"Sebenarnya Ibu ini heran, Le. Kenapa sih Kamu harus nyuruh Bapak sama Ibu nggak jujur soal pernikahanmu pada Aira?"
Dhani sedang duduk di serambi rumah orang tuanya sore itu dengan sang bapak saat ibunya ikut bergabung.
"Ini di luar rencanaku, Bu. Aku nggak menyangka Aira akan tahu soal pernikahan ini. Awalnya aku bermaksud merahasiakan ini dari Aira dan anak-anak. Aku ingin memberi mereka kejutan bahwa tahun ini aku sudah pindah ke kota ini memimpin kantor cabang baru. Momennya tepat, pas lebaran aku dipindahkan ke sini. Nggak taunya Aira malah datang ķe pernikahanku dan Soraya. Aku juga nggak tahu dia dapat informasi itu dari siapa." Dhani terlihat frustasi saat mengatakan semua itu.
Bagaimana pun, dalam hatinya tak pernah ada niat untuk menyakiti Aira, apalagi anak-anaknya. Namun hasrat lelakinya yang meronta, saat berjauhan dengan sang istri selama berbulan-bulan membuatnya jatuh dalam pelukan karyawan barunya yang baru dua tahun bekerja di kantor itu.
Soraya, wanita cantik yang begitu menggoda itu, adalah teman ngobrol yang sangat menyenangkan kala itu. Apalagi dia berasal dari daerah yang sama dengan dirinya. Dhani lupa diri dan kemudian jatuh cinta. Dia lupa bahwa ada Aira dan anak-anaknya yang selalu setia menunggu kepulangannya setiap saat.
Awalnya, hubungan Dhani dan Soraya hanya sebatas atasan dan bawahan. Saling ngobrol, saling curhat, dan saling bernostalgia dengan kota tempat kelahiran mereka masing-masing. Sama sama hidup jauh dari keluarga, membuat mereka makin dekat dari hari ke hari. Ditambah lagi dengan wajah dan penampilan Soraya yang begitu cantik dan seksi, membuat Dhani tak kuasa lagi menahan diri. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan lebih dekat.
Dan saat suatu hari Soraya memberitahu bahwa dirinya hamil, Dhani menjadi panik luar biasa. Bagaimana tidak, tahun ini atasannya sudah menjanjikannya untuk dipindah ke kota kelahirannya untuk memimpin kantor cabang baru. Betapa bahagianya dia akan bisa selalu bersama dengan anak istrinya yang sudah sekian tahun berpisah jarak itu. Namun, kehamilan Soraya memporak porandakan semuanya.
Wanita itu mendesak untuk segera menikahinya. Dia mengancam akan mengatakan hubungan mereka dengan Aira jika sampai tidak dinikahi. Parahnya, Dhani harus mengaku bahwa dirinya adalah seorang duda pada orang tua Soraya.
Soraya tidak ingin kehilangan Dhani. Sementara orang tua Soraya yang merupakan orang lumayan terpandang di kotanya tidak bisa menerima jika memiliki menantu seorang lelaki yang sudah beristri. Dan itulah awal petaka bagi Dhani. Dia terjebak dengan permainannya sendiri. Permainan yang dianggapnya sepele, ternyata menghancurkan mahligai pernikahan yang sudah dibinanya selama bertahun-tahun dengan Aira. Istrinya yang tidak pernah banyak menuntut dan mengeluh itu.
"Yang sudah terjadi ya sudah biarkan saja, Dhan." Kali ini si bapak yang bicara. "Kamu laki laki, wajar jika memiliki istri lebih dari satu. Toh, Kamu juga mampu menghidupi keduanya. Bapak sih tidak masalah kamu menikah lagi. Itu hak kamu. Yang sekarang harus kamu pikirkan adalah bagaimana caranya kamu memperbaiki hubunganmu dengan Aira dan anak-anakmu. Anak-anakmu.terutama. Punya dua istri itu nggak masalah. Yang penting mereka berdua bisa saling menerima dan nggak cek cok," lanjut orang tua itu lagi sambil terkekeh.
"Masalahnya Aira tidak mungkin bisa menerima poligami, Pak. Kalau Soraya sih sudah tahu aku memang sudah berkeluarga. Tapi Aira? Bapak sendiri tahu kan waktu bapak kesana kemarin dia bagaimana?"
"Kamu tenang saja. Namanya wanita ya seperti itu. Awalnya saja dia keras, nanti lama-lama dia akan melunak. Apalagi jika sudah terbentur masalah keuangan, masalah ekonomi. Aira itu bisa apa tanpa kamu. Dia tidak akan.bisa menghidupi anak-anakmu tanpa bantuanmu, Dhan. Percayalah pada bapak, lambat laun Aira pasti akan bisa menerima. Toh dia itu tidak bekerja. Kehidupannya sepenuhnya bergantung sama kamu. Apalagi anak-anak kamu masih sekolah. Kamu lihat bapak saja lah. Bapak contoh nyata, poligami yang berjalan baik-baik saja hingga hari tua. Ya kan, Bune?" tanya si bapak sambil melirik istrinya yang sudah mendudukkan diri sedari tadi di sampingnya.
Wanita itu nampak ragu untuk mengangguk.
"Bapak sih enak, ibu bisa menerima dengan legowo. Aira beda dengan Ibu, Pak. Wataknya keras biarpun selama ini terlihat pendiam dan tidak terlalu banyak menuntut."
"Siapa bilang? Awalnya ibumu juga tidak bisa menerima bapakmu ini kawin lagi. Ngambek berhari hari, nggak mau makan, nggak mau ngomong. Marah marah tiap hari. Tapi bagaimana akhirnya? Dia luluh juga, bisa menerima ibu tirimu dengan lapang dada. Itu karena apa? Ya karena usaha bapak kasih pengertian setiap hari. Tanya saja sama ibumu kalau nggak percaya. Ya to, Bu?" Lagi lagi si ibu hanya mengangguk pelan menanggapi kalimat suaminya. Wajahnya memerah seolah diingatkan kembali tentang masa masa menyakitkan itu.
"Wanita itu yang penting dicukupi kebutuhannya, Le. Ya lahir, ya batin. Nanti lama-lama Aira juga akan luluh."
"Tapi Aira sudah bilang akan mengajukan cerai, Pak."
"Ya makanya itu, Kamu komunikasikan dari sekarang. Ajak bicara, dekati terus menerus, agar dia luluh dan akhirnya bisa menerima ini semua. Mumpung belum terlambat. Jadi laki laki jangan mau kalah dong kamu.Maju terus pantang menyerah." Lagi lagi orang tua itu nampak terkekeh.
Si ibu nampaknya mulai sedikit tidak nyaman dengan pembahasan tentang poligami itu, hingga akhirnya dia pun angkat bicara.
"Yang jadi masalah itu sekarang kebohongan kamu tentang bos kamu, Le. Kamu sudah menyeret nama bosmu dalam perkara rumah tanggamu ini. Kalau Aira sampai tahu bahwa pernikahan kamu ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan bos Kamu itu, Kamu bisa dilaporkan lho sama atasanmu. Dan jabatanmu bisa terancam. Itu lho yang ibu pikirkan dari kemarin." Wanita itu nampak gelisah saat mengatakan hal itu.
"Ah, itu justru masalah kecil, Bu. Aira nggak akan mungkin berani menghubungi bosku. Aku kenal Aira. Dia tidak akan gegabah menghubungi seseorang yang sama sekali tidak dia kenal," kata Dhani dengan sangat percaya diri.
"Tapi ingat lho, Le. Dia saja kemarin berani datang ke pesta pernikahanmu. Ngajak Alif lagi. Apa itu namanya bukan sikap pemberani? Ibu saja kemarin sampai kaget saat kamu ceritakan itu. Aira yang biasanya lemah lembut itu datang ke pernikahanmu dan mengumumkan pada semua tamu, mempermalukanmu di depan banyak orang. Bukankah itu perbuatan yang luar biasa?" Entah kenapa ada nada kekaguman dalam kalimat ibunya Dhani pada keberanian Aira.
"Sudah to, Bune. Kamu jangan malah mengendorkan semangat anak lanangmu. Kamu harusnya sebagai Ibu memberi semangat, bukannya malah membuat nglokro. Wis to, percaya sama bapak. Suatu saat Aira dan anak-anakmu pasti akan bisa menerima semua ini. Sekarang masalahnya, bagaimana kamu terus mendekati mereka agar terbiasa dengan semua ini, Dhan. Saran Bapak, dekati dulu anak-anakmu. ALif terutama. Karena bapak lihat, dia yang paling dekat dengan ibunya."
"Ya sudah, Pak. Akan Dhani coba nanti," kata Dhani kemudian.
"Aku akan bantu, Mas. Aku akan menemui mbak Aira, mendekati mbak Aira agar dia bisa menerima aku." Tiba-tiba Soraya muncul dari dalam rumah.
"Eh, sudah bangun kamu, Nduk?" tanya si Ibu basa-basi. Soraya pun mengangguk dan melangkah dengan penuh percaya diri bergabung dengan orang tua dan anak lelakinya yang sedang serius mengobrol itu.
"Nggak usah, Sayang. kamu malah akan memperkeruh suasana kalau kamu muncul di hadapan Aira. Kamu tidak kenal Aira," cegah Dhani.
"Tenanglah, Mas. Aku tahu kok apa yang harus aku lakukan."
"Nah ini nih, istri yang cerdas. Bapak suka itu. Soraya bahkan bisa diajak kompromi. Kamu beruntung Le punya istri kedua yang seperti ini," puji Bapak Dhani pada Soraya, membuat wanita yang sedang hamil 5 bulan itu tersipu malu.
"Ya sudah lah. Besok Dhani akan menemui anak anak. Mencoba bicara dengan mereka dulu. Sekalian aku juga mau mengabarkan pada mereka kalau sehabis lebaran aku sudah pindah ke kota ini, Pak. Mereka bahkan belum sempat tahu akan hal ini. Aira keburu ngamuk." Dhani nampak menggelengkan-menggelengkan kepala. Hatinya benar benar kecut. Campur aduk antara kebahagiannya karena kenaikan jabatannya sebagai direktur cabang dengan kegelisahannya akan masalah rumah tangganya yang jadi runyam seperti ini.
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t
Malam harinya, Vina terlihat baru keluar dari kamarnya. Sementara Maretha terlihat sedang membuat spaghetti di dapur kecil rumah mereka."Sudah pulang temen kamu, Reth?""Udah dari tadi kali, Mah. Mama sih tidurnya ngebo gitu.""Mama bosen, Reth. Papa kamu udah kirim kamu uang belum bulan ini?""Nggak tau, belum liat rekening. Udah palingan, Ma. Papa kan nggak pernah telat ngasih uang Retha. Memangnya kenapa sih?""Mama pengen shopping. Duit mama habis kan buat beli rumah ini. Tolongin mama dong, Sayang.""Tolongin apa, Mah?""Bilangin papa buat kasih modal mama. Mama mau bisnis lagi.""Bisnis apaan lagi, Maaah? Berlian lagi? Entar kesangkut masalah lagi?" ujar Maretha terlihat kurang su
Beberapa menit setelah kepergian Adnan, dada Soraya tiba-tiba sesak. Wanita itu tak henti menangis. Entah apa yang dia tangisi. Ibu dan bapaknya sampai kebingungan dengan perilaku anak bungsunya itu."Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku tak ingin merusak kebahagiaan keluarga mbak Aira dengan mas Dhani. Mereka memiliki anak-anak yang berhati begitu luar biasa, Buk."Akhirnya setelah didesak oleh sang ibu, Soraya pun meluapkan perasaannya. Bapak dan ibunya hanya bisa membesarkan hati wanita itu sebisanya."Sudahlah, Nduk. Kamu sudah minta maaf. Mereka orang-orang baik, ibu yakin juga sudah memaafkan kamu. Sekarang tenangkan pikiranmu. Ikhlas ya, Nduk."Kemudian Bu Suherman pun memeluk anaknya dengan erat. Haru segera saja menyelimuti kamar luas yang penuh dengan aura kesedihan itu...
Dalam perjalanan ke rumah orangtua Gina, Adnan justru tak bisa tenang. Entah kenapa perjumpaannya dengan Soraya tadi begitu mengganggu pikirannya."Itu tadi istrinya mas Dhani yang dulu pernah datang ke rumah kita untuk minta maaf kan, Sayang?" tanya Seno di sela-sela perjalanan mereka.Aira yang sedari tadi tengah memperhatikan Adnan yang duduk di jok belakang dari kaca spion sedikit kaget dengan pertanyaan Seno yang tiba-tiba."I-iya Mas, yang itu," jawabnya sedikit terbata."Kasihan sekali ya kondisinya sekarang. Dulu waktu ke rumah kita itu sepertinya belum separah itu ya? Padahal Baru berapa bulan yang lalu ya, Ra?" Seno seperti sedang larut dalam hitung-hitungan."Aku juga hampir nggak percaya tadi, Mas. Seandainya mas Seno pernah melihatnya saat masih sehat du