikut-ikutan marah seperti ibu kalian. Ayah kalian itu hanya melakukan yang terbaik untuk kalian. Ingat itu ya?" jelas sang nenek panjang lebar sebelum mengulurkan tangannya untuk dicium ketiga cucunya.
Ketiganya hanya mengangguk menanggapi ucapan sang nenek, tak ada yang bicara. Sementara sang kakek mengusap kepala mereka satu per satu sebelum akhirnya melangkah keluar pagar rumah dan menghilang bersama mobil yang melaju meninggalkan kediaman Aira.
Alif yang pertama masuk rumah karena mengkhawatirkan ibunya. Anak sulung Aira itu berdiri di ambang pintu dengan wajah muram melihat ibunya yang terduduk di atas tempat tidurnya menelungkupkan wajah ke lutut.
Lalu perlahan ditutupnya kembali kamar sang ibu. Dan Alif berjalan menghampiri adik-adiknya yang sekarang sudah berada di sofa ruang tengah menyalakan televisi.
"Kecilkan suara TV nya, Dek," katanya. "Jangan ada yang masuk ke kamar ibu dulu ya. Biarkan ibu istirahat," lanjutnya. Yang lalu ditanggapi anggukan oleh kedua adiknya.
Sementara Alif segera beranjak ke dapur melanjutkan pekerjaan ibunya yang masih belum selesai tadi, menyiapkan makan malam untuk mereka.
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du