"Sebenarnya ibu heran Le, kenapa sih Kamu harus nyuruh bapak sama ibu berbohong soal pernikahan kepada istrimu?"
Dhani sedang duduk di serambi rumah orang tuanya dengan sang ayah saat ibunya ikut bergabung.
“Ini di luar rencana, Bu. Aku juga nggak nyangka Aira akan tahu soal ini. Sebenarnya aku bermaksud merahasiakan ini dari Aira dan anak-anak. Aku hanya ingin mereka memberi kejutan bahwa aku sudah dipindahkan ke kantor sini dan kupikir waktunya belum tepat.” Dhani terlihat frustasi saat mengungkapkan hal itu.
Jauh di lubuk hati, Dhani tak pernah punya niat untuk berpisah dengan Aira, apalagi anak-anak mereka. Namun hasrat lelakinya yang meronta saat berjauhan dengan sang istri selama berbulan-bulan membuatnya membuatnya terjebak dalam hubungan terlarang hingga menyebabkan Soraya hamil.
Soraya tak hanya cantik, tetapi juga teman bicara yang sangat menyenangkan. Apalagi, dia berasal dari daerah yang sama dengan dirinya. Dhani lupa diri hingga kemudian jatuh cinta. Dia lupa bahwa ada Aira dan anak-anaknya yang selalu setia menunggu kepulangannya.
Saat Soraya memberitahu bahwa dirinya hamil, Dhani sempat panik luar biasa. Bagaimana tidak, tahun itu atasannya sudah menjanjikan padanya untuk dipindah ke kota kelahirannya memimpin kantor cabang baru. Betapa bahagianya dia karena akan bisa selalu bersama dengan anak istrinya yang sudah sekian tahun selalu berpisah jarak itu. Namun, kehamilan Soraya memporak-porandakan semuanya.
Wanita itu mendesak untuk segera dinikahi. Dia bahkan mengancam akan membongkar hubungan mereka pada sang istri jika sampai tak dinikahi.
"Yang sudah terjadi ya sudah, Dhan." Kali ini Pak Salim yang bicara. "Kamu itu laki-laki. Wajar saja jika memiliki istri lebih dari satu. Toh, Kamu juga pasti mampu menghidupi keduanya. Bapak sih tidak masalah kamu menikah lagi. Itu hak kamu. Sekarang yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana caranya memperbaiki hubungan dengan keluargamu. Anak-anakmu terutama. Punya dua istri itu bukan suatu masalah, yang penting keduanya bisa saling menerima dan nggak cek cok," lanjut orang tua itu lagi seraya terkekeh.
"Masalahnya Aira tidak mungkin bisa menerima dimadu, Pak. Kalau Soraya sih tahu kalau aku memang sudah berkeluarga. Tapi Aira? Bapak sendiri tahu kan sikapnya saat kalian ke sana kemarin?"
"Kamu tenang saja, Dhan. Namanya wanita ya seperti itu. Awalnya saja dia keras, tapi nanti lama-lama dia akan melunak. Apalagi jika sudah terbentur masalah keuangan. Istrimu itu bisa apa tanpa kamu? Dia tidak akan bisa menghidupi anak-anak tanpa bantuanmu. Percayalah sama bapak, lambat laun Aira pasti akan bisa menerima. Toh dia itu tidak bekerja. Kehidupannya sepenuhnya bergantung sama kamu. Apalagi anak-anak kamu masih sekolah semua, butuh biaya banyak. Kamu lihat bapak saja lah, nggak usah jauh-jauh. Bapak ini contoh suami dengan dua istri yang baik-baik saja hingga hari tua. Ya kan, Bu?"
Pak Salim melirik istrinya yang sudah mendudukkan diri sedari tadi di sampingnya. Namun wanita itu nampak ragu untuk mengangguk.
"Bapak sih enak, ibu bisa menerima pernikahan kedua dengan hati legowo. Aira beda dengan ibu, Pak, biarpun selama ini terlihat pendiam dan tidak banyak menuntut."
"Siapa bilang ibumu nggak seperti istrimu? Awalnya ibumu juga tidak bisa menerima bapak kawin lagi, Le. Ngambek berhari-hari, nggak mau makan, nggak mau ngomong, marah-marah terus. Kamu lihat sendiri kan bagaimana akhirnya? Dia luluh juga, bisa menerima ibu tirimu dengan lapang dada. Itu karena apa? Ya karena usaha bapak yang tidak menyerah memberi pengertian padanya. Tanya saja sama ibumu kalau nggak percaya. Ya to, Bu?"
Lagi-lagi si ibu hanya mengangguk pelan menanggapi ucapan suaminya. Wajahnya memerah diingatkan kembali tentang masa-masa menyakitkan dalam hidupnya itu.
"Wanita itu yang penting dicukupi kebutuhannya, Le. Ya lahir, ya batin. Nanti lama-lama juga akan nurut."
"Tapi Aira sudah bilang akan menggugat cerai, Pak."
"Ya makanya itu, kamu komunikasikan dari sekarang. Ajak bicara dia, dekati terus, agar dia luluh dan akhirnya bisa menerima ini semua. Mumpung belum terlambat. Jadi laki-laki jangan mau kalah dong. Maju terus, pantang menyerah!" Lagi-lagi orang tua itu terkekeh aneh.
Si ibu nampaknya mulai sedikit tidak nyaman dengan pembahasan itu, hingga akhirnya dia pun angkat bicara.
“Yang jadi masalah itu sekarang kebohongan kamu tentang bos kamu, Dhan. Kamu sudah menyeret nama bosmu dalam perkara rumah tanggamu ini. Kalau Aira sampai tahu bahwa pernikahan kamu ini tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan bos kamu, kamu bisa dilaporkan lho sama atasanmu dan jabatanmu bisa terancam. Itu lho yang ibu pikirkan dari kemarin." Wanita itu nampak gelisah saat mengatakan hal itu.
"Ah, itu justru masalah kecil, Bu. Aira nggak akan mungkin berani menghubungi bosku. Aku kenal Aira. Dia tidak akan gegabah menghubungi seseorang yang sama sekali tidak dia kenal," kata Dhani dengan sangat percaya diri.
"Tapi ingat lho, Le. Dia saja kemarin berani datang ke pesta pernikahanmu. Ngajak Alif pula. Apa itu namanya bukan sikap pemberani? Ibu saja kemarin sampai kaget saat kamu ceritakan itu. Aira yang biasanya diam itu datang ke pernikahanmu dan mengumumkan pada semua tamu, mempermalukanmu di depan banyak orang. Bukankah itu perbuatan yang luar biasa?" Entah kenapa ada nada kekaguman dalam ucapan wanita itu atas keberanian Aira.
"Sudah to, Bu. Kamu jangan malah mengendorkan semangat anak lanangmu. Kamu harusnya sebagai ibu itu memberi semangat, bukannya malah membuat melempem. Wis to percaya sama bapak, suatu saat, istri dan anak-anakmu pasti akan bisa menerima semua ini. Sekarang yang terpenting, kamu harus terus mendekati mereka agar terbiasa dengan semua ini, Dhan. Saran bapak, dekati dulu anak-anakmu. Alif terutama. Karena bapak lihat, dia yang paling dekat dengan ibunya."
"Ya sudah, Pak. Akan Dhani coba nanti." Dhani pun akhirnya pasrah.
"Aku akan bantu, Mas. Aku akan menemui Mbak Aira dan bicara padanya agar bisa menerimaku." Tiba-tiba Soraya muncul dari dalam rumah.
"Eh, sudah bangun kamu, Nduk?" tanya si ibu basa-basi. Soraya pun mengangguk dan melangkah dengan penuh percaya diri bergabung dengan orang tua dan anak lelakinya yang sedang serius mengobrol itu.
"Nggak usah, Sayang. Kamu malah akan memperkeruh suasana kalau menemui Aira sekarang. Kamu tidak kenal Aira," cegah Dhani.
"Tenanglah, Mas. Aku tahu kok apa yang harus kulakukan."
"Nah ini nih, istri yang cerdas. Bapak suka itu. Bisa diajak kompromi. Kamu beruntung Le punya istri kedua yang seperti ini," puji ayah Dhani, membuat wanita yang sedang hamil muda itu tersipu malu.
"Ya sudahlah. Besok aku akan menemui anak-anak. Aku akan coba bicara dengan mereka. Sekalian aku juga mau mengabarkan pada mereka kalau bulan depan aku sudah pindah ke sini, Pak. Mereka bahkan belum sempat tahu akan hal ini. Aira keburu ngamuk." Dhani nampak menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya benar-benar kecut. Campur aduk antara kebahagian karena kenaikan jabatannya sebagai kepala cabang dengan runyamnya masalah rumah tangganya sekarang.
Bersambung …
"Retha!" Alif segera menyambar beberapa buku yang sudah diincarnya sejak tadi dari etalase saat dilihatnya seperti sosok adiknya di rak buku tak jauh dari tempatnya berdiri.Gadis yang merasa dipanggil itu pun langsung menoleh. Dia kaget melihat ternyata Alif pun sedang berada di toko buku yang sama dengan dirinya saat itu."Sama siapa?" tanya Alif saat akhirnya berhasil mendekat pada adiknya."Mmmm, sama ... Abidzar," jawabnya sedikit gugup."Oya? Mana dia?" Alif mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari-cari sosok Abidzar di tempat itu. Bibirnya nampak mengembangkan senyum saat akhirnya menemukan pemuda itu diantara buku-buku bisnis."Kamu sendiri sama siapa?" tanya balik Maretha setelah merasa Alif tak lagi sedang menertawakannya.
Siang itu Alif rupanya mulai mengenal sosok Aisha. Gadis yang terlihat seperti anak kecil saat di kampus itu ternyata lebih mandiri dari yang dia tahu. Ayahnya berprofesi sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil, membesarkan Aisha sendiri tanpa bantuan pembantu. Sejak SMP ternyata Aisha telah diajari mandiri oleh ayahnya itu. Dia pun tumbuh menjadi gadis yang serba bisa dalam mengurus rumah."Kadang aku iri Lif waktu jaman masih sekolah, melihat teman-teman masih punya keluarga lengkap. Tapi tiap kali ayah selalu bisa membesarkan hatiku. Dan dia mampu menunjukkan padaku bahwa hidup bersamanya saja juga sudah cukup."Aisha masih melanjutkan pembicaraan di sela-sela acara makan mereka."Hidup itu hanya saling lihat satu sama lain kok, Sha. Yang kelihatannya bahagia belum tentu merasa seperti itu aslinya. Saat kamu cerita tadi aku malah merasa kamu itu lebih beruntung m
Mendengar kalimat Abidzar, Alif tiba-tiba bisa menebak bahwa adik tirinya itu kemungkinan sudah mulai suka sama Abidzar. Buktinya dia sudah mau membuka diri untuk membahas masalah yang lebih pribadi pada sahabatnya itu."Memangnya Retha bilang apa sama kamu?""Dia sih cuma pengen tau pendapatku soal cewek yang udah nggak virgin. Trus dia juga tanya masalah pasangan hidup yang sudah nggak virgin. Sori ya Lif sebelumnya, apa Maretha itu ...." Abidzar tak sampai hati melanjutkan kalimatnya."Aku bukan orang yang berhak menjawab itu, Bi. Aku rasa kamu sendiri yang harus nanyain langsung sama Retha kalau memang kamu serius sama dia. Memangnya kalau boleh tau seserius apa sih kamu sama Retha?""Mau jawaban jujur, Lif?"
"Kenapa sih tiba-tiba tanya-tanya masalah kayak gitu, Reth?""Heh? Apa? Enggak, nggak apa-apa. Pengen tau aja pandangan cowok soal itu." Maretha mendadak gugup dengan pertanyaan Abidzar yang tak disangkanya itu."Allah itu sudah memberikan jodoh pada masing-masing orang. Dan saat sepasang jodoh itu sudah dipertemukan, hal-hal seperti itu sudah nggak akan ada pengaruhnya lagi. Maksudku, pasangan yang memang sudah ditakdirkan berjodoh tak akan sempat memikirkan hal-hal kayak gitu, Reth. Lagian orang-orang sekarang kurasa lebih open minded kok. Kita para cowok juga nggak merasa suci-suci amat. Jadi kalau aku, seperti apa di masa sekarang jauh lebih penting sih dibanding masih terus berkutat mempermasalahkan masa lalunya.""Oya?""Aku sih gitu.""Trus ngapain kamu ngejar-ngejar aku? Bukannya ka
Hari menjelang siang saat Adnan baru bisa menghempaskan punggungnya ke sebuah sandaran bangku rumah sakit tak jauh dari kamar perawatan istri dan anaknya.Rasa kantuk yang dari dini hari sempat tak dirasakannya kini seperti menggelayuti dan membuatnya tak tahan lagi, hingga kemudian pemuda itu pun jatuh tertidur di bangku itu.Baru sekitar lima belas menit Adnan terlelap, tiba-tiba ponsel di sakunya berbunyi. Dengan gerakan cepat karena kaget, Adnan pun sontak bangkit dari posisi rebahannya. Kemudian segera diraihnya ponsel itu. Dahinya sedikit berkerut saat melihat sebuah panggilan dari nomer asing."Ya?" sapanya sedikit malas."Nak Adnan?" tanya suara seorang wanita dari seberang.Awalnya Adnan mengira itu salah satu temannya atau teman Gina yang ingin mengucapkan
Kali ini Maretha hanya terdiam. Gadis itu hampir saja melupakan pertemuannya dengan sang papa dan ibu tirinya. Waktu itu dirinya dan Alif memang sudah janji pada kedua orangtua itu akan menjalin hubungan kakak dan adik dengan baik lagi seperti sebelumnya."Oke, oke, baik. Kalau kamu mau hubungan kita baik, jangan ganggu-ganggu aku lagi dong kalau gitu.""Kenapa harus begitu? Aku kan peduli sama kamu, Reth. Kamu jangan salah paham.""Sudah kubilang aku nggak butuh pelindung ya, Lif. Ngeyel banget sih kamu itu." Maretha kini terlihat mulai kesal. Tapi dalam hati sebenarnya tak ada yang tahu bahwa dia senang dengan perhatian Alif padanya hingga saat ini.Alif kembali menengok ke sekeliling. Saat dirasanya mereka hanya berdua saja di t